Saturday, October 7, 2017

SRIHANA-SRIHANI-SARINAH: Mencintai Seni dan Seni Mencintai

Sukarano, Sumber dari Kinara Vidya
Tahun 1946, hanya berselang satu tahun setelah Indonesia merdeka, ditengah kondisi politik yang tak menentu, Bung Karno berencana merayakan hari kemerdekaan yang pertama dengan pameran seni lukis. Untuk merealisasikan rencana pameran lukisan itu, Bung Karno meminta kepada salah satu pelukis asal Yogyakarta, Hendra Gunawan untuk mengadakan pameran seni lukis tunggal. Hendra Gunawan menyanggupinya. Pagelaran seni lukis itu dilakukan di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bung Karno akan menghadiri acara itu dengan protokoler resmi. Namun ditengah persiapan pameran, Hendra menemukan ide “gila”. Ia mengumpulkan berbagai gelandangan yang bersiap dengan kostum asli kere para gelandangan. Para gelandangan ini menjadi tuan rumah pameran lukisan, tapi protokoler presiden menolaknya. Meskipun mendapat penolakan, Hendra Gunawan tetap kukuh untuk merealisasikan konsepnya.
Akhirnya pameran itu terjadi juga. Ketika pameran benar-benar dibuka, tersaji sebuah pemandangan drama. Bung Karno terperanjat keget luar biasa melihat pemandangan yang tak biasa didepan matanya. Namun, bukanya marah kepada Hendra, melainkan Bung Karno manggut-manggut seraya memeluk Hendra. Kejadian ini akhinrya membuat Bung Karno menitikan air mata. "Setiap orang berhak melihat lukisan saya. Dan saya berhak memperkenalkan karya-karya saya kepada siapa saja" kata Hendra. Bung Karno amat menghargai gagasan "gila" itu. Menurut Bung Karno, setiap ide dan gagasan dari para seniman, apapun bentuknya, dianggap mempunyai nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, “Gagasan seniman juga merupakan obsesi dibenaknya sendiri, karena setiap ide-ide kesenian sesorang harus dihormati”.
Melihat sosok Presiden Pertama Republik Indonesia ini tak bisa terlepas dari dunia seni. Pada era akhir 1950-an, Bung Karno dianggap sebagai presiden yang paling banyak mengkoleksi karya seni, terutama lukisan. Seni lukis bagi Bung Karno merupakan kumpulan gairah-gairah dalam hidupnya, yang membuat sesorang terus mendapatkan suntikan energi jiwa muda dalam aliran darahnya. Itulah mengapa Bung Karno selalu terlihat kobaran semangat muda. Dalam kalimat pembukaan otobiografinya, tulisan Cindy Adam, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, untuk menggambarkan dirinya, cukup menyebutnya “mahapencinta”.
Bung Karno memberikan kata simple untuk menggambarkan seluruh dirinya hanya dengan satu kata “mahapencinta”. Itulah Bung Karno. Ia sangat mencintai negaranya, mencintai rakyatnya, mencintai seni, bahkan mencintai banyak wanita. “Aku bersukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni”, begitu ucap Bung Karno. Saat ini, sebagian orang lupa melihat sisi lain diri Bung Karno tentang seni dan seni mencintai, timbul pertanyaan, dari mana asal kedekatan Bung Karno dengan seni lukis? Bagaimana sumber bakat Bung Karno tentang karya seni lukis ini, sehingga ia sanggup selain menjadi kolektor juga menjadi kreator. Selain itu, apa hubunganya karya seni dengan jiwa muda Bung Karno dalam sisi mencintai wanita? Mari kita bahas disini.

Kesenian dan Sarinah
     Bung Karno pernah berbicara kepada salah satu pelukis istana, Dullah, tentang asal bakat dan kecintaanya kepada seni berasal. “Ingat, aku adalah anak Ida Ayu Nyoman Rai, keponakan Raja Singaraja, wanita dari pulau Bali”. Dengan mantap Bung Karno menyebut bahwa ia masih ada hubungannya dengan Pulau Dewata ini. Kita tahu, Bali merupakan suatu ruang yang meproduksi sosial budaya original, yang memadukan antara masyarakat “tradisional” Indonesia bagian Timur dengan kebudayaan Jawa. Bali adalah “Pulau Seni”. Di Bali, kesenian memang tercipta dalam bingkai kerangka filosofis yang berhubungan dengan religiusitas dan ritual keagamaan. Bahkan, orang Bali bisa dikatakan pertama melihat seni ketika matanya membuka untuk pertama kalinya didunia.
      Di Pulau Dewata ini, ketika orang pertama lahir, ia sudah bersentuhan dengan benda-benda upacara yang bersifat artistik seperti cili, lamak, ubag-abig, canang, sarad, lukisan dan arsitekstur bangunan. Kesan itulah yang mungkin terasa ketika Ida Ayu Noman Rai mengandung Bung Karno. Artinya, dalam diri Bung Karno memang sudah menggeliat sebelum dilahirkan kedunia. Ketika tumbuh kembangnya Bung Karno, semakin terlihat jiwa seninya. Hal ini bisa dilihat dari pemilhian jurusan Arsitektur dalam memilih pendidikan tingginya. Bahkan di Ende, misalnya, Bung Karno pernah membuat naskah sandiwara untuk membunuh kesepiannya ditengah pembuangannya. Setidaknya ada 12 naskah yang ia tulis selama pembuangannya ini. Makanya tak heran, apresiasi Bung Karno atas karya seni tidak terbatas kepada karya-karya yang tercipta belaka, namun juga terhadap kreatornya. Hal ini bisa dipahami dari cerita Bung Karno dan Hendra Gunawan diawal pmbukaan tadi.
       Bung Karno dalam beberapa kali kesempatan pernah menegaskan, bahwa kalau ia tidak terjun kedunia politik dan menjadi seorang presiden, mungkin ia sudah menjadi seorang pelukis. Dengan kecintaanya dengan seni, meskipun sesibuk apapun agendanya sebagai seorang presiden, tetap saja bakat dan kecintaanya terhadap seni lukis tak bisa dilepaskan begitu saja. Dalam beberapa kesempatan, Bung Karno menerusukan beberapa kebiasaan mudanya menciptakan karikatur untuk Koran Pikiran Rakyat, Bandung. Biasanya Bung Karno hanya melukis disebuah kertas dengan cat air.
      Mungkin disini Bung Karno sadar, bahwa dunia politik akan sangat menguras pikiran dan terutama menyita banyak waktu. Maka dari itu, Bung Karno segera menempatkan posisinya sebagai seorang “kolektor”. Sebagai seorang kolektor, Bung Karno sering berburu karya seni maestro dunia, baik karya seni lukis maupun patung. Perburuan koleksinya biasanya dilakukan ketika Bung Karno berkunjung keberbagai Negara didunia. Bung Karno menyempatkan diri “mencuri” waktu untuk shoping lukisan atau patung. Begitu juga ketika Bung Karno berkunjung keberbagai wilayah di Indonesia, kebiasaan untuk berburu karya seni tetap dilakukannya.
     Seperti ketika Bung Karno datang ke Yogyakarta, ia menyempatkan untuk berkunjung ke Sanggar Pelukis Rakyat, atau ketika ia berkunjung ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ketika ia berkunjung ke Bali, ia “menyusup” ke Ubud, menemui seniman Rudolf Bonnet dan Walter Spies sang pembentuk sejarah seni rupa Bali modern dengan mendirikan organisasi “Pitamaha” itu. Ia juga memuji karya lukisan Anak Agung Gde Sobrat, mengaggumi goresan Ida Bagus Made Poleng, atau menyaksikan berbagai karya Le Mayuer de Mafres seniman asal Belgia yang menikahi Ni Pollok, seorang model lukisannya sendiri. Bahkan ada kisah terpatri di Bali ketika Bung Karno berkunjung ke rumah seni Le Mayuer ini.
      Antara tanggal 15-17 Juni 1950 bersama tamu Negara yang juga teman dekatnya, Jawaharlal Nehru, ia mengunjungi Le Mayuer. Pada pertemuan ini, Bung Karno membawa rombongan berjumlah 40 mobil. Kunjungan itu dilakukan pada malam hari dengan konvoi mobil kepresidenan. Setelah pertemuan itu, pada bulan November 1950, Bung Karno pernah berkirim surat kepada Le Mayuer agar Dullah, pelukis istana, bisa belajar di studionya di Sanur. Dalam surat ini, tersirat kedekatan antara Bung Kano dan Le Mayuer begitu dekat. Dari hubungan pertemanan dengan Le Mayuer, Bung Karno mendapatkan 4 karya dari Le Mayuer, yaitu lukisan “kembar” yang berjudul Bermain dalam Kolam (1950-an), dan Kenikmatan Hidup I dan II (1956).
       Bung Karno begitu terpesona dan terinspirasi dengan berbagai karya seni dari Bali setelah mengunjungi berbagai galeri lukisan dari para maestro pelukis. Makanya ia terinspirasi untuk membuat studio seni rupa. Bung Karno berusaha menghidupkan minat masyarakat umum dan mengajak para pemilik modal sebagai pendorong bagi seniman lukis dan patung untuk berani berkarya karena sebagian mereka tidak punya modal yang banyak. Dari inisiatifnya ini, Bung Karno memunculkan nama Tjio Tek Djien, yang mendirikan studio dibilangan Ciledug, Jakarta, menjelang akhir tahun 1960. Disini banyak orang-orang yang bergabung, salah satu namanya adalah Trubus dan Lim Wasim yang kemudian hari dikenal sebagai seniman handal. Mereka digaji dengan gaji harian 1.000,- dengan ketentuan harus menyelesaikan satu lukisan setiap harinya. Bandingkan dengan honor Pelukis Istana yang kala itu bergaji Rp. 5.000,- per bulan.
      Untuk mendistribusikan, sosialisasi dan merangsang market seni rupa, Bung Karno mendorong para pengusaha mendirikan galeri. Maka di Sanur berdirilah Galeri Pandy milik James Pandy. Di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan juga berdiri beberapa Galeri lukis. Sementara itu, di Istana Kepresidenan juga dipampang berbagai koleksi lukisan Bung Karno, layaknya sebuah galeri. Tak jarang berbagai tamu asing, pejabat tinggi hingga para rombongan bintang film atau para diplomat asing yang ditunjukan soal lukisan sebelum memulai diplomasi. Dimata publik, Bung Karno dianggap sebagai sosok yang revolusioner dan penuh gairah, sehingga tak mengherankan koleksi Bung Karno dipersepsikan menyimpan paradigma “gelora politik, perjuangan, dan revolusi”.
      Namun, dibebrapa sisi, tafsiran itu justru keliru, karena banyak koleksi seni lukis Bung Karno justru yang terbanyak mengenai sesuatu hal yang cantik, dan itu ditemukan dari sosok perempuan. Selain koleksi lukisan wanita, juga terbanyak terdiri dari pemandangan alam, bunga-bunga serta abtstak benda mati. Sementara yang bertemakan perjuangan dan revolusioner tak lebih dari 10 % belaka. Bung Karno lebih mementingkan “teknik” ketika menentukan lukisan yang berkualitas. Karena dengan teknik, segala yang dikreasikan akan muncul dengan hasil keindahan. Ia pernah berucap, “A thing of beauty is a joy forever”, atau barang indah adalah kenikmatan yang kekal. Pepatah ini dipegang sebagai sebauh prinsip. Termasuk penglihatannya terhadap sosok perempuan, biarlah akan dibahas belakang.
       Sosok perempuan ini pernah menjadi fenomena ketika lukisan itu Bung Karno-lah sendiri yang meluksinya. Lukisan itu diberikan nama oleh Bung Karno dengan “Rini”. Menurut beberapa sumber, lukisan itu tercipta dari kunjungnya ke Bali. Ketika Bung Karno sedang beristirahat di Bali, ia mengajak pelukis istana Dullah. Seperti biasanya, Dullah mencoba untuk membuat lukisan. Sebelum membuat lukisan, terlebih dulu membuat sketch (garis-garis), namun kerangka lukisan itu ditinggalkan oleh Dullah karena kembali ke Jakarta. Beberapa bulan berikutnya, pada awal Desember 1958, Bung Karno kembali lagi ke Bali untuk beristirahat. Dullah sendiri tidak ikut serta. Selama 10 hari Bung Karno berada di Bali, disela-sela kegiatan, ia menyelesaikan sketch Dullah. Tentu saja dalam penyelesaian lukisan ini, Bung Karno menambah dan merubah sketch semula.
       Setelah jadi, lukisan itu diberi nama Rini. Beberapa sumber mengatakan bahwa Rini ini adalah Sarinah. Sosok perempuan yang pernah menjadi pengasuh Bung Karno ketika kecil. Sarinah merupakan salah satu perempuan yang berjasa memberikan pola asuh ketika Bung Karno kecil. Sosoknya yang lembut dan bercirikan perempuan khas Indonesia membuat sosoknya tak tergantikan. Tidak ada yang tahu pasti kenapa lukisan yang dibuat Bung Karno diberikan nama Rini. Menurut Soimun HP, lukisan yang sama dengan judul “Sarinah”, karena menurut Bung Karno, Sarinah merupakan ciri wanita Indonesia yang sesungguhnya.
      Dia menambahkan tentang versi lain tentang proses dibuatkannya luksian itu. Konon, ceritanya ketika Bung Karno sedang berada disebuah pantai di Bali, ketika seorang wanita lewat diboncengkan sepeda oleh tunangannya, entah mengapa, Bung Karno merasa tertarik dengan wanita tadi dan menawarkannya sebagai model dalam lukisannya. kemudian dua orang tadi diminta oleh Bung Karno untuk berhenti, gadis itu menerima tawaran Bung Karno. Gadis itu diminta menggantikan bajunya dengan kebaya yang lebih bagus yang dipinjamkan oleh Bung Karno pada saat itu juga. Sosok wanita tadi dipoles sedemikian rupa, dan ditata dirapikan, dan Bung Karno mulai melukis. Setelah selesai melukis, Bung Karno bertanya apa yang diingankan wanita itu sebagai imbalan. Wanita remaja tadi hanya meminta kemeja dan bahan celana untuk pacarnya. Keinginan ini diluluskan oleh Bung Karno disertai dengan sedikit uang.
      Beberapa kisah terbentuknya lukisan Rini menggambarkan sosok Bung Karno selain menjadi kolektor juga menjadi “eksekutor” dari sebuah karya seni. Kecintaannya terhadap seni juga terlihat dari sistem pemerintahanya. Seperti pembuatan lambang Negara Garuda Pancasila, Bung Karno punya andil besar didalamnya. Bahkan desain pakaian-pakaiannya, terutama jas khasnya, banyak yang ia desain sendiri. Termasuk kedalam penamaan-penamaan jargon nama-nama dalam sistem pemerintahannya sangat diperhatikan dan dipikirkan dengan baik-baik. Seni pemerintahannya juga terlihat dari berbagai kisah hidupnya. Bung Karno menegaskan, bahwa barang indah merupakan kenikmatan yang kekal. Inipun yang menjadi pegangan kehidupan pribadinya. Jiwa muda tetap menjadi geloranya ketika menempati pucuk pimpinan. Salah satunya dengan memperistri sosok wanita Salatiga, Hartini Sukarno.

Darah Muda dan Kisah Cinta
Kecintaan Bung Karno terhadap karya seni bisa dilihat dari beberapa koleksinya lukisannya, salah satu kecintaanya juga bisa dilihat dari sosok perempuan. Bahkan lukisan Rini yang dibuat oleh Bung Karno merupakan sosok wanita berkebaya yang sedang duduk manis. Selain sebagai pengaggum lukisan, Bung Karno juga merupakan “pengaggum” perempuan. Karena kegakumannya terhadap kecantikan ciptaan Tuhan ini, ia berusaha menjadi “pemilik” dari sejumlah perempuan. Dan memang beberapa perempuan yang diperistrikannya memang tergolong cantik secara fisik.
Dalam sosok seorang perempuan, sering juga membawa pengaruh terhadap kepemimpinan laki-laki. Mungkin kita masih ingat pada kisah tentang Presiden AS, Clinton membuat skandal dengan sekertarisnya, yang mengakibatkan Clinton nyaris kehilangan kursi kepresidennya. Atau kisah cinta yang akhirnya membuat sebuah bangunan masjid yang demikian megah dan indah demi seorang istri yang dicintainya, bangunan itu adalah Taj Mahal. Sukarno pernah didampingi oleh sosok perempuan cantik pada era 1930-1940 dalam sosok Inggit Gunarsih yang mengantarkannya kedalam pintu gerbang kemerdekaan.
Menurut Anhar Gonggong, ada 3 wanita yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pribadinya. Dia adalah, Inggit Gunarsih, Fatmawati dan Hartini. Bila Inggit merupakan sumber kekuatan dan sumber energi ketika menghadapi perjuangan mengusir kolonial. Posisi Fatmawati, merupakan sebagai “ledy first” atau ibu Negara ketika berposisi sebagai seorang Presiden. Sedangkan perempuan ketiga adalah Hartini. Hartini tampil sebagai seorang perempuan dalam segala aspek manusia perempuannya itu.
Sebagai seorang janda, Hartini mendapatkan sambutan dan cercaan yang secara psikologi sangat berat. Pertemuan dengan Hartini didalam rumah Walikota Salatiga sangat berkesan oleh Bung Karno, Bung Karno lagi-lagi melihat “keindahan” hingga ia menulis sebuah surat yang salah satu bagian isinya, “Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir”. Namun, cinta antara keduanya akhirnya membawa kedalam sebuah pernikahan resmi. Meskipun berbagai cercaan kritik dihadapi oleh Bung Karno dan terutama kepada Hartini, tapi Bung Karno tetap mempertahankan. Mereka menggunakan simbol kesenian dengan menggunakan nama-nama samara dengan Srihana-Srihani. Srihana disimbolkan sebagai Bung Karno, dan Srihani sebagai Hartini.
Setelah mendapatkan Hartini sebagai salah satu istri resminya, hartini benar-benar membaktikan dirinya kepada sosok Bung Karno. Maka dia berusaha untuk memenuhi tugasnya, sebagai seorang perempuan, yang jadi istrinya dari orang besar. Dia menempatkan Hartini sebagai sosok yang memang layak dicintai, dan Bung Karno mendapatkan balasanya hingga akhir hayatnya. Itulah hasil “penglihatanya” untuk memilih sebuah keindahan ciptaan Tuhan. Itulah Bung Karno, memilih pasangan hidupnya dengan nilai-nilai seni.
Karena menurut Bung Karno, semuanya diimbuhi dengan seni. Diplomasi harus melibatkan seniman, mengatur rakyat harus dengan seniman, menata kota dan lingkunganpun harus dengan seniman. Hingga tahun 1965, koleksi lukisan Bung Karno tercatat lebih dari 2.000 buah. Koleksinya dari berbagai maestro dunia, seprti Diego Rivera, Ito Sinshui, William Russel Flynt, dan sebagainya.
Koleksi semua itu sudah tersusun dari sebuah buku. Pertama tahun 1956 dalam 2 jilid. Ahun 1961 terbit 2 buku selanjutnya, yang semuanya disusun oleh Dullah. Tahun 1964 muncul 5 jilid lain yang merupakan pelengkapan, karena koleksi Bung Karno terus bertambah. Buku ini disusun oleh Lee Man fong. Semua kitab itu mencantumkan sekitar 500 lukisan pilihan. Tapi Bung Karno menilai masih ada sekitar 500 karya pilihan lain yang patut dibukukan. Maka tahun 1966, untuk merayakan ulang tahun ke-65, direncanakan terbit jilid VI sampai X, susunan Lim Wasim. Namun, kerusuhan politik meletus. Bung Karno pun lengser.
Bung Karno wafat pada 20 Juni 1970, setelah empat tahun dalam "pengasingan". Kita tak tahu, Putra Sang Fajar ini redup karena sekadar sakit, atau lantaran selama 40 bulan dipisahkan dari dunia seni lukis dan istri-istrinya yang sebelumnya memberinya gairah hidup dan napas panjang.

Referensi:
Nugroho, Arifin Suryo. 2009. Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno. Yogyakarta: Ombak.
Majalah Intisari, “Bung Karno dan Seni Rupa”. Bulan April 2001. Online, http:// www.indomedia.com/intisari/2001/Apr/BK.htm diakses 20 September 2017.
Susanto, Mikke. 2012. “Presiden Sukarno dan Pelukis Le Mayuer di Bali”. Urna, Jurnal Seni Rupa. Vol 1, No. 2 (Desember 2012), Hlm. 107-213.
Ditulis oleh Osi Krismonika, untuk Mengikuti Lomba Esai tingkat Nasional, "Sukarno, Pemuda dan Seni" yang diadakan oleh Kinara Vidya Pada tanggal 25 September 2017. Tulisan ini mendapatkan Juara 1.
Osi Krismonika dan Ketua Kinara Vidya, Dr. Sri Margana