Wednesday, December 16, 2015

PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTIKORUPSI DI RUMAH HINGGA SEKOLAH

Oleh: Arif Saefudin[1]
Indonesia akhir tahun 2015 jumlah penduduknya sudah melebihi 250 juta jiwa,[2] dengan jumlah penduduk sebanyak itu, Indonesia termasuk kedalam negara dengan populasi terbesar di dunia. Meskipun dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, tingkat ‘kebersihan’ dari korupsinya terbilang masih rendah. Menurut laporan terbaru dari Transparency International (TI) yang menyebut bahwa rangking Indonesia masih menempati posisi bawah untuk negara terbersih dari korupsi. Tahun 2014, Indonesia berada diperingkat 107 dari 177 bersama Argentina. Menempati peringkat ke-107, artinya Indonesia memiliki skor 34 dengan skala 0-100. Bahkan tahun 1999, Indonesia pernah menempati 5 besar negara paling korup didunia. Sedangkan 3 besar negara dengan predikat paling bersih korupsi adalah Denmark (92), Selandia Baru (91), dan Finlandia (89).[3] 
     Fakta tersebut menunjukan bahwa tantangan bangsa Indonesia untuk membrangus korupsi masih terus berlajut. Saat ini, sadar atau tidak sadar, korupsi sudah merasuk kesegala sendi-sendi kehidupan bangsa kita. Perilaku dan tabiat ini sangat susah luar biasa ditanggulangi, perlu upaya luar biasa juga untuk membrangusnya dari bumi Indonesia. Salah satu langkah awal Indonesia untuk menanggulangi korupsi dengan membentuk Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) tahun 2002. Lembaga ini sudah memberikan harapan besar pada rakyat Indonesia untuk membrantas korupsi. Dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif pernah merasakan ‘baju khas’ KPK itu, meskipun begitu, KPK tidak bisa bekerja sendiri, karena lembaga ini hanya terfokus pada korupsi puncak ‘Gunung Es’. Untuk korupsi yang ‘recehan’ belum tersentuh.
     Kita pasti sepakat bahwa para foundingfather kita untuk mengumandangkan proklamasi tidaklah mudah. Pengorbanan harta benda, jiwa dan raga sudah tidak terhitung jumlahnya. Kini sudah 70 tahun Indonesia menghirup udara kebebasan, pertanyaan dibenak kita adalah mau sampai kapan kita akan menunggu negara Indonesia ‘hancur’ karena korupsi? Dimana letak kesalahan kita sampai Indonesia menempati negara terkorup nomor 107 dari 177 negara didunia? Pembrantasan korupsi yang dilakukan harus mengena semua, tidak hanya kelas ‘kakap’, tapi juga korupsi kelas ‘teri’. Memang pekerjaan yang maha berat, tapi bukan tidak mungkin, bila upaya preventifnya kita temukan, maka ‘bibit-bibit’ korupsi akan tertanggulangi. Apa usaha preventifnya? Usaha preventif itu justru ada disekitar kita, yaitu terletak dirumah dan sekolah kita.

Mengasuh Antikorupsi di Rumah
Keluarga adalah tempat pertama seorang anak mengenyam pendidikan dan pondasi awal dalam pembentukan karakter anak. Ibarat sebuah rumah, bangunan yang pertama kali dibuat adalah pondasi rumah, pondasi yang kuat akan membuat rumah tidak mudah roboh meski diterjang angin kencang. Dirumah juga merupakan penanaman ideologi seseorang terbentuk pertama kalinya. Oleh karena itu, keluarga menjadi alat yang sangat efektif dan sangat fundamental dalam menumbuhkan budaya antikorupsi di Indonesia.
     Bila melihat peran keluarga dalam membentuk karakter seseorang, maka semua anggota keluarga mempunyai andil yang sama. Peran ayah dan ibu sebagai otoritas tertinggi dalam rumah tangga menjadi sangat sentral, terutama peran ibu, karena sebagian waktu anak dihabiskan dirumah. Dari keluarga, penanaman nilai-nilai karakter termasuk didalamnya nilai kejujuran dan antikorupsi diteladani anak dari perilaku orang tuannya. Seperti cerita yang dituturkan oleh Ketua KPK non aktif, Abraham Samad, yang ‘mencuri’ kapur tulis berjumlah 5 batang, tapi ketika ibunya tahu, kapur yang ‘hanya’ berjumlah 5 batang itu harus dikembalikan karena untuk membelinya memakai uang negara.[4] Bagi generasi muda sekarang mungkin hal itu sepele, tapi hal-hal sepele itulah yang membentuk karakter orang-orang besar didunia.
     Kisah pendidikan antikorupsi yang dilakukan dirumah juga diceritakan oleh Mutia Hatta, anak sulung Bung Hatta. Beliau mengisahkan kalau mobil RI-2 hanya dipakai oleh ayahnya, termasuk ibunya pun tidak diperbolehkan menaiki mobil RI-2, kecuali untuk acara kenegaraan.[5] Selain itu sikap jujur dan menepati janji juga harus menjadi pondasi dalam pendidikan antikorupsi di rumah. Seperti kelanjutan kisah dari Mutia Hatta tadi, bahwa Bung Hatta mengajarkan kejujuran dan selalu menepati janjinya, karena Bung Hatta tidak pernah menjanjikan sesuatu kalau memang hal itu tidak dapat direalisasikan.
     Pola asuh antikorupsi ini lebih lengkap bila diimbangi dengan sikap hidup sederhana meskipun serba ada. Kesederhanaan ini yang menjadi ‘benteng’ bila diserang dengan serangan-serangan uang, karena bila orang bersikap sederhana tentu akan berimbas pada rasa syukur dan cukup terhadap rezki yang sudah diberikan Tuhan yang Maha Esa. Tentu kita tidak meragukan besarnya gaji-gaji birokrat tingkat pusat, dari ratusan juta hingga milyaran[6] tapi kenapa mereka masih saja mau menerima uang hasil korupsi? Jawabanya karena mereka tidak mempunyai rasa syukur dan rasa cukup terhadap gaji dan penghasilan yang sudah mereka dapatkan sebagai abdi negara.
     Hal ini bertolak belakang dengan pendidikan yang dilakukan oleh orang-orang besar didunia, misalkan kisah dari Soichiro Honda, pendiri dari Honda Motor Jepang, yang tidak mau memberikan warisan pada anak-anaknya, kecuali memberikan bekal kepada anak-anaknya untuk sanggup berusaha sendiri. Padahal Soichira mempunyai 43 perusahaan di 28 negara, dan yang lebih mencengankan lagi adalah, Soichiro lebih memilih untuk tinggal dirumah yang sederhana. Hal ini bisa dimaklumi, karena masa kecil Soichiro penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan, ayahnya saja hanya seorang pandai bersi yang mengelola bengkel reperasi sepeda.[7]
     Sayangnya, di Indonesia masih banyak keluarga yang tidak menerapkan pola asuh antikorupsi dan kesederhanaan dalam rumahnya. Hal ini terlihat sangat jelas dari budaya korupsi berbagai ‘versi’, budaya korupsi versi lain ini justru diajarkan orang tua yang mungkin tanpa mereka sadari, mereka mendahului dengan seringnya mengajari berbohong terhadap anak-anaknya, misalkan, ketika ada tamu yang datang kerumah, si anak disuruh untuk mengatakan bahwa ‘ayahnya tidak dirumah’ padahal jelas-jelas ayahnya ada dan bersama anaknya dirumah. Contoh yang lain, misalkan anak sedang menangis, maka orang tuannya akan berbohong untuk menghentikan tangisannya, mereka berbohong ada ‘orang gila’ atau ‘ada hantu’. Perilaku dan kebohongan-kebohongan kecil ini yang justru mengajarkan kepada anak bahwa bohong itu hal yang biasa dan diperbolehkan.
     Setelah melihat contoh-contoh kejadian nyata diatas, kunci keberhasilan dari penanaman antikorupsi di rumah adalah dengan sifat ketauladanan, kesederhanaan dan kejujuran dari orang tuanya. Sifat-sifat ini sangat penting diimplementasikan dirumah, karena tidak semua orang tua ‘mampu’ melakukannya. Kebanyakan orang tua bila memberikan nasihat yang baik untuk anaknya mungkin semua orang tua bisa melakukan itu, tapi memberikan contoh yang nyata dari perilaku orang tua memang sangat berat tapi hal ini merupakan keharusan dan jurus yang ampuh untuk mendidik anak sejak dini mengenal kejujuran dan keteladanan sehingga secara tidak langsung mengajarkan anak prilaku antikorupsi.
    
Sekolah Antikorupsi di Sekolah
Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak, karena dalam kurun waktu 6-10 jam  sehari mereka berada dilingkungan sekolah. Selain rumah, sekolah bisa menjadi tempat berseminya budaya antikorupsi, hal ini bisa dilakukan dengan pendidikan karakter melalui pembentukan soft sklills para peserta didik. Robert K Cooper, mengatakan bahwa apa yang mereka tinggalkan dibelakang dan acapkali mereka lupakan adalah aspek ‘hati’ atau kecerdasan emosi (EQ) dan aspek ‘ilahi’ kecerdasan spiritual (SQ).[8] Keseimbangan antara aspek IQ, EQ bahkan SQ ini yang menyebabkan Finlandia menjadi negara percontohan dalam dunia pendidikan didunia.
     Sistem pendidikan yang dilaksanakan di Finlandia tidak mengenal anak ‘pintar’ dan anak ‘bodoh’. Mereka tidak pernah dipaksa untuk menguasai materi tertentu, tapi mengarahkan potensi dan bakat yang ada pada seorang anak tanpa ada pemaksaan apapun. Disana juga tidak pernah ada perangkingan, selain itu, setiap kelas harus terisi maksimal 16 peserta didik, sehingga pembelajaran lebih intensif dan maksimal. Dan yang terpenting di Finlandia adalah pendidikan disemua jenjang gratis, benar-benar gratis tanpa dipungut biaya apapun. Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan kita?
     Bila melihat fakta dunia pendidikan kita sekarang, rasanya masih jauh api dari panggangnya untuk menjadikan EQ dan SQ menjadi prioritas utama dalam pembentukan karakter peserta didik. Dari sistem pendidikan saja, Indonesia menempati salah satu peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada disalah satu posisi bawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Denmark.[9] Itulah kenapa, negara Finlandia dan Denmark termasuk tiga besar negara terbersih dari korupsi didunia.
     Data diatas membuktikan bahwa dunia pendidikan kita masih tertinggal dan dalam keadaan yang stagnan. Bahkan Mendikbud, Anies Baswedan mengatakan “Peserta didik hidup di abad ke-21, guru-gurunya hidup dan memperoleh pendidikan dari abad ke-20, tapi ternyata, cara mengajar dan setting sekolah masih menggunakan pola abad ke-19”. Artinya, masih banyak guru-guru yang mengajar dengan cara konvensional dan hanya berorientasi pada nilai-nilai angka dan meninggalkan makna. Termasuk didalamnya budaya ‘kolonial’ yang masih ditemui, yaitu budaya korupsi.
     Sudah menjadi rahasia umum bahwa dilingkungan sekolah pun korupsi masih tetap dengan mudah ditemui, dari penerimaan peserta didik baru sampai lulus, dari guru hingga peserta didik. Contoh kecil korupsi yang dilakukan oleh guru yaitu ‘korupsi waktu’ yang dilakukan ketika bel sudah masuk, tapi guru masuk kekelas 10-20 menit setelah bel. Belum lagi ‘korupsi nilai’, demi untuk memudahkan peserta didiknya lolos SNMPTN pihak sekolah rela ‘merevisi’ nila-nilai rapotnya. Sedangkan korupsi yang dilakukan oleh peserta didik misalkan dengan ‘korupsi mencontek’. Mereka rela melakukan segala sesuatu asalkan nilainya bagus, tanpa melihat proses memperoleh nilai itu didapat dari mencontek ataukah kejujuran. Dunia pendidikan kita (masih) tidak menghargai proses, sehingga para pelakunya pun lebih mementingkan sifat pragmatisme, kemudian yang baik dan yang kurang baik akan tercampur, dan pastinya yang baik lama-lama akan terseret kedalam kondisi yang kurang baik.
     Sebetulnya pemerintah sudah berusaha untuk memasukan ‘doktrin’ antikorusi disekolah sejak tahun 2004 lewat Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, pada bagian Diktum ke-11 (Instruksi Khusus) poin ke 7 pemerintah sudah menginstruksikan kepada Menteri Pendidikan untuk mengadakan pendidikan yang berasaskan semangat dan sikap antikorupsi. Dari Kurikulum 2006 hingga 2013 yang sekarang diimplementasikan sebetulnya sudah mengarahkan peserta didik untuk mengarah kedalam pendidikan antikorupsi, tapi sebagus apapun kurikulum kalau guru yang menjadi ‘ujung tombak’ pendidikan tidak mau merubah mindset nya maka kurikulum yang sekarang akan percuma. Kita harus sedikit belajar dari negara-negara yang berhasil menurunkan angka korupsi dengan cara pendidikan.
     Selain Finlandia, contoh ‘negara’ yang telah melaksanakan pendidikan antikorupsi di sekolah dan telah menunjukan hasil yang signifikan adalah Hongkong.[10] Hongkong melaksanakannya semenjak tahun 1974 dan menunjukan hasil yang luar biasa. Jika tahun 1974 Hongkong adalah ‘negara’ yang sangat korup dan korupsi dideskripsikan dengan kalimat from the womb to tomb, maka saat ini Hongkong adalah salah satu kota besar di Asia dan menjadi kota terbersih ke-15 di dunia.[11] Keberhasilan ini tidak terlepas dari efek simultan dan upaya pemberantasan korupsi dari segala segi kehidupan, termasuk pendidikan antikorupsi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah secara formal dengan didukung oleh kualitas guru yang memadai. Indonesia sendiri pada tahun 1999 menempati posisi 5 besar negara terkorup, sedangkan tahun 2014 indonesia menempati posisi 107 dari 177 negara, artinya bangsa kita bisa berubah kearah yang lebih baik. Terlebih bagi seorang pendidik, tugas kita untuk melanjutkan perubahan itu, dengan cara membumikan budaya antikorupsi disekolah-sekolah.

Menyemai Generasi Antikorupsi
     Bulan November kemarin rakyat Indonesia dengan bangga merayakan hari pahlawan, kita bisa merefleksikan diri tentang perjuangan para patriot bangsa untuk mengusir para penjajah. Mereka rela berkorban nyawa demi menegakan panji-panji kemerdekaan ditanah Indoenesia. Sudah tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang jatuh dari pihak Indonesia. Maka tidak heran, sebagian pahlawan nasional merupakan mereka yang berani mengangkat senjata untuk menentang penjajah, dan rata-rata pahlawan nasional Indonesia berasal dari kalangan militer. Sekarang tentu bukan zamannya lagi mengangkat senjata, lalu versi pahlawan seperti apa yang dibutuhkan untuk Indonesia saat ini?
     Pahlawan versi modern adalah mereka yang berani untuk mengatakan TIDAK pada korupsi, itu yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini. Budaya antikorupsi di Indonesia memang masih rendah, kita harus mengakui itu. Peningkatan peringkat posisi Indonesia dari tahun 1999 hingga 2014 tidak menjadi jaminan. Secara umum, masyarakat kita belum sepenuhnya melakukan pola asuh antikorupsi di rumah dan sekolah, tercermin dari perilaku para orang tua dirumah dan guru disekolah. Perbaikan terhadap situasi ini harus kontinyu dan sinergis antara semua stakeholder, seperti pemerintah, lembaga-lembaga yang terkait serta masyarakat sekitar. Orang tua selaku peletak pondasi karakter anak harus menanamkan pola asuh antikorupsi dan pihak sekolah yang merupakan rumah kedua harus mengimplementasikan kurikulum-kurikulum yang sudah memberikan ruang untuk mengajarkan antikorupsi dengan benar dan tepat sasaran.
     Mengacu pada tujuan dan target pendidikan antikorupsi diatas, maka pembelajaran antikorupsi hendaklah didesain secara moderat dan tidak indoktrinatif. Pembelajaran yang dialami peserta didik merupakan pembelajaran yang memberi makna bahwa mereka merupakan pihak atau warga negara yang turut serta memikirkan masa depan bangsa dan negara ini kedepan, terutama dalam upaya memberantas korupsi sampai keakarnya dari bumi Indonesia. Hanya dengan menempatkan peserta didik pada posisi inilah pendidikan antikorupsi akan mempunyai makna penting bagi mereka, jika tidak mereka akan cenderung beranggapan bahwa pendidikan antikorupsi hanyalah urusan politik semata, sebab mereka bukanlah orang-orang yang melakukan korupsi dan belum tentu juga akan berbuat korup dimasa depannya.[12]
     Dunia pendidikan kita dilapangan kadang hanya mengejar angka-angka tanpa melihat nilai-nilai karakternya. Kita sepakat, bahwa orang Indonesia tidak kalah pintar dengan bangsa lainnya, tapi yang membedakan bangsa lain punya karakter yang kuat sehingga negara mereka maju. Tapi pendidikan karakter kita justru menjadi nomor dua, yang terpenting nilai angka-angka bagus diatas kertas tanpa melihat prosesnya. Selain itu, hal yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan antikorupsi dirumah dan sekolah adalah sikap ketauladanan, bahkan sikap ketauladanan orang tua terhadap anaknya diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Lukman surat ke-31.[13]
     Sebagai orang tua dirumah, tentunya kita harus terbiasa dengan sikap ketauladanan. Anak-anak tidak akan membutuhkan nasihat yang terlalu banyak, mereka akan menilai sendiri apakah nasihat orang tuannya itu. Justru anak-anak akan lebih ‘kena’ dengan ketauladanan dibandingkan dengan nasihat tanpa tindakan. Kita biasakan untuk menanyakan kepada anak ‘nak, tidak apa-apa mendapat nilai 6, asalakan didapat dari kejujuran’ kita tinggalkan kebiasaan kita yang selalu menuntut kepada anak harus mendapatkan nilai bagus, tanpa melihat proses usaha mereka mendapatkannya. Kita harus belajar dari orang-orang besar dalam mendidik anak-anak mereka, atau belajar dari negara-negara besar dalam membenahi sistem pendidikan dan pemerintahannya, tapi harus tetap di ‘bumikan’ ke Indonesia. Seperti ucapan Tan Malaka, ‘Belajarlah dari Barat, tetapi jangan peniru Barat. Melinkan jadilah murid dari Timur yang cerdas’.
     Akhirnya, setelah bangsa Indonesia jatuh bangun dan bertranformasi sejak Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi, sekarang keputusan ada dipundak kita untuk membersihkan bangsa Indonesia dari korupsi yang merajalela, dimulai dari diri kita, keluarga sampai sekolah demi menegakan pondasi yang kokoh dalam membangun dan memperjuangkan tegaknya Indonesia bersih dari korupsi. Kita harus tetap optimis untuk menuju pada perubahan ditengah kondisi yang bobrok, kita harus belajar tidak hanya memberikan nasihat terhadap anak tapi juga memberikan ketauladanan dan perilaku yang nyata.
     Dan yang terakhir, kita harus terus mendukung KPK dalam perjuangannya menghadapi ‘tikus-tikus berdasi’, sehingga kita menjadi masyarakat yang dengan setulus jiwa raga memvisualisasikan nilai-nilai antikorupsi dirumah dan sekolah. Mari kita menjadi pahlawan versi modern (terlebih saya mengingatkan pada diri saya sendiri) dan terus mengobarkan semangat antikorupsi dari diri kita, dari rumah hingga sekolah dan sekarang juga. Dan kita juga harus mendukung KPK dari ‘serangan-serangan yang sehalus sutra’ untuk melemahkan KPK!!!

tulisan ini mendapatkan juara 2 festival antikoruspi 2015, silahkan bisa berkunjung ke web KPK di https://acch.kpk.go.id/id/artikel/amatan/pendidikan-dan-budaya-antikorupsi-di-rumah-hingga-sekolah
atau ke https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3162-ini-pemenang-lomba-karya-tulis-dan-foto-acara-festa-2015 

Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2007. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga Publising.
Saefudin, Arif dan Suyoko, Dwi. 2015. Pemuda dan Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: Gema Media.
Harahap, Krisna. 2009.Pemberantasan Korupsi Masa reformasi (Suatu Tinjauan Historis). Historia: Journal of  Historical Studies X. Hlm 130 -140.
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/demografi/item67, diakses tanggal 2 Desember 2015.
http://www.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-141208l.html, diakses tanggal 2 Desember 2015.
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/23/078475291/samad-pendidikan-antikorupsi-dimulai-di-keluarga, daikses tanggal 5 Desember 2015.
http://www.pesona.co.id/relasi/keluarga/cara.sederhana.mengajarkan.anti.korupsi/003/001/90, diakses tanggal 5 Desember 2015.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia, diakses 5 Desember 2015.
Montessori, Maria. 2012. Pendidikan Antikorupsi Sebagai Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan. Vol 11, No 1. Hlm 293-301.




[1] Guru Sejarah SMA Negeri 2 Purbalingga. Kontak email penulis: ahrifsay@gmail.com atau no HP 0817535878.
[2] http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/demografi/item67, diakses tanggal 2 Desember 2015.
[3] http://www.dream.co.id/news/indonesia-masuk-daftar-negara-terkorup-di-dunia-141208l.html, diakses tanggal 2 Desember 2015.
[4] http://nasional.tempo.co/read/news/2013/04/23/078475291/samad-pendidikan-antikorupsi-dimulai-di-keluarga, daikses tanggal 5 Desember 2015.
[5] http://www.pesona.co.id/relasi/keluarga/cara.sederhana.mengajarkan.anti.korupsi/003/001/90, diakses tanggal 5 Desember 2015.
[6] Bila melihat gaji pokok para petinggi negara mungkin tidak terlalu besar, tapi itu belum termasuk tunjangan-tunjangan yang jumlahnya berlipat-lipat dari gaji pokok mereka.
[7] http://indonesiaindonesia.com/f/50549-kisah-hidup-kegagalan-pendiri-honda/., diaskes tanggal 5 Desember 2015.
[8] Padahal EQ berkontribusi sebanyak 80 persen pada kesuksesan seseorang, sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memiliki kontribusi 20 persen. Lihat Ary Ginanjar Agustian. 2007. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta: Arga Publising., hlm 5.
[9]  http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/27/15112050/Sistem.Pendidikan.Indonesia.Terendah.di.Dunia, diakses 5 Desember 2015.
[10] Hongkong merupakan kota khusus bagian dari Tiongkok dengan asas ‘satu negara, dua sistem dan merupakan salah satu kota utama pusat keuangan dunia.
[11] Harahap, Krisna. 2009.Pemberantasan Korupsi Masa reformasi (Suatu Tinjauan Historis). Historia: Journal of  Historical Studies X. Hlm 130 -140.
[12] Maria Montessori. 2012. Pendidikan Antikorupsi Sebagai Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Ilmiah Politik Kenegaraan. Vol 11, No 1. Hlm 293-301.
[13] Arif Saefudin dan Dwi Suyoko. 2015. Pemuda dan Tawaran Solusi Problematika Bangsa. Wonosobo: Gema Media., hlm 105.

Monday, December 14, 2015

MENJADI PAHLAWAN (GURU) VERSI MODERN


Bulan November rakyat Indonesia dengan bangga merayakan hari pahlawan, kita bisa merefleksikan diri tentang perjuangan para patriot bangsa untuk mengusir para penjajah. Mereka rela berkorban nyawa demi menegakan panji-panji kemerdekaan ditanah Indoenesia. Sudah tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang jatuh dari pihak Indonesia. Maka tidak heran, sebagian pahlawan nasional merupakan mereka yang berani mengangkat senjata untuk menentang penjajah, dan rata-rata pahlawan nasional Indonesia berasal dari kalangan militer. Sekarang tentu bukan zamannya lagi mengangkat senjata, lalu versi pahlawan seperti apa yang dibutuhkan untuk Indonesia saat ini?
Pahlawan versi modern adalah mereka yang berani untuk mengatakan TIDAK pada korupsi. Itu yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini, karena kita tahu bahwa banyak sekali pejabat dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif pernah merasakan ‘baju khas’ KPK itu. Meskipun begitu, kita sebagai rakyat awam, tidak bisa sepenuhnya tergantung pada KPK untuk membrantas korupsi. Karena korupsi dinegeri ini sudah sangat menggurita disemua lini kehidupan. Bisa kita lihat dari laporan terbaru Transparency International (TI) yang menyebut bahwa rangking Indonesia menempati posisi bawah untuk negara terbersih dari korupsi. Pada tahun 2014 saja, Indonesia berada diperingkat 107 dari 177 negara dengan skor 34 skala 0-100.

Pribumisasi Tradisi Antikoruspi
Dari mana kita memulai untuk mendukung gerakan antikorupsi? Tidak perlu jauh-jauh, lihat sekeliling kita saja. Kita bisa berperan dilingkungan sekitar kita, yaitu dirumah dan sekolah (bagi guru). Dirumah, kita yang berposisi sebagai orang tua harus membuat rumah menjadi tempat penanaman kejujuran, dengan berani memberikan ketauladanan kepada anak-anak kita. Dari hal yang tekecil saja, yaitu dengan mensinkronkan ucapan dan tindakan kita. Misalkan, kisah yang dialami oleh Mantan Ketua KPK, Abraham Samad saat masih kecil, yaitu kisah ‘mencuri’ kapur tulis berjumlah 5 batang. Padahal teman-temannya sudah terbisa dengan pengambilan kapur tulis tersebut. Dan ketika ibunya tahu, kapur yang ‘hanya’ berjumlah 5 batang itu harus dikembalikan karena membelinya memakai uang negara.
Bagi generasi muda sekarang mungkin hal itu sepele, tapi hal-hal sepele itulah yang membentuk karakter orang-orang besar didunia. Orang tua yang hebat adalah mereka yang berani untuk memberikan pendidikan kejujuran dan kesederhanaan dalam setiap usahannya. Seperti kisah dari Soichiro Honda, pendiri dari Honda Motor Jepang, yang tidak mau memberikan warisan pada anak-anaknya, kecuali memberikan bekal kepada anak-anaknya untuk sanggup berusaha sendiri. Padahal Soichira mempunyai 43 perusahaan di 28 negara, dan yang lebih mencengankan lagi adalah, Soichiro lebih memilih untuk tinggal dirumah yang sederhana. Hal ini bisa dimaklumi, karena masa kecil Soichiro penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan, ayahnya saja hanya seorang pandai bersi yang mengelola bengkel reperasi sepeda.
Saya merending mendengar kisah seorang pemilik dari pabrikan Honda diatas, pelajaran yang bisa diambil adalah seorang yang besar berasal dihasilkan dari proses pendidikan yang ‘keras’ dan dimulai dirumah. Oleh karena itu, rumah menjadi tempat yang ampuh untuk membentuk generasi-generasi pahlawan versi modern yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Dimulai dari kelauladanan dan kesederhanaan. Selain rumah, tempat yang sangat penting lainnya adalah sekolah. Kenapa sekolah? Karena sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak, dalam satu hari, mereka menghabiskan waktu 5-9 jam disekolah.
Disekolah, pendidikan yang harus ditanamkan adalah pendidikan yang bersinergi dengan pendidikan karekter peserta didik, yang tidak hanya berkutat pada nilai-nilai angka tapi lebih mengarah untuk mengambil makna-makna. Contoh negara yang menjadi kiblat pendidikan dunia adalah negara Finandia, negara yang menempati 3 (tiga) besar negara paling bersih dari korupsi. Artinya, kualitas pendidikan disekolah juga merupakan faktor terpenting untuk menumbuhkan budaya antikorupsi.
Di Finlandia, sistem pendidikan di negara Finlandia tidak mengenal anak ‘pintar’ dan anak ‘bodoh’. Mereka tidak pernah dipaksa untuk menguasai materi tertentu, tapi mengarahkan potensi dan bakat yang ada pada seorang anak tanpa ada pemaksaan apapun. Setiap kelas harus terisi maksimal 16 peserta didik, sehingga pembelajaran lebih intensif dan maksimal. Dan yang terpenting, di Finlandia adalah pendidikan disemua jenjang gratis, benar-benar gratis tanpa dipungut biaya apapun. Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan kita?
Sebetulnya pemerintah sudah berusaha untuk memasukan ‘doktrin’ antikorusi disekolah sejak tahun 2004 lewat Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, pada bagian Diktum ke-11 (Instruksi Khusus) poin ke-7 pemerintah sudah menginstruksikan kepada Menteri Pendidikan untuk mengadakan pendidikan yang berasaskan semangat dan sikap antikorupsi. Dari Kurikulum 2006 hingga 2013 yang sekarang diimplementasikan sebetulnya sudah mengarahkan peserta didik untuk mengarah kedalam pendidikan antikorupsi, tapi sebagus apapun kurikulum kalau guru yang menjadi ‘ujung tombak’ pendidikan tidak mau merubah mindset nya maka kurikulum yang sebagus apapun akan percuma.
     Dunia pendidikan kita dilapangan kadang hanya mengejar angka-angka tanpa melihat nilai-nilai karakternya. Kita sepakat, bahwa orang Indonesia tidak kalah pintar dengan bangsa lainnya, tapi yang membedakan bangsa lain punya karakter yang kuat sehingga negara mereka maju, sedangkan kita?? Pendidikan karakter kita justru menjadi nomor dua, yang terpenting nilai angka-angka bagus diatas kertas tanpa melihat prosesnya. Selain itu, hal yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan antikorupsi dirumah dan sekolah adalah sikap ketauladanan.

Menjadi Guru yang Digugu Dan Ditiru
Bulan November ini merupakan momentum bagi guru diseluruh Indonesia untuk menyatakan ‘berperang’ pada korupsi, dengan cara memulai dari diri sendiri dan ditularkan pada peserta didiknya. Menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus mendidik generasi penerus bangsa. Generasi yang akan membangun peradaban Indonesia kedepannya, tentunya butuh perjuangan yang berat dan panjang untuk mencapai tujuan itu.
            Banyak hal dapat dilakukan oleh guru sebagai pembentuk pahlawan versi modern, contoh kecil dimulai dari ketepatan masuk ketika bel sudah berbunyi. Karena para peserta didik membutuhkan sosok panutan dibandingkan hanya sekedar retorika belaka tanpa aksi nyata. Sekarang momentum yang tepat, mari para orang tua dan guru dimanapun anda berada, kita tanamkan kejujuran pada anak dan peserta didik dengan cara memberikan aksi yang nyata. Dimulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal yang kecil, dari lingkungan sekitar kita yang secara tidak langsung akan membentuk generasi pahlawan versi modern. Selamat hari guru, mari kita satukan kekuatan demi membrantas kosupsi dari bumi Indonesia ini..

Friday, November 27, 2015

REVOLUSI PENDIDIKAN: PARADIGMA STRUKTURAL FUNGSIONAL KE PROSESUAL[1]


Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.
(Ki Hajar Dewantara)

Indonesia adalah sebuah Negara yang dapat dikatakan sebagai negara Multikultural dan Indonesia juga merupakan Negara yang dikenal sebagai Negara yang memiliki kekayaan melimpah, namun demikian sumber daya manusianya masih sangat rendah dalam hal pendidikan. Hal ini pun dibenarkan oleh hampir banyak orang di dunia, bahkan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini memang memprihatinkan, mengapa? Karena saat ini kita dapat melihat bahkan merasakan, bahwa cita-cita pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, tidak dapat terealisasi sampai saat ini. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3, yang berbunyi:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertrujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Salah satu tugas pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Apa yang akan terjadi apabila pembangunan di Indonesia tidak diimbangi dengan pembangunan dibidang pendidikan?. Sekalipun, pembangunan fisiknya sangat baik, tetapi apa gunanya jika moral bangsa ini terpuruk. Dan hal inilah yang terjadi saat ini, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah.

Beberapa kenyataan yang sering kita temui bersama, seorang pengusah kaya raya justru tidak menunjukkan sikap dermawan, seorang politikus justru tidak mempedulikan tetangganya yang kelaparan, atau bahkan seorang guru yang tidak peduli, ketika melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah dan masih banyaknya pemimpin-pemimpin bangsa ini yang melakukan korupsi baik dari lapisan paling bawah hingga atas. Sangat memilukan bukan?, sehingga jika saat ini kita biarkan maka lama kelamaan Negara dan bangsa kita yang tercinta ini akan hancur. Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk mencegah, pendidikan merupakan salah satu prioritas dalam melakukan pembangunan negeri ini.
           
Dua Paradigma Pendidikan
    Ada berbagai macam cara pandang dalam memandang pendidikan, dan didalamnya termasuk cara pandang sosial-budaya. Paradigma sosial-budaya pendidikan yang berasal dari sebuah disiplin antropologi masih belum terlalu dikenal secara luas di Indonesia. Paradigma sosial-budaya yang memandang pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan, secara sistematik tidak dapat dipahami secara terpisah dari totalitas sosialisme dan enkulturasi. Ada dua kata kunci dalam pernyataan ini yakni sistematik dan tidak terpisah, hal ini memberi indikasi yang tegas, bahwa perspektif ini menekankan analisis pada seperangkat unsur yang saling tergantung satu sama lain secara total sebagai suatu sistem. 

Secara historis paradigma sistematik ini dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu paradigma struktural-fungsionalisme dan paradigma prosesualisme. Pergeseran perspektif dari tahap pertama ke tahap kedua sesungguhnya merupakan representasi kenyataan dalam suatu kelompok masyarakat, yakni sebagaimana orang mengkonsepsikan dan mewujudkan perilaku pembelajaran dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam sejarah pendidikan kita, pendidikan dilihat sebagai sistem yang didominasi oleh pemikiran eropa pada abad ke 18 dan 19, yang selanjutnya diwarisi oleh tradisi pendidikan kolonial Hindia Belanda dan pendidikan nasional masa kini.

Sistem pendidikan ini adalah sebuah cermin cara berpikir yang disebut pertama, yankni paradigma truktural-fungsional. Perubahan cara berpikir mengenai pendidikan, dimana manusia ditanggapi sebagai subjek yang aktif menentukan “nasib” diri sendiri, mengembangkan paradigma prosesual yang mulai banyak mempengaruhi paradigma sosial-budaya pendidikan pada akhir abad ke 20 yang lalu hingga sekarang. Oleh karena itu, marilah kita memulai untuk melakukan pergeseran demi mendapatkan formula yang terbaik bagi pendidikan di Indonesia.

Paradigma Struktural-Fungional
    Pada paradigma ini menempatkan pendidikan sebagai tataran linear, yang merupakan komponen dari sebuah sistem yang lebih besar. Andaikan suatu sistem terdiri dari sepuluh komponen, maka pendidikan akan mendapatkan porsi sepersepuluh dari system tersebut, yang tergantung pada keberadaan dan fungsi dari sembilan persepuluh dari komponen yang ada.

Pandangan semacam ini membuat pendidikan sebagai sebagian kecil yang tergantung pada, dan seringkali didominasi oleh sebagian besar komponen sistem yang lain. Kecenderungan berpikir secara struktural-fungsionalisme pada tingkat nasional mendorong penyusun kebijakan dan pengambil keputusan pendidikan nasional untuk berpikir secara seragam, artinya ada suatu kekuasaan yaitu kekuasaan Negara yang berfungsi sentral untuk merancang blue print, menyusun kurikulum, mempersiapkan tenaga pengajar, dan menyediakan fasilitas pendidikan untuk semua bagian dan tingkatan diseluruh negeri.

Sebagai hasilnya adalah suatu sistem yang stabil, seimbang, ”kuranng menyukai perubahan”. Premis dari struktural-fungsionalisme sebagai berikut, pertama; masyarakat merupakan sebuah sistem yang bekerja, kedua; sistem yang bekerja menuntut institusi-institusi komponennya untuk memberikan sebuah kontribusi demi terpeliharanya sistem tersebut, ketiga; sistem sosial yang bekerja menuntut seluruh anggota sistem untuk dimotivasi dan dilatih untuk memfasilitasi fungsi sebuah sistem. Apabila dicermati kebijakan nasional pendidikan kita nampaknya selama ini dirancang berdasarkan premis pemikiran diatas. Kelebihan dari cara berpikir struktural fungsional adalah transmisi pengetahuan yang seragam dan merata diseluruh Indonesia, baik kurikulum, latar belakang dan kualifikasi pengajar, serta metode mengajar, maupun buku-buku ajar yang digunakan, sehingga dalam jangka panjang kesatuan nasional melalui sebuah proses pendidikan dapat terpelihara.

Paradigma Prosesual
    Paradigma prosesual adalah bentuk respon teoritis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana halnya paradigma struktural-fungsionalisme mengenai pendidikan, dalam pemikiran prosesual juga memandang pendidikan sebagai suatu sistem. Perbedaan dari dua paradigm tersebut adalah bahwa paradigma ini menempatkan manusia sebagai sentral, sebagai makhluk yang aktif, proaktif, dan bahkan manipulatif, dan mampu mengembangkan strategi-strategi untuk menghadapi, dan bahkan dapat mengubah lingkungan dimana dia berada, yang berbeda dari pandangan struktural-fungsionalisme yang memandang manusia sebagai objek yang menjadikan lingkungan sebagai pedoman pokok untuk bertindak.

Menghadapi suatu perubahan, paradigma stuktural-fungsional lebih suka menggunakan sebuah konsep adaptasi, karena adaptasi berarti “manusia terserap dalam, dan menjadi bagian dari sistem”. Cara berpikir secara prosesual menempatkan factor interaksi sebagai unsur penting. Dalam melakukan interaksi tersebut, manusia berupaya agar bentuk dan kualitas kehidupan berubah menjadi lebih baik. Seringkali juga terjadi perubahan yang dilakukkan oleh manusia, seperti manusia yang berhasil mengubah hutan belantara yang ganas, menjadi sebuah lingkungan yang nyaman. Akan tetapi, cukup banyak juga kasus yang menunjukkan bahwa manusia menyesuaikan diri dengan tatanan lingkungan yang sudah ada. Dari contoh ini menunjukkan dinamika manusia sebagai makhluk yang aktif. Konsep adaptasi yang secara eksplisit mencerminkan adanya batas-batas lingkungan yang tegas disatu pihak bergeser kepada konsep modifikasi dan manipulasi serta batas-batas sistem lingkungan yang tidak tegas.

Dari Struktural Funfsionalisme ke Prosesualisme
    Sebuah kebijakan otonomisasi pendidikan, sebagai salah satu bagian dari kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang sudah dijalankan semenjak belasan tahun yang lalu, telah menimbulkan dampak yang kompleks, tidak sesederhana mengubah paradigma teoritis diatas kertas.  Perubahan orientasi pendidikan dalam perspektif sosial budaya, andaikata perubahan tersebut dijalankan konsisten dan berkesinambungan, mungkin akan membutuhkan setidak-tidaknya satu atau dua generasi agar terwujud secara signifikan.

Perubahan paradigma pendidikan menuntut kesiapan kita untuk merubah dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Secara teoritis hal itu mungkin dapat dilihat sebagai perubahan dari paradigma struktural-fungsionalisme ke paradigma prosesual dalam mengatur dan mengelola pendidikan kita. Dengan menempatkan pendidikan dalam hal ini secara spesifik yaitu sekolah sebagai sentral, kita dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan dan membangun model eksplanasinya dengan melihat interaksi pendidikan melalui komponen-komponen (sistem) di lingkungannya dalam konteks dinamik. Berbeda dari pendekatan sistematik fungsional, pendekatan prosesual ini lebih menekankan kreativitas aktor, dalam hal ini yaitu siswa dan guru, untuk menjauhi ciri-ciri pasif dan statis. Pengetahuan yang diperoleh tersebut nantinya akan digunakan demi mewujudkan perilaku untuk menghadapi lingkungan.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan nasional pendidikan di Indonesia selama kurang lebih 50 tahun merdeka didominasi oleh cara berpikir secara struktural-fungsionalisme. Akibatnya, ketika terjadi perubahan besar di dunia seperti sekarang, khususnya ketika manusia mulai disadarkan bahwa mereka adalah subjek dan seorang aktor yang aktif serta berhak untuk menentukan nasib sendiri, kesadaran akan pendidikan sebagai proses yang terikat dengan berkembangnya gagasan demokrasi ini pun melanda dunia, termasuk Indonesia. Menigkatnya kesadaran antroposentrik ini membangkitkan pentingnya manusia untuk mengenal kebutuhan dan potensionya sendiri.

Kebijakan otonomi pendidikan yang dicanangkan belasan tahun yang lalu merupakan respon terhadap gagasan demokrasi tersebut. Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran yang signifikan dari filosofi struktural fungsional ke prosesual yang anti statis. Sehingga, implikasinya adalah manusia secara aktif akan mengevaluasi pengetahuan, dan aturan-aturan yang ada, merevisi atau bahkan merombak yang dipandang tidak relevan dan membangun yang baru. Sebagai subjek, manusia adalah pelantar (agent of change) yang selalu berinisiatif dan cenderung melakukan perubahan kearah kemajuan demi mencapai atau terwujudnya kehidupan yang lebih baik lagi.

Daftar Pustaka
http://www.kompasiana.com/pendidikan-paradigma-struktural-fungsional prosesual., diakses 3 November 2015.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Saifuddin AF. “Kebijakan Otonomi Daerah: Otonomi Pendidikan dalam Perspektif Sosial Budaya,” Antropology Indonesia. Indonesian Journal of Sosial and Cultural Antropology, Th.XXVI, No. 65, Mei-Agustus, hlm 1-12:2001.

[1] Tulisan ini mendapat Juara 1 Lomba Esai Nasional dengan tema ‘Memetakan Paradigma Pendidikan di Indonesia’ yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali pada tanggal 23 November 2015.