Saturday, January 21, 2017

[MELAWAN] Lupa Cara Berdemokrasi

Demoksai (Sumber Gambar)
Belajarlah dari Barat, Tetapi Jangan Peniru Barat. 
Melinkan Jadilah Murid dari Timur yang Cerdas 
(Tan Malaka)

Pemilu presiden dan wakil presiden 2014 sudah lewat, ketika itu, kita sempat terkuras dan "terbelah" menjadi dua. Tapi, kita patut berbangga, sepanas apapun tensi nya, kita sudah mulai bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Kini, menginjak akhir tahun 2015, kita dihadapkan lagi dengan tantangan berdemokrasi baru, yaitu pemilu serentak yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, pemilu serentak yang akan dilaksanakan tanggal 9 Desember 2015 besok adalah yang pertama.

     Fakta tersebut menunjukan bahwa tantangan pesta demokrasi besok sangat berat. Masyarakat berbagai daerah di Indonesia akan berpartisipasi, dan partisipasi inilah yang akan menentukan arah masa depan disetiap daerah minimal 5 tahun ke depan. Pertanyaanya yang muncul di benak kita, apakah kita sudah siap untuk "berpesta" lagi? Apakah cara berdemokrasi kita sudah benar?

     Sejak reformasi 1998, Indonesia sudah beberapa kali melakukan pesta demokrasi yang boleh dikatakan cukup "sukses", dunia sudah mengakui bahwa Indonesia sebagai negara dengan demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tapi, dibalik "kesuksesan" pesta demokrasi yang sudah kita lakukan, masih banyak persoalah yang masih membayangi kehidupan berdemokrasi kita. Berdasarkan data dari Global Democracy Ranking 2013, kualitas demokrasi Indonesia hanya menduduki peringkat 66 dari 115 negara, dengan Thailand di peringkat 65 dan India di peringkat 67, dan termasuk dalam kategori flawed democracy.5 Peringkat tertinggi di raih oleh Norwegia, Swedia, dan Finlandia. 

     Indonesia sejak lahirnya sudah memutuskan untuk menganut sistem demokrasi. Sudah 70 tahun Indonesia menghirup udara kebebasan, dan sudah banyak perjuangan, dan pengorbanan untuk mempertahankan sistem demokrasi yang kita anut ini. Meskipun sebagai negara penganut sistem demokrasi, kenapa Indonesia bulum bisa dinilai demokratis? Permasalahan itu tidak jauh dari sekitar kita, justru letak permasalahan berada pada diri kita, rumah kita, sekolah dan lingkungan kita.
  
Mengasuh Demokrasi di Rumah
Keluarga adalah pondasi awal dalam pembentukan karakter seseorang. Ibarat sebuah rumah, pondasi yang kuat akan membuat rumah tidak mudah roboh. Pembentukan karakter seseorang terletak dalam pendidikan keluarga. Umur 0-5 tahun merupakan fase awal pengetahuan seseorang, dan letak awal karakter seseorang nantinya akan dibentuk. Oleh karena itu, keluarga menjadi alat yang sangat efektif dan fundamental dalam menumbuhkan kultur demokrasi di Indonesia.

     Penanaman demokrasi dalam keluarga dilakukan melalui penerapan pola asuh yang demokratis. Pola asuh demokratis menurut Baumrind (1967) adalah pola asuh yang mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka dan merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak. Menurut psikolog Tika Bisono, pola asuh demokratis menuntut orang tua bersikap rasional dan selalu mendasari tindakannya dengan pemikiran. Mereka juga memahami kemampuan anaknya sehingga tidak memberikan ekspektasi yang menekan. Orang tua demokratis memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan membebaskan anak dalam memutuskan suatu tindakan. Apabila hendak menasehati, orang tua demokratis selalu melakukannya dengan pendekatan yang hangat. Aturan yang diberikan berdasarkan pada alasan yang logis, jadi tidak asal suruh. Hal ini akan membentuk karakter anak yang bebas tetapi bertanggungjawab.6 

     Sayangnya, masih banyak keluarga yang tidak menerapkan pola asuh demokratis dalam rumah tangga. Hal ini terlihat jelas dari budaya paternalisme yang masih mengakar kuat pada mayoritas keluarga Indonesia. Budaya ini mengedepankan ayah sebagai orang yang memiliki wewenang paling besar dalam keluarga. Keluarga yang bersifat paternalistis cenderung menganggap anak sebagai individu yang belum dewasa, sehingga anak cenderung overprotected atau terlalu dilindungi dan hampir tidak memiliki wewenang untuk mengemukakan pendapatnya.7 Hal ini menentang salah satu syarat dasar terselenggaranya demokrasi di bawah Rule of Law, yaitu poin nomor 4 yakni kebebasan untuk menyatakan pendapat.8 

     Budaya paternalisme bertalian dengan pola asuh otoriter, yang merupakan pola asuh yang menuntut anak untuk mengikuti aturan ketat yang ditetapkan orang tua. Pola asuh otoriter menurut Baumrind cenderung gagal memberikan alasan akan aturan yang diberikan, namun aturan tersebut tetap harus dituruti karena orang tua lebih berwenang dan anak dianggap belum dewasa. Ini akan menyebabkan anak melakukan sesuatu atas dasar keharusan, bukan karena mereka mengerti mengapa hal tersebut harus dilakukan. Anak pun tumbuh menjadi individu yang memiliki inisiatif yang minim dan daya kreasi yang rendah sebab jarang dituntut untuk berpikir dan membuat pertimbangannya sendiri. Sebagian besar dari keputusannya adalah hasil proyeksi keinginan orang tuanya. Anak menjadi bidang proyeksi dari keinginan orang tua. 

     Budaya tersebut akan membuat anak menjadi tidak dekat dengan orang tuanya. Hal ini membuat anak menjadi enggan mengemukakan pendapatnya, sebab tidak akan dipandang sebagai lawan bicara yang setara. Padahal, keluarga adalah ruang paling aman dan paling krusial bagi seorang anak untuk mengemukakan pendapat. 

     Orang tua dengan pola asuh otoriter memiliki ekspektasi terhadap anak untuk selalu datang dengan hal-hal yang menyenangkan, seperti hasil ulangan yang bagus atau bentuk prestasi lainnya. Anak pun menjadi enggan menceritakan masalah yang dihadapinya dan cenderung menyembunyikan atau bahkan memutarbalikkan fakta agar orang tuanya senang. Rumah tidak lagi menjadi tempat paling nyaman bagi anak, apalagi tempat untuk penanaman budaya demokrasi. 

Sekolah Demokrasi di Sekolah-Sekolah
Sebagai lembaga yang memiliki ikatan kuat dengan anak dalam rentang waktu 12 tahun dari SD sampai SMA, sekolah dapat menjadi sumber paparan budaya demokrasi yang paling besar dalam hidup seorang anak. Penanaman demokrasi di sekolah dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dengan membentuk soft skills, atau seperti diperkenalkan oleh Robert Strenberg dari Universitas Yale, successful intelligence (SI). SI dipercaya lebih penting daripada hard skills. Daniel Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosi (EQ) berkontribusi sebanyak 80 persen pada kesuksesan seseorang, sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memiliki kontribusi 20 persen. 

     Sungguh disayangkan bahwa sistem sekolah konvensional di Indonesia tidak mendukung pembentukan SI tersebut. Data dari TIMSS 2007 (Trends in International Math and Science Survey) menunjukkan bahwa hanya 1 persen dari siswa Indonesia memiliki kemampuan berpikir tinggi (high order thinking skills/HOTS) yakni kemampuan untuk mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah nonrutin, serta mengambil kesimpulan data. Angka ini jauh kalah dibandingkan dengan Singapura, Taiwan, dan Korea yang mencapai lebih dari 40 persen. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan berpikir rendah (low order thinking skills/ LOTS) di Indonesia mencapai 78 persen, dengan Singapura, Taiwan, Korea, Jepang dan Hongkong hanya di bawah 15 persen. 9 

     Ratna Megawangi menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh sistem sekolah konvensional di Indonesia yang terlalu berorientasi akademis, dengan proses yang menekankan pada metode menghafal, latihan berulang/drilling, dan pengajaran satu arah. Orientasi tersebut hanya melatih kemampuan berpikir rendah dan berpotensi negatif terhadap pembentukan SI, sebab hanya mengondisikan siswa untuk belajar demi lulus ujian. Setelah ujian berakhir dan siswa telah lupa seluruh hafalannya, siswa tidak punya keterampilan apa-apa lagi karena tidak disiapkan kemampuan menganalisis dan mengolah informasi yang membutuhkan kemampuan berpikir tinggi.

     Siswa Indonesia menjadi terbiasa disuapi. Diajarkan “apa” yang mereka harus pikirkan, bukannya “bagaimana” cara berpikir. Akibatnya lulusan yang dihasilkan hanya sekadar baca atau tahu tentang suatu masalah, namun tidak dibekali kemampuan yang mencukupi untuk melakukan bagian yang paling penting: menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya, siswa mengetahui apa itu G30S/PKI dan kapan terjadinya tanpa mengerti mengapa peristiwa tersebut terjadi atau bahkan apakah sumber yang dibacanya itu dapat dipercaya. 

     Evaluasi pembelajaran nasional, yakni Ujian Nasional (berdasarkan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Kriteria Kelulusan dan Penyelenggaraan Ujian Nasional), yang menggunakan sistem pilihan berganda tidak sama sekali berkontribusi untuk memperbaiki keadaan. Sistem seperti ini dengan hanya satu jawaban yang benar dari pilihan yang diberikan memaksa siswa untuk menghafal jawaban mutlak dari sebuah pertanyaan, tanpa ruang untuk berpikir fleksibel dan mencari alternatif. Akibatnya, siswa biasa dididik untuk melihat hal secara hitam dan putih dan tidak kenal dengan sisi abu-abu. Cara berpikir tersebut juga membentuk karakter takut salah, yang akan menyebabkan siswa mudah terombang-ambing dan memiliki sifat ikut-ikutan atau bertahan pada mayoritas/zona aman agar tidak disalahkan. Sistem yang diterapkan berorientasi pada mendapatkan nilai bagus, sehingga siswa pun dilatih untuk mengabaikan proses dan mementingkan hasil yang dapat menjadikannya melakukan segala cara demi mendapatkan hasil yang bagus. 

     Hal ini dengan keras mempersempit ruang untuk terbentuknya masyarakat yang demokratis. Siswa terbiasa melihat hal secara benar-salah, merasa paling benar, dan tidak menerima perbedaan. Orientasi nilai membuat siswa terdorong menyontek dan berbuat curang agar mendapatkan nilai yang bagus. Tidak heran jika banyak politisi yang melakukan segala cara seperti politik uang, penyuapan, dan manipulasi agar dapat terpilih untuk menduduki kursi pemerintahan. 

Menuju Generasi Emas
Sebuah studi yang dilakukan oleh Yonk dari Utah State University dan Profesor Shauna Reilly dari Northern Kentucky University menyimpulkan bahwa warga negara dengan kualitas hidup yang lebih tinggi lebih terlibat dalam proses demokrasi daripada warga negara dengan kualitas hidup rendah. Penemuan ini dapat menjelaskan mengapa negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia dan Denmark menempati peringkat 10 teratas demokrasi terbaik dunia. Berdasarkan Where-to-be-born Index 2013 (sebelumnya disebut Quality-of-life Index) yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit, negara-negara tersebut menempati peringkat 3,4, dan 5 kualitas hidup terbaik di dunia. Indonesia menduduki peringkat 71. 10 

     Denmark dinobatkan sebagai negara terbahagia di dunia berdasarkan World Happiness Report 2013. Beberapa dari enam faktor yang berpengaruh di antaranya adalah dukungan sosial dan kebebasan untuk memilih dalam hidup. Orang tua di Denmark dinilai memiliki daya dukung tinggi terhadap anak, yang disebabkan oleh daya dukung negara yang tinggi terhadap orang tua.11 Rata-rata jam kerja di Denmark 1.546 jam per tahun, lebih sedikit dari rata-rata berdasarkan OECD yang mencapai 1.765 jam.12 Hanya 2 persen pegawai bekerja dengan jam kerja yang panjang, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 9 persen. Hal ini berarti orang tua memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan waktu yang lebih banyak bersama anak mereka. Rendahnya stres membuat orang tua lebih rasional dalam menghadapi anak, yang akan berdampak pada lebih mudahnya penanaman pola asuh demokratis. Waktu yang banyak mempererat kedekatan orang tua pada anak yang akan membuat anak nyaman bersama orang tua dan lebih leluasa untuk mengemukakan pendapat. Belanda, negara yang menempati peringkat 6 kualitas demokrasi dan peringkat 8 kualitas hidup, memiliki rata-rata jam kerja tersedikit di dunia dengan 29 jam per minggu.13

     Selain itu, implementasi pendidikan di negara-negara tersebut juga sudah bergerak menuju pembangunan SI. Megawangi menyebutkan bahwa banyak negara maju yang tidak memberikan nilai apalagi ranking pada siswa kelas rendah (SD atau SMP). Swedia hanya memberikan penilaian deskripsi verbal tanpa skala angka hingga siswa menginjak kelas IX. Begitu pula dengan Finlandia. Evaluasi siswanya menggunakan esai, reasoning, dan pemecahan masalah, mengembangkan kemampuan berpikir tinggi. Kedua negara ini berdasarkan TIMSS dan PISA (Programme for International Student Assessment) menduduki peringkat tertinggi pendidikan dunia. 

     Penerapan kurikulum yang menuju pembangunan SI sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia, namun baru pada sekolah-sekolah progresif dan sekolah-sekolah internasional yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB). Meskipun masih menggunakan skala angka, kurikulum IB menggunakan kriteria dan deskriptor yang jelas untuk setiap skor yang diberikan. Skor maksimum tidak selalu 10, melainkan tergantung pada kriteria yang diujikan.14 Penerapan Personal Project untuk syarat kelulusan Middle Years Programme (MYP) dan Extended Essay untuk syarat kelulusan Diploma Programme (DP) jelas menuntut kemampuan berpikir tinggi.

     Akhir kata, demokrasi di Indonesia masih bersifat sangat superfisial. Perlaksanaan Pemilu yang mendongkrak partisipasi hanyalah demokrasi pada kulit luarnya saja. Secara substansial, masyarakatnya belum menganut demokrasi sebagai asas berbangsa dan bernegara, tercermin jelas dalam kehidupan rumah tangga dan penerapan sistem pembelajaran dalam sekolah.

     Pembenahan terhadap fenomena ini harus dilakukan secara sinergis oleh semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun lembaga-lembaga yang bersangkutan. Orang tua perlu menanamkan pola asuh yang demokratis dalam rumah tangga dan mengedepankan pendekatan partisipatif daripada otoriter. Anak tidak menjadi proyeksi dari keinginan orang tua, melainkan individu bebas yang berhak menentukan keputusannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat demokratis. Orang tua harus dapat mengendalikan kapan bersikap sebagai orang yang dituakan dan kapan bersikap seperti teman kepada anak. Meluangkan lebih banyak waktu untuk anak sangatlah penting. Pada akhirnya, kesuksesan karir tidak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaan dan kepuasan dari kesuksesan mendidik anak. 

     Pemerintah, di sisi lain, perlu membenahi sistem pendidikan di negeri ini. Seperti kata Tan Malaka, “Belajarlah dari Barat, tetapi jangan menjadi peniru Barat. Melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas”. Indonesia perlu belajar banyak dari sistem pendidikan di negara-negara Barat yang berhasil mendukung pembentukan SI pada siswa-siswanya. Guru patut diperlakukan sebagai tenaga profesional yang setara dengan dokter, insinyur, atau penegak hukum, sebab di tangan merekalah masa depan generasi muda dibentuk. 

     Indonesia telah jatuh bangun bermetamorfosis dari rezim yang otoriter menuju keterbukaan yang begitu luas. Sekarang tinggal bagaimana kita membangun keluarga dan lingkungan pendidikan yang dapat menjadi pondasi-pondasi kokoh dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi di negara ini. Semua itu dapat dimulai dengan merubah sikap. Dari sikap pesimis akan bobroknya keadaan, menjadi sikap optimis akan adanya perubahan. Dari sikap mengkritik akan kesalahan-kesalahan yang ada, menjadi sikap meluruskan agar menjadi benar. Dari sikap yang hanya pasif menerima keadaan, menjadi sikap yang aktif menjadikannya lebih baik. Dari masyarakat yang masih jauh tertinggal, menjadi masyarakat yang dengan sepenuh hati menjunjung tinggi demokrasi sebagai asas berbangsa dan bernegara. Mari mulai dari sekarang.