Wednesday, January 9, 2013

Kebudayaan Indis, dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad XX)


Review:
Percakapan dengan memakai bahasa Belanda dan Jawa, kerap terdengar pada masa kebudayaan Indis berjaya di Indonesia. Kebudayaan Indis yang merupakan campuran Jawa dan Eropa (khususnya Belanda) telah meninggalkan jejak-jejak budaya di Indonesia, terutama dalam seni bangunan dan kerajinan.
Kebudayaan Indis mencapai masa jayanya di Indonesia pada masa VOC sampai dengan masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya kebudayaan Belanda mendominasi di Indonesia, terutama Jawa. Namun lambat laun kebudayaan ini mulai bercampur baur terutama ketika terjadi pernikahan dengan masyarakat lokal sehingga membentuk kebudayaan baru yang di sebut kebudayaan Indis.
Percampuran kebudayaan melalui pernikahan merupakan hal yang biasa, terutama ketika masing-masing pasangan tetap mempertahankan kebudayaannya masing-masing. Dalam kebudayaan Indis ini, si laki-laki, yang kebanyakan orang Belanda menikahi dengan perempuan lokal (sering di sebut Nyai), dan mengembangkan kebudayaan yang merupakan perpaduan keduanya.
Pada masa awal VOC dan pemerintahan Belanda, banyak laki-laki Belanda yang tidak membawa isteri atau masih jarangnya perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda (nama Indonesia pada masa lalu), dengan alasan jaraknya yang jauh dan belum jelasnya situasi keamanan untuk tinggal di tempat asing.
Buku “Kebudayaan Indis, dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad XX)” ini merupakan hasil disertasi dari Djoko Soekiman, dosen Fakultas Sastra di UGM Yogyakarta sejak tahun 1963. Disertasinya yang mengungkap mengenai kebudayaan Indis merupakan satu-satunya buku yang mengupas mendalam mengenai kebudayaan Indis yang sudah makin punah dikarenakan peninggalan budayanya seperti bangunan mulai di runtuhkan atau di ganti dengan bangunan yang sudah modern atau di anggap lebih Indonesia.
Pada masa kemerdekaan, ketika sentimen terhadap segala sesuatu yang dianggap asing atau Belanda/Eropa meningkat, maka pengrusakan terhadap benda-benda budaya Indis pun terjadi. Akhirnya sekarang ini hanya sedikit yang masih tersisa di Indonesia, terutama di pulau Jawa seperti bangunan gereja atau bangunan bekas bangunan pemerintahan Belanda.
Padahal kebudayaan Indis merupakan kebudayaan yang unik, yang banyak di temui di Hindia Belanda/Indonesia pada masanya. Bangunan-bangunan yang dibangun pada masa itu umumnya mengadopsi gaya Eropa sekaligus gaya lokal. Misalnya dengan memakai genteng untuk atapnya tapi memakai kayu jati yang lebih tahan lama di musim tropis dan tahan gempa, pada tiang atau pembatas ruangan (gebok). Jendela-jendela pun dibuat lebar lebih lebar dari jendela rumah di Belanda sehingga memungkinkan hawa sejuk daerah tropis masuk. Para pelaku budaya Indis ini juga seringkali menempelkan simbol-simbol yang berhubungan dengan budayanya seperti adanya arah angin di atap bangunan, yang berbentuk ayam jantan. Ayam jantan merupakan simbol kekuatan pada bangsa Eropa.
Salah satu hal menarik yang diungkapkan dalam buku ini yaitu bagaimana para pelaku kebudayaan Indis mempraktekkan budaya Indis dengan secara berlebihan. Rata-rata para pelaku kebudayaan Indis merupakan pejabat pemerintahan Belanda sehingga mereka pun memiliki kebiasaan untuk berpesta dan menghamburkan uangnya untuk membuat rumah dengan dekorasi yang bagus, yang memadukan unsur Eropa dan lokal (Jawa). Mereka juga memiliki banyak budak dari masyarakat lokal yang mengurusi rumah, kebun dan petenakan mereka. Sedangkan mereka sendiri, sering hanya bersenang-senang dan bersantai di rumah mereka.
Pada saat kebudayaan Indis tersebut berlaku di Jawa, bangunan tempat tinggal merupakan hal yang paling jelas dapat dilihat apakah pemiliknya orang yang berkedudukan tinggi atau tidak. Bangunan tempat tinggal masyarakat lokal pada waktu itu biasanya hanya beratap rumbia atau daun kelapa, berdinding bambu dan berlantai tanah. Sementara para pejabat tinggal di bangunan dari bata atau batu, dengan lantai ubin atau terakota. Selain para pejabat pemerintahan Belanda, dan kaum bangsawan Jawa, hanya masyarakat peranakan Tionghoa dan peranakan Arab lah yang memiliki tempat tinggal yang bagus.
Kebudayaan Indis telah menghasilkan pengaruh negatif dan positif dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu. Pengaruh negatif yaitu dengan menampilkan adanya bangunan mewah yang membedakan dengan masyarakat biasa dan adanya perbudakan. Dan pengaruh positif yaitu dengan adanya budaya disiplin dan mejaga kebersihan.
Meskipun kebudayaan Indis lahir dari masa pemerintahan Belanda, kebudayaan Indis tetap merupakan salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia, seperti kebudayaan Peranakan Tionghoa atau Peranakan Arab. Dan, semestinya kita bisa mengambil aspek positif dari kebudayaan Indis dan tetap melestarikan segi positif kebudayaan Indis sebagai bagian dari kebudayaan di Indonesia.


Djoko Soekiman menggunakan teori milik Adolph S. Tomars (dalam buku yang berjudul: Class Systems and the Arts) menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep Tomars ini, terdapat adanya landasan sosiologis yang kuat bahwa golongan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan Indis. Yang kedua adalah teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi oleh orang keturunan.
Sumber-sumber yang digunakan Djoko Soekiman dalam tulisannya berasal dari arsip, monografi, laporan para pejabat pemerintah jajahan, berbagai hasil kesusastraan, kisah perjalanan, lukisan, foto sketsa, disamping berupa artefak dan seni bangunan Indis.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh Djoko Soekiman adalah Indonesia Sentrisme (dilihat dari sisi ke-Indonesiaannya).
Jenis metodologi yang digunakan Djoko Soekiman adalah sejarah sosial. Dimana digunakan pendekatan-pendekatan yang memanfaatkan teori dan konsep ilmu-ilmu sosial. Dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial, sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, walaupun kadang-kadang harus terikat pada modal teoritisnya. Keterikatan ini dapat mempunyai akibat pada rekonstruksi yang tidak lengkap, sebab harus menuruti logika dan seleksi sebuah model yang eksplisit.
Kuntowijoyo memperkenalkan enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan sosiologis. Keenam model penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strateginya. Yaitu model evolusi, yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai dengan menjadi masyarakat yang kompleks; model lingkaran netral, yang menjelaskan penulisan sejarah bertolak dari titik peristiwa di tengah-tenah kehidupan masyarakat secara sinkronis, lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya; model interval, yaitu berupa kumpulan lukisan sinkronis yang disusun secara kronologis, tetapi antara satu periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan tidak selalu menunjukkan hubungan sebab akibat; model tingkat perkembangan, yakni tahap-tahap perkembangan masyarakat dijelaskan dengan memaki model diferensi struktural; model jangka panjang-menengah-pendek, artinya sejarah ditetapkan dalam tiga macam keberlangsungan. Dalam hal ini, sejarah jangka panjang merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahanya lamban sehingga perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah perkembanganya lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah jangka pendek adalah sejarah dari kejadian-kejadian yang berjalan dengan serba cepat; model sistematis, model terakhir ini biasa dipergunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat dalam konteks perubahan sosial. Model penulisan sejarah yang digunakan dalam buku ini adalah model sistematis. Dimana sebuah penulisan sejarah sangat tergantung pada kondisi objektif, berupa tersedianya sumber, dan kodisi subjektif, berupa kemampuan penulis sejarah. Maksud dari uraian model ini yaitu meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strategi penulisan yang paling tepat sesuai dengan kondisi objektif dan subjektif, serta tujuan dari penulisan itu sendiri.


Tinjauan Teori
Teori yang berhubungan dengan isi buku :
1. Adanya stratifikasi sosial yang merupakan pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/ bertingkat. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :
• Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
• Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
• Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
• Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Pada budaya ini, adanya golongan kebangsaan pada jaman itu, kami kaitkan dengan Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi oleh orang keturunan.
2. Adanya Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi adalah suatu proses sosial, yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Atau bisa juga di definisikan sebagai perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai dan serasi.
Di bawah ini beberapa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya suatu proses Akulturasi. Diantaranya:
Faktor Intern (dalam), antara lain:
• Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
• Adanya Penemuan Baru:
1. Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
• Konflik yang terjadii dalam masyarakat
• Pemberontakan atau revolusi
Faktor Ekstern (luar), antara lain:
1. Perubahan alam
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Teori diatas dapat dikaitkan dengan kebudayaan Indis dibawah ini:
- Reflector menganjurkan pula hendaknya jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsur-unsur budaya bangsa Pribumi. Apabila perlu, setidak-tidaknya mereka bias mengawinkan dua unsur sebagai usaha baru dalam penciptaan.
- Adanya kelompok pakar ahli bangunan di Hindia Belanda yang menginginkan penggunaan unsur budaya tradisional jawa dalam penciptaan seni bangunan di Eropa.
- Kelompok pertama, mengutamakan pemindahan dari negeri ibu (Belanda), yang menghendaki seni bangunan (nasional Belanda) diberlakukan di daerah koloni, khususnya jawa. Alasannya ialah kemajuan teknik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya.
- Kelompok kedua, adanya pertimbangan politik, mereka lebih mengharapkan adanya peralihan ke seni jawa yang dapat menuju ke seni Indo-Eropa, yaitu apabila nantinya Hindia Belanda telah dapat berdiri sendiri.
Kalimat diatas menggambarkan bahwa terjadi perpaduan antara unsur kebudayaan yang berbeda antara unsur Jawa dan unsur Eropa tanpa menghilangkan unsur dari masing-masing kebudayaan yang ada.
a.Rumah tempat tinggal
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
b. Pakaian dan kelengkapan
cirri lain gaya hidup pada zaman itu banyak dipengaruhi oleh gaya Eropa ialah tata busana . Karena pengaruh para pembantu rumah tangga dan para nyai, kaum perempuan indis mengenakan kain sarung dan kebaya. Kain dan kebaya juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari oleh para perempuan eropa . Sedangkan para pria eropa mengenakan sarung dan baju takwo atau pakain tidur motif batik.
c. Alat berkarya dan berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk Pribumi berbagai alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan kehidupan misalkan : mesin jahit , lampu gantung , lampu gas , kereta tunggang yang disebut dosdos atau sado.
d. Kelengkapan alat dapur dan jenis makanan
Di negri belanda sampai sekarang banyak rumah makan yang menyediakan berbagai jenis menu Indis Tempo doloe dengan memasang papan nama yang bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga belanda , khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia menghidangkan menu indische rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto ,nasi goreng , nasi rames , gado-gado,lumpia dan sebagainya. Sementara itu di Indonesia masyarakat indis termasuk priyai jawa menghidangkan makanan keluarg a dengan menu campuran eropa dan jawa misalnya : beafstuk , resoulles , soep .
KESIMPULAN:
penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado, percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Kebudayaan campuran ini mencakup ketujuh aspek unsur universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan Prasejarah, kebudayaan Hindu – Budha, dan kebudayaan Islam Indonesia. Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada 1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo, serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap berlanjut.Sementara itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal di Indonesia tetap melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den Haag, Indische Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi goreng, sate ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi orang.

Review:
Percakapan dengan memakai bahasa Belanda dan Jawa, kerap terdengar pada masa kebudayaan Indis berjaya di Indonesia. Kebudayaan Indis yang merupakan campuran Jawa dan Eropa (khususnya Belanda) telah meninggalkan jejak-jejak budaya di Indonesia, terutama dalam seni bangunan dan kerajinan.
Kebudayaan Indis mencapai masa jayanya di Indonesia pada masa VOC sampai dengan masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya kebudayaan Belanda mendominasi di Indonesia, terutama Jawa. Namun lambat laun kebudayaan ini mulai bercampur baur terutama ketika terjadi pernikahan dengan masyarakat lokal sehingga membentuk kebudayaan baru yang di sebut kebudayaan Indis.
Percampuran kebudayaan melalui pernikahan merupakan hal yang biasa, terutama ketika masing-masing pasangan tetap mempertahankan kebudayaannya masing-masing. Dalam kebudayaan Indis ini, si laki-laki, yang kebanyakan orang Belanda menikahi dengan perempuan lokal (sering di sebut Nyai), dan mengembangkan kebudayaan yang merupakan perpaduan keduanya.
Pada masa awal VOC dan pemerintahan Belanda, banyak laki-laki Belanda yang tidak membawa isteri atau masih jarangnya perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda (nama Indonesia pada masa lalu), dengan alasan jaraknya yang jauh dan belum jelasnya situasi keamanan untuk tinggal di tempat asing.
Buku “Kebudayaan Indis, dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad XX)” ini merupakan hasil disertasi dari Djoko Soekiman, dosen Fakultas Sastra di UGM Yogyakarta sejak tahun 1963. Disertasinya yang mengungkap mengenai kebudayaan Indis merupakan satu-satunya buku yang mengupas mendalam mengenai kebudayaan Indis yang sudah makin punah dikarenakan peninggalan budayanya seperti bangunan mulai di runtuhkan atau di ganti dengan bangunan yang sudah modern atau di anggap lebih Indonesia.
Pada masa kemerdekaan, ketika sentimen terhadap segala sesuatu yang dianggap asing atau Belanda/Eropa meningkat, maka pengrusakan terhadap benda-benda budaya Indis pun terjadi. Akhirnya sekarang ini hanya sedikit yang masih tersisa di Indonesia, terutama di pulau Jawa seperti bangunan gereja atau bangunan bekas bangunan pemerintahan Belanda.
Padahal kebudayaan Indis merupakan kebudayaan yang unik, yang banyak di temui di Hindia Belanda/Indonesia pada masanya. Bangunan-bangunan yang dibangun pada masa itu umumnya mengadopsi gaya Eropa sekaligus gaya lokal. Misalnya dengan memakai genteng untuk atapnya tapi memakai kayu jati yang lebih tahan lama di musim tropis dan tahan gempa, pada tiang atau pembatas ruangan (gebok). Jendela-jendela pun dibuat lebar lebih lebar dari jendela rumah di Belanda sehingga memungkinkan hawa sejuk daerah tropis masuk. Para pelaku budaya Indis ini juga seringkali menempelkan simbol-simbol yang berhubungan dengan budayanya seperti adanya arah angin di atap bangunan, yang berbentuk ayam jantan. Ayam jantan merupakan simbol kekuatan pada bangsa Eropa.
Salah satu hal menarik yang diungkapkan dalam buku ini yaitu bagaimana para pelaku kebudayaan Indis mempraktekkan budaya Indis dengan secara berlebihan. Rata-rata para pelaku kebudayaan Indis merupakan pejabat pemerintahan Belanda sehingga mereka pun memiliki kebiasaan untuk berpesta dan menghamburkan uangnya untuk membuat rumah dengan dekorasi yang bagus, yang memadukan unsur Eropa dan lokal (Jawa). Mereka juga memiliki banyak budak dari masyarakat lokal yang mengurusi rumah, kebun dan petenakan mereka. Sedangkan mereka sendiri, sering hanya bersenang-senang dan bersantai di rumah mereka.
Pada saat kebudayaan Indis tersebut berlaku di Jawa, bangunan tempat tinggal merupakan hal yang paling jelas dapat dilihat apakah pemiliknya orang yang berkedudukan tinggi atau tidak. Bangunan tempat tinggal masyarakat lokal pada waktu itu biasanya hanya beratap rumbia atau daun kelapa, berdinding bambu dan berlantai tanah. Sementara para pejabat tinggal di bangunan dari bata atau batu, dengan lantai ubin atau terakota. Selain para pejabat pemerintahan Belanda, dan kaum bangsawan Jawa, hanya masyarakat peranakan Tionghoa dan peranakan Arab lah yang memiliki tempat tinggal yang bagus.
Kebudayaan Indis telah menghasilkan pengaruh negatif dan positif dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu. Pengaruh negatif yaitu dengan menampilkan adanya bangunan mewah yang membedakan dengan masyarakat biasa dan adanya perbudakan. Dan pengaruh positif yaitu dengan adanya budaya disiplin dan mejaga kebersihan.
Meskipun kebudayaan Indis lahir dari masa pemerintahan Belanda, kebudayaan Indis tetap merupakan salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia, seperti kebudayaan Peranakan Tionghoa atau Peranakan Arab. Dan, semestinya kita bisa mengambil aspek positif dari kebudayaan Indis dan tetap melestarikan segi positif kebudayaan Indis sebagai bagian dari kebudayaan di Indonesia.


Djoko Soekiman menggunakan teori milik Adolph S. Tomars (dalam buku yang berjudul: Class Systems and the Arts) menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep Tomars ini, terdapat adanya landasan sosiologis yang kuat bahwa golongan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan Indis. Yang kedua adalah teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi oleh orang keturunan.
Sumber-sumber yang digunakan Djoko Soekiman dalam tulisannya berasal dari arsip, monografi, laporan para pejabat pemerintah jajahan, berbagai hasil kesusastraan, kisah perjalanan, lukisan, foto sketsa, disamping berupa artefak dan seni bangunan Indis.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh Djoko Soekiman adalah Indonesia Sentrisme (dilihat dari sisi ke-Indonesiaannya).
Jenis metodologi yang digunakan Djoko Soekiman adalah sejarah sosial. Dimana digunakan pendekatan-pendekatan yang memanfaatkan teori dan konsep ilmu-ilmu sosial. Dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial, sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, walaupun kadang-kadang harus terikat pada modal teoritisnya. Keterikatan ini dapat mempunyai akibat pada rekonstruksi yang tidak lengkap, sebab harus menuruti logika dan seleksi sebuah model yang eksplisit.
Kuntowijoyo memperkenalkan enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan sosiologis. Keenam model penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strateginya. Yaitu model evolusi, yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai dengan menjadi masyarakat yang kompleks; model lingkaran netral, yang menjelaskan penulisan sejarah bertolak dari titik peristiwa di tengah-tenah kehidupan masyarakat secara sinkronis, lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya; model interval, yaitu berupa kumpulan lukisan sinkronis yang disusun secara kronologis, tetapi antara satu periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan tidak selalu menunjukkan hubungan sebab akibat; model tingkat perkembangan, yakni tahap-tahap perkembangan masyarakat dijelaskan dengan memaki model diferensi struktural; model jangka panjang-menengah-pendek, artinya sejarah ditetapkan dalam tiga macam keberlangsungan. Dalam hal ini, sejarah jangka panjang merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahanya lamban sehingga perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah perkembanganya lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah jangka pendek adalah sejarah dari kejadian-kejadian yang berjalan dengan serba cepat; model sistematis, model terakhir ini biasa dipergunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat dalam konteks perubahan sosial. Model penulisan sejarah yang digunakan dalam buku ini adalah model sistematis. Dimana sebuah penulisan sejarah sangat tergantung pada kondisi objektif, berupa tersedianya sumber, dan kodisi subjektif, berupa kemampuan penulis sejarah. Maksud dari uraian model ini yaitu meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strategi penulisan yang paling tepat sesuai dengan kondisi objektif dan subjektif, serta tujuan dari penulisan itu sendiri.


Tinjauan Teori
Teori yang berhubungan dengan isi buku :
1. Adanya stratifikasi sosial yang merupakan pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/ bertingkat. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :
• Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya.
• Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
• Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
• Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Pada budaya ini, adanya golongan kebangsaan pada jaman itu, kami kaitkan dengan Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi oleh orang keturunan.
2. Adanya Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi adalah suatu proses sosial, yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Atau bisa juga di definisikan sebagai perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan damai dan serasi.
Di bawah ini beberapa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya suatu proses Akulturasi. Diantaranya:
Faktor Intern (dalam), antara lain:
• Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
• Adanya Penemuan Baru:
1. Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
• Konflik yang terjadii dalam masyarakat
• Pemberontakan atau revolusi
Faktor Ekstern (luar), antara lain:
1. Perubahan alam
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Teori diatas dapat dikaitkan dengan kebudayaan Indis dibawah ini:
- Reflector menganjurkan pula hendaknya jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsur-unsur budaya bangsa Pribumi. Apabila perlu, setidak-tidaknya mereka bias mengawinkan dua unsur sebagai usaha baru dalam penciptaan.
- Adanya kelompok pakar ahli bangunan di Hindia Belanda yang menginginkan penggunaan unsur budaya tradisional jawa dalam penciptaan seni bangunan di Eropa.
- Kelompok pertama, mengutamakan pemindahan dari negeri ibu (Belanda), yang menghendaki seni bangunan (nasional Belanda) diberlakukan di daerah koloni, khususnya jawa. Alasannya ialah kemajuan teknik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya.
- Kelompok kedua, adanya pertimbangan politik, mereka lebih mengharapkan adanya peralihan ke seni jawa yang dapat menuju ke seni Indo-Eropa, yaitu apabila nantinya Hindia Belanda telah dapat berdiri sendiri.
Kalimat diatas menggambarkan bahwa terjadi perpaduan antara unsur kebudayaan yang berbeda antara unsur Jawa dan unsur Eropa tanpa menghilangkan unsur dari masing-masing kebudayaan yang ada.
a.Rumah tempat tinggal
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
b. Pakaian dan kelengkapan
cirri lain gaya hidup pada zaman itu banyak dipengaruhi oleh gaya Eropa ialah tata busana . Karena pengaruh para pembantu rumah tangga dan para nyai, kaum perempuan indis mengenakan kain sarung dan kebaya. Kain dan kebaya juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari oleh para perempuan eropa . Sedangkan para pria eropa mengenakan sarung dan baju takwo atau pakain tidur motif batik.
c. Alat berkarya dan berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk Pribumi berbagai alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan kehidupan misalkan : mesin jahit , lampu gantung , lampu gas , kereta tunggang yang disebut dosdos atau sado.
d. Kelengkapan alat dapur dan jenis makanan
Di negri belanda sampai sekarang banyak rumah makan yang menyediakan berbagai jenis menu Indis Tempo doloe dengan memasang papan nama yang bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga belanda , khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia menghidangkan menu indische rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto ,nasi goreng , nasi rames , gado-gado,lumpia dan sebagainya. Sementara itu di Indonesia masyarakat indis termasuk priyai jawa menghidangkan makanan keluarg a dengan menu campuran eropa dan jawa misalnya : beafstuk , resoulles , soep .
KESIMPULAN:
penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado, percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Kebudayaan campuran ini mencakup ketujuh aspek unsur universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan Prasejarah, kebudayaan Hindu – Budha, dan kebudayaan Islam Indonesia. Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada 1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo, serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap berlanjut.Sementara itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal di Indonesia tetap melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den Haag, Indische Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi goreng, sate ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi orang.

(Arif Saefudin Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. )