Wednesday, January 13, 2016

EKSOTISME KEBINEKAAN KITA

Eksotisme Kebhinekaan Kita.Koran Cetak Satelit Post, 12 Januari 2016.
Setiap akhir tahun, biasanya aparat keamanan selalu sibuk dengan pengamanan perayaan natal bagi umat kristiani dan tahun baru. Hal ini dikarenakan ada sekelompok oknum yang dengan bangganya mengacungkan senjata mereka atas nama agama. Perlakuan represif ini merupakan langkah yang naif, karena sikap ini justru merupakan sikap blunder bagi para oknum yang katanya “para pejuang agama” itu.
Padahal tidak ada satupun agama didunia ini yang mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan. Bahkan agama resmi yang diakui oleh Indonesia mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan itu harus dihormati sehingga akan timbul situasi toleransi yang harmonis.
Salah satu empat pilar kebangsaan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Namun apa kabarnya dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dizaman ini? Masihkah kita mempraktekan tidak hanya sekedar lisan, namun juga diresapi melalu hati dan diamini melalui perbuatan? Rasanya kita perlu berkaca kejayaan kerajaan Majapahit dulu.

Nusantara Dulu dan Kini
Bhinneka Tunggal Ika merupakan frase klasik yang sudah 70 tahun dijadikan fondasi bagi negara kita. Semboyan ini justru lahir dari zaman Majapahit sebagai pemersatu tanah air yang bertajuk “Nusantara”. Pada zaman Majapahit, keharmonisan bisa terjalin meski bercokol dua agama besar saat itu, yaitu Hindu dan Budha. Hal ini membuktikan kemajemukan atau pluralitas dari tanah air kita justru sudah ada sejak kerajaan Hindu dan Budha.
Dalam catatan sejarah, kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang menggoreskan tinta emas. Hal ini karena sudah Majapahit sudah melahirkan dan mempersatukan konsep Nusantara hingga kewilayah-wilayah yang sekarang sudah tidak lagi menjadi wilayah teritorial Indonesia.
Presentase toleransi antara Hindu dan Budha yang sangat tinggi membuat kedua agama superpower pada masanya itu dapat saling berdampingan, hal ini menjadi salah satu indikator suksesnya kerajaan tersebut mencapai kehidupan yang tentram dan makmur. Namun saat ini, banyak kita temui konflik justru muncul dari masyarakat kita sendiri yang berujung pada “kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Isu-isu konflik semacam ini tidak terlepas dari perbedaan konflik yang disebabkan oleh perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. Konsep Bhineka Tunggal Ika saat ini memasuki musim paceklik, hal ini dikarenakan beberapa dari kita ada yang menganggap dirinya superior dan mayoritas. Ini memperihatinkan, bila melihat lebih jauh lagi justru akar permasalahannya adalah karakter masyarakat kita yang mudah tersulut provokasi oleh oknum tertentu.
Beberapa dari kita tidak sadar bahwa telah diadu domba oleh egoisme kita sendiri. Kita lebih gemar mengibarkan bendera golongan kita dibandingkan dengan bendera merah-putih. Karakter egositis seperti ini seharusnya dieliminasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara, seharusnya usia kemerdekaan kita yang sudah berumur 70 tahun menjadi bekal dalam menghadapi berbagai macam konflik kedewasaan bernegara. Lalu bagaimana caranya mengimplementsikan nilai-nilai kebhinnekaan itu?

Menyemai dengan Pendidikan
Implementasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika salah satunya bisa menggunakan pendidikan. Pendidikan bisa membuat pla pikir generasi muda sadar dan mengetahui betapa pentingnya nasionalisme dibandingkan dengan egoisme kelompok yang selama ini dibungkus dengan kata “solidaritas” menurut versi mereka.
Pendidikan tidak hanya dilakukan oleh guru disekolah, namun juga oleh orang tua dirumah-rumah. Mereka adalah penggerak roda pendidikan dalam perkembangan anak menuju sebuah fase kedewasaan. Orang tua dan guru diharapkan menjadi filter psikis yang membuat pengawasan terhadap psikologi anak-anak mereka. Mereka harus menyaring berita dan informasi yang masuk, jangan sampai hama-hama radikalisme tumbuh dan menghambat bibit-bibit toleransi.
Bila pendidikan ini dilakukan oleh berbagai komponen, maka langkah primer ini akan menumbuhkan sikap gotong royong bagi masyarakat Indonesia. Saat terdengung kata dan sikap gotong royong, mau tidak mau kita akan menemukan interaksi sesama. Selanjutnya, keharmonisan akan berjalan ditengah perbedaan latar belakang kita masing-masing.
Tujuan hilrnya ada pada rasa nasionalisme yang tumbuh subur, sehingga presentasi kemungkinan terjadinya konflik akan dapat ditekan dan diminimalisir dan potensi toleransi antara warga negara jauh bisa dieksplorasi dan secara konsisten diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu, kita sebagai warga negara harus berjibaku dan saling membantu dalam usaha konservasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Jangan sampai eksotisme kebinekaan kita akan punah dan tidak dinikmati oleh anak-cucu kita kelak. Oleh karena itu, kita harus mengawasi dan mengawalnya bersama-sama!
Sampai pada akhirnya kejayaan dan kemakmuran tanah air kita seperji zaman Majapahit bisa diraih. Itulah impian kita bersama, dimana tanah air kita bisa dikecup mesra oleh semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, mari amalkan dan pertahankan eksotisme Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan yang sering terjadi karena berdekatannya hari-hari besar agama seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menguji kedewasaan bernegara kita. Bukannya dijadikan kesempatan untuk menunjukan superioritas kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Kita seharusnya belajar untuk saling belajar, dibandingkan dengan saling menghajar. Pelangi indah bukan karena satu warna, tapi karena banyak warna yang menghiasinya..




Tuesday, January 12, 2016

Asal Nama Desa Toyareja

Kantor Kepala Desa Toyareja

Desa Toyareja terletak di Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Desa Toyareja sebenarnya masih termasuk kota, bukan desa karena Kecamatan dari Desa Toyareja masih Kecamatan Purbalingga atau kecamatan kota, tetapi karena wilayahnya sebagian besar masih berupa lahan pertanian dan letak dari Desa Toyareja ini di perbatasan kecamatan kota, maka wilayah Toyareja lebih sering disebut desa. Desa ini merupakan salah satu desa di Kabupaten Purbalingga yang hampir seluruh warganya rata-rata bekerja sebagai petani, ada petani Palawija dan ada petani Padi. Meskipun demikian warga yang tinggal di desa Toyareja hidup dengan rukun, aman, damai, sehingga ketentraman dan kenyamanan dapat dirasakan oleh setiap penduduk yang tinggal di Desa Toyareja.

Desa Toyareja memiliki daerah yang strategis karena letaknya yang dekat dengan pusat kota Purbalingga, desa ini juga mempunyai kuliner yang khas yaitu Sroto Klamud. Sroto Klamud ini terbuat dari sroto yang dipadukan dengan klapa muda, ide ini muncul karena melimpahnya hasil panen kelapa muda, jadi salah satu warga memiliki peluang usaha bisnis yaitu dengan membuka usaha kuliner Sroto Klamud. Desa Toyareja juga sering digunakan sebagai tempat pelatihan militer oleh Batalion 406, karena letak desa Toyareja dibelakang Batalion yang hanya berbatasan dengan sawah.

Sejarah terbentuknya nama “TOYAREJA” berasal dari cerita masyarakat setempat. Pada dahulu kala orang yang pertama tinggal di suatu wilayah tinggallah seseorang yang bernama Ki Toya, Ki Toya merupakan panutan atau sesepuh dari orang-orang yang hidup sesudahnya. Di wilayah tersebut sedang berkembang usaha dalam kegiatan untuk  menekuni usaha dalam bidang Pertanian khususnya Padi dan Palawija yang pada saat itu masih tergntung pada musim secara teknis. Kemudian beberapa tahun kemudian dengan melajunya pertambahan penduduk maka kebutuhan penduduk akan semakin meningkat oleh karena itu agar seluruh kebutuhan hidup penduduk di wilayah tersebut dapat dipenuhi maka Ki Toya memiliki ide yang sangat berguna untuk kemajuan wilayah tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan hidup di wilayah tersebut maka salah satu warga di wilayah tersebut yaitu Ki Toya merintis adanya pengairan secara sederhana untuk memenuhi kebutuhan Pertanian dengan memanfaatkan kondisi alam saat itu, perjuangan yang dilakukan oleh Ki Toya sangat keras dan gigih dalam mewujudkan keinginannya, akhirnya perjuangan Ki Toya dibantu oleh semua warga karena Ki Toya mensosialisasikan pentingnya saluran irigasi untuk pertanian lalu warga sadar jika saluran irigasi tersebut dapat dibangun dengan baik maka usaha pertanian mereka akan berkembang dengan pesat, karena semua penduduk pada saat itu sebagian besar bekerja sebagai petani maka mereka akhirnya bahu-mambahu bergotong-royong untuk membangun saluran irigasi.

Tak lama kemudian hasil jeripayah mereka semua tidak sia-sia, saluran irigasi yang mereka rencanakan dapat dibangun dengan cukup baik hingga bisa berjalan dengan lancar dalam menunjang usaha pertaniaan yang akhirnya usaha pertanian itu dapat berjalan dengan lancar dan hasilnya bisa mencukupi kebutuhan hidup orang yang tinggal di wilayah itu dan wilayah itu semakin berkembang dengan baik dalam sektor pertanian, karena itulah usaha dan jasa Ki Toya dalam bidang pertanian dengan adanya sarana pengairan atau air sederhana dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga pada saat itu dikategorikan penduduk menjadi makmur(reja), dan secara alami juga Desa Toyareja merupakan daerah yang rawan akan banjir luapan dari Sungai Klawing. Karena jasa Ki Toya maka desa ini dikenal dengan nama TOYAREJA. Toya juga bisa diartikan dengan air dan Reja dapat diartikan dengan makmur jadi arti kata Toyareja sebenarnya adalah “air yang makmur”.

Di desa Toyareja ini ada beberapa tempat yang memiliki nilai sakral yang cukup tinggi diantaranya ada “Senting dan Bodong”, kedua daerah tersebut dulunya sering digunakan orang untuk bertapa dan tidak sembarang orang tidak bisa masuk kesana dan sebelum masuk tempat itu ada tata caranya tersendiri.

Sumber Referensi:
Wawancara dengan Nenek Tursini pada tanggal 15 September 2016.

Wednesday, January 6, 2016

KEMERDEKAAN MANUSIA, BERBANGSA SEUTUHNYA

            Bangsa kita adalah bangsa yang besar. Negara lain didunia mengakui itu, justru kita yang tidak percaya diri terhadap kemampuan kita untuk mengelola kekayaan kita sendiri. Pola pikir ini yang harus dirubah, karena tanpa sadar kita merasa sebagai bangsa bermental “jongos”. Pola pikir ini diakibatkan karena bangsa ini dijajah ratusan tahun dan hingga saat ini dibeberapa sisi kita “menikmati” situasi ketergantungan pada bangsa lain.
Kekayaan sumber daya alam yang ada seperti keindahan fatamorgana yang indah ditelinga namun pahit didalam realita. Sumber daya dinegeri ini hampir ludes dikuasai oleh pihak asing, ditambah dengan moral pejabat yang bobrok. Kasus terbaru yaitu “papa minta saham” menjadi tontonan dimedia setiap harinya. Betapa hal itu memalukan kita sebagai sebuah bangsa.
Pertanyaanya, bagaimana cara merubah mental bangsa kita? Tidak berlebihan bila Revolusi Mental dengan pendidikan menjadi sebuah jawaban problematika bangsa ini. Hal ini setidaknya langkah pertama sebelum kita melangkah ketahapan yang lebih konkrit, yaitu mengambil manfaat sumber alam kita untuk bangsa sendiri.

Sistem Penuh Sandiwara
            Sistem penuh dengan sandiwara, kata ini sadar atau tidak sadar sistem ini yang diaplikasikan oleh elite politik kita saat ini, mereka tidak (belum) berani merombak total sistem lama yang dipenuhi dengan kepalsuan. Sehingga implikasinya kalau sistem ini tidak direformasi, maka jangan harap republik ini akan menghasilakan elite-elite politik yang berkualitas.
            Benar yang dikatakan oleh Ir. Soekarno, bahwa “revolusi kita belum selesai”, bila dulu kita menghadapi imperialisme senjata, sekarang kita menghadapi imperialisme dalam semua segi kehidupan. Kita bisa melihat imperialisme itu sekarang, meski kasat mata tapi sangat terasa dampaknya, seperti keterbelengguan aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Ironisnya, justru dibeberapa kasus hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri yang bersekongkol jahat dengan bangsa lain untuk memperkaya kantong pribadinya.
            Drama ilahi tentang kebersamaan membangun bangsa yang amat kuat pudar karena aktor pengisi kemerdekaan tidak pernah sadar bahwa usaha untuk membangun bangsa selalu dilakukan secara kolektif, bukan satu orang atau kelompok. Revolusi fisik ’45 yang sudah menghasilkan kemerdekaan secara politik sulit untuk dilanjutkan menuju kemerdekaan secara sosial, ekonomi, dan budaya sebagai cita-cita founding father secara hoisitik.
Kita harusnya merefleksi kemerdekaan yang diletakan dan mengulang pertanyaan dibenak kita masing-masing, sejauh mana kita sebagai sebuah bangsa mencapai cita-cita kemerdekaan yang mendasar?

Merdeka dengan Pendidikan
            Pendidikan merupakan sarana untuk memerdekakan dan dengan demikian diikuti dengan tindakan-tindakan yang mendukungnya. Menurut Paulo Freire, pendidikan merupakan alat membebaskan untuk memanusikan, yang terpenting adalah memanusiakan manusia, menghilangkan jejak de-humanisasi yang merasuki dunia pendidikan.
            Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu secara formal, tetapi lebih mendasar yaitu setiap orang menjadi “gelas kosong” sehingga pengetahuan kita akan saling mengisi dari satu orang keorang lainnya (kemanusiaan) yang merupakan hak dari semua orang. Inilah esensi dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian berimplikasi memanusiakan manusia.
            Prinsip ini dijabarkan dalam perjalanan untuk menuju manusia yang merdeka. Manusia yang membangun empati dan menjauhi ego, manusia yang berani membantu orang lain dan lingkungan sosialnya.  Proses ini bisa dilampaui bila ada kesadaran bersama bahwa kesejahteraan diraih untuk semuanya bukan untuk sebagian apalagi segelintir orang. Jadi pendidikan bukan proses untuk menonjolkan karakter individualisme saja, namun esensi yang utama adalah menumbuhkan karakter sosial.
            Namun karakter sosial kita kadang terganggu jusru oleh ruang publik. Ruang publik kita hanya dihiasi oleh orang-orang berwajah ganda. Polemik terus menerus ditampilkan dan menghiasi diberbagai media, bahkan hampir setiap hari kita disuguhi tontonan yang tak patut dijadikan tuntunan.  Realita ini justru membuat kita selalu berfikir kerdil dan miskin cinta apalagi cita-cita.
            Akar permasalahan bisa dilacak sampai keakar-akarnya, setidaknya dari bagaimana sistem pendidikan diselenggarakan. Kita bisa melihat pendidikan dinegeri ini kadangkala dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan politik. Pendidikan distrukturalkan dibawah hegeomoni politik, sehingga menghasilkan manusia yang setia pada mayoritas dan tidak mau beranjak dari zona nyamannya.
            Sistem pendidikan seperti ini ibarat seperti mainan mobil dengan remote control, yang tidak akan bisa sampai kesuatu tempat tanpa dikendalaikan oleh remote control. Remote control yang dimaksud adalah pemegang hegeomoni dan para kapitalis yang menyeragamkan ideologi mereka. Hal ini hanya akan membuat mereka menunggu titah dari raja nya, sehingga dapat dipastikan tidak ada kreatifitas apalagi inovasi baru.
            Implikasinya birokrasi menjadi lambat dalam merespon perubahan. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakberdayaan untuk keluar dari lingkaran kultur lama. Dimana kemandirian individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Hal ini membuat perjalanan reformasi hingga sekarang terpincang-pincang, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakmampuan merespon perubahan yang begitu cepat.
Solusi dari permasalahan ini adalah sebuah transformasi budaya lewat transformasi paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan yang dibutuhkan untuk membuat bangsa ini cerdas adalah paradigma pendidikan dengan visi jelas, yaitu memanusiakan manusia dan menjadikan pribadi mereka sebagai seorang pribadi yang merdeka.
Merdeka yang mempunyai definsi mendalam, yaitu mereka yang tidak tergantung kepada hal yang melekat pada dirinya, baik itu harta atau tahta. Melekatnya akan harta serta tahta membuat orang secara mendasar tidak merdeka secara hakiki. Kemerdekaan yang hakiki akan melahirkan keluhuran budi serta empati terhadap penderitaan orang lain. Kemerdekaan hakiki akan membuat manusia Indonesia tidak berfikir hanya untuk dirinya, melainkan berorientasi bagi lingkungan, bangsa dan negaranya..

Arif Saefudin 
Guru SMA Negeri 2 Purbalingga