Sunday, September 29, 2013

Asal-Usul Nama Indonesia

Rasanya aneh jika kita tidak mengetahui arti dan makna dari kata negara kita “Indonesia”. Berikut adalah penjabaran arti dari kata Indonesia: Asal-usul nama Indonesia.
Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia“. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische ArchipelIndian Archipelagol’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost IndieEast IndiesIndes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische ArchipelMalay Archipelagol’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820–1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.

Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879–1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah "Nusantara", suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819–1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl (1813–1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: “… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“. Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:…“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826–1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).

Identitas Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya:…“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.
Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama Nederlandsch-Indie, tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.
Nama “Indonesia” sebagai suatu negara dan bangsa baru muncul saat Soekarno–Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tgl 17 Agustus 1945. Kini Indonesia memasuki usianya yang ke-68 usia yang tidak muda lagi, apakah sudah terwujud cita-cita para pendiri negeri ini?
Sekian sekilas tentang paparan sejarah bangsa indonesia semoga kita tetap tergugah untuk melestarikan nilai-nilai sejarah dan asal-usul diri kita sebagai bangsa yang besar dan bisa memberikan efek positif terhadap motivasi diri para generasi kita kelak untuk tetap menjaga nilai-nila luhur bangsa ini.    
 
Arif Saefudin
Guru SMA Negeri 2 Purbalingga
Mahasiswa Pascasarjana UNS Solo 


Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/29/asal-usul-nama-indonesia-555953.html

Wednesday, September 25, 2013

Sejarah Singkat Purbalingga

Sebelumnya telah dibahas masalah asal nama Purbalingga, kali ini sejarah pendiri Purbalingga, dimulai dari sebuah nama, Kiai Arsantaka. Kiai Arsantaka adalah tokoh yang dipercaya sebagai bapak  yang menurunkan Bupati Purbalingga. Sumber sejarah yang jadi rujukan adalah Babad, Babad masuk dalam genre sastra sejarah yang berkembang di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia disebut dengan istilah hikayat, dan silsilah. Atau Tambo di Padang dan Lontara di Sulawesi Selatan.
Sejarah Purbalingga terdokumentasi dalam 4 (empat) babad berbeda, yaitu: (1) Babad Onje milik S Warnoto, dulu menjabat Carik atau Sekdes Onje, Kecamatan Mrebet-Purbalingga. (2), Babad Purbalingga, koleksi perpustakaan Museum Sonobudaya Yogyakarta. (3), Babad Jambukarang yang diterbitkan Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta tahun 1953. dan (4), adalah Babad Banyumas yang tersimpan di Museum Sonobudaya Yogyakarta. 
Menurut sejarahnya, Purbalingga ternyata pernah menduduki peranan penting pada masa kejayaan kerajaan tempo dulu. Nama Purbalingga erat dengan kisah kejayaan Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Kelima kerajaan itu secara bergantian pernah menguasai Purbalingga sebagai wilayah dudukan.
Berdasarkan bukti babad itulah kemudian sejarah Kabupaten Purbalingga direkontruksi. Kiai Arsantaka yang pada masa mudanya bernama Kiai Arsakusuma adalah putra dari Bupati Onje II. Sesudah dewasa diceritakan bahwa kiai Arsakusuma meninggalkan Kadipaten Onje untuk berkelana ke arah timur dan sesampainya di desa Masaran (Sekarang di Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara) diambil anak angkat oleh Kiai Wanakusuma yang masih anak keturunan Kiai Ageng Giring dari Mataram. 
Pada tahun 1740–1760, Kiai Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang termasuk wilayah desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Tumenggung Dipayuda I. 
Banyak riwayat yang menceritakan tentang heroisme dari Kiai Arsantaka antara lain ketika terjadi perang Jenar, yang merupakan bagian dari perang Mangkubumen, yakni sebuah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II dikarenakan Pangeran mangkubumi tidak puas terhadap sikap kakanya yang lemah terhadap kompeni Belanda. Dalam perang jenar ini, Kiai Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono II.
Dikarenakan jasa dari Kiai Arsantaka kepada Kadipaten Banyumas pada perang Jenar, maka Adipati banyumas R. Tumenggung Yudanegara mengangkat putra Kiai Arsantaka yang bernama Kiai Arsayuda menjadi menantu. Seiring dengan berjalannya waktu, maka putra Kiai Arsantaka yakni Kiai Arsayuda menjadi Tumenggung Karangwelas dan bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III. Masa masa pemerintahan Kiai Arsayuda dan atas saran dari ayahnya yakni Kiai Arsantaka yang bertindak sebagai penasihat, maka pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Purbalingga yang diikuti dengan pembangunan pendapa Kabupaten dan alun-alun.
Hal ini dibuktikan dengan kentalnya pengaruh kebudayaan pada masa itu terhadap sistem kebudayaan masyarakat Purbalingga. Pengaruh tersebut masih dapat dijumpai hingga sekarang. Ada yang berwujud peninggalan benda purbakala (artefak), berupa seni tradisi, sistem religi (upacara adat), dan sebagainya. Hari jadi Kabupaten Purbalingga telah ditetapkan melalui Peraturan daerah (Perda) No. 15 tahun 1996, tanggal 19 November 1996 yang jatuh pada tanggal 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 Je.

Monday, September 23, 2013

Memanah dengan "Busur" Kurikulum 2013


arifsae.com - Tahun ajaran baru 2013/2014 sudah bergulir 15 Juli 2013 kemarin, target awal yang direncanakan oleh Mendigbud, M. Nuh dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 pun meleset, konsep awal Kurikulum 2013 akan diterapkan pada sekolah pilot project seluruh kelas I dan IV untuk jenjang SD, kelas VII untuk tingkat SMP serta kelas X untuk jenjang SMA dan SMK. Setelah terjadi kendala dalam berbagai teknis dan analisnya, M. Nuh kemudian menurunkan target implementasi menjadi 102.453 sekolah seluruh Indonesia hingga akhirnya hanya terealisasi menjadi 6.325 sekolah saja.

Sekolah yang menjadi pilot project pun hanya yang ter akreditasi A dan eks RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Pertanyaan yang muncul adalah untuk masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan heterogen ini, apakah bisa diukur dengan sekolah-sekolah yang unggulan saja? Belum lagi kendala pendistribusian buku Kurikulum 2013 ke sekolah-sekolah yang menjadi pilot project tersebut (SM, 17/7/13).

Selain itu, ada masalah baru, yaitu 2000-an sekolah yang mengajukan diri mengimplementasikan Kurikulum 2013, meskipun ada anggaran ABPD, tentu tidak akan semulus membalikan telapak tangan, sekolah-sekolah itu akan menemui kendala anggaran dan konsep Kurikulum 2013 itu sendiri. Bila sekolah pilot project saja masih banyak mengalami kendala dan kebingungan, tentu sekolah yang mengusulkan akan lebih besar potensi kendala dan kebingungan tersebut.

Dalam proses implementasi Kurikulum 2013, masih banyak kendala teknis yang bisa dilihat dengan kasat mata. Kendala tersebut, bisa dilihat dari aspek pelatihan guru yang terkesan mepet dan instant, dari guru inti (4-8 Juli 2013) sampai guru sasaran (9-13 Juli 2013) hanya 10 hari pelatihan itu dilakukan. Kalau dalam persiapan guru saja sudah mepet dan instant, bagaimana dengan peserta didik yang akan menjadi targetnya? Jawabannya, ada pada diri seorang “pahlawan tanpa tanda jasa”, yaitu para Guru.

Guru dalam proses pembelajaran perananya sangat vital, bila ibarat orang mau memanah, guru adalah orang yang memegang panah, kurikulum adalah panahnya dan sasaran panahnya adalah peserta didik. Sebaik dan sebagus apa pun busur panah, kalau orangnya tidak menguasai strategi cara memanah yang baik, maka mustahil akan mengenai sasaran, meski pun busur panahnya sangat bagus. Bagaimana kalau busur panah sudah rusak, dan orang yang akan memanah tidak menguasai teknik-teknik memanah? Untuk dapat memanah dengan baik, maka perlu proses yang panjang dan latihan yang tidak instant.

Konsep yang lebih penting lagi selain proses latihan yang tidak instant adalah bagaimanan perubahan mindset dari guru pelaksana Kurikulum 2013 itu sendiri. Dalam realita yang ditemui, banyak guru sudah mengikuti pelatihan-pelatihan, workshop dan seminar-seminar lokal maupun nasional, tapi ketika sudah selesai, para guru akan kembali pada mindset awal, yaitu pembelajaaran konvensional yang terkesan membosankan. Guru-guru sudah tahu cara menggunakan metode pembelajaran yang berorientasi dengan progres untuk mencerdaskan peserta didik. Tapi, sebagain besar guru-guru enggan menerapkan hasil dari pelatihan-pelatihan yang diikutinya tersebut.

Guru kurang merasa diberikan fasilitas berupa gaji-gaji dan tunjangan-tunjangan dari pemerintah yang terbilang cukup besar, salah satu tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, tapi sebagian besar para guru belum mau menyisakan dari hasil gaji dan tunjanganya tersebut untuk membeli buku-buku tentang pendidikan dan pembelajaran, sehingga hasilnya adalah ajegnya kualitas dan kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. Tanpa pengetahuan yang aktual, mustahil guru akan mengikuti arus perkembangan zaman yang sangat cepat.

Perubahan yang diharapkan akan terwujud dengan proses yang panjang, bukan tiba-tiba atau ujug-ujug, sehingga guru nantinya tidak gagap dengan perubahan kurikulum. Perlu kesadaran dari dalam diri guru untuk merubah mindset nya sendiri, pelatihan, workshop dan seminar  sesering apa pun kalau tidak diimbangi dengan niat sungguh-sungguh untuk berubah dari dalam diri guru untuk meningkatkan kualitas dan kompetensinya maka semua akan sia-sia, terlebih hanya akan menghabiskan anggaran pemerintah saja.

Hambatan dan Harapan
Sasaran utama dalam perubahan kurikulum adalah peserta didik, substansi perubahan kurikulum bukan hanya menambah atau mengurangi mata pelajaran, tetapi yang lebih urgen adalah semangat perubahan untuk menuju manusia Indonesia yang mampu membawa identitas bangsa dan mampu bersaing di mancanegara.

Tantangan yang akan dihadapi oleh guru dalam Kurikulum 2013 ini tidaklah mudah, guru dituntut tidak hanya sekedar menyampaikan materi pada peserta didik, namun juga mengajarkan nilai-nilai positif untuk membangun karakter peserta didik, karena setiap kompetensi dalam Kurikulum 2013 sudah menekankan pada pengembangan karakter yang mulia bagi peserta didik, tinggal implementasi di lapangan dan harapan ada di pundak guru sebagai garda terdepan.

Kalau dicermati esensi dari Kurikulum 2013, ada perbedaan dari kurikulum sebelumnya, yaitu memperbaiki karakter peserta didik. Tapi, karena banyak perubahan dalam Kurikulum 2013 ini, kadang guru pelaksana mengalami kebingungan, misalnya, KI (Kompetensi Inti) dan KD (Kompetensi Dasar) di awal untuk semua kelas (X, XI XII) sama. Artinya, KI dan KD tersebut di ulang pada setiap tahunnya untuk semua kelas. Meskipun banyak yang kebingungan, secara keseluruhan, Kurikulum 2013 menekankan pada peran yang lebih besar dari peserta didik. Peran itu ditujukan untuk merubah paradigma lama yang menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran (teacher centered learning), dan menggantikan dengan paradigma baru yang memposisikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran (student centered learning).

Kurikulum 2013 mempunyai orientasi untuk menjadikan peserta didik cerdas, baik secara kognitif (kecerdasanya), afektif (sikap), maupun psikomotorik (ketrampilan) melalui penilaian berbasis tes dan portofolio yang saling melengkapi. Ketiga aspek tersebut menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh peserta didik, peserta didik yang kognitifnya baik, dituntut untuk meningkatkan kemampuan afektif dan psikomotornya juga, jadi peran guru sangat fital di Kurikulum 2013 ini, yaitu sebagai motivator, fasilitator, inspirator dan agen tranformator bagi peserta didik.

Walaupun Kurikulum 2013 sudah menanamkan nilai-nilai karakter, namun tetap harus diimbangi dengan tahap implementasi dalam realitasnya. Dalam esensinya, Kurikulum 2013 lebih peka dan tanggap terhadap perubahan yang terjadi pada tingkat lokal, nasional maupun global. Tapi, seyogyannya, konsep yang matang, pelatihan guru yang maksimal dan implementasi yang kontekstual bisa terwujud dalam Kurikulum 2013 ini, terlebih penting lagi adalah jangan sampai peserta didik hanya menjadi korban dari sebuah jargon “ganti menteri, ganti kurikulum”.. Semoga.
Arif Saefudin,
Guru SMA Negeri 2 Purbalingga
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS Solo