Saturday, January 21, 2017

Aku Ini Binatang Jalang:Kumpulan Puisi Sejak 1942-1949 [Resensi]

arifsae.com

Identitas buku 
Judul Buku : Aku Ini Binatang Jalang
Pengarang : Chairil Anwar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Kota Terbit : Jakarta
Tahun terbit : Cetakan ke-20: Juni 2016 (Cetakan Pertama, Maret 1986)

Resensi Buku
Buku ini diberikan pengantar oleh Nirwan Dewanto pada tahun 2011 lalu. Dalam pbbengantarnya, Nirwan mengatakan puisi Chairil merupakan kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus. Pada suatu masa, kita harus membunuh si penyairnya, karena riwayat penyair hanya memisahkan tindak pemaknaan kita, begitu kata Nirwan.

Dalam buku ini, kumpulan puisi-puisi dimulai sejak tahun 1942 hingga akhir mendekati Chairil meninggal pada tahun 1949. Meskipun dalam beberapa pusinya, banyak terjadi perbedaan kata antara versi DCD (Deru Campur Debu) dan versi KT (Kerikil Tajam dan yang Terampas dan Yang Putus). Sajak-sajak yang dimuat dalam buku ini merupakan koleksi Chairil ditambah dua puisi saduran, termasuk saduran Karawang-Bekasi.

Penyusunan buku ini didasarkan kepada penyusunan koleksi ini disesuaikan dengan sistematika HB Jasin, yaitu dengan diurutkan dengan kronologis. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca mengetahui proses tulisan puisi Chairil dari tahun 1942 sampai 1949. Pada akhir puisi, diambah dengan surat-surat kepada HB Jasin, sahabat dekat Chairil. Kemudian disertakan juga berbagai bibliografi mengenai Chairil dan karyanya.

Sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah puisi Chairil dari karya-karyanya, yaitu (1) Deru Campur Debu (Jakarta: Pembangunan, 1966); (2) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (Jakarta: Dian Rakyat, 1981); (3) Tiga Menguak Takdir (Jakarta: Balai Pustaka, 1950); (4) HB Jasin (ed.), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1983) dan HB Jasin (ed.) Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (Jakarta: Balai Pustaka, 1975).


Diakhir penutup, diberikan Kata Penutup oleh Supardi Djoko Damono, ditulis sejak 1985. Menurut Supardi, tidak ada manusia yang bekerja secara sempurna. Sebagian besar sejak Chairil selayaknya tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajak terbaiknya menunjukan bahwa dia telah bergerak begitu cepat didepan sendirian. Sehingga banyuak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kecerdasan yang tinggi, katanya.

Pada masanya, Chairil bekerja sendirian, dialah pelopor tahun angkatan 45 yang pada masanya negeri ini sedang dirundung masalah penjajahan Jepang dan masa revolusi, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi gaya bahasanya saat itu. namun tidak bisa dipungkiri, keinginan Chairil untuk “hidup seribu tahun lagi” nampaknya akan terrealisasi. Karya “AKU” ini merupakan salah satu karyanya yang terus dikaji hingga kini, bahkan saat beberapa katanya menjadi jargon, seperti “Hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekalo berarti sudah itu mati”, “Kami hanya tulang-tulang yang berserakan” dan masih banyak lainnya. 

Untuk menutup resensi ini, berikut akan disampaikan salah satu puisi yang sangat fenomenal, yaitu AKU.


AKU

Kalau Sampai Waktuku
Ku Mau Tak Seorangpun Kan Merayu Tidak Juga Kau

Tak Perlu Sedu Sedan Itu

Aku Ini Binatang Jalang
Dari Kumpulannya Terbuang

Biar Peluru Menembus Kulitku
Aku Tetap Meradang Menerjang

Luka Dan Bisa Kubawa Berlari
Berlari
Hingga Hilang Pedih Peri

Dan Aku Akan Lebih Tidak Peduli

Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi

Maret 1943