Saturday, May 14, 2016

Sistem Penuh Sandiwara Indonesia Belum Sepenuhnya Merdeka



    Bangsa kita adalah bangsa yang besar. Negara lain didunia mengakui itu, justru kita yang tidak percaya diri terhadap kemampuan kita untuk mengelola kekayaan kita sendiri. Pola pikir ini yang harus dirubah, karena tanpa sadar kita merasa sebagai bangsa bermental “jongos”. Pola pikir ini diakibatkan karena bangsa ini dijajah ratusan tahun dan hingga saat ini dibeberapa sisi kita “menikmati” situasi ketergantungan pada bangsa lain.
Kekayaan sumber daya alam yang ada seperti keindahan fatamorgana yang indah ditelinga namun pahit didalam realita. Sumber daya dinegeri ini hampir ludes dikuasai oleh pihak asing, ditambah dengan moral pejabat yang bobrok. Kasus terbaru yaitu “papa minta saham” menjadi tontonan dimedia setiap harinya. Betapa hal itu memalukan kita sebagai sebuah bangsa.
Pertanyaanya, bagaimana cara merubah mental bangsa kita? Tidak berlebihan bila Revolusi Mental dengan pendidikan menjadi sebuah jawaban problematika bangsa ini. Hal ini setidaknya langkah pertama sebelum kita melangkah ketahapan yang lebih konkrit, yaitu mengambil manfaat sumber alam kita untuk bangsa sendiri.

Sistem Penuh Sandiwara
      Sistem penuh dengan sandiwara, kata ini sadar atau tidak sadar sistem ini yang diaplikasikan oleh elite politik kita saat ini, mereka tidak (belum) berani merombak total sistem lama yang dipenuhi dengan kepalsuan. Sehingga implikasinya kalau sistem ini tidak direformasi, maka jangan harap republik ini akan menghasilakan elite-elite politik yang berkualitas.
      Benar yang dikatakan oleh Ir. Soekarno, bahwa “revolusi kita belum selesai”, bila dulu kita menghadapi imperialisme senjata, sekarang kita menghadapi imperialisme dalam semua segi kehidupan. Kita bisa melihat imperialisme itu sekarang, meski kasat mata tapi sangat terasa dampaknya, seperti keterbelengguan aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Ironisnya, justru dibeberapa kasus hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri yang bersekongkol jahat dengan bangsa lain untuk memperkaya kantong pribadinya.
      Drama ilahi tentang kebersamaan membangun bangsa yang amat kuat pudar karena aktor pengisi kemerdekaan tidak pernah sadar bahwa usaha untuk membangun bangsa selalu dilakukan secara kolektif, bukan satu orang atau kelompok. Revolusi fisik ’45 yang sudah menghasilkan kemerdekaan secara politik sulit untuk dilanjutkan menuju kemerdekaan secara sosial, ekonomi, dan budaya sebagai cita-cita founding father secara hoisitik.
Kita harusnya merefleksi kemerdekaan yang diletakan dan mengulang pertanyaan dibenak kita masing-masing, sejauh mana kita sebagai sebuah bangsa mencapai cita-cita kemerdekaan yang mendasar?

Merdeka dengan Pendidikan
      Pendidikan merupakan sarana untuk memerdekakan dan dengan demikian diikuti dengan tindakan-tindakan yang mendukungnya. Menurut Paulo Freire, pendidikan merupakan alat membebaskan untuk memanusikan, yang terpenting adalah memanusiakan manusia, menghilangkan jejak de-humanisasi yang merasuki dunia pendidikan.
        Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu secara formal, tetapi lebih mendasar yaitu setiap orang menjadi “gelas kosong” sehingga pengetahuan kita akan saling mengisi dari satu orang keorang lainnya (kemanusiaan) yang merupakan hak dari semua orang. Inilah esensi dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian berimplikasi memanusiakan manusia.
       Prinsip ini dijabarkan dalam perjalanan untuk menuju manusia yang merdeka. Manusia yang membangun empati dan menjauhi ego, manusia yang berani membantu orang lain dan lingkungan sosialnya.  Proses ini bisa dilampaui bila ada kesadaran bersama bahwa kesejahteraan diraih untuk semuanya bukan untuk sebagian apalagi segelintir orang. Jadi pendidikan bukan proses untuk menonjolkan karakter individualisme saja, namun esensi yang utama adalah menumbuhkan karakter sosial.
       Namun karakter sosial kita kadang terganggu jusru oleh ruang publik. Ruang publik kita hanya dihiasi oleh orang-orang berwajah ganda. Polemik terus menerus ditampilkan dan menghiasi diberbagai media, bahkan hampir setiap hari kita disuguhi tontonan yang tak patut dijadikan tuntunan.  Realita ini justru membuat kita selalu berfikir kerdil dan miskin cinta apalagi cita-cita.
      Akar permasalahan bisa dilacak sampai keakar-akarnya, setidaknya dari bagaimana sistem pendidikan diselenggarakan. Kita bisa melihat pendidikan dinegeri ini kadangkala dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan politik. Pendidikan distrukturalkan dibawah hegeomoni politik, sehingga menghasilkan manusia yang setia pada mayoritas dan tidak mau beranjak dari zona nyamannya.
     Sistem pendidikan seperti ini ibarat seperti mainan mobil dengan remote control, yang tidak akan bisa sampai kesuatu tempat tanpa dikendalaikan oleh remote control. Remote control yang dimaksud adalah pemegang hegeomoni dan para kapitalis yang menyeragamkan ideologi mereka. Hal ini hanya akan membuat mereka menunggu titah dari raja nya, sehingga dapat dipastikan tidak ada kreatifitas apalagi inovasi baru.
       Implikasinya birokrasi menjadi lambat dalam merespon perubahan. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakberdayaan untuk keluar dari lingkaran kultur lama. Dimana kemandirian individu diblackuksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Hal ini membuat perjalanan reformasi hingga sekarang terpincang-pincang, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakmampuan merespon perubahan yang begitu cepat.
Solusi dari permasalahan ini adalah sebuah transformasi budaya lewat transformasi paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan yang dibutuhkan untuk membuat bangsa ini cerdas adalah paradigma pendidikan dengan visi jelas, yaitu memanusiakan manusia dan menjadikan pribadi mereka sebagai seorang pribadi yang merdeka.
Merdeka yang mempunyai definsi mendalam, yaitu mereka yang tidak tergantung kepada hal yang melekat pada dirinya, baik itu harta atau tahta. Melekatnya akan harta serta tahta membuat orang secara mendasar tidak merdeka secara hakiki. Kemerdekaan yang hakiki akan melahirkan keluhuran budi serta empati terhadap penderitaan orang lain. Kemerdekaan hakiki akan membuat manusia Indonesia tidak berfikir hanya untuk dirinya, melainkan berorientasi bagi lingkungan, bangsa dan negaranya..


Indahnya Keberagaman di Indonesia


Indonesia Berduka. Lagi-lagi ada sekelompok oknum yang dengan bangganya meledakan diri dan meneror dengan senjata mereka di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat. Perlakuan represif ini merupakan langkah yang naif, karena sikap ini justru merupakan sikap blunder bagi para oknum yang katanya “para pejuang agama” itu.
Padahal didalam Islamn sendiri pembunuhan diharamkan, meski hanya membunuh satu orang yang tidak bersalah maka hal ini bisa diibaratkan membunuh manusia seluruhnya, hal ini bisa kita lihat dalam Qur’an surat Al-Maidah ayat 32.
Kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Bukannya untuk saling mendominasi satu pihak dengan pihak yang lain. Kita diuji kedewasaannya karena sikap kita yang termakan oleh sifat egoisme dibandingkan dengan nasionalisme sehingga menciptakan keharmonismean sebagai sebuah bangsa.

Memahami Kata “Harmonis”
Pelangi indah karena berbeda karena terdiri dari bagian warna yang berbeda, bukan dari satu warna yang sama. Begitupun dengan harmonis, selama ini kita memahami kata harmonis terlalu sempit, sebagian dari kita berfikir bahwa harmonis selalu tidak ada konflik, Namun bila dibayangkan keadaan yang tidak ada konflik itu ternyata menimbulkan hilangnya rasa empati antar masyarakatnya. Meskipun mereka hidup dalam satu lingkungan, namun sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Konflik akan selalu ada jika masih ada orang yang tidak berfikir secara dewasa. Karena setiap adanya konflik justru mengukur kedewasaan kita, yaitu bisa belajar dari kesalahan, dan membuat bangsa kita menjadi bangsa yang bijaksana dalam menyikapi adanya konflik kedepannya. Konflik akan muncul karena adanya ketidaksepahaman, dan untuk mengatasi ketidakepahaman itu dibutuhkan rasa kepedulian yang tinggi.
            Harmonis bisa tercipta apabila kita dapat mengatasi perbedaan itu, bukannya dengan cara menyatukannya tetapi dengan menumbuhkan rasa saling memahami dan menghargai bahwa perbedaan adalah hal yang mutlak ada dan sudah menjadi hukum Tuhan, namun sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai luhur dari kita hanya perlu “mencintai dengan sepenuh hati” perbedaan itu.
Bukankah Indonesia ini indah karena terpancar perbedaan dari Sabang sampai Marauke? Belajarlah dari kemaharajaan Majapahit dulu. Dalam catatan sejarah, kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang menggoreskan tinta emas. Hal ini karena Majapahit sudah melahirkan dan mempersatukan konsep Nusantara, bahkan hingga kewilayah-wilayah yang sekarang sudah tidak lagi menjadi wilayah teritorial Indonesia.
Presentase toleransi antara Hindu dan Budha pada zaman Majapahit yang sangat tinggi membuat kedua agama superpower pada masanya itu dapat saling berdampingan, hal ini menjadi salah satu indikator suksesnya kerajaan tersebut mencapai kehidupan yang harmonis. Beberapa golongan hingga saat ini tidak sadar bahwa telah diadu domba oleh egoismenya sendiri. Kita lebih gemar mengibarkan bendera golongan kita dibandingkan dengan bendera merah-putih.

Jangan Satukan Perbedaan
Seperti layaknya hukum kekekalan energi yang memaksa kita untuk menerima opini bahwa energi itu kekal, saya ingin memaksa kita semua untuk tidak lagi menyatukan perbedaan di bumi pertiwi ini. Perbedaan sudah merupakan hal yang mutlak ada di planet yang bernama bumi ini.
Untuk apa kita menghabiskan tenaga dan pikiran kita untuk terus berkutat dalam usaha menyatukan perbedaan. Teori evolusi Darwin saja dapat terbantahkan dengan adanya bukti dan fakta yang susah payah ditemukan oleh orang-orang yang menentang teorinya. Sementara kita, untuk menggeserkan pemikiran menyatukan perbedaan tak perlu repot-repot melakukan riset dengan biaya puluhan miliar. Disekitar kita sudah bertaburan fakta-fakta yang menunjukkan betapa malangnya negeri ini karena hal tersebut.
Marilah kita biarkan warna Nusantara terus memancar. Mari kita biarkan berbagai karakter berbeda yang ada di bangsa kita tetap hidup dengan ideologi mereka masing-masing. Biarkan perbedaan itu terus hidup dan mewarnai perjalanan hidup bumi pertiwi ini hingga di akhir nanti. Marilah kita ciptakan keharmonisan dari segala perbedaan yang ada di negeri ini. Biarkan perbedaan saling menguatkan dan menciptakan keharmonisan yang indah di negeri ini. Mulai saat ini marilah belajar untuk saling menghargai perbedaan yang ada.
Jangan salahkan perbedaan. Kita harus mengingat baik-baik hal ini karena perbedaan tidak pantas untuk dikambinghitamkan. Salah adalah reaksi yang kurang bijak dalam menanggapi perbedaan yang ada dan sikap menghargai yang masih belum tumbuh dalam jiwa bangsa ini. Bisa kita lihat dari kasus Pemboman di Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat. Apakah penyebab pemboman  itu adalah perbedaan agama? jelas terlihat bahwa “perbedaan” bukanlah alasan dibalik timbulnya konflik di antara mereka. Tapi malangnya “perbedaan” justru dijadikan alasan atas tindakan mereka yang tidak bertanggung jawab.
Bisa kita lihat bahwa sebagian besar konflik yang terjadi di negeri ini bukan disebabkan oleh “perbedaan”, tetapi demi melindungi diri dan kepentingan pribadi atau kelompok. “Perbedaan” selalu dijadikan alasan untuk membenarkan diri dan tindakan mereka. Jika ada yang bertanya kepada saya, “Bagaimana jika perbedaan menimbulkan konflik?”. Jawaban saya adalah perbedaan tidak akan menimbulkan konflik sekalipun selalu disalahkan ketika konflik itu terjadi.
Apabila muncul opini “hidup harmonis di tengah perbedaan”, saya merasa bahwa kita tidak perlu repot memikirkan bagaimana menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan itu. Karena, perbedaanlah yang membuat hidup menjadi harmonis. Hal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara kita untuk tidak menyalahkan “perbedaan” yang merupakan hakikat sebenarnya dari kehidupan yang harmonis, sebab pelangi indah karena berbeda.


Monday, May 2, 2016

Asal Nama Desa Karanglewas

Kantor Kepala Desa Karanglews
Desa Karanglewas terletak di Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Desa Karang Lewas berbatasan dengan Desa Dawuhan di sebelah Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Brobot, di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Munjul Luhur, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Gemuruh.
Menurut narasumber, pada waktu itu sejarah Desa Karanglewas masih ada kaitannya dengan berdirinya Kabupaten Purbalingga, ceritanya dahulu Kyai Arsakusuma atau Kyai Arsantaka meninggalkan Kadipaten Onje untuk berkelana ke arah Timur, lalu Kyai Arsakusuma sampai di Desa Masaran dan mengambil anak angkat dari Kyai Wanakusuma yang masih keturunan dari Kyai Ageng Giring di Mataram.
Kyai Arsakusuma dijadikan demang di Kademangan Pagendolan (termasuk di Desa Masaran) yang masih berada di suatu wilayah pemerintahan Karanglewas dipimpin oleh Tumenggung Dipayuda I. Dahulu, ketika masa Kyai Arsakusuma terjadilah Perang Jenar yang merupakan peperangan antara Mangkubumi dengan Paku Buwono II, perang ini terjadi karena Mangkubumi merasa tidak puas dengan sikap kakaknya yang terlalu lemah terhadap pemerintahan Belanda. Ketika terjadi Perang Jenar, Kyai Arsakusuma masuk ke dalam pasukan Kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono. Karena jasa dari Kyai Arsakusuma kepada Kadipaten banyumas, Adipati Banyumas yaitu Raden Tumenggung Yudanegara mengangkat Kyai Arsayuda (anak dari Kyai Arsakusuma) menjadi menantunya. Lalu seiringnya berjalannya waktu, Kyai Arsayuda dijadikan Tumenggung Karanglewas  yang diberi gelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Ketika masa pemerintahan Kyai Arsayuda atas saran yang diberikan oleh ayahnya yaitu Kyai Arsakusuma, pusat pemerintahan Karanglewas dipindahkan dari Karanglewas ke Desa Purbalingga. Lalu setelah dipindahkan Desa Purbalingga, wilayah ini dijadikan sebagai pusatnya kabupaten, dan dengan diiringi pembangunan pendopo Purbalingga dan Alun-alun Purbalingga.
Dahulu ketika karang lewas masih dijadikan pemerintahan Karanglewas, lalu berdiri 3 daerah yang menjadi pusat pemerintahan Karanglewas yaitu Kauman, Pungkuran, dan Brubahan. Ketiga daerah tersebut sangat dikenal oleh masyarakat yang berada di Desa Karanglewas. Menurut dari apa yang diketahui oleh ayah saya, daerah Kauman berada di daerah RT 01 Desa Karanglewas. Daerah Pungkuran berada di daerah RT 04 sampai dengan RT 05 Desa Karanglewas, dan daerah Brubahan berada di daerah RT 07.
Desa Karanglewas dibagi menjadi empat dusun. Dusun yang pertama terletak di daerah Nderik Kidul. Dusun yang kedua terletak di daerah Nderik, tepatnya berada di wilayah RT 04 sampai dengan RT 07. Dusun yang ketiga berada di wilayah RT 08 sampai dengan RT 10. Dan dusun ke empat yang terakhir berada di daerah Ndukuh (dulu dinamai kadipaten dukuh) tepatnya di wilayah RT 11 sampai dengan RT 14.
Sekarang banyak kalangan orang yang datang ke Desa Karanglewas untuk bertempat tinggal disana, baik dari pulau Jawa maupun luar pulau Jawa. Mereka datang silih berganti untuk bertempat tinggal. Desa Karanglewas juga terkenal dengan sisi religiusnya. Di Desa Karanglewas banyak sekali tempat pendidikan Al-quran bagi siapa saja yang ingin belajar untuk mengaji dari kalangan orang tua maupun kalangan anak-anak atau remaja. Pada saat hari raya besar seperti hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha pasti Desa Karanglewas selalu mengadakan takbir keliling dari tahun ke tahun dan warga pun menanggapinya dengan positif dan dengan penuh kebahagiaan dan ucapan rasa syukur. Sekian penjelasan tentang sejarah Desa Karanglewas.

Sumber Referensi :
Wawancara dengan Bapak Taufik, Kepala Desa Karang Lewas pada tanggal 30 Oktober 2016.
Aninda Richma Karina, XI IPS2 SMANDA 16/17