Tuesday, April 4, 2017

(PROPOSAL PENELITIAN) PATRIOT BANGSA DARI KOTA PERWIRA: BIOGRAFI USMAN JANATIN, 1943-1968

A.    Latar Belakang
Konstelasi politik dunia yang terjadi pada pada era tahun 1960-an memang tidak bisa dilepaskan dengan persaingan antara dua blok adidaya. Blok Barat representasi Amerika Serikat (AS) dengan Liberal Kapitalis-nya dan Blok Timur dengan Uni Soviet Rusia (USSR) sebagai komandan Sosialis Komunis. Perang Dingin atau Cold War, istilah yang sering kita dengar ini untuk menggambarkan rivalitas dua negara adidaya yang “menjual” ideologinya ke wilayah-wilayah negara lain didunia (Sukardi, 2011: 2-3). Kondisi ini, membuat negara didunia dirundung kekhawatiran kalau Perang Dingin ini pecah menjadi “Perang Panas”. Perebutan supremasi antar dua negara adidaya ini terasa hingga beberapa kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, kondisi tahun 1960-an merupakan puncak perjuangan dalam usaha merebut Irian Barat dari Belanda. Tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1962, pihak Belanda sepakat untuk menyerahkan Irian kepada pemerintahan sementara PBB yang akan diserahkan kepada pihak Indonesia pada 1 Mei 1963. Penyelesaian masalah Irian ini tidak bisa dilepaskan dari peran AS. AS sangat khawatir jika Indonesia akan benar-benar jatuh kedalam pengaruh USSR (komunis-red). Kecenderungan ini memang sudah terlihat dari berbagai slogan ideologi dan langkah politik Presiden Sukarno dengan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) serta disempurnakan menjadi Manipol-USDEK (Manifesto Politik atas UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin). Untuk menekan meluasnya pengaruh komunisme, AS memberikan bantuan-bantuan ekonomi dalam mengatasi berbagai krisis di Indonesia dengan mengucurkan Dana Moneter Internasional (Ricklefs, 2001: 411-412).
Ketika masalah Irian Barat mendapatkan titik terang, disisi lain, masalah kebijakan luar negeri yang lain mengintai. Berbagai kesamaan masalah dari negara Malaya, Singapura dan Inggris membuat ngara-negara itu mencari solusi. Malaya cemas akan jumlah penduduk Tionghoa yang besar dan implikasinya terhadap rasial dari penggabungan dengan Singapura, pihak Singapura menginginkan sebuah kemerdekaan yang penuh, serta pihak Inggris menginginkan penetapan terhadap masa depan wilayah-wilayah jajahannya di Kalimantan, seperti Sabah, Brunei dan Sarawak (Shuib, 2009: 93-96). Untuk mengatasi masalah itu, dirancang sebuah “Federasi Malaysia” yang baru.
Persepsi Presiden Sukarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini lain, menurutnya,  pembentukan ini merupakan rekayasa dari Blok Barat untuk menancapkan kekuasaannya dikawasan Asia, khusunya Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia ini akan mengepung Indonesia dari kekuatan neo-kolonialisme dan neo-imperialis (Daras, 2013: 153). Hubungan Indonesia sendiri dengan Malaysia sejak diberikan hadiah merdeka (tahun 1957-red) oleh Inggris tidak berjalan harmonis. Kehadiran dan campur tangan Inggris menjadi pemicunya. Menurut Sukarno, Malaysia tidak sepunuhnya sudah merdeka atau hanya pura-pura merdeka karena tidak pernah merasakan namanya pahit-getir sebuah revolusi fisik yang pernah dialami Indonesia. Meminjam istilahnya Daniel Dhakidae (2009: 50), bahwa Malaysia dalam memperoleh kemerdekaanya diberikan hadiah, “Merdeka Hadiah”, berbeda dengan Indonesia yang merdeka karena revolusi fisik, atau “Merdeka Darah”.
     Berbagai usaha diplomasi dilakukan untuk menyelesaikan ketegangan antara dua negara tetangga ini. Salah satunya, pertemuan antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Malaya, Tengku Abdul Rachman dilakukan di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963 (Sutrisno dan Nasution, 2013: 628-629). Hasil dari pertemuan ini sedikit meredakan ketegangan dua negara. Namun, selama proses perundingan yang hampir berhasil, Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman ternyata menandatangai dokumen persetujuan dengan Inggris di London mengenai Negara Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1963. Menurut Sukarno, penandatanganan ini merupakan sebuah penghinaan besar bagi kedaulatan Indonesia.
     Sejak saat itu, Presiden Sukano kembali menghidupkan semangat revolusi “Indonesia Raya”, dengan menyatakan negara baru itu merupakan boneka nekolim, (neo-kolonialimse dan neo-imperialisme). Langkah beriukutnya adalah membangkitkan semangat “Konfrontasi”. Istilah ini pertama kali diungkapkan oleh Soebandrio pada Januari 1963 setelah pasukan Malaya dan Inggris menghancurkan pemrontakan di Kasultanan Brunei di Kalimantan Utara (Cribb dan Kahin, 2004: 248). Kemudian setelah itu muncul sebuah slogan baru untuk memanaskan semangan konfrontasi itu, yaitu Ganyang Malaysia.
Demonstrasi setiap minggu dilakukan untuk memanaskan semangat Anti-Inggris dengan slogan Ganyang Malaysia ini. Bisnis-bisnis Inggris dan bisnis ekonomi Persmakmuran lainnya diambil alih selama tahun 1964-1965 (Vickers, 2005: 228-229). Taktik yang sama dilakukan ketika Presiden Sukarno sukses mengambil Irian Barat, yaitu Politik Konfrontasi yang dikombinasikan dengan Diplomasi. Menurut Frederick P. Bunnel (dalam Yahya A. Muhaimin, 2005: 156) kebijakan politik ini dilukiskan sebagai “confrontation diplomacy”, suatu campuran manuver yang bersifat berani, cerdik-licik dan tidak dapat diduga.
     Untuk mendukung kebijakan Ganyang Malaysia ini, dilancarkan berbagai konfrontasi oleh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sukarelawan dan sebagian dari masyarakat luas berdasarkan seruan Dwi Komando Rakyat (Dwokora), yang berisi tentang mempertinggi ketahanan Revolusi Indonesia dan membantu perjuangan rakyat (Farram, 2014: 8). Salah satu sukarelawan dari kalangan ABRI yang ikut dalam operasi itu adalah Usman bin Haji Muhammad Ali alias Usman Janatin. Siapa Usman Janatin? Kesan pertama mungkin terasa asing. Atau bahkan belum pernah mendengarnya? Memang nama Usman Janatin baru muncul kembali awal tahun 2014, itupun karena protes Singapura kepada penamaan Kapal perang Usman-Harun.
      Usman Janatin merupakan patriot bangsa yang lahir dari kota perwira (julukan untuk Kabupaten Purbalingga), sama dengan Jenderal Besar Soedirman, yang membedakan nama Jenderal Besar Soedirman sudah sangat familiar ditelinga kita, bahkan tidak jarang dijadikan nama-nama tempat atau jalan-jalan dihampir seluruh Indonesia. Keterasingan itu termasuk dalam penulisan sejarah, meski sama-sama lahir dari kota Purbalingga dan sudah sama-sama menjadi Pahlawan Nasioal, namun dalam Historiografi Indonesia, Usman Janatin tidak terlalu menarik bagi sejawan lokal maupun nasional. Tentu jasanya tidak bisa dibandingkan secara apple to apple, karena mereka berdua hidup pada masa yang berbeda dan peran yang berbeda pula. Tapi satu kesamaanya adalah, mereka berdua rela mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk satu nama, Indonesia Raya.
Sangat minimnya sumber sejarah mengenai Usman Janatin menjadikan generasi muda saat ini, terutama wilayah Purbalingga, masih asing dengan nama tersebut. Ironis. Bahkan museum Usman Janatin yang didirikan pada tahun 2010-an juga tidak terawat dan jarang pengunjungnya. Karena berbagai faktor diatas, penulis ingin mengangkat sosok Usman Janatin menjadi sebuah buku dalam bentuk biografi untuk mencatat tokoh yang pernah menjadi patriot bangsa dalam membela harkat dan martabat bangsa Indonesia didunia internasional ini.Sehingga nantinya, sosok Usman Janatin menjadi contoh keteladanan dan menjadi pelengkap pembelajaran sejarah lokal bagi mereka yang mengenyam pendidikan disekolah, khusunya sekolah menengah atas.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah diuraikan diatas, peneliti ingin menguraikan berbagai permasalahan yang sudah dibatasi untuk dijadikan topik penelitian sebagai berikut:
1. bagaimana kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota militer?
2.    bagaimana aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua negara?
3.   bagaimana usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan Usman Janatin?
4.    bagaimana proses Usman Janatin menjadi Pahlawan Nasional?

C.    Tujuan Penelitian
Dari rumuasan masalah yang sudah diuraikan diatas, peneliti ingin menguraikan berbagai tujuan yang akan difokuskan dalam penelitian sebagai berikut:
1.  mengetahui kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota militer;
2.    mengetahui aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua negara;
3.  mengetahui usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan Usman Janatin;
4.      mengetahui proses Usman Janatin menjadi Pahlawan Nasional.

D.    Manfaat Penelitian
Setelah merumuskan masalah dan menentukan tujuan, maka manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.      Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penulisan ini terutama untuk melengkapi kekosongan dalam historiografi Indonesia, khususnya tentang penulisan sejarah lokal yang mengangkat sosok Usman Janatin;
2.      Manfaat Praktis
Manfaat praktis merupakan manfaat yang dapat terasa secara langsung setelah selesainya penulisan ini, manfaat-manfaatnya adalah:
a.  membuat peserta didik mengetahui dan meneladani sosok Usman Janatin dalam membela harkat dan martabar bangsa;
b.  memberikan motivasi kepada para guru untuk menuliskan peristiwa sejarah yang ada di sekitarnya yang belum digarap;
c.  membuat pemerintah Kabupaten lebih memperhatikan potensi sejarah lokal yang belum maksimal tersentuh untuk dituliskan.

E.     Tinjauan Pustaka
Sebagai sebuah karya ilmiah, maka diperlukan sebuah tinjauan pustaka, yang merupakan landasan dari pemikiran-pemikiran dengan tujuan untuk memperoleh data-data dan informasi yang menujang dalam penelitian ini (Priyadi, 2013: 139). Saat ini, sumber referensi yang mengangkat sosok Usman Janatin masih tergolong sangat jarang. Tulisan-tulisan yang penulis temui juga hanya tulisan ringkas yang masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan dan juga belum menggunakan metode ilmiah.
Tulisan-tulisan yang penulis temui adalah, Pertama, tulisan ringkas yang dibuat oleh Muchtaruddin Ibrahim pada tahun 1993, yang penulis temukan di Museum Usman Janatin. Judul ringkasan ini adalah “Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin”. Ditulis di Jakarta dalam rangka proyek inventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional. Tulisan ringkas ini membahas tentang latar belakang keluarga Usman Janatin, kehidupan keluarga, kehidupan masa kecil dan pendidikan formal yang ditempuh oleh Usman Janatin, termasuk pendidikan militernya.
Tinjauan pustaka yang lain adalah tulisan dari Murgiyanto tahun 1989, dengan judul “Usman dan Harun Prajurit Setia”, ditulis di Jakarta dan diterbitkan oleh Direktorat Perawatan Personil TNI-AL Subdit Sejarah. Tulisan ini membahas tentang peran Usman dan Harun dalam konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Disini juga dibahas mengenai peran sosok lain, yaitu Gani pada saat melakukan penyusupan ke Singapura. Saat mengadakan penyusupan itu, Usman menjadi pemimpin dari kedua rekannya itu.
Kemudian tnjauan yang ketiga adalah tulisan dari Herman Mujirun, yang berjudul “Sekilas Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin Said” dan diterbitkan oleh Yayasan Sosial Usman-Harun tahun 1974. Tulisan ini membahas secara singkat tentang perjalanan Janatin dalam penugasan didunia militer hingga dia dihukum mati oleh pemerintah Singapura karena telah dianggap melakukan tindakan terorisme.
Persamaan dari tulisan diatas dengan penelitian yang akan dibahas dengan penelitian yang akan ditulis, yaitu sama-sama membahas tokoh Usman Janatin. Meskipun tulisan-tulisan ini hanya berupa ringkasan dan masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan. Perbedaan tulisan yang sudah dipaparkan diatas dengan penelitian yang akan ditulis adalah pada kajian yang dibahas didalamnya.  Pada penelitian ini akan dibahas secara komperhensif dan menggunakan pengumpulan data yang beragam. Penulisan ini juga akan membahas Usman Janatin dari kecil hingga dianugrahi Pahlawan Nasional. Dalam tulisan terdahulu, hanya membahas sekilas dan ringkas tentang masalah ini dan belum menggunakan metodologi penelitian sejarah yang diakui secara ilmiah. Sehingga dengan dilakukannya penelitian ini, maka akan semakin melengkapi tulisan-tulisan yang pernah dibuat terdahulu.

F.     Metode Penelitian
Metode berbeda dengan metodologi. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 1-4), metode berhubungan dengan persoalan ‘bagaimana orang memperoleh pengetahuan’ (how to know), sedangkan metodologi menyangkut ‘mengetahui bagaimana harus mengetahui’ (to know how to know). Dengan demikian, dalam penelitian ini lebih tepat menggunakan ‘how to know’, yaitu metode sejarah. Metode sejarah juga diartikan sebagai salah satu penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif berisikan metode peneltian historis-hermeunitis.
Menurut Kuntowijoyo (1999: 88-89), peneltian yang dilakukan ketika menggunakan metode sejarah ada 5 tahap, yaitu (1) pemilihan topik; (2) heuristik atau pengumpulan sumber; (3) verifikasi atau kritik sejarah, keabsahan sumber; (4) interpretasi: analisis dan sintetis; dan (5) historiografi atau penulisan.
Pertama, pemilihan topik. Pemilihan topik harus dilandasi dengan kedekatan emosional dan intelektual (Kuntowijoyo, 1999: 90). Kedekatan emosional dalam penentuan topik kisah hidup Usman Janatin berasal dari kesamaan wilayah tempat tinggal, dari Museum dan rumah saudara kandung Usman Janatin ketempat mengajar di SMA Negeri 2 Purbalingga sangat dekat, yang hanya butuh waktu 5 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Sedangkan kedekatan intelektual masih ada kaitannya dengan kualifikasi akademik dari penelti, yaitu lulusan pendidikan sejarah.
Selain kedekatan intelektual dan emosional, menurut Sugeng Priyadi (2011: 5) lebih mantap lagi dilakukan penelitian dasar atau penelitian pendahuluan. Penelitian dasar atau pendahuluan pernah dilakukan pada tahun 2015 silam dengan peserta didik, waktu itu ada lomba Lawatan Sejarah tingkat provinsi. Penulis membimbing anak didik untuk membuat kaya tulis tentang Usman Janatin, dan mendapatkan Juara 1 pada event itu.
Langkah Kedua, pengumpulan sumber atau heuristik. Setelah menemukan topik, peneliti harus mengumpulkan sumber-sumber mengenai topik penelitian. Sejarawan bekerja berdasarkan berbagai dokumen, karena dokumen merupakan jejak pikiran dan perbuatan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang zaman dahulu (Langlois dan Seignobos, 2015: 25). Begitu pentingnya dokumen dalam sejarah, maka sampai ada istilah no documen no history, tidak ada dokumen tidak akan ada sejarah.
Selain maha penting, tahap pengumpulan data atau heuristik ini merupakan tahap yang paling menyita banyak waktu. Pengumpulan pertama mencari “saksi-mata” yang diketahui tentang periode sejarah tersebut. Menurut Helius Sjamsudin (2007: 96) sumber-sumber sejarah dapat diklasifikasikan atas “peninggalan-peninggalan” dan “catatan-catatan”. Sumber sejarah, menurut Sidi Gazalba (1981: 105) juga bisa berbentuk warisan lisan, tulisan dan visual. Warisan ini bisa dikatakan sebagai komunikasi masa kini dengan masa lalu.
Dalam penelitian ini, peninggalan dan sekaligus catatan yaitu berupa surat, piagam, serta rekaman wawancara, dokumentasi dan lainnya. Sumber catatan-catatan dan dokumentasi bisa ditemui didalam museum Usman Janatin, berupa surat-surat, piagam, tanda jasa, dan catatan-catatan yang lain. Selain itu, wawancara dilakukan kepada saudara-saudara Usman Janatin yang sebagain besar masih hidup. Ada teman-teman kecilnya juga yang sebagian besar masih tinggal di Purbalingga. Untuk menambah wawasan, dikumpulkan juga berbagai referensi dari buku-buku, majalah, surat kabar yang menunjang tentang penulisan sekitar tahun 1960-an.
Menurut Kuntowijoyo (2003: 203) biografi merupakan catatan tentang hidup seseorang, yang menjadi bagian mozaik sejarah yang lebih besar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sejarah adalah penjumlahan dari biografi-biografi dari berbagai daerah. Untuk menuliskan biografi, menurut Leirissa (dalam Arifin Suryo Nugroho, 2009: 9) ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) harus mampu menghidupkan kembali seorang tokoh dengan cara menceritakan kepribadiannya, kehidupannya, dll (tidak hanya what man is, tetapi why juga); (2) biografi harus mampu menghidupkan tindakan-tindakan dan pengalaman dan pengalaman-pengalaman orang yang dibiografikan, dan (3) harus mampu menempatkan tokohnya dalam kerangkan sejarah.
Lalu apa beda biografi dengan sejarah? Dalam biografi kita ingin mengetahui seutuh mungkin perjalanan hidup seseorang, sebagai manusia biasa, tidak sebagai mana dicitrakan. Dalam sejarah, kita ingin mengerti pengalaman dan dinamika manusia, sebgai sebuah kelompok, dihari lalu. Tokoh sejarah, tidak hanya diukur dari perbuatannya ketika dia dalam lingkaran hanya dirinya (Frederick dan Soeroto, 2005: 457). Artinya, sebagai sejarawan, sebisa mungkin ingin menampilkan apa adanya sosok dari sang tokoh, ketika sang tokoh pernah mengalami momen-momen sebagai manusia biasa, meski untuk melakukan hal ini merupakan sesuatu yang tidak mudah.
Tahapan Ketiga, verifikasi. Setelah mengetahui secara persis topik dan sumber yang terkumpul, tahap berikutnya merupakan merupakan verifikasi atau kritik sumber atau keabsahan sumber. Verifikasi ada dua macam, otensitas atau keaslian sumber (kritik ekstern) dan kredibilitas atau kebisaan dipercayai (kritik intern) (Kuntowijoyo, 1999: 98). Tujuan dari kritik sumber menurut Helus Sjamsuddin (2007: 131) adalah untuk mencari kebenaran (truth), sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil.
Setelah mendapatkan sumber, langkah pertama harus mengadakan kritik eksternal. Kritik eksternal merupakan usaha untuk mendapat otensitas sumber dengan melakukan penelitian fisik terhadap suatu sumber. Kritik eksternal mengarah kepada pengujian terhadap aspek luar dari sumber (Suhartono, 2010: 36). Dalam penelitian ini, kritik sumber yang dilihat dari berbagai koleksi museum Usman Janatin, apakah materi itu merupakan materi yang memang sezaman, disamping itu bisa dilihat berbagai kertas dengan jenis dan ukuran, bahan, kualitas dan lainnya. Jadi, bisa diartikan bahwa kritik eksternal merupakan kritik secara fisik dan menyesuaikan dengan anak zaman.
Selain kritik eskternal, yang harus dilakukan peneliti adalah kritik internal. Menurut Suhartono (2010: 37) kritik internal mengacu pada kridibilitas sumber, artinya apakah isi dokumen ini terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan lain-lain. Kritik internal ditujukan untuk memahami isi teks. Jadi peneliti harus bisa menafsirkan apa yang menjadi multiinterpretable, yang bermakna ganda dan sering dimaksudkan dari sudut pandang penulisnya. Misalkan, menurut Alwi Shahab (2014: 9) pada era 1960-an situasi panas karena Usman dan Harun akan di makamkan di TMP Kalibata, diperkirakan 1,5 Juta atau sepertiga penduduk Jakarta kala itu turun kejalan memenuhi jalan-jalan yang dilewati jenazah. Apakah ada dokumntasi mengenai banyaknya iring-iringan jenasah ketika kembali dari Singapura? Kalau memang sambutan itu ada, maka bisa diakui kalau foto itu adalah kredible.
Tahap berikutnya, tahap Keempat, interpretasi. Untuk menghasilkan cerita sejarah, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi ini sebenarnya merupakan kemampuan setiap orang menerjemahkan dara yang didapatnya (Suhartono, 2010: 55). Seperti ketika kita disajikan sayur Kangkung dan bumbu yang sama, maka masakan yang dihasilkan akan berbeda rasa satu sama lainnya. Begitupun dalam intepretasi ini, karena bagian penelitian ini sering disebut sebagai biang subjektivitas. Namun itu merupakan hak setiap sejarawan, meski hak setiap sejarawan, tapi tetap harus berpegang kepada metodologi sejarah.
Interpretasi itu ada dua macam, operasi analistis dan operasi sintetis. Analisis merupakan penguraian. Menguraikan dokumen yang telah didapatkan. Sedangkan sintesis, berarti menyatukan. Data-data yang didapatkan bisa disatukan  (Langlois dan Seignobos, 2015: 64-90). Jadi, dalam interpretasi ini merupakan kemampuan sejarawan untuk menguraikan dan menyatukan setiap data yang didapatkan. Sehingga akan menghasilkan perbedaan antar sejarawan satu dengan sejarawan lainnya meski berasal dari sumber yang sama. Dalam kasus Usman Janatin, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia memang melimpah ruah, banyak sumber yang mengatakan itu. Sehingga semakin banyak data yang didapat maka akan semakin baik.
Langkah terakhir yaitu, Lima, historiografi. Dalam penulisan sejarah aspek kronoligis sangat penting. Itulah mengapa dulu, sebelum Sartono Kartodirdjo merombak paradigma penulisan sejarah, sebagian karya sejarah masih berupa narasi. Artinya, sejarah yang ditulis masih sangat kental dengan kisah-kisah, sehingga karnyanya sering juga disebut sebagai sejarah sebagaimana dikisahkan. Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara utama untuk memahami sejarah (Paul Veyne dalam Sjamsuddin, 2007: 156).
Pada tahap penulisan ini, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab dalam rumusan masalah. Penulisan sejarah sebagai sebuah laporan seringkali disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi, serialisasi, dan kausalitas (Priyadi, 2011: 92). Didalam penulisan sosok Usman Janatin ini, secara garis besar tersusun dari pendahuluan, pembahasan dan simpulan. Semua itu, bisa menyesuaikan tergantung kepada masalah yang diajukan. Dalam menulis biografi ini, memang perlu menonjolkan berbagai kelebihan dan keunikannya dari seorang tokoh, sehingga bisa menarik pembaca kedalam kehidupan dari sang tokoh.

G.    Sistematika Penulisan
Penulisan ini merupakan penulisan sejarah lokal yang bertujuan untuk melimpahkan kekayaan sejarah nasional, karena sesungguhnya sejarah nasional mempunyai ketergantungan yang besar terhadap sejarah lokal yang sumbangannya bersifat wajib dan secara terus-menerus ditunggu dalam perolehan data baru (Priyadi, 2015: 193).
Maka dari itu, dibutuhkan sistematika dalam penelitian ini. Sistematika ini memaparkan pembagian tema bahasan penelitian kedalam berbagai bab atau sub-bab. Sistematika ini menjadi bagian dari penyelesaian laporan penelitian. Sistematika ini bisa berubah sesuai dengan data dan fakta yang ditemukan dalam lapangan. Untuk rencana penelitian ini, akan dibagi kedalam lima bab, uraiannya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan berbagai isi yang ada dalam proposal. Isi dalam bagian ini mengenai latar belakanga maslah, rumusan, tujuan dan manfaat. Kemduian untuk lebih mendalam, maka akan ada tinjauan pustaka dan metode penelitian sejarah.
BAB II: KEHIDUPAN AWAL. Pada bagian ini penulis ingin mengetahui kehidupan Usman Janatin masa kecil hingga menjadi anggota militer. Dari sedikit penjalasan tentang Purbalingga Kota Perwira, masa kecil, bangku sekolah, dan kepribadian pada masa remaja. Selain itu, dibahas juga tentang latar belakang keluarga, pilihan Usman Janatin masuk kedalam militer, dan sempat bertugas ke Irian Jaya.
BAB III: KONFRONTASI DUA NEGARA. Bab ini membahas sedikit tentang aksi Usman Janatin dalam Konfrontasi dua negara; sebelumnya dibahas tentang latar belakang pembentukan negara boneka, konfrensi Malino, pembentukan Negara Federasi Malaysia, Ganyang Malaysia hinggga pengeluaran Dwikora (Dwi Komando Rakyat) sehingga Usman Janatin mengajukan diri untuk menjadi salah satu relawan dalam konfrontasi itu. Setelah itu, aksi Usman, Harun dan Gani dalam menjalankan misinya menjadi bagian terpenting. Seperti pengeboman Mc Donal, usaha kembali namun akhirnya tertangkap.
BAB IV: USAHA TERAKHIR. Bagian ini membahas tentang penahanan dan usaha terakhir pemerintah untuk menyelamatkan Usman Janatin. Sub bab nya meliputi 204 hari di tahan, proses pengadilan, naik banding, eksekusi. Usaha-usaha terakhir pernah dilakukan oleh dua Presiden, yaitu masa akhri Presiden Sukarno dan awal masa Presiden Soeharto, meski semuanya mengalami kegagalan.
BAB V: MENJADI PAHLAWAN NASIONAL. Bagian ini menjadi bagian untuk mengetahui proses Usman Janatin menjadi Pahlawan Nasional. Sub bab ini membahas tentang berbagai surat-surat terakhir yang ditulis oleh Janatin kepada orang tuannya, hingga pengambilan jenazah dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Setelah itu, dibahwas tentang penganugarahan Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto.
BAB VI: PENUTUP. Bagian ini mengambil kesimpulan dari berbagai pembahsan yang sudah ditulis diatas, serta melakukan reflkesi untuk para generasi muda dalam meneladani keberanian dan pengorbanan dari Usman Janatin.

H.    Daftar Pustaka
Cribb. Robert dan Kahin, Audrey. 2004. Historical Dictionary of Indonesia. Toronto: The Scarecrow Press, Inc.
Dhakidae, Daniel. 2014. “Hubungan Cinta-Benci antara Indonesia dan Malaysia”. Majalah Prisma Vol. 28, No. 2, September 2009, hal 50-53.
Farram, Steven. 2014. “Ganyang! Indonesian Populer Songs from the Confrontation Era, 1963-1966”. Jurnal Bijdragen Tot De Tall-, land- En Volkenkunde 170 (2014) 1-24.
Frederick, William H. dan Soeroto, Soeri. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi (edisi ke-tiga). Jakarta: LP3ES.
Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Ibrahim, Muchtaruddin. 1993. Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin. Jakarta: proyek inventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah (edisi ke-tiga). Yogyakarta: Yayasan Banteng Budaya.
---------------. 2003. Metodologi Sejarah (edisi ke-dua). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Loanglois, CH.V dan Seignobos, CH. 2015. Introduction to the Study of Hostory, Pengantar Ilmu Sejarah (terj).  Yogyakarta: Indoliterasi.
Muhaimin, Yahya A. 2005. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (certakan ke-tiga). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mujirun, Herman. 1974. Sekilas Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Usman Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin Said. Jakarta: Yayasan Sosial Usman-Harun.
Murgiyanto. 1989. Usman dan Harun Prajurit Setia. Jakarta: Direktorat Perawatan Personil TNI-AL Subdit Sejarah.
Nugroho, Arifin Suryo. 2009. Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Priyadi, Sugeng. 2011. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------------. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------------. 2015. Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia Since c.1200 Third Edition. London: Palgrave Macmillian.
Roso Daras. 2013. Total Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer (cetakan ke-empat). Depok: Penerbit Imania.
Shahab, Alwi. 2014. “Usman-Harun dan Ekspresi Kemarahan Rakyat”. Koran Republika, 13 Februari 2014, halaman 1 dan 9.
Shuib, Shukri, Md. et al. 2009. “The Implications of Cold War on Malaysia State Building Process”. Jurnal Asian Culture and History, Vol 1, No. 2, July 2009, hlm 89-98.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Soekarno. 2012. Nasioanlisme, Islamisme dan Marxisme. Bandung: Kreasi Wacana.
Suhartono. 2010. Teori dan Metodoligi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukardi, Tanto. 2011. Perang Dingin: Episode Sejarah Barat dalam Perspektif Konflik Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutrisno, Heru dan Nasution. 2013. “Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan Dampaknya Terhadap Ekonomi Indonesia (1963-1966)”. Jurnal Avatara, Volume 1. No. 3, Oktober 2013, hlm 627-633.
Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. London: Cambridge University Press
.