Thursday, December 29, 2016

Seputar Sejarah Alun-Alun Purbalingga

Sudut Alun-Alun Purbalingga

Alun-alun (pada zaman dahulu ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon) merupakansuatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam (id.wikipedia.org).Alun-alun itu juga dimiliki Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah.Alun-alun Purbalingga merupakan salah satu landmark yang ada di Purbalingga.Alun-alun Purbalingga pada saat ini(2016) sangat berbeda/berubah dari Alun-alun purbalingga pada zaman dahulu.Alun-alun di setiap kota pasti berubah penampilannya dan fungsinya (bisa bertambah atau berkurang) karena terus mengikuti zaman.

Salah satu yang menonjol dari alun-alun di Purbalingga adalah adanya kedua beringingin besar yang dari dahulu sudah ada tetapi saat ini kedua beringin tersebut sudah tidak ada lagi karena tumbang (beringin depan masjid Agung Darussalam)terkena bencana alam angin besar dan beringin disebelahnya di tebang karena untuk mencegah terjadinya tumbang seperti beringin disebelahnya.Perkembangan alun-alun sangat tergantung dari evolusi pada budaya masyarakatnya yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain.

Alun-alun memang sangat identik dengan pusat kota. Bahkan Alun-alun sudah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa yang berlangsung sejak masa Pra-Kolonial. Secara pasti kapan dan dimana Alun-alun pertama dibentuk memang tidak ada catatannya. Namun menurut informasi yang bersumber dari Wacananusantara.org, pada rentang abad ke-13 sampai 18 atau pada masa Majapahit hingga Mataram, Alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu kompleks Keraton.

Keberadaan Alun-alun dalam Keraton Majapahit pernah dituliskan Mpu Prapanca dalam Negarakertagama. Dalam pola masyarakat tradisional masa lalu Keraton ini merupakan pusat pemerintahan atau pusat kebudayaan. Nah, Majapahit disebutkan memiliki 2 bidang tanah luas berbentuk segi empat di salah satu sisi Keratonnya. Satu berfungsi sebagai pesta rakyat dan lainnya untuk kegiatan sakral seperti Penobatan Raja. Serta terdapat kompleks pemujaan didalamnya.

Sementara itu pada masa Mataram, Alun-alun juga digunakan sebagai tempat rakyat biasa bertemu Raja guna meminta pertimbangan atas sebuah perselisihan. "Aktivitas ini disebut dengan pepe", ujar Triatmo, penulis Babad Purbalingga. Dalam prosesnya diterima atau tidaknya pepe seseorang ini akan disampaikan oleh seorang gandek atau prajurit yang menjadi penyampai pesan sebelum rakyat bertemu langsung dengan Raja-nya.

Tidak hanya itu, Alun-alun pada masa Pra-Kolonial juga kerap dijadikan sebagai tempat berlatih perang para prajurit yang dikenal dengan istilah gladi yudha, sebagai pusat perdagangan rakyat sampai hiburan. Dalam beberapa artikel menyebutkan hiburan yang paling sering dipertontonkan adalah rampog macan (mengeroyok harimau) atau sodoran (perkelahian antara banteng dengan harimau). Dan sejak masuknya Islam di Pulau Jawa, pusat pemujaan yang semula ada di dalam Alun-alun, berubah menjadi didirikannya Masjid di sebelah barat Alun-alun. Jadi pada awalnya Alun-alun difungsikan sebagai lambang keagamaan, pemerintahan, keprajuritan, perekonomian sampai tempat berkumpulnya rakyat atau hiburan.

Di Purbalingga, Alun-alun bunder menjadi salah satu landmark yang cukup populer. Dalam sejarahnya, identitas inipun sudah ada berbarengan dengan didirikannya Pendopo Kabupaten saat Ki Arsantaka menyarankan putranya, Dipayuda III untuk memindahkan pusat Pemerintahan dari des Karang Lewas, Kutasari menuju desa Timbang saat itu. Kini desa Timbang hanya sebuah dusun di wilayah desa Purbalingga Kidul. "Kira-kira tahun 1759", kata Triatmo.

Tempat yang lebih datar dan subur serta dekat dengan sumber air Klawing menjadi beberapa pertimbangan dipindahnya pusat pemerintahan itu. Sehingga kemudian tempat ini dikenal dengan sebutan Purbalingga. Purba artinya semula, Lingga dari kata Linggar maksudnya dipindah. Ini seperti yang tertuang dalam salah satu bait dandanggula yang menyatakan tentang asal-usul nama Purbalingga. Dan pusat pemerintahan yang baru inipun menerapkan konsep tata kota yang setipe dengan Keratonan yang ada.

Begitulah sejarah singkat alun-alun Purbalingga,semoga bisa menambah wawasan pembaca.Sekian yang dapat saya sampaikan tentang sejarah alun-alun di kota Purbalingga,Jawa Tengah dari dahulu sampai sekarang.Saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dalam pengetikan dan pengejaan kata.Terima Kasih.
               
Sumber Referensi :
http://langgamlangitsore.blogspot.co.id/2015/08/alun-alun-purbalingga.html

Saturday, December 17, 2016

Tinjauan Ulang HUT Purbalingga: Perspektif Yuridis

Pendopo Dipokusumo Kabupaten Purbalingga
Awal tahun 2016, Kabupaten Banyumas merayakan Hari Jadinya dengan suasana yang berbeda. Selama 25 tahun, Kabupaten Banyumas merayakan HUT pada tanggal 6 April. Kini warga Banyumas merasakan moment spesial, yaitu dengan perubahan perayaan HUT menjadi tanggal 22 Februari. Apresiasi yang tinggi untuk Prof. Dr. Sugeng Priyadi, guru akademik penulis, yang mencurahkan tenaga dan pikirannya hampir 25 tahun untuk “menggugat” HUT Banyumas. Hal ini membuat daerah-daerah lain juga melihat kesempatan yang sama untuk bertanya keapada sejarah daerahnya masing-masing? Apakah selama ini HUT yang dirayakan sudah sesuai dengan fakta sejarah?
Sebagai warga asli Purbalingga, pertanyaan diatas pun sempat tersirat dibenak, karena tidak menutup kemungkinan bahwa dengan ditemukannya dokumen-dokumen baru, maka akan menambah diskusi tentang Hari Lahirnya Purbalingga. Bukan hal yang mustahil, hari lahir yang selama ini dirayakan, hanya sebuah legitimasi politik tanpa melihat fakta sejarah. Hal ini menjadi disorientasi historiografi yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Berikut sedikit pemaparan yang penulis sajikan.

Prolog: Penyampaian Dokumen
Dalam proses pengupulan data, penulis dihadapkan kepada seorang anak yang menyodorkan sebuah makalah kuno berangka tahun 1988. Tahun yang sama dengan tahun kelahiran penulis. Jadi sudah 28 tahun (black: dari 1988-2016) makalah itu dibuat. Makalah ini merupakan hasil penelitian dari Panitia Peneliti Hari Jadi Kabupaten Purbalingga, dan legalitasnya diakui pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Purbalingga dengan Nomor: 433-175 Tanggal 1 Februari 1988. Artinya, tim ini memang dibentuk oleh Bupati sendiri untuk menelusuri hari lahir yang sesuai dengan fakta sejarah.
Dalam SK tersebut, bertindak sebagai pelindung/penasihat adalah Bupati Purbalingga sendiri, yaitu Bapak Drs. Soekirman. Tim ini diketuai Drs. Molejana, Sekertaris wilayah Daerah Tingkat II Purbalingga. Sedangkan Ketua I dijabat oleh B. Soesasi Kepala Kantor Depdikbud Kabupaten Purbalingga, dan untuk Ketua II diduduki oleh R. Soedjaman Mertodibroto, Pensiunan Pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Tingka II Purbalingga. Tim ini beranggotakan 10 (sepuluh) orang dari berbagai latar belakang, termasuk didalamnya adalah Tri Atmo, seorang sejarawan senior yang bersahaja. Beliau concern dengan sejarah Purbalingga dari Babad Purbalingga sampai sejarah kemerdekaan di Purbalingga.
Sementara itu, DPRD Kabupaten Tingkat II Purbalingga juga membentuk sebuah Panitia Khusus, dengan tugas menyusun analisa dari sumber Arsip Nasional. Panitia Khusus ini, juga diakui legalitiasnya dengan SK Pimpinan DPRD Kabupaten Daerah Tingakt II Purbalingga bernomor: 01/Pim.DPRD/1988 Tanggal 19 Januari 1988. Tim khusus ini beranggotakan 13 (tigabelas) orang, yang diketuai oleh Karsono, Ketua DPRD Purbalingga. Anggotanya berasal dari ketua Komisi dan ketua Fraksi-Fraksi waktu itu.
Sebelum dibentuk tim ini, tahun 1984 telah dilakukan pengumpulan sumber awal untuk menentukan hari jadi Kabupaten Purbalingga. Langkah awalnya dengan terbentuk“Panitia Empat” yang telah menyusun Buku Babad dan Sejarah Purbalingga. Kemudian dari Panitia Empat ini, terbentuk lagi sebauh Panitia Penyusun/Penyempurna Buku/Naskah Sejarah Purbalingga yang kemudian terbentuklah Tim Peneliti Hari Jadi Kabupaten Purbalingga. Tim peneliti menelusuri sumber-sumber berupa dokumen langsung dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta.

Bupati Pertama: Perspektif Yuridis
Awalnya, Purbalingga merupakan sebuah “Kademangan” dari wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kademangan ini dipimpin oleh Raden Demang Prawirodimedjo, dalam perkembangannya, daerah Kademangan ini dinaikan tingkatanya dengan status “Distrik”. Sehingga Raden Demang Prawirodimedjo diangkat sebagai kepala Distrik dengan gelar Raden Ronggo Yudonegoro. Raden Ronggo Yudonegoro merupakan anak dari Bekel Kiai Wirowidjojo dan cucu dari Bupati Temanggung, yaitu Wiro Digdo yang berpusaat di Surakarta.
Sumber mengenai Raden Ronggo Yudonegoro dapat dilihat dari “Surat Residen Kedoe”, tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 yang ditujukan kepada Luietenant Gouvereur Generaal (LGG) dan Surat Resolusi tanggal 4 Februari 1834 Nomor 1. Dalam surat itu, berisi tentang kondisi kerusuhan yang terjadi akibat Perang Diponegoro antara tahun 1825-1830. Pada waktu itu, Distrik Purbalingga menjadi bawahan Kabupaten Magelang. Seiring meluasnya kerusuhan di Distrik Purbalingga, dan ketidak mampuan Pemerintah Kabupaten Magelang menjangkau dan memadamkan kerusuhan (seperti perang di Mandiraja dan Bitting tahun 1826) maka ditunjuklah Raden Ronggo Yudonegoro menjadi kepala Distrik Purbalingga.
Ditunjuknya Raden Ronggo Yudonegoro menjadi Kepala Distrik Purbalingga karena pengaruh yang dimilikinya. Seperti tahun 1826, Raden Ronggo Yudonegoro berhasil memadamkan pembrontakan Wirodikoro, bahkan berhasil memadamkan pemrontakan-Panembahan Bogor. Termasuk “jasa” nya mengamankan wilayah dari gangguan Pasukan Pangeran Diponegoro. Karena memadamkan pembrontakan-pembrontakan itu, kenaikan pangkat Raden Ronggo Yudonegoro diberikan yang dulunya bergelar Raden Demang Prawirodimedjo.
Dengan pertimbangan itu, Pemerintah Hindia Belanda atas ijin Vorstelanden mengambil inisiatif mengangkat Raden Ronggo Yudonegoro menjadi seorang Regent atau Bupati di Purbalingga dengan wilayah bekas Distrik Purbalingga. Hal ini merujuk pada Surat tertanggal di Magelang 10 Januari 1829 Nomor 709 dari Luitenant General-Luitentant Gouvereur Generaal (LG-LGG) De Kock yang ditujukan kepada De Minister Van Staat, Komissaris Generaal over Nederlansch Indie, yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan Raden Ronggo Yudonegoro, seorang Pejabat Tinggi Pribumi menjadi seorang Bupati atau Regent.
Atas pertimbangan dari para Bupati dari Kedu tertanggal 6 Januari 1829 Nomor 102 dan pendapat LG-LGG pada tanggal 10 Januari 1829 Nomor 709, maka dengan resmi Raden Ronggo Yudonegoro diangkat menjadi Regent van Purbalingga (Bupati Purbalingga). Sedangkan pengangkatan tersebut, ditetapkan dalam Besluit Kommissaris General tanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja. Secara garis  besar, keputusan tersebut berisi beberapa poin.
Pertama, Raden Ronggo Yudonegoro, Kepala Distrik Purbalingga dinaikan pangkatnya menjadi Bupati (Regent) dengan gelar Raden Tumenggung Yudonegoro. Kedua, Distrik Purbalingga berubah status menjadi Kabupaten Purbalingga yang berdiri sendiri, yang semula masih dibawah Kabupaten Magelang. Ketiga, Bupati mendapatkan gaji f.400,00 (empatratus gulden) selama sebulan, kemudian akan ditetapkan setelah pembrontakan dihilangkan. Dan empat, Bupati diperbantukan oleh seorang Patih (Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo) dan Kliwon (Mas Merto Tudo), dan gaji beberapa pegawai lainnya, sesuai dengan yang ditetapkan untuk Kepala Bupati Purbalingga.Sejak surat keputusan Kommissaris General tanggal 22 Januari 1829 nomor 39, maka secara RESMI sebuah Kabupaten Purbalingga lahir secara yuridis.
Sedangkan batas-batas wilayah Kabupaten Purbalingga ditegaskan dengan laporan dari Residen C.A Varkevisser tanggal 27 September 1830 tentang Banyumas dalam Bendel Banjoemaas 1.1. menyebutkan, batas Kabupaten Purbalingga sebelah Timur dengan Boenzoer (Banjarnegara); sebelah Barat berbatasan dengan Poerwokerto; sebelah Utara dengan Kertonegoro dan sebelah Selatan berbatasan dengan Banzoemas (Banyumas).

Kenapa HUT Purbalingga 18 Desember?
Setelah tahun 1830, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro dapat dikatakan bisa ditaklukan. Setelah ditaklukan kemabali, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan wilayah kekuasaan tambahan yang sebelumnya dikuasai oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Salah satu wilahyah itu adalah Purbalingga. Hal ini ditegaskan dalam Besluit Gouvernuer General di Batavia tertanggal 18 Desember 1830 Nomor 1, mengenai “Pengambilan alihan kekuasaan atas wilayah-wilayah Vorstenlanden/bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta oleh Belanda”. Hal ini disebutkan dalam Buku Java Oorlog Jilid VI lampiran XXXII menyebutkan (beberapa point tidak disebutkan karena berkaitan dengan daerah lain):
Point a, menetapkan bahwa tanah-tanah yang dilepaskan oleh Kerajaan Surakarata dan Yogyakarta terletak disebelah Barat dari wilayah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta akan dijadikan 2 (dua) Karsidenan, yaitu: Karsidenan Bagelan dan Karsidenan Banjoemas.Point d, Karsidenan Banyumas akan terdiri dibawah nama Banyumas dengan ditambah Distrik Karangkobar, sebagian Pulau Nusakambangan dan sebagaian tanah Madura dikusai Chirebon dan juga tanah Karangsari dibawah Tegal. Point g, Karsidenan Banyumas akan dibagi kedalam 4 Kabupaten, yaitu: Banyumas; Ajibarang; Dayeuh Luhur dan Purbalingga. Dan point j, Residen Banyumas akan bertempat tinggal di Banyumas dengan dibantu seorang Asisten Residen di Ajibarang, Banjarnegara dan Purbalingga, juga seorang Kommies-ontvanger (Penerima Pajak) dan Sekertaris Pengadilan Negeri.
Dalam keputuan selanjutnya, dalam Resolusi 20 April 1831 Banjoemas 16/1 BAB 8 Bagian ke-7 disebutkan bahwa Kabupaten Purbalingga dibagi menjadi 4 buah Distrik, yaitu: (1) Poerbo Lingga; (2) Soeka Radja; (3) Kerta Negara/Bobot Sarie dan (4) Tjah Yono/ Pekiringan. Jadi dengan kata lain, penetapan Hari Ulang Tahun Purbalingga yang dirayakan sejak Perda Nomor 15 Tahun 1996 ditetapkan mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakartaoleh pemerintah Hinda Belanda. Pertanyaanya, mengapa harus tanggal 18 Desember? Penulis pun tiadak bisa memastikan. Namun pertanyaan yang justru timbul, kalau tanggal 18 dijadikan hari ulang tahun Kabupaten Purbalingga, kenapa Banyumas justru tidak menggunakan tanggal itu? Padahal tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.

Awal Trah Dipokusumo Sampai Saat Ini
Dalam perjalanan memerintah Kabupaten Purbalingga, Raden Tumenggung Yudonegoro ternyata tidak menunjukan sikap yang kooperatif dengan pemerintah Belanda, yang kemudian justru ditangkap dan diasingkan. Hal ini dituangkan Resolusi tanggal 20 Agustus 1831 Nomor 2 dan tanggal 9 April 1831 Nomor 26 dilaporkan berdasarkan Surat dari Kabinet tanggal 7 (LL) Nomor 599, yang berisi penangkapan Raden Tumenggung Yudonegoro pada tanggal 15 Desember 1830.
Tindakan pemerintah Hindia Belanda yang menangkap Raden Tumenggung Yudonegoro dikarenakan kesengajaan melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk mengumpulkan pajak dari uang rakyat, dan mengumpulkan senjata-senjata dan beberapa amunisi. Meski tidak dijelaskan untuk apa semua pengumpulan senjata itu, tapi yang pasti karena sikap itu Raden Tumenggung Yudonegoro ditangkap. Perbuatan Raden Tumenggung Yudonegoro ini bisa dilihat didalam Surat Laporan tanggal 2 Januari (LL) Nomor 2, bahwa oleh Pengadilan Tinggi Hindia Belanda di Semarang memutuskan, Raden Tumenggung Yudonegoro dijatuhi hukuman seumur hidup dan dibuang ke Timor.
Sebagai akibat dari ditangkapnya Raden Tumenggung Yudonegoro, maka Kabupaten Purbalingga mengalami kekosongan kekuasaan. Hal ini diketahui oleh beberapa penguasa-penguasa daerah lainnya, sehingga para penguasa daerah ingin mengusulkan nama-nama untuk menggantikan Raden Tumenggung Yudonegoro sebagai Bupati Purbalingga. Seperti dalam sebuah Surat tertanggal 27 Maret 1834 Nomor 15, disebutkan bahwa Residen Surabaya dengan suratnya tertanggal (ddo) 15 Januari (LL) Nomor 26/2 telah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hinda-Belanda, supaya menantu Residen Surabaya, yaitu Sultan Sumenep yang bernama Raden Ario Djojonegoro dapat diangkat menjadi Bupati Purbalingga menggantikan Raden Tumenggung Yudonegoro.
Selain nama Raden Ario Djojonegoro, juga ada nama-nama lain yang diusulkan untuk menempati kekosongan itu, diantaranya adalah Mas Prawironegoro dari Ronggo Distrik Asinan Karsidenan Kedu. Sementara itu, dengan adanya kekosongan Bupati Purbalingga, maka dengan beberapa pertimbangan, Pemerintah Hinda Belanda kemudian ditunjukan Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo, Patih dari Purbalingga menjadi Ronggo sementara.
Setalah beberapa waktu pemerintahan diisi oleh Raden Ing Ngabei Tirto Atmodjo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati Purbalingga, maka pemerintah Hindia Balanda mengangkat Raden Mas Dipokusumo menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Raden Mas Tumenggung (RMT) Dipokusumo, keputusan ini tertanggal 22 Agustus 1831 Nomor 1. Pertimbangan pengangakatan RMT Dipokusumo didasarkan karena keberhasilannya menghalau pemrontakan di Bitting wilayah dari Purbalingga pada tanggal 7 Desember 1826 serta memadamkan dan menghancurkan pemrontakan di Mandiraja, Karsidenan Banyumas pada tanggal 11 Maret 1826.
Pengangkatan RMT Dipokusumo dijelaskan oleh asisten Residen Purbalingga, CA. Varkevisser dalam sebauh Surat Keterangan RMT Dipokusumo yang diketahui oleh Residen Banyumas tertanggal 27 Februari 1835. Pengangakatan RMT Dipokusumo menjadi Bupati Purbalingga juga dijelaskan dalam sebuah Surat Keterangan yang ditulis tangan berbahasa Jawa-Belanda dan ditangatangai sendiri oleh RMT Dipokusumo. Sebelum itu, pada tanggal 23 Februari 1835, RMT Dipokusumo mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mendapatkan gelar “Adipati”.
Setelah RMT Dipokusumo menjabat, kemudian diteruskan oleh keturanannya. Memang dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, tidak diketemukan secara jelas dan lengkap surat keputusan setelah RMT Dipokusumo menjabat. Meskipun demikian, dalam Regeering Almenak Voor Nederlandsch Inde terbitan tahun 1881, 1882, 1888, 1903, 1906 dan 1929 dapat diketahui Bupati-Bupati yang telah menjabat setelah RMT Dipokusumo, diantaranya adalah: (1) Raden Adipati Dhipokusumo (berdasarkan Resolusi tanggal 7 Agustus 1846); (2) Raden Dhipoatmojo bergelar Raden Tumenggung Dipokusumo (menjabat pada 4 September 1868; (3) Raden Taruno Atmojo yang menjabat dari tanggal 14 Februari 1881; (4) Raden Dharma Kusumo menjabat dari tanggal 13 September 1899; (5) Raden Tumenggung Sugondho yang mulai menjabat dari tahun 29 Oktober 1925.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, dan berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda, Bupati Purbalingga yang memerintah adalah (1) Mas Sujoto menjabat dari tahun 1946-1947; (2) Raden Mas Kartono menjabat mulai tahun 1947-1950; (3) Raden Utoyo Kusumo menjabat 1950-1954; (3) Raden Hadisukmo menjabat antara 1954-1960; (4) Raden Mohamad Suyadi menjabat dari tahun 1960-1967; (5) Raden Bambang Murdharmo, SH, menjabat dari tahun 1967-1973; (6) Letkol. Guntur Darjono, menjabat dari tahun 1973-1979; (7) Drs. Sutarno, menjabat dari tahun 1979-1984; (8) Drs. Sukirman, menjabat dari tahun 1985-1989; (9) Drs. Sularno dari tahun 1989-1999, setelah reformasi kemudian di jabat oleh (10) Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si, kemudian dilanjutkan oleh (11) Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si dari tahun 2010, namun dalam proses pemerintahan pada tahun 2013, menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah, sehingga dilanjutkan wakilnya, (12) Drs. Sukento sampai 2015, saat ini (2016) Purbalingga dipimpin oleh Tasdi, SH., MM dengan masa jabatan sampai 2020. 

Catatan Akhir: Sebuah Refleksi
Sebuah hari jadi bagi sebuah kabupaten memang serasa sebagai moment untuk menyalurkan “pesta” tahunan dan sebagai simbolisasi bahwa sebuah kabupaten telah berdiri. Namun, dalam memilih hari jadi, seharusnya berdasarkan data dan kecocokan jiwa lokalitas penduduk sekitarnya. Apalagi kalau dalam menentukan hari lahirnya, terjadi kesalahan sejarah, dan ketidak nyambungan dengan jiwa masyarakatnya. Hal ini tentunya akan terasa sebagai sebuah pesta tahunan “pepesan koson”. Salah satu contoh “pepesan kosong”nya Kabupaten Banyumas yang setelah 25 tahun merayakan hari jadinya, ternyata menurut Prof. Sugeng Priyadi, penetapan 5 April adalah sebuah ahistory, atau kesalahan sejarah. Sehingga mulai tahun 2016, Kabupaten Banyumas merubah perda-nya dan menetapkan hari jadinya menjadi 22 Februari, yang pada tahun 2016 ini merayakannya yang ke-444 tahun.
Seharunya Kabupaten Purbalingga juga mau berkaca kepada sejarahnya sendiri, dan mengikuti jiwa zaman, yaitu mau membuka dokumen sejarahnya. Ada pilihan secara yuridis yang bisa diambil, yaitu, menjadikan tanggal 22 Januari 1829 sebagai HUT Purbalingga dengan ditandai oleh pelantikan resmi Raden Ronggo Yudonegoro diangkat menjadi Regent van Purbalingga (Bupati Purbalingga), dengan sebuah surat keputusan Besluit Kommissaris General tertanggal 22 Januari 1829 Nomor 39 Atas Nama Raja. Dan bukan 18 Desember 1830. Kenapa harus tanggal 18 Desember?
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pada tanggal 18 Desember 1830 adalah hari pengambil alihan kekuasaan wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogjakarta kepada pemerintah Kolonial Belanda. Jadi, penetapan HUT Purbalingga yang dirayakan dengan landasan Perda Nomor 15 Tahun 1996 mengacu pada pengambil alihan wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta oleh pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaanya yang saya ulang, mengapa harus tanggal 18 Desember? Penulis pun tidak bisa memastikan ini. Namun pertanyaan lain yang justru timbul, kenapa Banyumas tidak menggunakan tanggal 18 Desember itu? Padahal tanggal tersebut justru merupakan tanggal terbentuknya Karsidenan Banyumas.
Kalau secara yuridis, ketika pengangakatan Raden Ronggo Yudonegoro diangkat sebagai Bupati pertama Purbalingga tangggal 22 Januari 1829, maka selayaknya tanggal itulah yang seharusnya dijadikan hari lahir, bukan tanggal 18 Desember 1830 yang merupakan pembentukan Karsidenan Banyumas. Jadi dengan kata lain, HUT Purbalingga yang dirayakan setiap tanggal 18 Desember itu, sama saja merayakan kekalahan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan merayakan penyerahan kekuasaan bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta kepada Belanda. Mari kita merefleksikan diri dengan berfikir kritis.
Sejarah harus memiliki senjata ke-kritis-an. Memang untuk menuliskan sejarah kritis, kita juga harus melihat sejarah tradisional. Kemampuan terbatas penulis yang belum mampu membongkar Babad yang berbicara tentang sejarah Purbalingga dari perspektif lokal. Karena menurut Prof. Taufik Abdullah, ketika sejarah kritis ingin ditulis, maka masalah pertama yang harus dihadapi adalah mencari “fakta” dibelakang historiografi tradisional yang menentukan hayat “kewajaran sejarah”, dan tradisi lisan, yang merupakan mirage of reality.

Versi lain dari Ki Arsantaka: Habis
Versi lokal yang penulis maskud adalah versi dari babad yang berbicara tentang berdirinya Kabupaten Purbalingga. Dalam versi ini, Ki Arsantaka menjadi tokoh sentral dalam berdirinya Kabupaten Purbalingga. Menurut Tri Atmo, Ki Arsantaka merupakan putera dari Adipati Onje II dengan puteri dari Adipati Arenan. Ki Arsantaka setelah dewasa mengembara ke Timur dari rumahnya di Onje (Kecamatan Mrebet sekarang). Hingga tiba di Desa Masaran (sekarang Kecamatan Bawang, Banjarnegara). Disana Ki Arsantaka diangkat anak oleh Ki Rindik atau Ki Wanakusuma, menantu dari Ki Ageng Gendani dari Pdepokan Bangkongreng, sehingga nama Arsantaka diganti menjadi Arsakusuma.
Setelah itu, Ki Arsantaka menikah dengan Nyi Merden, puteri dari Ki Pranadipa (keturunan Adipati Wirasaba), dari pernikahannya ini, keturanannya akan menjabat Bupati Purbalingg, yaitu Raden Tumenggung Dipayuda III. Ki Arsantaka berjasa kepada saat perang Jenar, perang antara Mankubumi dengan Pakubuwono III. Jasa terbesar Ki Arsantaka karena berhasil menemukan jasad dari Nhabehi Dipayuda I, sehingga nanti anaknya, Ki Arsayuda diberikan gelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Awalnya perintahan berpusat di Karanglewas (sekarang Kecamatan Kutasari), setelah anaknya menjabat sebagai Ngabehi di Karanglewas, maka timbul ide dari Ki Arsantaka untuk memindahkan pemerintahannya ke arah Tenggara. Pertimbangan yang diperoleh dari Ki Arsantaka adalah karena letaknya yang dekat dengan Sungai Klawing, tujuanya untuk memudahkan perdagangan dan kesuburan tanah yang bisa dijadikan untuk pertanian. Pemindahan ini, bertepatan dengan tangga 23 Juli 1759 Masehi atau beretepatan dengan hari Senin Manis 26 Selo (Apit) tahun Jawa EHE 1684 Windu Kuntoro. Versi ini menunjukan bahwa, tanggal 23 Juli selayaknya dijadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Purbalingga. Namun, data ini harus ditelisik lagi. Semoga ada kesempatan penulis, untuk lebih mendalami data ini.
Untuk menutup artikel ini, penulis mengajukan pertanyaan awal, kriteria apa yang menjadi tolak ukur Kabupaten Purbalingga untuk menjadikan sebuah tanggal menjadi tanggal “keramat” dan dijadikan Hari Jadi nya? Yuridis atau Lokalis?

Wednesday, December 14, 2016

Asal Usul Nama Desa Tamansari


Kantor Desa Tamansari

Tuesday, December 13, 2016

99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes [Resensi]

Identitas Buku
Judul               : 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes
Penulis             : Monica Anggen
Penerbit           : Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Terbit               : Cetakan Kedua, September 2015
Tebal               : 220 Halaman

Resensi Buku
    Sherlock Homes adalah salah satu tokoh fiktif terkenal dalam literasi detektif, ia diciptakan oleh Conan Doyle yang dalam setiap aksi di buku-bukunya bertugas untuk menyelesaikan kasus yang pelik. Namun, tenang saja, di dalam review kali ini tidak akan membahas mengenai buku Conan Doyle, melainkan buku nonfiksi karya Mbak Monica Anggen berjudul 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes. Buku ini sangat keren karena Mbak Monica Anggen berusaha mengaitkan pemikiran dan aksi-aksi Sherlock untuk meningkatkan performa kita dalam berpikir. Tentu saja berpikir yang istimewa ala Sherlock Holmes.

    Berisi 99 bab yang setiap babnya dibahas dengan singkat tanpa bertele-tele. Mungkin, tujuannya agar pembaca bisa menyerap segala penjelasan yang telah dibuat penulis dengan singkat, sepuluh tips pertama berisi penjelasan yang kiranya akan mudah dipahami pembaca, begitupun 89 bab lainnya yang mengikuti di belakangnya. Awal-awal kita akan membaca terlebih dahulu mengenai bab Pentingnya Berpikir Ala Sherlock, bab ini lebih kepada pemancing rasa penasaran karena jelas-jelas di bagian akhirnya pembaca diberikan semacam sugesti agar mengikuti buku ini sampai akhir.

    Sedangkan bab dua, mengenai Misteri Hidup yang Harus Dipecahkan, bab ini kembali mencoba mengajak pembaca melihat bahwa hidup ini tak akan pernah tanpa masalah, yang perlu ditekankan adalah bagaimana cara kita menyelesaikannya. Barulah bab-bab selanjutnya kita akan disuguhi teori-teori yang sebenarnya tidak terlalu rumit, karena praktiknya pun dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Sebut saja teori-teori tersebut adalah teori analisis, teori logika, teori berpikir dengan cara deduktif, teori berpikir dengan cara induktif, dan sebagainya. Penulis pun berusaha mengajak pembaca untuk mempraktikkan dalam kehidupan nyata berbagai teori dalam buku ini. Seperti contohnya dalam bab latihan penalaran deduktif, kita diharuskan mengidentifikasi orang asing di tempat umum, kita akan diberikan contoh daftar pertanyaan agar bisa setidaknya menduga orang tersebut bagaimana karakternya.

   Selain itu, buku ini pun disertai dengan banyak kasus yang telah dipecahkan Sherlock Holmes. Tentu dipaparkannya kasus-kasus tersebut agar mampu mendukung gagasan-gagasan yang telah penulis rancang yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Sebut saja di bab Proses Eliminasi, penulis menggunakan contoh kasus Sherlock Homes yaitu Petualangan Tiga Pelajar. Di kasus tersebut diterapkan praktik teori eliminasi saat Sherlock berusaha menyeleksi terdakwa-terdakwa yang kemungkinannya kecil menjadi tersangka. Atau di bab-bab lainnya masih banyak kasus yang memiliki keterkaitan dengan tips-tips di buku ini, semuanya disajikan dengan begitu dinamis karena pembaca pun harus ikut serta berpikir kritis.

   Buku ini bisa menjadi koleksi penggemar Sherlock karena mereka bisa turut bernostalgia dengan pembahasan kasus plus mendapatkan tips bagaimana berpikir ala Sherlock. Ataupun buku ini bisa dikoleksi non penggemar Sherlock, karena pembahasannya yang juga merujuk ke pembaca umum. Kekurangan buku ini mungkin hanya ketidaktersediaan daftar isi yang bisa jadi digunakan ketika pembaca ingin menemukan informasi dengan cepat saat mencoba membaca kembali buku ini. Overall, buku ini layak dibaca karena topik bahasannya bukanlah topik yang umum, melainkan topik yang unik dan segar, serta tentu saja buku ini sangat menginspirasi.

Sunday, December 11, 2016

Asal Nama Desa Makam

Kantor Kepala Desa Makam, Rembang

arifsae.com - Pada awalnya, Perdikan Cahyana hanya terdapat satu demang saja yaitu “Ki Lurah Saratiman”. Pada saat itu Perdikan Cahyana masih berada dibawah Kerajaan Demak. Setelah itu  Belanda mulai berkuasa di Indonesia, ia membagi Perdikan Cahyana menjadi 21 kademangan dan juga memindahkan Perdikan Cahyana berada dibawah Keraton Surakarta. 21 Kademangan tersebut berada di Kecamatan Rembang dan Kecamatan Karangmoncol. Demang yang berada di Desa Makam ada 8 demang yaitu : Makam Wadas, Makam Bantal, Makam Kamal, Makam Tengan, Makam Jurang, Makam Duwur, Makam Kidul, Makam Panjang.

Tiap-tiap demang memiliki cara kepimpinan yang berbeda-beda antara demang yang satu dengan yang lain nya. Dan setiap demang memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing. Kata demang tersebut “Masyarakat siapa pun yang nantinya membutuhkan tempat tinggal atau sawah bilang saja ke saya”. Demang juga berkata “Wani Nglungakena Aweh Ndodokena” yang artinya adalah berani memindahkan dan juga harus berani memberikan tempat penggantinya.

Jadi, Demang lah yang mengatur tempat tinggal para warganya. Selanjutnya, ada juga cerita dari Kalen Sprit (Saluran Irigasi) yang menghadap ke arah Demang Makam Bantal. Orang tersebut meminta sawah dan harus hari ini juga diberikan, lalu Mbah Demang menjawab “Iya nanti  akan saya berikan”. Tetapi orang tersebut datang lagi dan meminta kepada Mbah Demang harus hari ini diberi Seakan-akan ini adalah permintaan terakhir (Akan mati esok) semua keiinginannya harus dipenuhi. Dan ternayata, Keesokan harinya orang tersebut benar-benar meninggal dunia. Meninggalnya Mbah Demang Makam Bantal mungkin ini hanyalah sebuah kebetulan bukan berarti sakti.

Pada suatu malam Mbah Demang sedang melihat keadaan di malam hari. Ditengah Jalan beliau tidak sengaja bertemu seorang ibu-ibu dengan 2 anaknya yang masih kecil dan salah satu anak nya sedang buang air besar. Pada saat Mbah Demang lewat si ibu dengan 2 anak nya yang masih kecil mengira bahwa Mbah Demang itu adalah suami nya yang sedang ronda, lalu ia meminta tolong kepada Mbah Demang untuk menceboki anak nya dan Mbah Demang pun menceboki anak kecil tersebut. Sesampainya di rumah, orang yang dikira suami nya ternyata tidak masuk-masuk kedalam rumah. Tidak lama kemudian suami nya pulang. Istri nya bertanya “Kenapa tidak masuk-masuk ke rumah?” lalu, suami nya menjawab “Aku saja baru pulang ronda”. Si istri bingung sendiri dan berfikir kembali didalam hati nya dia berkata “lalu orang tadi siapa?” dan bertanya kepada suami nya “Apakah kamu tadi waktu ronda lewat sini?” suami nya menjawab “Tidak”.

Keesokan hari nya dia mencari info dan ternayata orang kemarin adalah Mbah Demang Makam Bantal. Mbah Demang Makam Bantal adalah seseorang yang sangat religius dan apabila beliau berbicara tutur kata nya sangat halus. Pada saat Demang Makam Wadas, sawah digarap oleh warga secara bergiliran atau bergantian yang biasa dinamakan dengan “Kemakmuran, Ubengan=Putaran=Bergantian”. Apabila warga tersebut sudah menggarap sawah hasilnya pun untuk mereka dan memanfaatkan nya, Karena Demang sudah punya sawah yang untuk digarap sendiri. Setiap hasil panen, nanti dibagi 10 bagian, 9 bagian milik demang dan yang 1 bagian nanti dibagikan kepada fakir miskin (Yatim piatu,para janda,dll). Cara inilah yang disebut dengan “Sepuluh Gugur Sangga”

Pada zaman itu demang-demang sangat melindungi para janda dan mereka menjamin untuk urusan sandang dan pangan serta biaya pernikahan apabila si janda akan menikah lagi.

Sumber Referensi:

http://thepoez.blogspot.co.id/2015/11/asal-usul-desa-makam.html?m=1., diakses tanggal 20 November 2016.

Saturday, December 10, 2016

Asal Usul Nama Desa Slinga

Bendungan Desa Slinga (dokpri)

arifsae.com -Desa Slinga merupakan salah satu Desa yang terletak di Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Hanya berjarak 2 kilometer dari puasat kota Purbalingga. Luas wilayah Desa Slinga seluas 3885 hektar, yang terdiri dari 3 Dusun 7 RW dan 24 RT. 

Batas administrasi Desa Slinga sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Desa Arenan Kecamatan Kaligondang, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Banjaran Kecamatan Bojongsari, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kembaran dan Desa Kalikajar Kecamatan Kaligondang. Mata pencaharian rata-rata penduduk Desa Slinga dalah buruh dan karyawan swasta. Desa Slinga juga memiliki UKM seperti seriping pisang, rengginang, dan telur asin.

Desa Slinga juga terkenal dengan Bendungan Slinga atau masyarakat Desa Slinga sering menyebutnya dengan Selis. Bendungan ini bisa dikatakan bendungan lama, tetapi bisa juga dikatakan sebagai bendungan baru. Bendungan ini bisa dibilang Bendungan lama karena sebenarnya Bendungan ini dibangun pada masa penjajahan Belanda, areal irigasi ini yang dibangun sejak tahun 1920.

Seiring berjalannya waktu serta akibat pembangunan di daerah sekitar, sebagian ambang alam di Sungai Klawing mengalami kerusakan. Permukaan air sungainya menurun sehingga areal irigasi kekurangan debit air dan banyak sawah yang tidak terairi. Kekurangan debit air dan irigasi yang tidak efektif juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang melakukan pengambilan air secara bebas dan langsung dari Sungai Klawing.

Pengambilan bebas dilakukan dengan menggunakan pintu kayu sederhana yang tidak dilengkapi pembilas sehingga menggerus ambang alam di sekitar pintu pengambilan. Pada musim kemarau air sungai semakin sulit mengisi areal irigasi. Sementara itu, pada saat musim hujan air mengalir secara berlebihan dan menggenangi lahan. Mengingat besarnya potensi pertanian di daerah Slinga dan sekitarnya, maka pada tahun 2010 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) membangun Bendung Slinga dan melakukan modernisasi infrastruktur irigasi. 

Di daerah tersebut Sungai Klawing membentuk alur yang lurus sehingga ideal untuk dibangun bendung. Bendung Slinga selesai dikerjakan pada tahun 2012. Dikatakan sebagai Bendungan baru karena pada tahun 2010 hingga 2012 Bendungan ini mengalami perbaikan. Sebelumnya Bendungan Slinga hanya berfungsi sebagai sarana irigasi, namun setelah diperbaiki dan penyelenggaraan berbagai kegiatan di Bendungan Slinga. Bendungan ini sekarang tidak hanya berfungsi sebagai saluran irigasi saja, tetapi  mulai banyak orang yang menjadikan Bendungan Slinga sebagai tempat wisata. Bendungan Slinga sebaiknya dikunjungi pada pagi dan sore hari, karena pada saat siang hari tempat ini sangat panas karena belum adanya pohon-pohon yang digunakan untuk bertrduh.

Mengenai sejarah Desa Slinga, dahulu disebuah tempat masyarakat Desa Slinga sering menyebutnya dengan”gunung pancuran”. Merupakan salah satu tempat yang tinggi dan di lereng atau warga Desa Slinga sering menyebutnya dengan “pereng” terdapat sumber mata airnya. Pada zaman dahulu, suatu hari disana ada seekor ikan yang tersumbat oleh saluran aliran air yang keluar dari mata air tersebut, dan ikan tersebut disogok-sogok” atau dalam bahsa Indonesia didorong-dorong supaya ikan tersebut keluar. Setelah ikan tersebut keluar tenyata saluran airnnya mengeluarkan minyak. Dalam bahasa Jawa mengeluarkan berarti “seling” dan minyak berarti “lenga”. Kemudian daerah tersebut diberi nama SLINGA yang berarti mengeluarkan minyak. Begitulah sejarah Desa Slinga.

Sumber Referensi: 
Wawancara dengan Laeli Khasanah, pada tanggal 3 November 2016.
Penulis Anggit Felda Safira


Friday, December 9, 2016

Asal Nama Desa Panican

Balai Desa Panican (dok Pribadi)

Desa Panican terletak di Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga. Kecamatan Kemangkon memiliki luas wilayah 4.513.313 Ha berada pada 40 mdpl. Kecamatan Kemangkon berbatasan dengan Desa Toyareka di sebelah Utara, Kabupaten Banjarnegara di sebelah Selatan, Desa Bajong, Desa Tidu, Desa Wirasaba di sebelah Timur dan Desa Jompo, Desa Rabak, Desa Grecol di sebelah Barat.

Secara administratif, Kecamatan Kemangkon terdiri dari 19 desa. Diantara 19 desa yang berada di Kecamatan Kemangkon, ada salah satu desa yang asal-usul namanya menarik. Desa tersebut adalah Desa Panican. Desa Panican memiliki tanah seluas 289,300 Ha. Secara umum, masyarakat Desa Panican bekerja di sektor agraris, hal ini dikarenakan lahan pertanian di Desa Panican masih sangat luas. Selain itu, tanah pertanian di Desa Panican juga cocok untuk ditanami segala jenis tanaman pangan. Salah satunya adalah tanaman padi, dari hasil tanaman inilah perekonomian di Desa Panican mampu berkembang pesat.

Selain bekerja di bidang pertanian, masyarakat di Desa Panican juga bekerja sebagai pedagang. Hal ini dikarenakan Panican memiliki pasar yang merupakan pusat jual beli masyarakat di Kecamatan Kemangkon. Boleh dikatakan pasar ini merupakan urat nadi perdagangan di Desa Panican. Banyak masyarakat Desa Panican yang menggantungkan hidupnya di pasar ini. Namun sangat disayangkan, kabarnya pasar ini akan di alih fungsikan menjadi terminal.

Setelah mengetahui berbagai hal tentang Desa Panican tak lengkap rasanya bila kita tak mengetahui asal-usul nama desa ini. Nama dari Desa Panican ternyata memiliki cerita yang menarik untuk kita ketahui. Cerita legenda ini telah berkembang di sebagian besar masyarakat desa tersebut. Pada masa Perang Jawa (Java Oorlough) tahun 1825-1830, antara pihak VOC dengan Pangeran Diponegoro, terdapat tiga orang prajurit Mataram yang tersesat di sebuah hutan yang berawa dan penuh dengan binatang buas. Ketiga orang prajurit itu bernama Wisayudha, Wisanala, Wisananga. Ketiga prajurit tersebut dengan gagah berani bertahan hidup di hutan yang masih liar itu.

Konon, hutan yang disinggahi ketiga prajurit tersebut dikuasai oleh seekor raja hutan, yang berupa seekor harimau yang sangat besar. Harimau ini terkenal sebagai penguasa hutan yang paling kejam. Ketiga prajurit tersebut kemudian berencana untuk membuka hutan ini sebagai pemukiman. Rencana ini dapat diwujudkan dengan syarat dapat mengalahkan raja hutan Harimau. Tetapi, harimau ini sangat kuat dan sakti. Untuk mengalahkan harimau tersebut ketiga prajurit membuat bronjong (keranjang besar dari anyaman bambu) sebagai alat penjebak. Kemudian mereka membuat rencana untuk menggiring Harimau tersebut agar masuk ke dalam perangkap mereka.

Melalui usaha dan keberanian serta semangat jiwa ketiga prajurit itu akhirnya, Harimau berhasil dikalahkan. Dengan demikian Wisayudha, Wisanala, dan Wisananga dapat mulai membuka hutan dan rawa untuk dijadikan pemukiman penduduk. Masyarakat kemudian menyebut tiga orang prajurit ini sebagai orang yang wani (berani) dengan Harimau/Macan. Sehingga lambat laun istilah ini (wani macan = Wanican) dipakai sebagai nama desa tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, Wanican berubah nama menjadi Panican.

Demikianlah sekilas cerita tentang asal-usul nama Desa Panican. Semoga dari apa yang telah  saya  paparkan di atas dapat  bermanfaat bagi Anda. Terlebih lagi dapat menambah wawasan dan pengetahuan Anda tentang  berbagai asal-usul nama desa yang terdapat di Purbalingga.

Sumber Referensi :
http://desapanican.blogspot.co.id/2015/08/asal-mula-nama-desa-panican.html., diakses tanggal 20 Oktober 2016.
Wawancara dengan Bapak Haryanto, pada 8 November 2016 (49 tahun).

Asal Nama Nama Desa Selanegara

Kantor Kepala Desa Selanegara (dokpri)

arifsae.com - Desa Selanegara merupakan desa yang terletak di Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Dari pusat kota menuju Desa Selanegara bisa di tempuh dengan jarak sekitar 15 km dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Desa yang terletak setelah Kecamatan Kaligondang ini memiliki luas 224 hektare. Desa Selanegara juga berbatasan dengan desa-desa lain di sekitarnya. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sidanegara dan Desa Selakambang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cilapar. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kaligondang. Serta sebelah Timur berbatasan dengan Desa Selakambang dan Desa penolih.

Desa Selanegara memiliki 4 wilayah dusun atau dukuhan yang masing-masing di kepalai oleh Kadus. Pada dusun pertama terdapat 2 kedukuhan yaitu Dukuh Sidarini dan Dukuh Sanggrahan. Kemudian, pada dusun kedua terdapat 3 kedukuhan yaitu Dukuh Kalimenyeng, Dukuh Kesamen, dan Dukuh Sabrang. Selanjutnya, dusun ketiga terdapat 1 kedukuhan yaitu Dukuh Sudimara yang disitu terdapat 3 wilayah RT. Terakhir, dusun keempat terdapat 3 kedukuhan yaitu Dukuh Kamal, Dukuh Slegara, dan Dukuh Pegaden.

Desa Selanegara atau orang sering menyebut dengan sebutan Kesamen berawal dari kisah cerita rakyat. Bahwa zaman dahulunya di desa ini terdapat sebuah batu negara (dalam bahasa Jawa batu berarti sela). Batu negara tersebut merupakan satu titik suatu negara. Dulu Desa Selanegara ini adalah tempat berkumpulnya para tentara-tentara Belanda yang mayoritas menetap di kedukuhan Sanggrahan. Pada dusun inilah yang terkenal sebagai Kesamen karena dahulunya dimana ada sebuah sekolah tempat ujian atau dalam bahasa Belanda (tentamen) untuk para tentara Belanda. Di sekolah tersebut kebanyakan yang bersekolah disitu adalah orang-orang dari luar desa yang jarak tempuh ke sekolah jauh atau yang di asal desanya tidak terdapat sekolah dan kebanyakan dari mereka mengikuti kelas lanjutan.

Jadi, sejarah Desa Selanegara ada dua. Pertama, arti Desa Selanegara yang memiliki artian yaitu Batu Negara. Sedangkan yang Kedua, Kesamen adalah sebutan dari orang-orang desa tersebut untuk menamai sekolah tempat ujian atau tentamen para tentara Belanda. Di katakan Kesamen karena kebanyakan orang-orang tidak bisa menyebut tentamen dengan bahasa Belanda atau lebih terbiasa menyebutnya dengan menggunakan bahasa Jawa yaitu Kesamen.

Kembali kepada arti Desa Selanegara yang konon katanya batu negara tersebut kini sudah tidak terlihat atau jarang ditemui dan terkadang hilang di desa, jika penasaran dengan batu ini bisa ditemui pada hari-hari tertentu atau hari yang dipercayai oleh masyarakat sekitar dan anehnya lagi dari batu negara itu adalah batu tersebut dapat mengeluarkan cahaya yaitu cahaya biru. Jarang sekali masyarakat yang mengetahui keberadaan batu tersebut. Lokasi tempat untuk menemukan sang batu negara tersebut terdapat di sekitar area persawahan sebelah Timur SMP N 1 Kaligondang sepanjang Kedukuhan Sidarini, sementara sekolah atau tentamen yang dulu digunakan sebagai tempat ujian ada di SD N 1 Selanegara.

SD N 1 Selanegara termasuk salah satu sekolah peninggalan Belanda. Sebutan Kesamen oleh masyarakat yang ingin berkunjung kesana “Di tanya mau kemana?” Mereka menjawab mau ke tentamen yang artinya sebuah sekolah tempat ujian atau lidah mereka lebih mudah menyebut tentamen menjadi Kesamen. Pada dasarnya jika ada orang yang ingin berkunjung ke Kesamen maka yang mereka maksudkan adalah Desa Selanegara.

Sumber Referensi:
Narasumber bernama Bapak Isma’il hasil wawancara pada tanggal 2 Oktober 2016.
Penulis Oktavia Dika Nadya Rahma

Thursday, December 8, 2016

REFORMASI SASTRA DI KELAS-KELAS KECIL

Oleh: Arif Saefudin 
Juara 2 Lomba Esai Bulan Bahsa UGM 2016, Klik Disini
Dunia sastra, hingga saat ini masih menjadi dunia yang ‘terasing’ bagi kebanyakan generasi muda, mereka lebih disibukan dengan aktivitas dengan gadget nya. Mereka terjebak dalam rutinitas yang tanpa batas, yaitu rutinitas keseharian yang membuat mereka ‘malas’ berkarya, apalagi untuk bersastra. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satu aspeknya adalah persoalan masa lalu (Baca: Orde Baru) yang banyak membelenggu sebagian sastrawan. Diluar itu, kaum elit dianggap tidak menanggapi kritik para sastrawan dan cenderung tidak mau bergaul dengan mereka. Akibatnya, kebijakan kebudayaan dan terutama kesastraan tidak dapat perhatian yang serius dari pemerintah.[1]
Perkembangan dunia sastra, pada masa reformasi ini bisa dikatakan sedang menemukan momentum baru, apabila kita melihat toko-toko buku disekitar, tentunya akan dengan mudah melihat berbagai karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan hebat Indonesia. Karya sastra ini berupa roman percintaan, puisi-puisi dan novel-novel yang ber-genre ramaja. Selain media cetak, media online manjadi tempat yang subur bagi pecinta sastra untuk menuntaskan dahaganya. Saat ini, kita sering melihat karya-karya sastra diangkat kedalam layar lebar, sebuah kenyataan yang tidak bisa dinikmati oleh sastrawan sekaliber Pramudya Ananta Toer dan Chairul Anwar sekalipun.
Dibalik menggeliatnya dunia sastra sekarang, sastra tidak betul-betul menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia secara umum. Dalam dunia pendidikan misalnya, para pelajar hanya memandang sebelah mata dan menganggap dunia sastra tidak penting. Hal ini sudah dikatakan oleh Taufik Ismail sebagai ‘generasi nol buku’. Taufik Ismail membandingkan pelajar lulusan 13 Negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa pelajar kita tidak diwajibkan membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis. Generasi inilah yang disebut Taufik Ismail sebagai ‘generasi yang rabun membaca, dan pincang menulis’.[2]
Kenyataan ini diperkuat oleh fakta tentang apresisasi karya sastra dinegara tetangga dibandingkan di Indoneisa, padahal penulisnya merupakan sastrawan kita. Misalkan saja, karya Ahmad Fuadi, novel karyanya yang berjudul Negeri Lima Menara menjadi bacaan wajib bagi beberapa sekolah yang ada di Australia.[3] Pertanyaanya, bagaimana kita sebagai generasi muda memaknai sastra dan pentingnya sebuah budaya literer?

Budaya Literer untuk Pendidikan Karakter
Bila dilhat, pendidikan kita lebih mengarah kepada sebuah tujuan untuk tidak memanusiakan manusia secara utuh, lahir maupun batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistik, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan budi dan keluhuran pekerti jadi tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, seperti melontarkan kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika dan etika ini telah terkebiri dan terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan konsumtif.
Rendahnya tingkat apresiasi generasi muda terhadap sastra hingga kini masih menjadi problematika dikalangan pengamat dan pemerhati sastra. Kalau keadaan ini berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra didunia pendidikan semakin terpuruk dan terasingkan dari hiruk pikuk persaingan antar bangsa. Menghadapi persaingan global ini, dunia pendidikan menempati peran yang sangat penting untuk bisa mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan aspek kognitif, namun juga merambah kedalam aspek afektif dan psikomotor.
Dari sinilah muncul kesadaran, bahwa pendidikan karakter yang berbudaya literer berbasis sastra menjadi sebuah keniscayaan. Dunia sastra dan tradisi literer merupakan sarana untuk membentuk karakter suatu bangsa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, imajinasi, dan proyeksi sebuah masyarakat dan kebudayaannya.[4] Buku tetralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer misalnya, menggambarkan gambaran mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang mengalami perubahan dan menanti sebuah momentum kebangkinan kesadaran nasional. Selain itu, novel Andrea Hirata berbicara tentang sebuah perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah kehidupan yang serba terbatas. Novel ini memberikan inspirasi kepada penikmatnya agar kesulitan bukanlah akhir, namun proses permulaan untuk menuju sebuah kesuksesan.
Selain dapat menjadi media pembentukan karakter, secara umum sastra juga dapat menjadi saluran bagi terbangunnya budaya literer dalam masyarakat. Budaya literer tidak hanya berkenan dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Seorang yang terbebas dari tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki budaya literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis lah yang secara teknis serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan sehari-harilah yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya literer.
Untuk menumbuhkan budaya literer ini, memang tidak mudah. Generasi muda harus berani melawan tradisi dengan berani berkreasi. Salah satunya dengan membuat  puisi, karya sastra yang memang secara ‘tidak sadar’ lebih dekat dengan anak muda. Oleh karena itu, penulis berusaha membangun sebuah pondasi, menjaga obsesi dan menuju realisasi yang nyata dengan membuat antologi puisi bersama anak-anak muda disekitar kita.

Membangun Pondasi dengan Antologi Puisi
Harapan itu selalu ada. Tidak sedikit generasi muda yang mau dan berani untuk bersastra, sebab masih banyak serpihan ‘mozaik-mozaik’ anak muda yang masih menjunjung tinggi dunia sastra. Bila dilihat, tanpa sadar mereka sebenarnya sering bersentuhan dengan dunia sastra. Salah satu contohnya adalah ketika kita melihat status mereka dimedia sosial. Sebagian dari mereka, entah itu di facebooktwitterpath dan media sosial yang lainnya, status mereka rata-rata puitis dan penuh ‘mistis’, karena banyak dari mereka menuangkan alam pikiran distatus sosialnya, dan banyak kata sajak-sajak mengalir tanpa mereka merasa.
Dari semangat itu, penulis ‘menantang’ mereka untuk menyatukan puisi-puisi kedalam sebuah buku kecil. Untuk mengumpulkan itupun tidaklah mudah, karena membutuhkan waktu yang sedikit menguras tenaga dan pikiran. Hanya mereka yang mau berdamai dengan rutinitas dikelas yang tanpa batas. Mereka disatu sisi harus berkutat pada pelajaran dan tugas yang jelas segudang jumlahnya, namun harus mengumpulkan dan membuat karya sastra berbentuk puisi.
Mereka mencoba berolah sastra, belajar membuat dan menuliskan puisi serta mengapresiasikannya lewat bentuk sebuah antologi. Mereka memadukan dan mengimajinasikan, itulah puisi. Hal ini seusuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Shahnon Ahmad bahwa sebuah kata dipadukan, maka akan mendapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pembaca, kiasan dan perasaan yang bercampur baur menjadi sebuah rangkaian kata.[5]
Untuk membuat sebuah puisi saja membutuhkan waktu dan suasana yang mendukung terutama harus mempunyai sebuah tema atau ide. Faktor tersebut harus ada dalam proses pembuatan sebuah puisi, karena untuk mencari tema dan ide itu sifatnya hanya sepintas terfikirkan. Pertanyaanya bagaimana menumbuhkan ide? Ide itu datangnya tiba-tiba, maka kita perlu menyediakan catatan kecil, semisal buku harian atau catatan di smartphone. Ide-ide yang datang tiba-tiba itu, setelah ditulis dalam bentuk catatan-catatan kecil tersimpan maka dibuka lagi ketika kita dalam keadaan yang tenang, dari hasil perenungan ini bisa digali terus menjadi sebuah puisi.
Apalagi dalam kondisi anak muda yang sedang menyemai jati diri mereka. Mereka sedang menumbuhkan apa yang terpendam dalam diri mereka, entah itu tentang pertemanan maupun masalah cinta. Biasanya tema-tema seperti itu yang terlintas dibenak para anak muda. Puisi mereka biasanya merupakan media yang paling tepat untuk terus menuangkan perasaan mereka yang galau ataupun baper (terbawa perasaan). Hal ini bisa berdampak positif, karena secara tidak langsung mereka menumbuhkan budaya menulis bagi sekitarnya. Meskipun budaya membaca mereka masih sedikit lemah, karena bisanya puisi yang mereka buat bukan karena dari membaca, namun disebabkan karena pengalaman pribadi mereka yang sudah dialami.
Hal ini meskipun belum lengkap, budaya menulis ini akan diimbangi dengan sendirinya karena mereka setelah mau menulis, biasanya akan ‘terpaksa’ membaca, sehingga budaya yang timbul akan lengkap dengan budaya membaca dan menulis. Kedua aspek ini tentunya akan menumbuhkan karakter mereka menjadi karakter-karakter yang berpotensi menumbuhkan budaya literer. Namun apabila bakat terpendam mereka tidak di ‘bangunkan’ maka hal ini bisa mengancam semangat budaya membaca dan menulis.
Ada dua hal yang mengancam budaya membaca dan menulis ini, yaitu pertama, vokasionalisme baru, dimana lembaga-lembaga pendidikan hanya menekankan aspek ketrampilan teknis. Semisal, banyak jurusan disekolah-sekolah yang hanya menjuruskan minat siswa namun tidak melihat sisi-sisi yang lain, atau bakat yang ‘tertidur’ mereka. Dan yang kedua, terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya media televisi yang menampilkan budaya-budaya konsumtif dan pragmatis, semisal sinetron-sinetron yang sama sekali tidak ada nilai pendidikannya, yang ada hanya pihak televisi mengejar rating dan pemasukan iklan, sehingga secara tidak langsung televisi akan membunuh budaya menulis dan membaca.[6] Oleh karena itu, semangat untuk melawan dari serangan-serangan untuk mengkerdilkan semangat anak muda ini harus terus dikobarkan.
Melalui semangat ini, kiranya penulis berusaha terus menjaga tradisi bersastra untuk kaum muda. Sebab, seperti yang sudah dibahas, kebiasaan membaca dan menulis merupakan indikator majunya sebuah peradaban bangsa. Misalkan di negara Jepang, penggunaan media kertas ternyata lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan tisu toilet. Tradisi bersastra ini akan (setidaknya) menjaga agar usaha menyemai jatidiri mereka terabadikan oleh sebauh karya puisi. Sehingga diharapkan generasi sekarang tidak menjadi generasi yang menurut Taufiq Ismail sebagai generasi yang ‘rabun membaca dan pincang menulis’ itu.
Kumpulan-kumpulan puisi mereka harus berani dibukukan. Karena sudah banyak tersedia berbagai penerbit-penerbit yang mau menerbitkan  berbagai tulisan kita, meskipun hanya penerbit indie. Hal ini mendorong penulis dan siswa bersama-sama untuk membangunkan budaya literer ini kedalam sebuah buku antologi  puisi. Penerbit yang sudah menerbitkan buku antologi ini adalah Mer-C Publising yang berada di Jakarta Selatan. Cetakan pertama pada bulan Februari 2016, dan ber ISBN 978-602-71073-2-8 dengan judul buku “Retorika Cinta dalam Senja: Antologi Puisi Menyemai Jati Diri”. Sebuah langkah awal dan pemicu bagi bibit-bibit yang berbakat untuk mengembangkan dan mendorong supaya lebih semangat untuk menuangkan semua ide kedalam bentuk tulisan. 
         Meskipun buku antologi ini masih terbatas penulisnya (3 orang penulis), namun setidaknya penulis mencoba menyumbangkan pikiran dan tenaga, untuk tetap membuat ‘lilin kecil tetap menyala dan berubah menjadi kobaran api yang besar’ lewat generasi muda yang berpotensi untuk bersinggungan secara langsung dengan dunia sastra. Akhirnya penulis menyadari bahwa dunia sastra pada umumnya akan ‘bangun’ dari tidurnya selama masih ada pena-pena anak muda yang berani menerobos dan menuangkan buah pikirannya meski hanya sekedar antologi puisi sederhana. Semoga dunia sastra pada umumnya, dan sastra pesantren khusunya akan terus menggeliat dan mengeluarkan taringnya. Esai ini penulis tutup dengan sepenggal puisi dalam antologi buku Retorika Cinta dalam Senja:

DIMANA CINTA SESUNGGUHNYA?

Cinta, bila kau datang tiba-tiba
Kedekatan jiwa, kecantikan mesra
Rindu nan penuh khayal merajut jiwa
Seisi hati menggenap untuknya
Asa mencinta tuk menyatu sepenuh tenaga
Rasa menjadi hidup hampa
Jika tanpa dia
Cinta, sekarang bila kau tahu
Dasar niat itu dibawah pusarmu
Nafsu raga jadi tujuanmu
Keduannya bersama cinta
Pasangan cinta itu idaman, alasannya
Cinta, sesatkah kamu cinta?
Sesat,! Jika sekumpul alasan akan pecinta
Pola tata krama dianggap tercela
Asal haram jadi halal, cinta untuk pecinta
Cinta, sekarang belum waktunya?
Siksaan adzab selanjutnya
Neraka akibatnya
Apa??? Neraka? Belakang urusannya
Itu masih lama
Cinta, sekarang kamu siapa?
Syariat, dihantam alasan apa saja
Lingkungan, berdukung berduyun mengiya
Keluarga, bila sudah ‘ada’, pasti setuju diterima
Apa??? Neraka? Masih kasat mata
Itu masih lama
Cinta, dimana kamu cinta yang sesungguhnya?
Hanya lewat jalan restu-Nya
Yang bisa memborgol modus cinta
Minta restulah pada-Nya
Semoga petunjuk-Nya
Datang untuk cinta yang sesungguhnya

Purbalingga, 8 November 2015


Daftar Pustaka
“Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas, 28 November 2015.
Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
Wildan Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema “Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi April 1979.
Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.


[1] Lihat Wildan Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema “Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi April 1979.
[2] Lihat makalah dari Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
[3] “Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas, 28 November 2015.
[4] Lihat buku Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
[5] Lihat Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
[6] Yudi Latif. 2009. ibid.., hlm 19.