Wednesday, January 16, 2013

Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi

Sumber
A.    Pendahuluan
Ilmu Sejarah seperti ilmu-ilmu lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat untuk mengorganisasi seluruh tubuh pengetahuannya serta menstrukturasi pikiran, yaitu metode sejarah. Kalau metode berkaitan dengan masalah “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know), metodologi menyangkut soal “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). Secara implisit metodologi mengandung unsur teori (Kartodirdjo, 1992: ix). Dalam kaitanya dengan sejarah, dengan sendirinya metode sejarah adalah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkah metodologi adalah ”mengetahui bagaimana mengetahui sejarah (Sjamsuddin, 2007: 14).
Pada tahap awal suatu pengkajian, peneliti perlu menetapkan bagaimana hendak mendekati objek studinya; pendeknya menentukan approach atau pendekatan yang akan diterapkan. Pengkajian sejarah yang memakai pendekatan itu akan lebih mampu melakukan eksplanasi (penjelasan) daripada yang membatasi diri pada pengungkapan bagaimana sesuatu terjadi atau menguraikan kejadian sebagai narasi (cerita).
Suatu peristiwa harus diterangkan secara lebih jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial, ekonomis, politik, dan kulturalnya. Di sini kita memperoleh dasar legitimasi mengapa dalam studi sejarah diperlukan metodologi dan teori. Dalam perkembangannya pada abad ke-20 ini banyak dipakai konsep-konsep dan teori-teori yang berasal dari antropologi, sosiologi, dan ilmu sosial lainnya. Ada kecenderungan bahwa ilmu sejarah dan ilmu sosial mulai berkembang ke arah rapproachement (saling mendekati) (Kuntowijoyo, 2008: 117). Bagi studi sejarah, proses itu memberi keuntungan banyak dan memperbesar produktivitas penulisannya.
Dalam kajian sejarah klasifikasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar sangat beragam, oleh Kuntowijoyo (1994: 19-130; 2003: 23-246) klasifikasi sejarah adalah, 1) sejarah sosial, 2) sejarah politik, 3) sejarah mentalitas, 4) sejarah pemikiran, 5) sejarah pedesaan, 6) sejarah Kebudayaan, 7) sejarah lisan, 8) sejarah kota, 9) sejarah Ekonomi pedesaan, 10) sejarah wanita, 11) sejarah local, 12) sejarah agama, 13) sejarah kuantitatif dan 14) biografi.
Selain Kuntowijoyo, klasifikasi yang lain juga dikemukaan oleh Suhartono (2010: 110) yaitu, 1) sejarah sosial, 2) sejarah politik, 3) sejarah mentalitas, 4) sejarah pemikiran, 5) sejarah agrarian (pertanian, perkebunan), 6) sejarah Kebudayaan dan kesenian, 7) sejarah lisan, 8) sejarah kota, 9) sejarah ekonomi, 10) sejarah perempuan, 11) sejarah lokal, 12) sejarah agama, 13) sejarah kuantitatif dan 14) sejarah psikologi, 15) sejarah demografi, 16) sejarah budaya rakyat, 17) sejarah nasional, 18) sejarah keluarga, 19) sejarah etnis, 20) sejarah pendidikan, 21) sejarah desa(petani) dan, 22) sejarah maritim.
Bertolak dari pemikiran diatas, penulis memilih topik sejarah agama dalam pembuatan review buku teori dan metodologi sejarah. Buku Dra. Hermawati, M.A. yang berjudul sejarah agama dan bangsa Yahudi, tentunya juga penulis menggunakan konsep, teori, dan metodologi. Selain itu juga menggunakan pendekatan yang digunakan untuk membantu dalam menganalisis peristiwa. Oleh karena itu kami akan mencoba untuk menganalisis pendekatan teori serta metodologi yang digunakan oleh penulis buku tersebut.
Dra. Hermawati, M.A lahir di Padang pada tanggal 26 Desember 1954, memperoleh gelar sarjana perbandingan agama Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1984, dan memperoleh gelar Magister Program Sejarah Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak 1985 hingga saat ini, penulis adalah pengajar sejarah peradaban Islam, SPII, Agama-agama Dunia, Yudaisme. Buku tulisan Dra. Hermawati, M.A merupakan hasil penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh RajaGrafindo Persada tahun 2004, buku ini mengungkapkan fakta sejarah, terutama yang berkaitan dengan fakta sejarah terkait konflik Palestina dan Israel, yang beberapa minggu terakhir ramai diperbincangkan oleh media, lagi-lagi karena Israel membom bardir Jalur Gaza (Palestina).

B.     Menganalisi Konsep, Teori dan Metodologi
Kontak antara Israel dan Palestina dikategorikan pada hubungan internasional yang dapat didefinisikan sebagai berbagai rangkaian aksi dan reaksi antara kelompok, baik berbenruk Negara, bangsa, organisasi internasional, kelompok perorangan, maupun pribadi yang berpengaruh (Hamidjodjo, 1987: 1). Sebab hubungan internasional tidak hanya mencakup pada bidang politik, tetapi menjangkau segala kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, serta lainya. Sedangkan sebagai objek studi, hubungan internasional memeliki tujuan dasar untuk mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para actor, Negara, maupun non Negara, didalam arena transaksi internasional (Mas’oed, 1990: 28). Perilaku tersebut dapat berupa perang, konflik, kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam organisasi internasional, dan sebagainya. Berdasarkan pada uraian ini, kasus persengketaan Palestina dan Israel dapat dikategorikan kedalam kajian studi hubungan Internasional, karena kasus tersebut membentuk rangkaian aksi-reaksi antara dua Negara, dan melibatkan Negara-negara lain dengan sifat hubungan yang konfliktual.
Konflik yang terjadi pada Palestina dan Israel terdorong dari Nasionalisme. Nasionalisme adalah kata dan paham yang pertama kali digunakan oleh Augustin Barruel pada tahun 1789. Nasionalisme merupakan paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepda Negara kebangasaan. Nasionalisme dapat terbentuk oleh ikatan rasa kebangsaan kelompok individu, persamaan ras, bahasa, warisan budaya, serta kesatuan atau kedekataan wilayah. Kesadaran nasioalisme pada bangsa-bangsa baru tumbuh sejak akhir abad ke-18 setelah sebelumnya kesetiaan individu hanya ditujukan kepada berbagai kekuasaan sosial, seperti pada organisasi politik, raja-raja, serta kesatuan ideology atau agama. Pada masa modern, nasionalisme dilembagakan dalam bentuk Negara. Unsure-unsur utama dalam pembentukan suatu Negara adalah wilayah, penduduk, pemerintahan yang sah, dan kedaulatan.
Kesadaran dan semangat nasionalisme bangsa-bangsa Arab baru timbul pada akhir abad ke 19, seiring dengan semakin menurunya pengaruh kekuasaan Imperium Turki Utsmani. Namun, semangat nasionalisme dan cita-cita pendirian Negara Palestina terbentur oleh kedatangan bangsa Yahudi ke wilayah mereka yang memiliki semgat dan cita-cita yang sama. Tujuanya adalah untuk mendirikan suatu tanah air untuk mempersatukan Bangsa Yahudi yang hidup terpencar-pencar diseluruh dunia (diaspora).
Benturan antara keduanya kemudian berkembang menjadi sebuah konflik terbuka yang memperebutkan wilayah Palestina. Disatu pihak, Palestina berjuang untuk merebut kembali wilayah tanah air mereka yang sah. Sedangkan Israel berusaha untuk mempertahankan dan memperluas wilayah yang telah berhasil direbut dan dikuasai. Umumya negara-negara yang baru berdiri mudah terjebak pada konflik-konflik serius yang disebabkan oleh ikatan-ikatan primordial. Ikatan primordial tersebut diartikan sebagai perasaan yang lahir dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan kekerabatan, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan agama tertentu. Frans Magnis Suseno mengartikan primordial sebagai “keterlibatan hati atau motivasi berdasarkan lingkungan sosial asli. Artinya satu-satunya loyalitas yang dirasakan adalah realitas sosial lingkungan pengalaman asli misalnya daerah, suku, agama, dan ras”. Clifford Greetz dalam bukunya The Integrative Revolution : Primordial Sentiments and Civil Politics in the New State tahun 1963, dalam hal ini berpendapat bahwa “pada negara-negara yang baru berdiri, salah satu penyebab konflik umumnya adalah masalah-masalah yang disebabkan oleh ikatan-ikatan primordial antara lain hubungan daerah (suku), jenis bangsa (ras), bahasa, kedaerahan, (regionalisme), agama, kebiasaan (tradisi). Meskipun sebagian besar masalah yang timbul dari ikatan-ikatan primordial tersebut terjadi di dalam wilayah suatu negara namun ada konflik internasional yang berpusat dan digerakan oleh ikatan-ikatan primordial negara-negara baru”.
Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, merupakan salah satu contoh sengketa, disebabkan oleh masalah primordial yang sudah berakar, sejak Israel memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1948 sampai sekarang belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir.
Disamping itu, sengketa tersebut juga dipengaruhi oleh adanya sentimen nasionalisme yang berbeda pada masing-masing pihak yang bersengketa. Dengan demikian, adanya kecintaan terhadap tanah, ras, bahasa atau budaya historis dan keinginan untuk memilih kemerdekaan secara politik, keamanan, kebanggaan terhadap bangsa, menyebabkan sengketa Israel dan Palestina menjadi masalah yang lebih kompleks karena masalah nasionalisme itu berkaitan langsung dengna primordial. Hal tersebut terlihat dari adanya keterkaitan antara rasa nasionalisme dengan agama dan etnis yang menyebabkan konflik menjadi kompleks.
Konflik antara Israel dan Palestina timbul karena kedua negara tersebut menginginkan wilayah Palestina. Palestina dianggap bernilai bagi masing-masing pihak dan berusaha untuk menghalangi keinginan pihak lainya. Dalam hal ini, kedua negara tersebut selalu berupaya melakukan tindakan-tindakan dengan tujuan untuk memenangkan konflik tersebut.
Werner Levi dalam bukunya International Politics Foundation of the Sistem tahun 1974, menyebutkan bahwa karakter yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan memberikan nuansa khusus bagi hubungan antarnegara. Hal ini akan mengakibatkan penggunaan ancaman atau kekuatan oleh suatu negara dalam menyelesaikan konflik akan lebih menonjol. Jika suatu negara dapat menggunakan kekuatanya dengna sewenang-wenang dan sepihak, potensi destruktif yang diakibatkan oleh konflik tersebut menjadi semakin besar dan dampak sosial yang diakibatkan oleh konflik tersebut menjadi semakin besar dan dampak sosial yang harus dipikul untuk mengatasi konflik tersebut akan semakin luas. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya penggunaan kekerasaan dalam masyarakat internasional, penyelesaian konflik yang bersifat konstruktif (negosiasi untuk mencapai promosi), cenderung diabaikan. 
Karena konflik tersebut juga berkaitan dengan sentimen agama, etnis, ideologi dan rasa nasionalis yang berbeda anata Palestina dan Israel, maka digunakan teori primordial dan teori nasionalisme. Dengan terjadinya konflik militer terbuka sejak tahun 1948 menunjukan bahwa konflik tersebut telah menjadi kekerasaan yang terorganisir, karena masing-masing pihak mempunyai sikap dan persepsi yang berbeda terhadap suatu masalah dan saling bermusuhan dan perlunya dimaksimalkan peranan negara-negara besar sebagai aktor internasional seperti AS dan sekutunya serta negara-negara Arab bagi kepentingan penyelesaian konflik tersebut sehingga dapat memperluas wilayah yang berhasil direbut dan dikuasainya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak dan menyelesaikan permasalahan yang berkepanjangan. Upaya-upaya tersebut kerap dilakukan melalui cara mediasi, melibatkan pihak ketiga untuk mencapai kompromi, dan mempertemukan kedua belah pihak dalam perundingan damai. Seperti berbagai upaya perundingan damai yang diprakrasai oleh negara-negara Arab di Timur Tengah antara lain Mesir, Arab Saudi, dan negera-negara yang tergabung dalam OKI, juga Amerika Serikat sejak tahun 1991. Namun kenyataanya, permasalahan tidak dapat diselesaikan. Hal ini disebabkan selain faktor sejarah dan politik, terdapat faktor religius yang ikut berperan dalam melatarbelakangi konflik. Paham zionisme bangsa Yahudi, yaitu paham semangat kebangsaann yang kental dilandasi oleh semangat keagamaan telah menyulut pula semangat keagamaan di pihak Palestina, terutama di kalangan umat Islam.
Kenyataan inilah yang sangat sulit untuk dapat dicarikan titik temu. Keadaan ini semakin bertambah rumit dengan adanya tumpang tindih kepentingan dari berbagai pihak yang ingin memainkan peran dan menanamkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah yang dalam perkembangan masalah ini khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainya.
Adapun teknik pengumpulan data penelitian ini, dilakukan dengan studi kepustakaan dari berbagai referensi, seperti buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, dan media lain yang relevan dengan penulisan buku ini.
Dalam menganalisis penulisan buku ini, digunakan deskriptif analisis dan historis yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena sosial tertentu, fakta (konflik Palestina dan Israel) yang terjadi dan bagaimana dengan fenomena lain. Sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif.
Buku ini kajiannya masuk ke dalam konteks sejarah agama. Untuk menjelaskan permasalahan, penulis buku ini menggunakan berbagai macam pendekatan. Sebagian buku ini memang hasil riset penulis dalam perkuliahan perbandingan agama dan studi agama-agama. Akan tetapi sebagian lain banyak diambil dari sumber-sumber sekunder, terutama dari buku dan riset sejarah yang dilakukan oleh peneliti lain. Meskipun demikian konstruksi ilmiah dari buku ini tetap berada dalam konstruksi penulis buku ini.
Buku ini tersusun menjadi tujuh bab. Bagian pertama berisi tentang pendahuluan. Pada bagian ini dilakukan analasis penelitian penulisan buku, dan alasan-alasan teori dalam penulisan buku.
Bagian kedua berisi Israel masa prasejarah, membahas tentang asal nama Israel, dan sejarahnya sampai masa kejayaan pada masa raja David (Daud) sampai masa kemunduran dan pembuangan (diaspora).
Bab tiga menceritakan berdirinya zionisme dan berdirinya negara Israel, seperti gerakan pembaharuan agama yahudi dan sejarah berdirinya gerakan Zionisme serta migrasi Yahudi dan berdirinya negara israel di Palestina.
Bagian empat membicarakan Palestina dalam lintas Sejarah, seperti sejarah awal Palestina dan sebelum kedatangan bangsa Arab, kemudian palestina masa Islam, peristiea perang salib dan pengaruhnya terhadap, dan palestina pada masa kekuasaan Turki Utsmani.
Bagian lima membahas tentang nasionalisme bangsa Palestina, seperti kebangkitan-nasionalisme bangsa Palestina, latar belakan berfirinya PLO, dan Hamas tentnag perjuanganya di Palestina.
Bab enam penulis membahas negara-negara Islam dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina seperti negara-negara di Arab, Mesir dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI).
Bab ke tujuh merupakan bab terakhir merupakan bab penutup, dan penulis menyimpulkan pemaparan yang dilakukan dari awal sampai akhir sehingga menarik suatu kesimpulan.

C.    Kesimpulan
Konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel melibatkan negara-negara Arab disebabkan oleh pendudukan wilayah Palestina dan negara-negara Arab oleh Israel. Mengkaji sejarah Israel, tidak terlepas dari sejarah Yahudi,  berawal sejak zaman Nabi Ibrahim yang mempunyai dua orang putra, yaitu Ismael dan Ishaq, kemudian keturunan Ishaq lahirlah Bani Israel. Ibrahim mampu tampil dengan revolusi pemikiran dengan melakukan protes terhadap tradisi masyarakat yang telah mapan.
Dalam perjalanan panjang sejarahnya, umat Yahudi merasakan masa-masa jaya seperti masa Daud dan Sulaiman. Namun pasca Sulaiman, mereka mengalami penjajahan, penindasan dan pengusiran (diaspora). Dalam masa pengasingan mereka tetap eksis, kemudian mampu menampilkan sebuah gerakan pembaruan yang lebih dikenal dengan gerakan Zionisme yang dicetuskan oleh Theodor Herzl. Melalui perjuangan Zionisme, Israel dibentuk menjadi sebuah negara. Mereka mngklaim Palestina sebagai wilayah leluhur mereka “tanah yang dijanjikan” Tuhan terhadap umat Yahudi.
Israel setelah memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat, maka selalu mendapat bantuan, perlindungan dan dorongan dari AS dan sekutunya, sehingga bisa tampil menjadi negara yang terkuat di kawasan Timur Tengah. Begbagai perundingan kedua belah pihak sebenarnya telah dilakukan tetapi selalu mengalami kebuntuan yang disebabkan oleh dukungan lobi pro-Israel di negara-negara Barat yang mempunyai hak veto dalam PBB, disamping itu lemahnya persatuan negara-negara Arab menambahkan kendala dalam penyelesaian konflik. Pengaruh kemerdekaan Palestina seperti HAMAS dan organisasi lainya yang sering tidak sepakat dengan kebijakan penguasa resmi Palestina PLO, memperpanjang masalah yang dihadapi Palestina.