Saturday, December 17, 2016

Tinjauan Ulang HUT Purbalingga: Perspektif Yuridis

Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga
Awal tahun 2016, Kabupaten Banyumas merayakan Hari Jadinya dengan suasana yang berbeda. Selama 25 tahun, Kabupaten Banyumas merayakan HUT pada tanggal 6 April. Kini warga Banyumas merasakan moment spesial, yaitu dengan perubahan perayaan HUT menjadi tanggal 22 Februari. Apresiasi yang tinggi untuk Prof. Dr. Sugeng Priyadi, guru akademik penulis, yang mencurahkan tenaga dan pikirannya hampir 25 tahun untuk “menggugat” HUT Banyumas. Hal ini membuat daerah-daerah lain juga melihat kesempatan yang sama untuk bertanya keapada sejarah daerahnya masing-masing? Apakah selama ini HUT yang dirayakan sudah sesuai dengan fakta sejarah?
Sebagai warga asli Purbalingga, pertanyaan diatas pun sempat tersirat dibenak, karena tidak menutup kemungkinan bahwa dengan ditemukannya dokumen-dokumen baru, maka akan menambah diskusi tentang Hari Lahirnya Purbalingga. Bukan hal yang mustahil, hari lahir yang selama ini dirayakan, hanya sebuah legitimasi politik tanpa melihat fakta sejarah. Hal ini menjadi disorientasi historiografi yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Berikut sedikit pemaparan yang penulis sajikan.

Prolog: Penyampaian Dokumen
Dalam proses pengupulan data, penulis dihadapkan kepada seorang anak yang menyodorkan sebuah makalah kuno berangka tahun 1988. Tahun yang sama dengan tahun kelahiran penulis. Jadi sudah 28 tahun (black: dari 1988-2016) makalah itu dibuat. Makalah ini merupakan hasil penelitian dari Panitia Peneliti Hari Jadi Kabupaten Purbalingga, dan legalitasnya diakui pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Purbalingga dengan Nomor: 433-175 Tanggal 1 Februari 1988. Artinya, tim ini memang dibentuk oleh Bupati sendiri untuk menelusuri hari lahir yang sesuai dengan fakta sejarah.
Dalam SK tersebut, bertindak sebagai pelindung/penasihat adalah Bupati Purbalingga sendiri, yaitu Bapak Drs. Soekirman. Tim ini diketuai Drs. Molejana, Sekertaris wilayah Daerah Tingkat II Purbalingga. Sedangkan Ketua I dijabat oleh B. Soesasi Kepala Kantor Depdikbud Kabupaten Purbalingga, dan untuk Ketua II diduduki oleh R. Soedjaman Mertodibroto, Pensiunan Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingka II Purbalingga. Tim ini beranggotakan 10 (sepuluh) orang dari berbagai latar belakang, termasuk didalamnya adalah Tri Atmo, seorang sejarawan senior yang bersahaja. Beliau concern dengan sejarah Purbalingga dari Babad Purbalingga sampai sejarah kemerdekaan di Purbalingga.
Sementara itu, DPRD Kabupaten Tingkat II Purbalingga juga membentuk sebuah Panitia Khusus, dengan tugas menyusun analisa dari sumber Arsip Nasional. Panitia Khusus ini, juga diakui legalitiasnya dengan SK Pimpinan DPRD Kabupaten Daerah Tingakt II Purbalingga bernomor: 01/Pim.DPRD/1988 Tanggal 19 Januari 1988. Tim khusus ini beranggotakan 13 (tigabelas) orang, yang diketuai oleh Karsono, Ketua DPRD Purbalingga. Anggotanya berasal dari ketua Komisi dan ketua Fraksi-Fraksi waktu itu.
Sebelum dibentuk tim ini, tahun 1984 telah dilakukan pengumpulan sumber awal untuk menentukan hari jadi Kabupaten Purbalingga. Langkah awalnya dengan terbentuk“Panitia Empat” yang telah menyusun Buku Babad dan Sejarah Purbalingga. Kemudian dari Panitia Empat ini, terbentuk lagi sebauh Panitia Penyusun/Penyempurna Buku/Naskah Sejarah Purbalingga yang kemudian terbentuklah Tim Peneliti Hari Jadi Kabupaten Purbalingga. Tim peneliti menelusuri sumber-sumber berupa dokumen langsung dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta.

Bupati Pertama: Perspektif Yuridis
Awalnya, Purbalingga merupakan sebuah “Kademangan” dari wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kademangan ini dipimpin oleh Raden Demang Prawirodimedjo, dalam perkembangannya, daerah Kademangan ini dinaikan tingkatanya dengan status “Distrik”. Sehingga Raden Demang Prawirodimedjo diangkat sebagai kepala Distrik dengan gelar Raden Ronggo Yudonegoro. Raden Ronggo Yudonegoro merupakan anak dari Bekel Kiai Wirowidjojo dan cucu dari Bupati Temanggung, yaitu Wiro Digdo yang berpusaat di Surakarta.
Sumber mengenai Raden Ronggo Yudonegoro dapat dilihat dari “Surat Residen Kedoe”, tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 yang ditujukan kepada Luietenant Gouvereur Generaal (LGG) dan Surat Resolusi tanggal 4 Februari 1834 Nomor 1. Dalam surat itu, berisi tentang kondisi kerusuhan yang terjadi akibat Perang Diponegoro antara tahun 1825-1830. Pada waktu itu, Distrik Purbalingga menjadi bawahan Kabupaten Magelang. Seiring meluasnya kerusuhan di Distrik Purbalingga, dan ketidak mampuan Pemerintah Kabupaten Magelang menjangkau dan memadamkan kerusuhan (seperti perang di Mandiraja dan Bitting tahun 1826) maka ditunjuklah Raden Ronggo Yudonegoro menjadi kepala Distrik Purbalingga.
Ditunjuknya Raden Ronggo Yudonegoro menjadi Kepala Distrik Purbalingga karena pengaruh yang dimilikinya. Seperti tahun 1826, Raden Ronggo Yudonegoro berhasil memadamkan pembrontakan Wirodikoro, bahkan berhasil memadamkan pemrontakan-Panembahan Bogor. Termasuk “jasa” nya mengamankan wilayah dari gangguan Pasukan Pangeran Diponegoro. Karena memadamkan pembrontakan-pembrontakan itu, kenaikan pangkat Raden Ronggo Yudonegoro diberikan yang dulunya bergelar Raden Demang Prawirodimedjo.
Dengan pertimbangan itu, Pemerintah Hindia Belanda atas ijin Vorstelanden mengambil inisiatif mengangkat Raden Ronggo Yudonegoro menjadi seorang Regent atau Bupati di Purbalingga dengan wilayah bekas Distrik Purbalingga. Hal ini merujuk pada Surat tertanggal di Magelang 10 Januari 1829 Nomor 709 dari Luitenant General-Luitentant Gouvereur Generaal (LG-LGG) De Kock yang ditujukan kepada De Minister Van Staat, Komissaris Generaal over Nederlansch Indie, yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan Raden Ronggo Yudonegoro, seorang Pejabat Tinggi Pribumi menjadi seorang Bupati atau Regent.
Atas pertimbangan dari para Bupati dari Kedu tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 dan pendapat LG-LGG pada tanggal 10 Januari 1829 Nomor 709, maka dengan resmi Raden Ronggo Yudonegoro diangkat menjadi Regent van Purbalingga (Bupati Purbalingga). Sedangkan pengangkatan tersebut, ditetapkan dalam Besluit Kommissaris General tanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja. Secara garis  besar, keputusan tersebut berisi beberapa poin.
Pertama, Raden Ronggo Yudonegoro, Kepala Distrik Purbalingga dinaikan pangkatnya menjadi Bupati (Regent) dengan gelar Raden Tumenggung Yudonegoro. Kedua, Distrik Purbalingga berubah status menjadi Kabupaten Purbalingga yang berdiri sendiri, yang semula masih dibawah Kabupaten Magelang. Ketiga, Bupati mendapatkan gaji f.400,00 (empatratus gulden) selama sebulan, kemudian akan ditetapkan setelah pembrontakan dihilangkan. Dan empat, Bupati diperbantukan oleh seorang Patih (Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo) dan Kliwon (Mas Merto Tudo), dan gaji beberapa pegawai lainnya, sesuai dengan yang ditetapkan untuk Kepala Bupati Purbalingga.Sejak surat keputusan Kommissaris General tanggal 22 Januari 1829 nomor 39, maka secara RESMI sebuah Kabupaten Purbalingga lahir secara yuridis.
Sedangkan batas-batas wilayah Kabupaten Purbalingga ditegaskan dengan laporan dari Residen C.A Varkevisser tanggal 27 September 1830 tentang Banyumas dalam Bendel Banjoemaas 1.1. menyebutkan, batas Kabupaten Purbalingga sebelah Timur dengan Boenzoer (Banjarnegara); sebelah Barat berbatasan dengan Poerwokerto; sebelah Utara dengan Kertonegoro dan sebelah Selatan berbatasan dengan Banzoemas (Banyumas).

Kenapa HUT Purbalingga 18 Desember?
Setelah tahun 1830, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro dapat dikatakan bisa ditaklukan. Setelah ditaklukan kemabali, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan wilayah kekuasaan tambahan yang sebelumnya dikuasai oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Salah satu wilahyah itu adalah Purbalingga. Hal ini ditegaskan dalam Besluit Gouvernuer General di Batavia tertanggal 18 Desember 1830 Nomor 1, mengenai “Pengambilan alihan kekuasaan atas wilayah-wilayah Vorstenlanden/bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta oleh Belanda”. Hal ini disebutkan dalam Buku Java Oorlog Jilid VI lampiran XXXII menyebutkan (beberapa point tidak disebutkan karena berkaitan dengan daerah lain):
Point a, menetapkan bahwa tanah-tanah yang dilepaskan oleh Kerajaan Surakarata dan Yogyakarta terletak disebelah Barat dari wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta akan dijadikan 2 (dua) Karsidenan, yaitu: Karsidenan Bagelan dan Karsidenan Banjoemas.Point d, Karsidenan Banyumas akan terdiri dibawah nama Banyumas dengan ditambah Distrik Karangkobar, sebagian Pulau Nusakambangan dan sebagaian tanah Madura dikusai Chirebon dan juga tanah Karangsari dibawah Tegal. Point g, Karsidenan Banyumas akan dibagi kedalam 4 Kabupaten, yaitu: Banyumas; Ajibarang; Dayeuh Luhur dan Purbalingga. Dan point j, Residen Banyumas akan bertempat tinggal di Banyumas dengan dibantu seorang Asisten Residen di Ajibarang, Banjarnegara dan Purbalingga, juga seorang Kommies-ontvanger (Penerima Pajak) dan Sekertaris Pengadilan Negeri.
Dalam keputuan selanjutnya, dalam Resolusi 20 April 1831 Banjoemas 16/1 BAB 8 Bagian ke-7 disebutkan bahwa Kabupaten Purbalingga dibagi menjadi 4 buah Distrik, yaitu: (1) Poerbo Lingga; (2) Soeka Radja; (3) Kerta Negara/Bobot Sarie dan (4) Tjah Yono/ Pekiringan. Jadi dengan kata lain, penetapan Hari Ulang Tahun Purbalingga yang dirayakan sejak Perda Nomor 15 Tahun 1996 ditetapkan mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakartaoleh pemerintah Hinda Belanda. Pertanyaanya, mengapa harus tanggal 18 Desember? Penulis pun tiadak bisa memastikan. Namun pertanyaan yang justru timbul, kalau tanggal 18 dijadikan hari ulang tahun Kabupaten Purbalingga, kenapa Banyumas justru tidak menggunakan tanggal itu? Padahal tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.

Awal Trah Dipokusumo Sampai Saat Ini
Dalam perjalanan memerintah Kabupaten Purbalingga, Raden Tumenggung Yudonegoro ternyata tidak menunjukan sikap yang kooperatif dengan pemerintah Belanda, yang kemudian justru ditangkap dan diasingkan. Hal ini dituangkan Resolusi tanggal 20 Agustus 1831 Nomor 2 dan tanggal 9 April 1831 Nomor 26 dilaporkan berdasarkan Surat dari Kabinet tanggal 7 (LL) Nomor 599, yang berisi penangkapan Raden Tumenggung Yudonegoro pada tanggal 15 Desember 1830.
Tindakan pemerintah Hindia Belanda yang menangkap Raden Tumenggung Yudonegoro dikarenakan kesengajaan melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk mengumpulkan pajak dari uang rakyat, dan mengumpulkan senjata-senjata dan beberapa amunisi. Meski tidak dijelaskan untuk apa semua pengumpulan senjata itu, tapi yang pasti karena sikap itu Raden Tumenggung Yudonegoro ditangkap. Perbuatan Raden Tumenggung Yudonegoro ini bisa dilihat didalam Surat Laporan tanggal 2 Januari (LL) Nomor 2, bahwa oleh Pengadilan Tinggi Hindia Belanda di Semarang memutuskan, Raden Tumenggung Yudonegoro dijatuhi hukuman seumur hidup dan dibuang ke Timor.
Sebagai akibat dari ditangkapnya Raden Tumenggung Yudonegoro, maka Kabupaten Purbalingga mengalami kekosongan kekuasaan. Hal ini diketahui oleh beberapa penguasa-penguasa daerah lainnya, sehingga para penguasa daerah ingin mengusulkan nama-nama untuk menggantikan Raden Tumenggung Yudonegoro sebagai Bupati Purbalingga. Seperti dalam sebuah Surat tertanggal 27 Maret 1834 Nomor 15, disebutkan bahwa Residen Surabaya dengan suratnya tertanggal (ddo) 15 Januari (LL) Nomor 26/2 telah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hinda-Belanda, supaya menantu Residen Surabaya, yaitu Sultan Sumenep yang bernama Raden Ario Djojonegoro dapat diangkat menjadi Bupati Purbalingga menggantikan Raden Tumenggung Yudonegoro.
Selain nama Raden Ario Djojonegoro, juga ada nama-nama lain yang diusulkan untuk menempati kekosongan itu, diantaranya adalah Mas Prawironegoro dari Ronggo Distrik Asinan Karsidenan Kedu. Sementara itu, dengan adanya kekosongan Bupati Purbalingga, maka dengan beberapa pertimbangan, Pemerintah Hinda Belanda kemudian ditunjukan Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo, Patih dari Purbalingga menjadi Ronggo sementara.
Setalah beberapa waktu pemerintahan diisi oleh Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati Purbalingga, maka pemerintah Hindia Balanda mengangkat Raden Mas Dipokusumo menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Raden Mas Tumenggung (RMT) Dipokusumo, keputusan ini tertanggal 22 Agustus 1831 Nomor 1. Pertimbangan pengangakatan RMT Dipokusumo didasarkan karena keberhasilannya menghalau pemrontakan di Bitting wilayah dari Purbalingga pada tanggal 7 Desember 1826 serta memadamkan dan menghancurkan pemrontakan di Mandiraja, Karsidenan Banyumas pada tanggal 11 Maret 1826.
Pengangkatan RMT Dipokusumo dijelaskan oleh asisten Residen Purbalingga, CA. Varkevisser dalam sebauh Surat Keterangan RMT Dipokusumo yang diketahui oleh Residen Banyumas tertanggal 27 Februari 1835. Pengangakatan RMT Dipokusumo menjadi Bupati Purbalingga juga dijelaskan dalam sebuah Surat Keterangan yang ditulis tangan berbahasa Jawa-Belanda dan ditangatangai sendiri oleh RMT Dipokusumo. Sebelum itu, pada tanggal 23 Februari 1835, RMT Dipokusumo mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mendapatkan gelar “Adipati”.
Setelah RMT Dipokusumo menjabat, kemudian diteruskan oleh keturanannya. Memang dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, tidak diketemukan secara jelas dan lengkap surat keputusan setelah RMT Dipokusumo menjabat. Meskipun demikian, dalam Regeering Almenak Voor Nederlandsch Inde terbitan tahun 1881, 1882, 1888, 1903, 1906 dan 1929 dapat diketahui Bupati-Bupati yang telah menjabat setelah RMT Dipokusumo, diantaranya adalah: (1) Raden Adipati Dhipokusumo (berdasarkan Resolusi tanggal 7 Agustus 1846); (2) Raden Dhipoatmojo bergelar Raden Tumenggung Dipokusumo (menjabat pada 4 September 1868; (3) Raden Taruno Atmojo yang menjabat dari tanggal 14 Februari 1881; (4) Raden Dharma Kusumo menjabat dari tanggal 13 September 1899; (5) Raden Tumenggung Sugondho yang mulai menjabat dari tahun 29 Oktober 1925.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, dan berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda, Bupati Purbalingga yang memerintah adalah (1) Mas Sujoto menjabat dari tahun 1946-1947; (2) Raden Mas Kartono menjabat mulai tahun 1947-1950; (3) Raden Utoyo Kusumo menjabat 1950-1954; (3) Raden Hadisukmo menjabat antara 1954-1960; (4) Raden Mohamad Suyadi menjabat dari tahun 1960-1967; (5) Raden Bambang Murdharmo, SH, menjabat dari tahun 1967-1973; (6) Letkol. Guntur Darjono, menjabat dari tahun 1973-1979; (7) Drs. Sutarno, menjabat dari tahun 1979-1984; (8) Drs. Sukirman, menjabat dari tahun 1985-1989; (9) Drs. Sularno dari tahun 1989-1999, setelah reformasi kemudian di jabat oleh (10) Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si, kemudian dilanjutkan oleh (11) Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si dari tahun 2010, namun dalam proses pemerintahan pada tahun 2013, menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah, sehingga dilanjutkan wakilnya, (12) Drs. Sukento sampai 2015, saat ini (2016) Purbalingga dipimpin oleh Tasdi, SH., MM dengan masa jabatan sampai 2020. 

Catatan Akhir: Sebuah Refleksi
Sebuah hari jadi bagi sebuah kabupaten memang serasa sebagai moment untuk menyalurkan “pesta” tahunan dan sebagai simbolisasi bahwa sebuah kabupaten telah berdiri. Namun, dalam memilih hari jadi, seharusnya berdasarkan data dan kecocokan jiwa lokalitas penduduk sekitarnya. Apalagi kalau dalam menentukan hari lahirnya, terjadi kesalahan sejarah, dan ketidak nyambungan dengan jiwa masyarakatnya. Hal ini tentunya akan terasa sebagai sebuah pesta tahunan “pepesan koson”. Salah satu contoh “pepesan kosong”nya Kabupaten Banyumas yang setelah 25 tahun merayakan hari jadinya, ternyata menurut Prof. Sugeng Priyadi, penetapan 5 April adalah sebuah ahistory, atau kesalahan sejarah. Sehingga mulai tahun 2016, Kabupaten Banyumas merubah perda-nya dan menetapkan hari jadinya menjadi 22 Februari, yang pada tahun 2016 ini merayakannya yang ke-444 tahun.
Seharunya Kabupaten Purbalingga juga mau berkaca kepada sejarahnya sendiri, dan mengikuti jiwa zaman, yaitu mau membuka dokumen sejarahnya. Ada pilihan secara yuridis yang bisa diambil, yaitu, menjadikan tanggal 22 Januari 1829 sebagai HUT Purbalingga dengan ditandai oleh pelantikan resmi Raden Ronggo Yudonegoro diangkat menjadi Regent van Purbalingga (Bupati Purbalingga), dengan sebuah surat keputusan Besluit Kommissaris General tertanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja. Dan bukan 18 Desember 1830. Kenapa harus tanggal 18 Desember?
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pada tanggal 18 Desember 1830 adalah hari pengambil alihan kekuasaan wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogjakarta kepada pemerintah Kolonial Belanda. Jadi, penetapan HUT Purbalingga yang dirayakan dengan landasan Perda Nomor 15 Tahun 1996 mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta oleh pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaanya yang saya ulang, mengapa harus tanggal 18 Desember? Penulis pun tidak bisa memastikan ini. Namun pertanyaan lain yang justru timbul, kenapa Banyumas tidak menggunakan tanggal 18 Desember itu? Padahal tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.
Kalau secara yuridis, ketika pengangakatan Raden Ronggo Yudonegoro diangkat sebagai Bupati pertama Purbalingga tangggal 22 Januari 1829, maka selayaknya tanggal itulah yang seharusnya dijadikan hari lahir, bukan tanggal 18 Desember 1830 yang merupakan pembentukan Karsidenan Banyumas. Jadi dengan kata lain, HUT Purbalingga yang dirayakan setiap tanggal 18 Desember itu, sama saja merayakan kekalahan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan merayakan penyerahan kekuasaan bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta kepada Belanda. Mari kita merefleksikan diri dengan berfikir kritis.
Sejarah harus memiliki senjata ke-kritis-an. Memang untuk menuliskan sejarah kritis, kita juga harus melihat sejarah tradisional. Kemampuan terbatas penulis yang belum mampu membongkar Babad yang berbicara tentang sejarah Purbalingga dari perspektif lokal. Karena menurut Prof. Taufik Abdullah, ketika sejarah kritis ingin ditulis, maka masalah pertama yang harus dihadapi adalah mencari “fakta” dibelakang historiografi tradisional yang menentukan hayat “kewajaran sejarah”, dan tradisi lisan, yang merupakan mirage of reality.

Versi lain dari Ki Arsantaka: Habis
Versi lokal yang penulis maskud adalah versi dari babad yang berbicara tentang berdirinya Kabupaten Purbalingga. Dalam versi ini, Ki Arsantaka menjadi tokoh sentral dalam berdirinya Kabupaten Purbalingga. Menurut Tri Atmo, Ki Arsantaka merupakan putera dari Adipati Onje II dengan puteri dari Adipati Arenan. Ki Arsantaka setelah dewasa mengembara ke Timur dari rumahnya di Onje (Kecamatan Mrebet sekarang). Hingga tiba di Desa Masaran (sekarang Kecamatan Bawang, Banjarnegara). Disana Ki Arsantaka diangkat anak oleh Ki Rindik atau Ki Wanakusuma, menantu dari Ki Ageng Gendani dari Pdepokan Bangkongreng, sehingga nama Arsantaka diganti menjadi Arsakusuma.
Setelah itu, Ki Arsantaka menikah dengan Nyi Merden, puteri dari Ki Pranadipa (keturunan Adipati Wirasaba), dari pernikahannya ini, keturanannya akan menjabat Bupati Purbalingg, yaitu Raden Tumenggung Dipayuda III. Ki Arsantaka berjasa kepada saat perang Jenar, perang antara Mankubumi dengan Pakubuwono III. Jasa terbesar Ki Arsantaka karena berhasil menemukan jasad dari Nhabehi Dipayuda I, sehingga nanti anaknya, Ki Arsayuda diberikan gelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Awalnya perintahan berpusat di Karanglewas (sekarang Kecamatan Kutasari), setelah anaknya menjabat sebagai Ngabehi di Karanglewas, maka timbul ide dari Ki Arsantaka untuk memindahkan pemerintahannya ke arah Tenggara. Pertimbangan yang diperoleh dari Ki Arsantaka adalah karena letaknya yang dekat dengan Sungai Klawing, tujuanya untuk memudahkan perdagangan dan kesuburan tanah yang bisa dijadikan untuk pertanian. Pemindahan ini, bertepatan dengan tangga 23 Juli 1759 Masehi atau beretepatan dengan hari Senin Manis 26 Selo (Apit) tahun Jawa EHE 1684 Windu Kuntoro. Versi ini menunjukan bahwa, tanggal 23 Juli selayaknya dijadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Purbalingga. Namun, data ini harus ditelisik lagi. Semoga ada kesempatan penulis, untuk lebih mendalami data ini.
Untuk menutup artikel ini, penulis mengajukan pertanyaan awal, kriteria apa yang menjadi tolak ukur Kabupaten Purbalingga untuk menjadikan sebuah tanggal menjadi tanggal “keramat” dan dijadikan Hari Jadi nya? Yuridis atau Lokalis?