Wednesday, November 30, 2016

Menanam Air Sebagai Upaya Meningkatkan Ketahanan Pangan: Naskah Lolos Parlemen Remaja 2016

Sertifikat Parlemen Remaja 2016
Naskah ini merupakan siswa bimbingan dan lolos mewakili Provinsi Jawa Tengah dari 4000-an peserta. Kegiatan diadakan selama 5 hari dan bersidang di DPR-RI
Dalam konteks mikro (keluarga), ketahanan pangan dapat diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, mudah diperoleh setiap saat oleh seluruh anggota keluarga, aman dikonsumsi, dengan harga yang terjangkau. Dalam konteks makro (bernegara), pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi warga negara untuk dapat mempertahankan hidup, oleh karena itu kecukupan pangan merupakan hak azasi manusia yang wajib dipenuhi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 UUD 1945.
Pengertian pangan menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 bahwa, pangan dalam arti luas mencakup makanan dan minuman, hasil-hasil tanaman pangan dan ternak serta ikan, baik produk primer maupun sekunder (olahan). Namun di negeri kita, pengertian pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok di sebagian besar masyarakat kita.
Sedangkan pengertian Ketahanan Pangan menurut Undang – Undang Nomor 18 tahun 2012 disebutkan bahwa, ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Indonesia sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar, tentu menghadapi tantangan yang besar pula dalam memenuhi kebutuhan pangan warga masyarakatnya. Jika tidak ada keseimbangan antara besarnya jumlah penduduk dengan besarnya kebutuhan pangan penduduknya atau dengan kata lain ketersediaan pangan lebih kecil dibanding kebutuhannya, maka dapat menimbulkan ketidak-stabilan ekonomi. Bahkan jika keadaan ini berlangsung terus menerus, dapat menimbulkan gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Pengalaman telah membuktikan, pada tahun 1977/1978 terjadi krisis moneter ditandai dengan mahalnya harga sembako (sebagai indikator gangguan ketahanan pangan) yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi. Berdasarkan nilai strategis dan pengalaman, maka kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan nasional sehingga selalu menjadi fokus utama dalam pembangunan di sektor pertanian.

Tantangan Ketahanan Pangan
     Sesungguhnya banyak aspek saling terkait yang menjadi tantangan dalam rangka mewujudkan peningkatan ketahanan pangan. Disini saya hanya akan ketengahkan 3 (tiga) aspek yang menjadi tantangan paling serius untuk mewujudkan peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan. Kecenderungan global yang terjadi saat ini dan kemungkinan masih akan berlanjut di masa datang antara lain, (1) semakin berkurangnya luas lahan pertanian dan tanaman pangan sebagai akibat terjadinya laju konversi lahan/tanah yang makin meningkat untuk kepentingan non-pertanian. Misalnya pemukiman baru, prasarana industri, fasilitas transportasi, dan infrastruktur publik lainnya. (2) semakin menurunnya ketersediaan dan kualitas air untuk kegiatan produksi pertanian dan tanaman pangan lainnya. Serupa dengan berkurangnya lahan, semakin meningkatnya kebutuhan air untuk kegiatan non-pertanian di perkotaan dan industri yang membutuhkan air dalam volume yang besar, akan secara langsung mengurangi volume air yang tersedia untuk pertanian, bahkan tidak hanya menghambat laju produksi pangan, tetapi juga bisa menghancurkannya karena rendahnya upaya untuk memelihara/menjaga kualitas air dan lingkungannya (terjadinya pencemaran). (3) semakin sulitnya memprediksi apalagi mengendalikan dinamika perubahan iklim yang selalu fluktuatif (tidak tetap atau berubah-ubah). Salah satu isu yang paling populer mengapa perubahan iklim secara ekstrim sering terjadi adalah adanya pemanasan global (global warming). Yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi, atmosfir, dan lautan, sebagai akibat meningkatnya emisi karbon dioksida dan gas-gas lain yang menyelimuti bumi, termasuk bumi Indonesia.
  Terhadap 3 (tiga) aspek yang saya ketengahkan tersebut, dengan mempertimbangkan karakteristik sumberdaya pertanian Indonesia saat ini dan perspektif  besaran maupun pentingnya persoalan, maka selayaknya kita (warga masyarakat tanpa kecuali) harus melakukan suatu gerakan massal yang diwujudkan dalam  perbuatan untuk memperkecil tantangan/ancaman yang dapat menghambat upaya peningkatan ketahanan pangan. Meski begitu kompleks tantangan yang kita hadapi, namun kita bisa memilih prioritas mana yang akan di dahulukan.
     Mencoba menelaah dan memahami ketiga aspek tantangan tadi, serta denganmempertimbangkan cakupan dan keterjangkauannya dari berbagai segi, misalnya pertimbangan urgensi (yang kita anggap penting dan mendesak), sederhana, bisa dilakukan siapa saja di lingkungan sendiri, tidak menelan anggaran besar dan lain-lain, maka saya menganggap bahwa aspek air adalah yang terpenting untuk menjadi prioritas penanganannya.

Mengatasi kelangkaan Air dengan Menanam Air
     Air merupakan elemen penting yang menjamin eksistensi kehidupan di bumi. Tidak sebatas bagi kehidupan manusia saja, tetapi juga bagi mahluk lain yang bernama tanaman dan hewan. Kondisi air saat ini menjadi perhatian dunia, karena akses, kuantitas, dan kualitas air semakin menurun oleh berbagai sebab. Termasuk Indonesia yang memiliki curah hujan cukup tinggi, namun jika musim kemarau tiba masih saja ada daerah yang mengalami kekeringan. Mengapa ? Karena masih ada diantara kita yang membiarkan kehadiran air dan membiarkan prosesnya kepada alam tanpa mau berbuat sesuatu untuk menjaga kelestarianya. Padahal kita tahu bahwa kelangkaan air mempengaruhi keamanan dan ketahanan pangan serta angka harapan hidup manusia.
Untuk mengurangi konsumsi air yang berlebihan, dapat diusahakan penghematan penggunaan air agar tidak terbuang percuma. Disamping penghematan, ada cara lain yang sudah banyak dibahas oleh para ahli, yaitu dengan konservasi air. Konservasi air adalah, cara untuk melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi dan lingkungan air untuk mempertahankan kelestarian atau kesinambungan ketersediaan dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, demi kelangsungan fungsi dan manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup.
Sebagai sebuah gagasan, saya ingin ketengahkan sebuah cara yang mungkin dapat dikategorikan sebagai konsep konservasi air yang paling sederhana, namun dapat memberikan hasil maksimal jika dilakukan dalam sebuah gerakan massal. Cara tersebut, ada yang menamakan “Menanam Air” ada juga sebagian yang memberi istilah Menabung Air. Namun dalam tulisan ini kita sepakati saja dengan sebutan “Menanam Air” sesuai sebutan yang dipakai oleh pencetusnya. Konsepnya sederhana dan sudah banyak dibahas oleh berbagai kalangan, terutama akademisi namun belum tersosialisasi secara meluas kepada masyarakat umum. Disisi lain, pola-pikir sebagian masyarakat yang awam dengan dunia pertanian, menganggap bahwa kelangkaan air itu bukan menjadi tanggungjawab mereka.
Yang dimaksud “Menanam Air” yaitu menangkap air hujan agar terserap ke dalam tanah. Air hujan yang pada dasarnya merupakan air bersih, dialirkan ke dalam tanah melalui lubang resapan yang disebut resapan bioporiyang kemudian akan tersimpan di dalam tanah. Cara ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata seorang peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Insitut Pertanian Bogor (IPB).
Resapan Biopori adalah sebuah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah. Biopori sendiri adalah istilah untuk lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas micro organisme yang terjadi di dalam tanah.
Cara membuat lubang biopori cukup sederhana. Yaitu membuat lubang berbentuk silindris secara vertikal ke dalam tanah, dengan garis tengah antara 10 – 20 cm dengan kedalaman tertentu. Namun karena konsepnya sederhana maka kedalaman lubang di buat tidak terlalu dalam tapi juga tidak terlalu dangkal. Misalnya antara 80 – 100 cm. Agar lubang peresapan biopori nantinya berfungsi, maka lubang yang sudah dibuat tadi diisi dengan sampah organik (sampah yang bisa diurai, bukan sampah plastik atau sejenisnya). Setelah terisi penuh, tutuplah lubang resapan biopori yang kita buat tadi dengan tanah sisa galian lubang. Catatan : agar resapan biopori ini bisa berfungsi dalam waktu yang lama, sebaiknya penutup lubang resapan dibuat kuat misalnya dengan bahan semen (cor). Jika sewaktu-waktu diperlukan untuk mengisi ulang sampah organik, akan mudah dibuka. Karena sampah organik yang sudah berada di dalam lubang lambat laun akan berkurang volumenya karena terurai oleh micro organisme, maka perlu diisi kembali.
Prinsip kerja resapan biopori yang sudah berisi sampah organik, lambat laun akan memicu biota tanah seperti cacing, semut, rayap, dan akar tanaman yang ada disekitar resapan biopori akan membentuk rongga-rongga (lubang) di dalam tanah. Rongga-rongga tersebut berisi udara dan akan menjadi jalan menyalurkan air yang tertampung untuk kemudian meresap ke dalam tanah.
Manfaat menanam air hujan dengan cara ini antara lain, (1) meningkatkan jumlah atau volume air yang tersimpan di dalam tanah. (2) mengurangi laju penurunan tanah. Dengan teresapnya air tanah yang melimpah, akan mencegah masuknya air laut yang menyebabkan pengeroposan struktur tanah. (3) mengurangi ancaman terjadinya banjir. Dengan menanam air, berarti mengurangi volume air yang mengalir di permukaan tanah yang berpotensi menjadi penyebab bencana banjir. (4) mengubah sampah organik menjadi kompos. Sampah tersebut akan diurai oleh biota dan micro organisme tanah seperti cacing, rayap, semut, dan lainnya menjadi kompos atau humus yang berguna bagi kesuburan tanah. Selain itu sampah yang diurai tadi akan cepat diemisikan ke atmosfir, sehingga mengurangi emisi gas karbon dioksida (CO2 dan metan) yang menjadi biang pemanasan global (global warming).

Kesimpulan
       Menanam Air akan menjadi efektif, jika kita mau merubah pola pikir yang ditindaklanjuti dengan perbuatan nyata. Membuat lubang resapan biopori secara massal adalah salah satu alternatif untuk mengatasi kelangkaan air, yang bisa dilakukan oleh siapapun di lingkungan sendiri, murah, dan sederhana (tidak menuntut pemikiran dan kaidah teknologi yang njlimet). Agar gagasan ini bisa terwujud, tentunya dukungan pemerintah juga dibutuhkan, terkait fasilitasi pemetaan penyediaan daerah terbuka dan daerah resapan air serta instruksi ke daerah daerah.
___________________________________________________________
Daftar referensi :
10/10/2016 ;http://www.wwf.or.id
10/10/2016 ;http://alamendah.org
11/10/2016 ;http://geografi­geografi.blogspot.co.id/
11/10/2016 ;http://news.metrotvnews.com
11/10/2016 ;http://www.pu.go.id

Achmad Suryana ; 2005. Makalah. Semiloka Nasional Bidang IPTEK. Kebijakan, Kendala, dan Tantangan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional.


Monday, November 28, 2016

Asal Nama Desa Kedungbenda

Peninggalan Lingga Yoni di Desa Kedungbenda
Desa Kedungbenda terletak di Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga. Desa Kedungbenda di kelilingi oleh dua sungai besar yang menjadi batas administratif-nya, yaitu Sungai Serayu di sebelah Selatan dan Sungai Klawing di sebelah Utara desa. Desa Kedungbenda memiliki luas 397.2 hektare, dengan wilayah yang sebagian besar berupa tanah pertanian. Maka tak heran jika sebagian peduduknya bekerja sebagai petani. Selain sebagai petani, penduduk Desa Kedungbenda juga banyak yang bekerja sebagai penambang pasir, tukang kayu dan tukang nderes (mengambil nira bunga pohon kelapa untuk di jadikan gula merah).

Selain potensi pertanian yang besar, Desa Kedungbenda juga memilki potensi pariwisata yang menjanjikan. Dengan suasana desa yang masih asri, Kedungbenda menyimpan berbagai wisata alam yang menarik. Salah satunya adalah Congot, merupakan sebuah tempat dimana aliran dari Sungai Klawing dan Sungai Serayu bertemu sehingga menciptakan kontras warna yang cantik di antara kedua aliran sungai tersebut. Dengan suasana yang masih hijau kebiruan dari barisan perbukitan di sebelah Selatan menambah cantik pemandangan di area ini.

Selain potensi wisata Congot, Kedungbenda juga memiliki wisata sejarah, yaitu Panembahan Durna/Lingga Yoni. Lingga Yoni merupakan sebuah  situs kuno peninggalan dari masa Hindu-Budha. Bangunan ini memiliki bentuk berupa batu besar dengan panjang -/+ 1 m dan berdiameter -/+ 30 cm. Situs ini sangat berkaitan kental dengan cerita tentang sayembara antara Pandawa dan Kurawa dalam membuat bengawan atau sungai yang berakhir di laut. Bukan itu saja, Desa Kedungbenda juga memiliki wisata air di Sungai Klawing, wisata ini menawarkan panorama sungai Klawing dan Jembatan Linggamas dari atas perahu. Apalagi saat ini pariwisata di Desa Kedungbenda sedang gencar-gencarnya di bangun.

Setalah kita mengetahui berbagai potensi yang terdapat di Desa Kedungbenda, mari kita selidik asal usul desa Kedungbenda agar kita bisa lebih dekat dengan desa ini. “Kedungbenda” mendengar namanya saja kita pasti bertanya-tanya kenapa desa ini di namakan seperti itu. Namun ada beberapa opini yang mengatakan bahwa nama itu diberikan karena banyak masyarakat Desa Kedungbenda pada zaman dahulu yang memiliki banyak harta. Harta sendiri dalam bahasa Jawa sering di sebut juga dengan bendha/bandha.  Dari opini tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa “Kedungbenda” memiliki arti sebagai tempat yang  masyarakatnya memiliki banyak harta.

Lepas dari opini tadi, mari kita cari tahu arti kata “Kedungbenda” dengan cara membedahnya. Kedungbenda terdiri dari dua kata yaitu Kedung dan Bendha. Kedung dalam bahasa Jawa memiliiki arti sebagai bagian dari sungai yang sangat dalam. Banyak orang yang mengasumsikan bahwa jika ada orang yang masuk atau tenggelam kedalam kedung maka dia tidak akan pernah kembali. Wajar saja jika masyarakat berasumsi seperti itu karena memang  kedalaman kedung yang tidak dapat di perkirakaan. Sedangkan bendha/bandha dalam bahasa Jawa memiliki arti harta.

      Dari uraian arti di atas, dapat kita simpulkan bahwa arti atau asal usul nama Desa Kedungbenda karena desa ini merupakan sebuah tempat yang memiliki banyak harta/benda baik yang terpendam atau berupa situs-situs sejarah. Hal itu memang tak dapat di pungkiri sebab sudah banyak benda-benda bersejarah yang di temukan di Desa Kedungbenda.

Benda-benda tersebut kebanyakan di temuakan secara tidak sengaja oleh penduduk desa. Ada yang di temukan saat warga akan membangun pondasi rumah, dan adapula yang di temukan saat warga sedang bertani. Itu membuktikan bahwa desa Kedungbenda memang kaya akan benda-benda bersejarah. Benda-benda bersejarah yang pernah di temukan oleh warga di antaranya adalah berupa koin, alat-alat dapur, dan bebagai jenis gerabah.
Begitulah sejarah singkat Desa Kedungbenda yang sudah dipaparkan diatas. Sumber-sumber referensi yang digunakan untuk menulis sejarah desa ini dari berbagai sumber, diantaranya dari internet dan wawancara. Semoga tulisan ini bermanfaat.
           
Sumber Referensi:
Irkhamudin-story.blogspot.co.id, diakses tanggal 3 Oktober 2016.
Wawancara dengan Bapak Sahedi, 4 Oktober 2016.
Wawancara dengan Ibu Gonem, 4 Oktober 2016.

Sunday, November 27, 2016

Jalan Kopral Tanwir Gang Panca

Sudut Jalan Kopral Tanwir

Friday, November 25, 2016

Asal Usul Desa Kalikajar

Kantor Desa Kalikajar

Monday, November 21, 2016

Kompleks Kauman di Purbalingga

Kompleks Kauman 

Kauman adalah nama suatu daerah, yang khususnya berada di Jawa, terutama Jawa Tengah. Kabupaten yang memiliki daerah yang bernama Kauman, pasti memiliki pola struktur pemilihan wilayah yang sama satu sama lain disekitar pusat pemerintahan.

Pola struktur wilayah tersebut konon katanya diciptakan oleh para Walisongo yang memberikan nilai filosofis tinggi. Pola tersebut memiliki arti bahwa wilayah tersebut adalah wilayah yang baik, nyaman, aman, tentram, dan sejahtera. Maka dibentuklah pola seperti itu. 

Pola stuktur Kauman yaitu, disebelah utara alun-alun terdapat pendopo, dan depan pendopo ada alun-alun. Dalam alun-alun tersebut sudah dapat dipastikan ada pohon yaitu pohon beringin. Namun pohon beringin yang ada di alun-alun Purbalingga sudah tidak ada, karena beberapa waktu lalu diterjang hujan deras beserta angin kencang yang menumbangkan pohon beringin tersebut.

Disebelah Timur alun-alun, terdapat rumah tahanan atau lapas (LP). Disebelah Barat alun-alun terdapat Masjid besar, yaitu Masjid Agung Darussalam Purbalingga. Disebelah Timur pendopo terdapat kantor DPRD Kabupaten Purbalingga, sedangkan disebelah Barat pendopo atau di sekitar masjid terdapat suatu wilayah yang sesuai filosofi diatas dan dikenal dengan istilah Kauman. 

Dalam bahasa Arab, Kauman memiliki arti, yaitu desa yang orang-orangnya selalu mendirikan sholat. Jadi pada dasarnya orang kauman itu seharusnya merupakan orang yang selalu mendirikan sholat. Berarti makmur tidaknya suatu Masjid besar sangat tergantung dari seberapa besar warga Kauman itu yang melaksanakan sholat wajib tiap lima waktu. Sedangkan secara garis besar,  Kauman berarti suatu tempat yang mendiami wilayah disekitar Masjid besar Kabupaten.

Masyarakat Kauman  menurut sejarah lesan, adalah berasal dari satu keturunan. Keturunan tersebut menggeluti secara mendalam di bidang agama, khususnya agama Islam. Banyak para masyarakat Kauman ini menjadi tokoh nasional saja, tetapi juga tokoh internasional. Bahkan sebenarnya, jalur komunikasi masyarakat kauman dengan pusat Islam (Mekah dan Madinah) telah terjalin turun temurun hingga sekarang. 

Sebagai contoh, Syekh Nahrawi al banyumasyi. Beliau adalah seorang ulama yang sangat masyhur di tanah Arab. Beliau mempunyai murid yang sangat banyak, bahkan menjadi Hakim Agung di Arab Saudi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih tetap berkomunikasi dengan tanah leluhurnya di Kauman Purbalingga.

Di Kauman ada juga tokoh yang terjun dibidang politik. Beliau adalah H. Supriyadi. Beliau berasal dari Desa Kalijaran Kecamatan Karanganyar. Beliau adalah putra dari KH Hisyam Amrullah, seorang panutan yang sangat disegani di Purbalingga. 

KH Hisyam ini merupakan seorang ulama dari Purbalingga. H. Supriyadi juga aktif di Nahdlatul Ulama Purbalingga, dan pada periode 1977-1981 beliau menjabat sebai Ketua Pengurus cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Purbalingga. Beliau adalah sosok yang humoris, dan peduli dengan sesama. Dimulai dari sebagai anggota DPRD Kabupaten Purbalingga, menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Purbalingga beberapa kali dan terakhir beliau menjabat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1984-1989 utusan daerah.

Begitupun, dari Kauman muncul pula generasi-generasi unggulan. Tidak hanya pada level daerah tapi juga telah merambah ke nasional. Salah satu anak perempuan dari H. Supriyadi, yaitu Hj. Nurul Hidayah Supriyadi adalah contohnya. Beliau kini menjadi anggota DPRD Purbalingga, dan telah banyak memberikan inspirasi kepada masyarakat bagaimana sebenarnya menjadi diri yang baik dan dapat bermanfaat bagi yang lain.

Sumber Referensi:
http://acmesklawing.blogspot.co.id/2009/01/kauman-pbg.html., diakses tanggal pada 5 November 2016.
Wawancara dengan Bapak Mutohar pada tanggal 5 November 2016.

Saturday, November 19, 2016

Watulintag di Desa Sokanegara

TPQ di Desa Sokanegara

Desa Sokanegara yang terletak di Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga. Disini terdapat aliran sungai kecil yang mengalir dari Timur ke Barat membelah desa kecil tersebut menjadi 2 bagian. Sungai kecil tersebut biasanya di sebut “kali/sungai plampon” oleh masyarakat sekitar. Di sebuah tepian Sungai Plampon di sebelah Timur terdapat  sebuah keindahan atau keunikan yang tidak biasa, yaitu adanya batu yang jatuh dari langit dan berukuran sangat besar jauh berbeda dengan ukuran batu-batu yang lainnya, besarnya digaris tengah sekitar 4 meter sehingga banyak orang yang penasaran dan ingin melihatnya.

Selain batu tersebut berukuran sangat besar, batu tersebut juga mengeluarkan cahaya yang mampu menerangi seluruh desa ketika malam hari. Tidak hanya penasaran saja, tetapi orang-orang datang untuk menikmati keindahan batu tersebut. Karena batu tersebut jatuh dari langit dan ukurannya sangat besar serta memancarkan cahaya, oleh masyarakat sekitar batu tersebut di beri nama “Watu Lintang” atau dalam bahasa Indonesia disebut “Batu Bintang”. Masyarakat di sekitar menganggap batu tersebut adalah bintang yang jatuh dari langit.

Tidak ada yang melihat kapan persisnya batu tersebut jatuh di desa mereka, yang mereka tau tiba-tiba sudah ada batu tersebut di tepian Sungai Plampon di desa mereka. Sejak adanya batu tersebut, Desa Sokanegara menjadi terang benderang baik saat siang ataupun malam hari, karena di terangi oleh cahaya yang terpancar dari batu tersebut. Hal tersebut membuat orang-orang merasa senang, dan mereka tidak bosan-bosan untuk datang hanya untuk melihat keindahan batu tersebut.

Pada suatu malam cahaya yang terpancar dari watu lintang tersebut tiba-tiba menjadi padam. Hal itu disebabkan karena ada orang yang tidak suka dengan cahaya yang bersinar terang dari batu tersebut, oleh karena itu orang tersebut sengaja ingin mematikan cahaya dari batu lintang tersebut. Orang itu ternyata adalah orang yang mempunyai kekuatan gaib (sihir) dan seorang pencuri, biasanya dipanggil dengan sebutan Malingguna dan Malingsakti.

Disebut Malingguna karena orang tersebut hanya mengambil atau mencuri barang-barang orang yang kikir dan kemudian barang-barang hasil curian tersebut akan dibagikan kepada fakir miskin. Sedangkan Malingsakti adalah orang yang di yakini oleh masyarakat sekitar desa sebagai orang yang memiliki kesaktian dan orang tersebutlah yang telah mematikan cahaya yang terpancar dari watu lintang tersebut menjadi padam.

Setelah kejadian itu berlalu, orang-orang dan masyarakat sekitar desa mulai menyadari bahwa sebenarnya Batu Lintang tersebut padam bukan karena ulah atau perbuatan Malingguna dan Malingsakti yang selama ini mereka yakini sebagai orang yang menyebabkan padamnya cahaya yang bersinar dari batu lintang tersebut. Tapi watu lintang tersebut padam karena kehendak dari Allah Yang Maha Kuasa yang dengan kehendak-Nya membuat desa yang dulunya terang benderang saat malam hari, menjadi gelap gulita kembali seperti sebelumnya.

Hal tersebut karena orang-orang dan masyaraat di sekitar Desa Sokanegara tidak peduli dan tidak pernah memperhatikan  nasib orang-orang fakir miskin yang ada di sekitar mereka, sehingga Allah memberi mereka teguran kepada mereka dengan cara membuat desa mereka kembali gelap gulita dan mereka tidak bisa lagi menikmati keindahan batu lintang yang selama ini mereka kagumi. Orang-orang dan masyarakat fakir miskin yang pernah di tolong oleh Malingguna dan Malingsaktipun merasa sangat bersalah dan menyesal telah menuduh malingguna dan malingsakti sebagai orang yang jahat dan menyebabkan watu lintang menjadi padam. SEKIAN.

Sumber Referensi:
http://alas-news.blogspot.co.id/2012/03/watu-lintang.html., diakses tanggal 30 November 2016.

Wednesday, November 16, 2016

Asal Nama Desa Kalimanah Wetan

Balai Desa Kalimanah Wetan (dokpri)

arifsae.com - Desa Kalimanah Wetan merupakan salah satu bagian dari Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Kalimanah Wetan termasuk salah satu desa yang dapat dikatakan makmur, hal tersebut dikarenakan SDA yang dimiliki Kalimanah Wetan sangat melimpah. Terutama jika dilihat dari sektor pertanian dan perkebunan. 

Karena hal tersebut, maka banyak rakyat Kalimanah Wetan yang bermata pencaharian sebagai petani. Namun, banyak yang belum tahu bahwa sesungguhnya nama “Kalimanah Wetan” memiliki sejarah yang menunjukan dari mana nama tersebut muncul.

Dari banyak sumber yang telah tertera di Internet dapat diketahui bahwa sebenarnya asal mula nama desa Kalimanah Wetan merupakan Legenda yang pernah terjadi masa lampau. Diperkirakan pada tahun 1700an berdirilah sebuah kadipaten di sisi selatan gunung Slamet. Kadipaten Wilahan namanya dan Ki Wilah sebagai adipatinya. 

Ki Wilah adalah mantan seorang panglima besar dari Kerajaan Mataram yang kemudian diusir. Sehingga Ki Wilah pergi menuju ke arah Selatan gunung Slamet untuk mendirikan Kadipaten. Dalam menjalankan pemerintahannya Ki Wilah memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga rakyat pada masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran. 

Sampai pada suatu saat datanglah segerombolan perampok yang mendatangi Kadipaten Ki Wilah. Para perompok tersebut melakukan banyak tindakan yang tidak berperikemanusiaan layaknya pencurian, pemaksaan, penyiiksaan dan lain sebagainya. Mendengar hal tersebut Ki Wilah merasa marah dan tidak terima. Pada akhirnya Ki Wilah turun tangan dan mengarahkan pasukannya untuk melawan para perampok tersebut dan mengusir mereka dari Kadipaten tersebut.

Perang tersebut pun berlangsung dengan sangat sengit dan hasil akhir dari peperangan tersebut dimenangkan oleh Ki Wilah dan pasukannya. Para mayat perampok tersebut  dibuang ke sungai dan setelah hari demi hari berlalu, para mayat tersebut membusuk dan mulai mengeluarkan nanah. Dari situlah asal mula nama Kalimanah tercipta. Sedangkan nama “Kalimanah Wetan” tercipta karena letak “Kali” yang berada di arah Wetan.

Setelah kemerdekaaan Republik Indonesia diadakan beberapa kali penataan pemerintahan daerah, hingga terjadi penggantian penyebutan kelurahan menjadi desa sampai sekarang. Nama-nama tokoh yang pernah menjabat sebagai lurah atau kades desa Kalimanah Wetan antara lain Broto Atmojo, Eyang Dongkol Yasmeja, Atmo Sukarjo, Sukaryo Yudo Sunaryo, Kanapi (carteker), Ibu Kusmarkati, Karsiman, Ramelan, dan sekarang (2014) Sentot Herlambang. 

Itulah tokoh-tokoh yang pernah dan sedang mengukir sejarah perjalanan desa Kalimanah Wetan. Karena jabatan Lurah atau Kades bukan atas dasar keturunan maka anak-anak keturunannya tidak otomatis menjadi kades, namun bekerja baik di sektor swasta maupun di pemerintahan, sebut saja contoh Ir. Sigit Subroto, MT  putra Ibu Kusmarkati, Wahyu Ekonanto, SH. cucu Eyang Dongkol Yasmeja,  tidak menjabat kades, tapi menjadi pegawai pada Kantor Pemerintah Kabupaten Purbalingga.

Kemudian untuk menunjang aktivitas kerja pemerintahan desa maka dibangunlah balai desa Kalimanah Wetan, dengan memugar bangunan SD Negeri 2 Kalimanah yang merupakan bangunan tinggalan kolonial Belanda yang dibangun tahun 1930. Balai Desa ini dibangun tahun 1976 ketika itu yang menjabat Lurah Sukaryo Yudo Sunaryo. Desain gambar dikerjakan oleh Bapak Japar Rumekso guru pada Sekolah Teknik Negeri 2 Purbalingga di Kalimanah. Kemudian di era kepemimpinan Kades Ramelan balai desa mengalami renovasi  lagi, sampai menjadi bentuk yang megah seperti sekarang ini.

Sumber Referensi:
http://kartama.net/index.php/10-kalimanah-wetan/1-asal-usul-nama-desa-kalimanah-wetan., dikases tanggal 5 November 2016.
Penulis Diman Wahyu Addifa

Tuesday, November 15, 2016

Sukun Sebgai Alternatif Substitusi Beras

arifsae
Tanaman Sukun
Sebagian masyarakat Indonesia memang sudah familiar dengan beras sebagai makanan pokoknya. Indonesia menurut data dari BPS, merupakan negara dengan konsumi beras tertinggi di dunia. Penduduk Indonesia yang sudah mencapai 250 Juta memerlukan kira-kira 30 Juta ton beras untuk keperluan pangan nasional. Kedepannya, kebutuhan beras akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semaikin meningkat. Namun bila kita melihat produksi padi nasional, rasanya sulit untuk mencapai swasembada beras, hal ini karena berkurangnya lahan dan irigasi yang terbatas menyebabkan persedian beras dimasa datang akan terancam menurun.

Keteergantungan orang Indonesia terhadap beras sangat beresiko terhadap ketahanan pangan nasional, karena hal ini akan merapuhkan kondisi stabilitas ekonomi, sosial dan politik nasional. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam mencanangkan diversifikasi pangan yang bertujuan untuk memberikan makanan alternatif pada masyarakat Indonesia harus kita dukung, karena dengan diservikasi pangan ini akan mengurangi ketergantunga kita dengan beras. Selain itu, semakin banyak fariasi makanan pokok, maka akan berdampak pada bertambahnya kualtias konsumsi masyarakat. Makanan seperti sukun, talas dan ubi-ubian perlu dipertimbangkan sebagai alternatif untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. dalam tulisan ini, akan dibahas lebih spesifik Sukun sebagai makanan alternatif.

Sukun dan Daya Pangan Lokal
Sebagai negara yang mempunyai iklim tropis, Indonesia memiliki semua sumber daya hayati maupun hewani. Berbagai tumbuhan dapat hidup dan berkembagn dengan sangat baik diwilayah tropis ini, termasuk dalam hal ini adalah tanaman pangan untuk manusia. Tanaman pangan yang mengandung karbohidrat ini berperan sangat penting untuk pemberi stok makanan pokok pada suatu negara. Di Indonesia sendiri, tanaman yang mengandung karbohidrat sangat banyak, bukan hanya beras, seperti jenis umbi-umbian seperti sukun. Sukun yang nama latinya Astocarpus astilis ini juga merupakan makanan penghasil karbohidrat yang masih jarang dilirik oleh masyarakat Indonesia.

Tanaman sukun ini termasuk kedalam keluarga moraceae  yang tumbuh subur di Pacifik, Polynesia dan Asia Tenggara sendiri, termasuk Indonesia. Pada zaman dahulu, sukun merupakan makanan penting bagi bangsa Polinesia yang selalu membawa kemanapun mereka singgah dan menanamnya disekitar kepulauan Pacifik. Dalam tradisi Hawai, sukun dianggap sebagai sebuah simbol penggugah kedermawanan dan kreatifitas. Hingga saat ini, negara yang menggunakan sukun sebagai makanan pokoknya adalah negara-negara disekitar Kepulauan Karabia.

Di Indonesia, terutama di pulau Jawa, Sukun berbentuk bulat, sedangkan didaerah lainnya seperti Lampung berbentuk lonjong atau di Kalimantan ukurannya lebih kecil. Disamping sebagai sumber pangan, buah sukun juga bisa dimanfaatkan daunnya, seperti menurunkan kadar kolesterol darah, atau obat untuk mengaasi peradangan. Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian sejak tahun 2002 telah merintis produksi sukun yang terus meningkat. Berbagai daerah yang mengalami peningkatan seperti di Jawa Barat (terbesar) dan Jawa Tengah (terbesar kedua). Hal ini mengindikasikan, daerah Jawa yang paling padat pendudukanya dibandingkan dengan pulau yang lainnya bisa memanfaatkan sukun ini sebagai alternatifnya.

Diluar pulau Jawa sendiri, sudah banyak masyarakat yang mengkonsumsi makanan laiun selain beras sebgai makanan pokoknya, seperti Jagung (Madura dan Sulawesi), dan Sagu (Maluku dan Papua), sehingga tidak terlalu sulit untuk menggali sumber pangan lain yang mempunyai kesetaraan dengan beras. Sukun sendiri apabila dibandingkan dengan beras tidak terlalu berbeda, kandungan karbohidrat dari 100 gram sukun sama dengan 1/3 karbohidrat beras. Apabila sukun diolah menjadi tepung sukun, maka kandungan karbohidratnya sudah setara dengan beras dan kalau dibandingkan dengan makanan sepreti Jagung dan Sagu, maka sukun masih mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi.

Potensi Pengganti Beras
Untuk menghitung potensi produski sukun sebagai sumber karbohidrat pengganti beras nasional, maka perlu dihiutung berdasarkan tingkat konsumsi perkapita pertahun. Menurut Supriyati (2015), jika konsumsi beras adalah 130 kg/kapita/th, maka untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 231 juta orang saat ini diperlukan 130 kg x 231,4 juta = 30,1 juta ton beras per tahun. Kandungan karbohidrat dari 100 gram beras setara dengan 100 gram tepung sukun, masing-masing 78,9%. Berarti 1 kg beras setara dengan 1 kg tepung sukun atau apabila kebutuhan beras 130 kg per kapita per tahun berarti setara dengan 130 kg tepung sukun per kapita per tahun.

Tanaman sukun berbuah dua kali dalam satu tahun, di mana musim panen pertama umumnya pada bulan Januari dan Februari yang produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan panen musim kedua pada bulan Agustus dan September. Jika produksi optimal tanaman sukun pada musim panen pertama berkisar antara 600-700 buah dan pada musim panen kedua diasumsikan 50% atau 300 buah, maka satu tanaman sukun dapat menghasilkan 600 buah + 300 buah = 900 buah per tahun. Faktor geografis, agroekosistem, dan potensi lahan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat produksi sukun. Jika dalam estimasi potensi sukun ini digunakan nilai koreksi antaragroekosistem sebesar 30%, maka produksi buah sukun per tanaman rata-rata 600 buah. Dengan asumsi bobot rata-rata sebuah sukun 600 gram (Syah dan Nazarudin 1994), dan rendemen buah menjadi tepung adalah 30% (Noviarso 2003) maka satu tanaman sukun dapat menghasilkan 600 buah x bobot per buah persentase kadar tepung per buah = 600 buah x 600 gram x 30% = 108.000 gram tepung sukun per tanaman atau 108 kg tepung sukun per tanaman.

Apabila 10% dari kebutuhan beras di Indonesia disubstitusi oleh tepung sukun, maka jumlah tanaman sukun yang dibutuhkan untuk memproduksi 3 juta ton tepung sukun dikalkulasi sebagai berikut: Jumlah kebutuhan karbohidrat per tahun dibagi dengan rata-rata produksi karbodihrat per tanaman sukun per tahun = 3.000.000.000 kg : 108 kg = 27,8 juta tanaman sukun. Ini berarti untuk mensuplai 10% kebutuhan karbohidrat nasional per tahun dibutuhkan 27,8 juta tanaman sukun. Mengingat biaya untuk pengembangan sukun tidak sedikit dan daya penerimaan masyarakat terhadap substitusi pangan ini tidak sederhana, maka mensubstitusi beras dengan tepung sukun dapat secara bertahap dengan cara memperkenalkan variasi olahan makanan yang bersumber dari tepung sukun yang pada akhirnya terjadi proses perubahan pola konsumsi masyarakat. Artinya proses substitusi ditawarkan kepada masyarakat tidak sekaligus, tetapi mengikuti selera konsumen.

Masalah yang akan dihadapi adalah ketersediaan lahan untuk pengembangan sukun. Apabila untuk substitusi beras menggunakan angka 10%, maka diperlukan lahan seluas 278.700. ha. Lahan seluas itu sulit diperoleh apabila sukun ditanam secara monokultur. Alternatifnya adalah penanaman secara polikultur bersama-sama dengan tanaman lainnya, tanaman sukun disisipkan pada hamparan kebun buah-buahan lain atau pekarangan. Prioritas penanaman sebaiknya diarahkan pada lahan kering, tegalan, kebun dan pekarangan, atau lahan terlantar berbukit yang ketersediaan airnya terbatas. Jenis lahan seperti itu banyak terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusatenggara, dan Sulawesi.

Selain lahan kering tersebut, pemerintah juga dapat memanfaatkan kawasan hutan rakyat yang luasnya diperkirakan 1,57 juta ha. Total lahan kering yang tersedia adalah 18,9 juta ha. Lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman sukun pada tingkat substitusi 10% adalah 278,700 ribu ha. Dengan demikian, pada lahan yang tersedia dimungkinkan untuk ditanam sukun bukan secara monokultur. Kebutuhan lahan akan berkurang lagi jika memperhatikan luas pertanaman sukun yang telah ada di Indonesia.

Sukun sebagai sumber karbohidrat pengganti beras memberikan harapan di masa depan, mengingat budi daya tanaman sukun tidak memerlukan lahan beririgasi dan input produksi berupa pemupukan, dan pestisida minimal, sehingga dapat dikatakan tanaman dengan input rendah namun tetap berproduksi dua kali dalam setahun. Potensi pengembangan tanaman sukun terbuka luas mengingat tanaman ini dapat berkembang pada ketinggian sampai sekitar 700 m di atas permukaan laut, dan sangat cocok untuk agroekosistem yang banyak mendapat sinar matahari seperti wilayah tropis, bahkan tanaman sukun tetap dapat berkembang meskipun curah hujan relatif kurang.

Sukun: Sebuah Solusi?
Sukun termasuk tanaman asli tropik, tumbuh baik di dataran rendah beriklim lembab panas dengan temperatur 15-380C. Kisaran toleransi tumbuhnya cukup lebar, mulai dari wilayah pantai sampai ketinggian 700 m dari permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap curah hujan tinggi, 80-100 mm per tahun dengan kelembaban 50-70% (Morton 1987) Bahkan sukun dapat tumbuh dipulau karang dan pantai. Pada musim kemarau, di saat tanaman lain menurun produksinya, sukun justru dapat menghasilkan buah dengan lebat.

Kita tau bahwa tanaman sukun mempunyai peluang besar untuk menopang kebutuhan sumber pangan karena mempunyai kandungan gizi dan kalori yang tinggi. Pengembangan tanaman ini secara intensif akan berkontribusi terhadap upaya menjamin ketahanan pangan nasional. Mengingat kandungan karbohidratnya tinggi, sukun mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan makanan pokok substitusi beras. Sukun dapat dipanen pada bulan Januari dan Agustus, bersamaan waktunya dengan petani kekurangan beras.

Tanaman sukun merupakan tanaman yang sedikit memerlukan perawatan dan dapat dibudidayakan pada berbagai kondisi agroklimat. Keterbatasan lahan maka diperkirakan produksi sukun hanya mampu mensubstitusi beras 10%, sukun diproduksi secara polikultur, disisipkan pada kebun buah-buahan dan pekarangan. Diperlukan penguasaan teknologi pengolahan sukun, baik dalam bentuk pangan yang lebih menarik dan modern maupun tepung. Pengembangan sukun sebagai sumber pangan dilakukan melalui pendekatan integratif antara petani, asosiasi produsen, pedagang, industri pangan, dan pemangku kepentingan serta membangun komitmen, kebersamaan, konsistensi dan koneksitas jaringan mitra kerja untuk mewujudkan ketersediaan sukun sebagai sumber pangan alternatif yang dapat mensejahterakan rakyat.

Daftar Pusaka
Supriati, Y., I. Mariska, dan S. Hutami. 2015. “Mikropropagasi sukun (Artocarpus communis Forst), tanaman sumber karbohidrat alternatif”. Jurnal Ilmiah Nasional 7 (4): 219-226.

Sukmaningrum, A. 2013. “Formulasi produk makanan berkalori tinggi (pangan darurat) dari buah sukun”. Skripsi. Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Asal Usul Nama Desa Arenan

Kantor Desa Arenan

arifsae.com - Desa Arenan yang dulu konon namanya ARENGAN (yang artinya penghangusan), di masa ini masih menganut paham Islam Kejawen yang merupakan paham asli Jawa yang berasal dari ji-wi yang artinya satu tuhan, atau lebih di kenal tauhid.

Mengapa di namai dengan arengan? Karena di salah satu komplek di Desa Arenan yaitu Sambeng, konon di tempat ini adalah tempat pembakaran manusia-manusia jahat hingga menjadi areng, jadi tempat ini di sebut arengan, di Arenan terdapat kerajaan di tepi Sungai Gintung yang sekarang terkenal dengan Arca Desa Arenan, yang merupakan makam dari Jaka Gintung (asal mula nama Sungai Gintung), konon siapapun yang masuk ke Arengan/Arenan dengan Ilmu Kesaktian yang luar biasa maka ilmu itu akan musnah di Arenan.

Salah satu musuh besar adipati Arengan/Arenan adalah Eyang Pretymasa yang konon memiliki ilmu Rawarontek yang apabila di potong-potong bagian tubuhnya akan kembali utuh, karena ilmu tersebut maka Eyang Pretymasa di potong-potong menjadi beberapa bagian dan di kubur bagian-bagian tersebut terbatas oleh sungai agar tidak kembali utuh dan hidup lagi, Adipati Arenan yang yang menjadi musuh dari gembong penjahat pretymasa adalah Kyai Singayuda (singa perang) adalah anak kandung dari Syekh Makdum Wali Prakosa, cucu dari Syeh Makdum Jamil, Buyut dari Syeh Makdum Husen/ kayu puring, canggah dari Syekh Ngatas Angin/Syarif Abdulrohman Maghribi yang merupakan turunan dari Sayidina Ali.

Arengan/Arenan adalah desa yang penuh dengan history namun karena kurangnya penggalian sejarah maka masyarakat Desa Arenan kurang menghargai pendahulunya, sebagai contoh Makam Kyai Singayuda yang terletak di Desa Onje terbengkelai dan di gunakan oleh masyarakat untuk meminta nomor dan indang untuk ilmu pemanggilan roh di kuda kepang/ebeg, sampai saat ini juga masyarakat Arenan awam dengan nama Singayuda, mereka hanya tahu sebatas Eyang Ardanom dan Wangsadirana, di Desa Arenan juga masih banyak misteri yang belum terungkap seperti adanya makam Ki Adeg Ulung yang secara umum masyarakat desa hanya tahu sebatas cerita namun peziarah itu banyak yang dari luar kota sampai dari Jawa Timur.Ki Adeg Ulung adalah saudara dari Ki Lanang Jagat yang makamnya di Gunung Jati Rawalo Banyumas.

Sejarah kutukan ikan tambra bagi masyarakat Desa Arenan kutukan masyarakat Arenan tidak boleh memakan ikan tambra. Semasa pemerintahan Adipati Singayuda, daerah Kadipaten Arenan (Sekarang Kecamatan Kaligondang) pernah mengalami gangguan keamanan yang membuat ketakutan, kegelisahan, kemarahan dan kebencian dikalangan masyarakat. Pelakunya adalah seorang gembong penjahat bernama Pretimasa asal Desa Sindang/Salam, yang masih saudara kandung dari Nyai Adipati Arenan sendiri.

Pretimasa terkenal sebagai seorang penjahat yang sakti Mandraguna, sehingga tak seorang pun diantara penduduk Arenan berani melawannya. Kesaktiannya pernah dibuktikan, pada suatu hari ia ditangkap secara beramai-ramai kemudian dibunuh dan mayatnya dipotong-potong. Tetapi apa yang terjadi? Pretimasa ternyata hidup kembali, setelah potongan-potongan mayatnya dimasukan ke dalam liang kubur. Sehingga menimbulkan banyak korban. Peristiwa ini telah menimbulkan kemarahan yang memuncak dikalangan masyarakat Desa Arenan.

Semua penduduk dikerahkan untuk menangkap dan membinasakan penjahat itu. Melihat keadaan kurang baik, penjahat ulung itu terpaksa melarikan diri bersembunyi kedalam sebuah batu yang dikenal dengan “Watu Wedus”. Barulah disini ia merasakan dirinya aman, karena tak seorangpun berani memburunya.

Setelah lama para penduduk berjaga disekitar batu itu kemudian seorang diantara mereka ada yang menemukan siasat. Untuk menangkap Pretimasa tak ada jalan lain kecuali minta bantuan kepada Nyai Adipati (Isteri Adipati Arenan). Karena dimintai pertolongan, segera Nai Adipati datang mendekati Pintu Wedus tersebut, membawa nasi bersama lauknya yaitu Pindang Ikan Tambara yang menjadi kegemaran Pretimasa.

Dengan tutur kata yan lemah lembut sebagai tipu muslihat, Nyai Adipati memanggil Saudara kandungnya yang sedang bersembuni didalam Watu Wedus itu. Semula tidak mau memenuhi panggilan itu, tetapi sesudah diberi tahu. Bahwa disekitar batu tersebut tak ada seorangpun, maka Pretimasa segera keluar dari tempat persembunyiannya. Kedua orang bersaudara itu saling berpelukan sebagai pelepas rasa rindu.

Terdorong oleh rasa letih dan lapar, segera Pretimasa memakan kiriman nasi bersama Pindang Ikan Tambara dengan lahapnya. Namun sama sekali ia tidak menduga, bahwa ratusan pasang mata sedang mengintai dari balik gerumbulan disekitarnya. Begitulah tatkala Pretimasa tengah menikmati nasi dengan Pindang Ikan Tambaranya, tiba-tiba ratusan orang secara serempak menubruknya. Melihat keadaan berbahaya ini, Pretimasa berusaha menyelamatkan diri masuk kedalam Watu Wedus kembali. Tetapi ia gagal, karena lubang Watu Wedus tertutup diduduki oleh Nyai Adipati. Akhirnya secara ramai-ramai gembong penjahat itu dihajar orang banyak yang sedang dibakar oleh kemarahan.

Sesaat sebelum menemui ajalnya, Pretimasa sempat member pesan (pepali), bahwa karena tidak tahu saudara, maka orang-orang Arenan dikelak kemudian dari keturunannya pada saanya mempunyai cacad “rimang” (penglihatannya kuran jelas). Selain itu orang-orang Arenan yang bertempat tinggal di sebelah Barat dan Timur sungai, dilarang makan Pindang Ikan Tambara. Kalau pesan ini dilanggar menurut Pretimasa, pasti bisa mendatangkan malapetaka. Salah-salah bisa mati, pesan tersebut memang hingga sekarang masih menjadi kepercayaan turun temurun di sementara penduduk Desa Arenan. Apakah selamanya pesa itu akan ditaati? Tentunya tidak, karena pesan sorang penjahat.

Akhirnya mayat Pretimasa kembali dipotong-potong dan masing-masing potongan dikubur diberbagai tempat secara terpisah. Diantaranya ada yang dikubur di Arcatapa, Pagedongan, Siwedus, Setana Wangi dan dipekuburan Makam Dawa. Maka habislah riwayat seorang penjahat ulung bernama Pretimasa yang pernah membuat onar penduduk Kadipaten Arenan waktu itu.

Sumber Refrensi : 
Wawancara dengan bapak Setio pada tanggal 28 Agustus 2016 bertempat di Desa Arenan Kecamatan Kaligondang. Dan diakes pada tanggal 18 Agustus 2016 pada web https://desaarenan.wordpress.com/profile/



Tuesday, November 8, 2016

Asal Nama Desa Bojong Penisihan

Kantor Kelurahan Bojong
    
arifsae.com - Desa Bojong Penisihan berada di Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Daerah ini memiliki banyak kekayaan alam yang bermanfaat dan daerahnya pun masih asri dan segar. Sebagian Penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai petani. Daerah ini berbatasan dengan Desa Toyareka yang berada di sebelah Barat, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Toyareja sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan desa Kedungmenjangan.

Menurut sumber dari Mbah San Marji Slamet yang kini berusia 83 tahun mengatakan, bahwa sekitar tahun 1940-an banyak sekali petinju-petinju handal yang dulu di sebut Ujungan. Ujungan merupakan tradisi atau pertarungan dengan cara saling memukulkan ke arah lawan dengan kayu besar. Biasanya tradisi ini dilakukan di lapangan,  tradisi atau pertarungan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui desa mana yang paling unggul. Awal mula penamaan desa Bojong ini dimulai dari adanya pertarungan atau tradisi yang dilakukan oleh petinju-petinju handal dari desa Toyareka dan Wirasaba, namun petinju dari Toyareka dapat dikalahkan oleh petinju handal Wirasaba.

Kemudian petinju Toyareka yang sekaligus dijuluki sebagai  Demang atau Penatus atau Lurah itu melarikan diri dan mencari daerah yang sekiranya aman untuk bersembunyi. Dan Demang itu pun  menemukan suatu daerah yang masih berupa pekarangan dan masih seperti hutan, selepas itu banyak orang-orang yang sering menyisih atau menjadikan daerah itu sebagai tempat persembunyian dari serangan musuh, dan jarang terdapat orang mati yang terbunuh di daerah itu, bahkan tempat ini dijadikan sebagai tempat persembunyian dari penjajah Belanda dan Jepang pada masa itu. Setiap orang mengganggap bahwa daerah itu adalah daerah yang paling aman sebagai tempat persembuyina dari segala macam bahaya.

Akhirnya masyarakat pada masa itu menamakan daerah tersebut dengan nama “Penisihan” yaitu  Nisihan dalam kata Jawa yang berarti tempat untuk Menyisih atau tempat untuk bersembunyi. Awalanya desa ini hanya bernama desa Penisihan namun karena daerah ini berada tepat dibelakang daerah desa Bojong akhirnya disambung menjadi Desa Bojong Penisihan. Setelah itu Demang membuat jalur dari perbatasan Desa Bojong sampai ke Desa Toyareka. Dan pada saat itu keadaan jalannya masih sangat sederhana di setiap pinggir jalan hanya dibatasi dengan bambu (Pring Nggendani). Desa ini dibentuk pada masa Pemerintahan Bapak Presiden Ir. Soekarno.

Dulu di desa ini juga banyak sekali tradisi-tradisi seperti adanya tradisi iha. Tradisi ini adalah kebiasaan para lelaki yang suka berambut panjang, yang sering mengadakan acara atau Nayuban yang biasa disebut Lengger. Tradisi yang tidak boleh dilanggar juga terdapat didesa ini seperti tradisi tidak boleh mencari Jodoh dengan warga Desa Mewek karena melangkahi Kali Keramean yang menjadi jarak antara desa Mewek dengan Desa Bojong. Konon katanya yang melanggar tidak akan nyaman berkeluarga dan salah satu keluarganya  pasti akan ada yang sakit-sakitan. Hal ini juga masih dipercayai sampai sekarang dan buktinya juga sudah ada dan diketahui oleh masyarakat desa ini. Tradisi ini juga berlaku untuk anak perempuan yaitu hanya memakai selembar kain atau  jarit yang digunakan sebagai baju sehari hari di desa ini.

Desa Bojong Penisihan ini juga mempunyai peninggalan berupa Babad Jawa yaitu babad Jebug Kesuma yaitu untuk dimainkan di pertunjukan Ketoprak. Babad ini adalah pemberian dari salah satu wali sanga pada masa itu. Babad di desa ini juga memiliki musuh yaitu dengan Babad Sokaraja. Demikian asal usul dari Desa Bojong Penisihan. 

Referensi:
Wawancara dengan Mbah San Marji Slamet pada 05 Oktober 2016.