Saturday, November 30, 2013

Indonesia di Jajah Belanda 350 Tahun? Mitos!!!


Pada 5 Juni 1596, empat kapal Belanda mendekati pantai barat Sumatera. Delapan belas hari kemudian mereka mencapai pelabuhan Banten di Jawa Barat Daya. Baru saja mereka melempar jangkar, beberapa pedagang Portugis naik ke kapal untuk menghormati pendatang baru itu. Inilah cerita perjumpaan pertama antara orang Belanda dan Portugis di Hindia.
Keempat kapal Belanda itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman. De Houtman menghabiskan banyak tahun di Lisbon. Dia berlagak sangat paham segala hal yang berkaitan dengan Hindia dan tahu segala sesuatu tentang navigasi di perairan Timur. Pada dua perjalanan di Hindia, dia ternyata seorang pelagak dan bajingan. Tetapi, dia berhasil memperoleh dukungan dari sekelompok pedagang kaya di Amsterdam. Pedagang-pedagang ini yang memperlengkapi ekspedisi pertama ke Indonesia.
Keempat kapal De Houtman tersebut merupakan perintis dari armada besar yang akan datang. Bagi Indonesia (Hindia), mereka hanyalah pelawat yang datang dan pergi dan segera di lupakan. Mereka terlihat di Banten, tempat mereka menyepakati suatu perjanjian dengan Sultan. Inilah perjanjian pertama yang disepakati antara orang-orang Belanda itu dan Seorang raja Indonesia (Sultan Banten), yang isinya diantaranya sebagai berikut :
“Atas Rahmat Allah, Tuhan Kami, dan berkat kehendak kalian Tuan-tuan, bahwa kalian datang mengunjungi kami dengan empat kapal, dank arena kami melihat surat paten, yang oleh Yang Mulia Pangeran Maurits van Nassau dengan segala hormat telah diperintahkan untuk dipertunjukan kepada kami, yang dengan surat itu kami mengetahui bahwa Yang Mulia menawarkan segala persahabatan dan persekutuan dengan kami yang persahabatannya akan diteguhkan oleh kalian, kami sangat puas untuk menjalin persekutuan dan persahabatan yang langgeng dengan Yang Mulia Pangeran dan dengan kalian, tuan-tuan yang terhormat, dan kami bersumpah akan memelihara persahabatan dan persekutuan ini dan untuk memerintahkan semua rakyat kami untuk melakukan hal yang sama.” (himpunan perjanjian antara perwakilan Belanda dan raja-raja Indonesia yang ditemukan dalam “ Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum)
Ekspedisi de Houtman hanya memberikan keuntungan kecil, meskipun demikian mereka mengerti bahwa satu ekspedisi baru dibawah kepemimpinan yang lebih baik bisa membawa keberhasilan.
Segera setelah De Houtman pulang, para pemilik kapal Amsterdam memperlengkapi armada kedua, kali ini dengan delapan kapal. Kelompok pedagang lain mengikuti contoh mereka, dan dalam tahun 1598 saja lima ekspedisi, dengan jumlah total 22 kapal, meninggalkan Belanda menuju Asia bagian Timur. Tiga belas kapal mengambil rute mengelilingi Tanjung Harapan, sementara sembilan mencoba lewat jalur Selat Magellan. Pada tahun 1601 empat ekspedisi pergi ke Indonesia. Kecuali satu, semua ekspedisi ini tidak punya tujuan lain kecuali berdagang. Hanya Van Noort yang membuat pelayaran keliling dunianya jadi perampokan, yang sangat merugikan Spanyol.
Inilah sekilas cerita sejarah tentang kedatangan ekpsedisi armada perdagangan Belanda yang singgah ke dataran Hindia (Indonesia). Lalu darimana argumentasi bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 3,5 Abad atau 350 tahun ?????
Bila hitungannya 1596 – 1945 adalah 3,5 abad artinya : “ Begitu pelaut dan pedagang avonturir Cornelis de Houtman mendarat di Banten, dengan serta merta Kepulauan Indonesia jatuh ke bawah kekuasaannya”….

Inilah sejarah yang aneh ???
Prof. Taufik Abdullah dalam pidato penganugrahan kepada Prof. Mr. G.J. Resink sebagai anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) tanggal 10 November 1996 mengatakan bahwa “… jasa Prof. Resink yang terpenting adalah dalam lapangan metodologi sejarah. Ia memperkenalkan pendekatan hukum Internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme….. Dari penelitiannya ia sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tidak lebih dari mitos politik belaka yang tidak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah”.
Yang menjadi pertanyaan mengapa hal tersebut masih tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah dan sering disebut dalam pidato-pidato ????


Sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/02/16/mitos-penjajahan-350-tahun/

Thursday, November 28, 2013

Perlawanan Islam Terhadap Penjajahan Belanda


B.C. de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1931-1936), mengatakan: “Wij zijn hier al drie honderd jaren en wij zal nog meer dan drie honderd jaren hier blijven,” artinya “Kita sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kita akan masih tiga ratus tahun lagi berada di sini.” Jelaslah bahwa penjajahan Belanda sudah berlangsung tiga abad lamanya adalah pernyataan politis. Dalam buku Indonesia’s History Between the Myths, Essays in Legal History Between the Myths, 1968, sarjana hukum Prof. Dr. G. J. Resink, dengan bukti-bukti hukum dan lain-lainnya yang mengesankan, delapan kajian tentang kekeliruan bahwa “salah satu mitos utama Sejarah Indonesia adalah mitos yang menyatakan selama tiga ratus lima puluh tahun kepulauan Nusantara dikuasai oleh Belanda.” Secara akurat beliau menentang mitos itu dengan memberikan gambaran kepulauan Nusantara terdiri atas beberapa negara merdeka atau setengah merdeka bahkan sampai dasawarsa pertama abad keduapuluh.
Dari kepulauan Nusantara, yang dihuni oleh satu bangsa, satu darah dan satu keturunan, satu budaya dan satu bahasa, jatuh ke dalam kekuasaan empat kerajaan asing, yaitu Portugis (Timor), Sepanyol (Filipina), Inggeris (Malaka, Brunai/Sarawak) , dan Belanda (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat (Papua). Mereka tukar-menukar daerah seperti menukar barang dagangan seperti Nieuw Amsterdam (New York) oleh Belanda ditukar dengan Suriname dan Pulau Run milik Inggeris di kepulauan Banda. Pada tahun 1824 diadakan perjanjian antara Inggeris dan Belanda. Inggeris menyerahkan haknya atas Bengkulu (yang mereka namakan Bencoolen) dan Belitung (yang mereka namakan Billiton) kepada Belanda. Sultan Riau menyerahkan Singapura kepada Inggeris, yang semula dikuasai oleh Belanda, dan pada gilirannya oleh Belanda ditukar dengan Bengkulu.
Demikianlah Indonesia, pada awal abad keduapuluh ditaklukkan dan dibagi-bagi oleh bangsa-bangsa Barat. Kendatipun begitu, bukan berarti bahwa Indonesia telah jatuh ke tangan penjajah seakan-akan sangat mudah. Sejarah Indonesia pada zaman atau pada masa-masa kegelapan penjajahan, adalah pula berabad-abad perang kemerdekaan untuk melawan penjajahan yang berkecamuk di seluruh pelosok serta penjuru Tanah Air kita yang tercinta, silih berganti.
Hampir seluruh pemberontakan terhadap penguasa Belanda di Nusantara ini terus menerus digerakkan oleh semangat Islam yang tidak pernah tinggal diam melihat penindasan dan kemunkaran lainnya.
Antara lain kita mengenal peristiwa Batavia dikepungan digempur oleh Sultan Agung (1613-1645), Perang Makassar (1633-1669), Perang Trunojoyo dan Karaeng Dalesong (1675-1680), Perang Palembang (1818-1821), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), Perang Aceh (1875-1903), serta banyak lagi perlawanan dan pemberontakkan kecil yang tidak disebutkan sejarah. Dalam bermacam peperangan ini telah tertawan dan gugur sebagai pahlawan bangsa serta syuhada karena jihad fi sabilillah, tokoh-tokoh seperti Sultan Hasa nuddin, Trunojoyo, Karaeng Galesong, Untung Suropati, Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Panglima Polem, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan pengikut-pengikutnya yang tidak bisa disebut satu per satu.
Pemerintah kolonial Belanda yang memang menjajah Indonesia untuk tujuan menguras habis kekayaan Indonesia, demi kepentingan kemakmuran bangsanya, teramat sadar bahwa pola penindasan dan penghisapan terhadap pribumi Indonesia mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan Islam, karena itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Tidak ada kekuatan yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ini kecuali kebangkitan Islam yang didukung oleh rakyat. Ahli-ahli orientalis Belanda sudah lama tahu bahwa kebangkitan Islam berarti bangkitnya kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan, ini berarti perlawanan terhadap penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda dari pengalamannya sadar bahwa tidak bisa memisahkan antara militansi perlawanan rakyat pribumi dengan Islam. Islam dan rakyat Indonesia seperti ruh dengan badan. Islam dan rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.
Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), dan Perang Aceh (1875-1903), menyebabkan kas Hindia Belanda nyaris bangkrut.Ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Setelah berbagai perlawanan rakyat (Umat Islam) dipadamkan, maka pada giliran berikutnya pemerintah kolonial Belanda berusaha memojokkan peranan Islam di bidang politik untuk mencegah perlawanan rakyat.

sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/30/perlawanan-gerakan-islam-terhadap-penjajahan-belanda/

Thursday, November 21, 2013

Akulturasi budaya Islam dan masyarakat Jawa


Seperti yang telah kita ketahui, bahwasanya setiap Negara, lingkup masyarakat yang berbeda, bahkan suku yang berbeda akan memiliki budaya yang berbeda pula, seperti teori dualis berbedanya antar budaya timur dan barat. Bahkan di antara kedua budaya tersebut memiliki sangatlah banyak perbedaan yang signifikan. Jika kita sekali lagi sedikit mengulas tentang “akulturasi” di antara kedua budaya tersebut, maka tak kunjung habis pertanyaan yang akan terlontar, semisal tentang perbedaan budaya budaya yang kerap kita sadari maupun tidak, dan bagaimana perbedaan tersebut dapat bersatu dengan damai dan serasi tanpa menghilangkan unsur unsur asli dari kedua budaya tersebut.
Oleh karena itu untuk lebih memahami tentang “akulturasi” ataupun perpaduan antar budaya, hendaknya kita mengkaji dengan lingkup yang lebih sempit, dan tentunya hal yang dekat dengan kita baik yang kita sadari maupun tidak. Contohnya kebudayaan dalam Negara Indonesia, dalam cakupan budaya Indonesia banyak terdapat perbedaan budaya antar satu wilayah dengan wilayah lainnya, antar satu pulau dengan pulau lainnya, tak terkecuali dengan agama yang terdapat di Indonesia. Di Indonesia pada dasarnya masyarakatnya adalah heterogen, beda dalam hal agama,warna kulit, bahasa, serta ras. Sebagian besar masyarakat di Indonesia memeluk agama islam, dan sebagian besarnya pula yang menetap di pulau Jawa. Pada layaknya pemeluk agama Islam pada umumnya, akan melaksanakan ibadah puasa di saat bulan ramdhan tiba, dan di tutup dengan ritual ibadah idul fitri, atau dengan kata lain adalah kembali fitrah ataupun suci. Dikenal dengan istilah lebaran oleh masyarakat Jawa.
Pada saat lebaran kita melakukan halal bi halal ataupun adat saling berjabat tangan dengan tujuan saling memaafkan satu sama lain atas kesalahan di masa lampau yang telah di perbuat, istilah lebaran dan halal bi halal ini secara tidak langsung menggelitik pemikiran saya dan mungkin juga sebagian masyarakat lainnya, apakah di setiap Negara yang memiliki warga pemeluk agama islam mengetahui dan melakukan istilah tersebut?
Berdasarkan artikel yang tidak sengaja say abaca beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah fakta bahwa di Negara islam jazirah Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia tentunya), setelah ummat muslim melaksanakan shalat idul fitri tidak terdapat tradisi saling berjabat tangan secara missal yntuk saling memaafkan. Begitu pula dengan istilah “lebaran”, tidak ada satupun Negara yang memakai istilah tersebut kecuali Indonesia, terutama masyarakat Jawa.
Maka pertanyaan berikutnya yang timbul adalah “lalu darimanakah istilah tersebut, dan apakah pemicu munculnya tradisi tersebut,  terutama pada masyarakat jawa?”
Menurut ajaran agama islam dalam sanad apapun, ummat muslim wajib hukumnya untuk saling tolong menolong maupun memaafkan antar satu dengan lainnya. Dan ritual saling memaafkan (berjabat tangan) tersebut bukanlah hanya di lakukan pada saat idul fitri semata, tapi hendaknya di lakukan ritual tersebut segera ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan terhadap individu yang bersangkutan.
Sedangkan saling berjabat tangan dalam ritual “lebaran” tidak lain dan tidak bukan hanyalah bentuk dari rasa akrab sesame rekan maupun family guna meminta maaf apabila terdapat kesalahan yang belum termaafkan sewaktu itu,
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lebaran merupakan hari raya ummat islam yang jatuh pada tanggal 1 syawwal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Dan setelah banyak berbincang dengan beberapa mahasiswa non-jawa yang saya kenal, dapat di simpulkan bahwasanya istilah “lebaran” itu hanya kerap di kenal seantero masyarakat jawa saja,
Namun, apakah istilah lebaran semata adalah bahasa jawa? Lalu mengapa kata lebaran dapat kita temukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia? Apakah itu merupakan pengadopsian bahasa dari bahasa asing?
Kembali lagi kepada hasil survey terhadap beberapa orang tua yang asli bersuku jawa, mereka beranggapan bahwa istilah kata “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa jawa “wis bar” yang mana artinya adalah “sudah selesai”, maksud dari pendapat di atas adalah selesai menunaikan ibadah puasa. Dalam bahasa jawa banyak terdapat imbuhan “an” pada akhir suatu kata kerja. Semisal penguunaan “an” dalam kata “bubar” yang menjadi “bubaran” dalam konteks jamak.
Kata “bar” sendiri adalah perpendekan kata dari kata “lebar” yang artinya adalah selesai, semisal kata “wis bar” yang berarti “wis bubar” atau “sampun lebar” maka dari sinilah kata “lebaran” yang umum kita kenal selama ini. Selain lebaran ada suatu budaya dalam masyarakat jawa yang di kenal dengan sebutan sungkem, yaitu berjabat tanan sembari mencium tangan orang tua maupun orang yang lebih tua dari diri kita, bukan berjabat tangan seperti pada sebaya kita umumnya. Berdasarkan tradisi adat jawa, sungkem sebagai lambing permohonan maaf dan doa restu, dasarnya masyarakat jawa sangat menghormati dan menjunjung tinggi orang yang lebih tua dari mereka, karena mereka telah merasakan pahit getirnya kehidupan, atau sering kita kenal sebagai “banyak makan garam”. Sungkem sering kita dapati sebagai pra syarat proses ijab-qobulnya suatu pernikahan, maupun ketika halal bihalal seusai ibadah idul fitri. Jadi apakah ini adat jawa secara murni ataukah akulturasi budaya dengan ajaran islam?
Terdapat pula akulturasi tentang penggunaan kata pengganti “selamat siang, selamat pagi, maupun selamat malam” pada masyarakat pada umumnya dan telah familiar di telinga kita, yaitu dengan kata “assalamualaikum”, tidak sedikit masyarakat yang bukan islam pun mengerti dan menggunakan dalam kehidupan keseharian mereka, “assalamualaikum” kerap di gunakan bagi kaum muslim untuk menyapa sesame muslim, yang berarti “keselamatan tercurah kepada anda”. Jadi, bukankah telah terjadi banyak perpaduan budaya pada Negara tercinta ini?
Bukan hanya pada adat dan kebiasaan, bahkan mengenai kepercayaan pun banyak mengalami akulturasi. Semisal peringatan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dengan memperingati 3, 40, 100 serta ke1000 harinya. Tradisi ini sesungguhnya berasal dari masyarakat pemeluk agama Buddha dalam memperingati kematian seseorang, baik family maupun kerabat dekatnya, entah bagaimana bisa masyarakat islam di Indonesia mengadopsi kebiasaan tersebut.
Dari zaman awal ketika islam memasuki jazirah kepulauan Indonesia, para pemuka agama waktu itu atau kerap kita sebut sebagai 9 wali (wali songo), memasukkan nilai nilai ajaran dalam islam pada budaya, adat dan kebiasaan keseharian mereka. Semisal lagu, permainan alat musik, kesenian setempat semisal wayang kulit, bela diri dan masih banyak yang lainnya. Mungkin itu adalah salah satu penyebab betapa variannya akulturasi budaya yang tercipta di Indonesia.
Jika kita mengkaji lebih jauh, saya yakin permasalahan ini tak akan menemui titik akhir, baik dari hal yang paling mencolok maupun yang sepele sekalipun, sesuatu yang jarang di sadari oleh masyarakat kita, dari budaya opor ayam dan ketupat ketika lebaran, yasin dan tahlil, istighosah, serta masih banyak hal menarik yang tak kujung usai bila kita kaji.
Kesimpulannya mengenai uraian uraian yang telah kita bahas tersebut, begitu banyak budaya yang telah mendarah daging di kehidupan kita namun tak kita sadari benarkan budaya yang kita lestarikan ataupun sebuah akulturasi yang mengalami pergeseran orisinalitas budaya, perpaduan ataupun sebuah dogma murni?
Bagaimanapun juga, akulturasi budaya akan selalu menjadi indah bilamana tidak ada yang mempersalahkan di dalamnya, serasi, damai dan di terima pada masyarakat tentunya. Karena perbedaan adalah salah satu anugrah terindah yang di berikan Allah kepada kita, hanya bagaimana kita mampu menikmati dan mensyukurinya menurut perspektif pemahahaman diri kita masing masing.

Sumber: http://fannybeearchi.wordpress.com/2012/04/10/akulturasi-antara-budaya-islam-dan-keseharian-masyarakat-jawa/



Saturday, November 16, 2013

Cirebon: Gerbang Dakwah Islam Jawa Barat



Pada tahun 1416 M, armada angkatan laut Cina mengadakan pelayaran keliling, atas perintah Kaisar Cheng-Hu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam seorang muslim. Dalam rombongan armadanya, terdapat seorang Ulama Islam bernama Syekh Hasanudin berasal dari Campa, bermaksud berdakwah di Jawa. Dalam pelayaran menuju Majapahit, armada Cheng Ho singgah di Pura, Karawang. Ketika armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Hasanudin dan pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang bernama Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.
Syekh Bentong selanjutnya tinggal di Gresik  menjadi Saudagar dan da’i. Dari istrinya Siu Te Yo, ia mempunyai seorang puteri diberi nama Siu Ban Ci, puteri ini yang diperistri oleh Prabu Brawijaya Kertabumi Raja Majapahit. Dari perkawinannya dengan Siu Ban Cin, memperoleh putera yang diberi nama Jin Bun oleh Kakeknya. Jin Bun alias Praba alias Raden Hasan alias Raden Fatah selanjutnya menjadi Senapati Jin Bun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sajidin Panatagama ( lihat pembahasan sebelumnya)
Kembali ke Syekh Hasanudin, setelah beberapa lama tinggal di Pura Karawang, berjodoh dengan Ratna Sondari, puteri penguasa daerah Pura Karawang, yaitu Ki Gedeng Karawang. Dari perkawinannya memperoleh putera yang kemudian dikenal sebagai Syekh Ahmad yang menjadi penghulu (na’ib) pertama di Karawang.
Seijin Ki Gedeng Karawang, juga atas ijin Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana penguasa kerajaan Sunda Padjadjaran, Syekh Hasanudin beserta pengiringnya mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro (diberi nama demikian karena mengutamakan pendidikan Al-Qur’an), sehingga ia pun dikenal dengan Syekh Quro. Pondok Quro menjadi pesantren tertua di Jawa Barat.
Dari kedatangan Syekh Hasanudin di Pura Karawang sekitar tahun 1416 M, dan perjalanan Syekh Bentong yang menjadi bagian gerakan dakwah Sunan Ampel. Bisa disimpulkan gerakan dakwah di wilayah Jawa Timur dan Wilayah Jawa Barat berada pada satu masa yang sama.
Pesantren tertua lainnya terletak di kaki Bukit Amparan Jati yang disebut Pondok Quro Amparan Jati, yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi. Syekh Datuk Kahfi adalah Cucu dari Syekh Maulana Ishak yang bergelar Syekh Awalul Islam alias Syekh Wali Lanang.  Syekh Datuk Kahfi datang ke Cirebon hampir bersamaan waktunya dengan Syekh Hasanudin yaitu sekitar tahun 1400-an. Di antara murid Pondok Quro yang menuntut Ilmu yaitu Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang cucu Ki Gedeng Tapa, penguasa Kerajaan Singapura Muara Jati Cirebon. Oleh Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang diberi nama panggilan baru Samadullah.
Atas perintah gurunya Samadullah ditugaskan untuk membuka perkampungan baru untuk mengsyi’arkan Islam. Selanjutnya Samadullah pada tahun 1445 M dengan dibantu oleh 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir yang diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pesisir. (sekarang tempat itu dikenal dengan desa Lemahwungkuk, Kodia Cirebon) Samadullah terpilih menjadi Pangraksabumi dengan julukan Ki Cakrabumi dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.
Selanjutnya Samadullah menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama 3 bulan berguru kepada Syekh Abdul Yazid, syekh ini memberi nama baru Haji Abdullah Iman. Sekembalinya ke Cirebon Haji Abdullah Iman terpilih menjadi kuwu kedua di Cirebon Larang dan mendirikan keraton yang diberi nama Keraton Pakungwati, serta membentuk tentara kerajaan. Cirebon Larang dengan Keraton Pakungwati menjadi kerajaan Islam pertama di wilayah Kerajaan Padjadjaran, dengan Haji Abdullah Iman sebagai raja daerah dengan gelar Sri Mangana. Pada saat Pangeran Cakrabuana alias Ki Samadullah, Keraton Pakungwati Cirebon masih dalam kekuasaan Padjadjaran.

Sumber: Serba sejarah