Wednesday, February 28, 2018

Kontribusi Usman Janatin Dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia, 1962-1966 [JURNAL ILMIAH]

Jurnal Arefak
Konstelasi politik dunia yang terjadi pada pada era tahun 1960-an memang tidak bisa dilepaskan dengan persaingan antara dua blok adidaya. Blok Barat representasi Amerika Serikat (AS) dengan Liberal Kapitalis-nya dan Blok Timur dengan Uni Soviet (US) sebagai komandan Sosialis Komunis. Perang Dingin atau Cold War, istilah yang sering kita dengar ini menggambarkan rivalitas dua negara adidaya yang getol “menjual” ideologinya ke wilayah-wilayah negara lain didunia.[1] Kondisi ini, membuat negara-negara diseluruh dunia dirundung kekhawatiran jika Perang Dingin ini pecah menjadi Perang Panas. Perebutan supremasi antar dua negara adidaya ini terasa hingga beberapa kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, kondisi di Indonesia pada tahun itu menunjukan adanya perjuangan dalam usaha merebut Irian Barat dari Belanda. Puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1962 pihak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada pemerintahan sementara PBB, yang kemudian akan menyerahkannya kepada pihak Indonesia pada 1 Mei 1963. Penyelesaian masalah Irian Barat ini tidak bisa dilepaskan dari peran AS. AS sangat khawatir jika Indonesia akan benar-benar jatuh ke dalam pengaruh US (komunis-red). Kecenderungan pengaruh Komunis ini memang sudah terlihat dari berbagai slogan ideologi dan langkah politik Presiden Soekarno, seperti slogan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) serta disempurnakan menjadi Manipol-USDEK (Manifesto Politik atas UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin).[2]
Ketika masalah Irian Barat mendapatkan titik terang, di sisi lain, masalah luar negeri yang lain muncul. Permasalahan ini bermula dari rencana pembentukan Federasi Malaysia. Pembentukan Federasi Malaysia ini didasari dari persamaan masalah yang dialami dari negara Malaya, Singapura, dan Inggris. Malaya cemas dengan penduduk Tionghoa dan implikasinya terhadap rasial dari penggabungan dengan Singapura, pihak Singapura menginginkan sebuah kemerdekaan yang penuh, serta pihak Inggris menginginkan solusi terhadap masa depan wilayah-wilayah jajahannya di Pulau Kalimantan, seperti Sabah, Brunei dan Sarawak.[3]
Persepsi Presiden Soekarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini lain, menurutnya,  pembentukan ini merupakan rekayasa dari Blok Barat untuk menancapkan kekuasaannya di kawasan Asia, khusunya Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia ini akan mengepung Indonesia dengan kekuatan neo-kolonialisme dan neo-imperialis.[4] Hubungan Indonesia dengan Malaysia selanjutnya berjalan panas. Presiden Soekarno menganggap Malaysia tidak sepunuhnya sudah merdeka atau hanya pura-pura merdeka karena tidak pernah merasakan namanya pahit-getir sebuah revolusi fisik yang pernah dialami Indonesia. Daniel Dhakidae, bahkan menyebut bahwa Malaysia dalam memperoleh kemerdekaannya diberikan karena merdeka hadiah, berbeda dengan Indonesia yang merdeka darah.[5]
            Berbagai usaha diplomasi dilakukan untuk menyelesaikan ketegangan antara dua negara tetangga ini. Salah satunya, pertemuan antara Presiden Soekarno dan PM Malaya, Tengku Abdul Rachman yang dilakukan di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963. Hasil dari pertemuan ini sedikit meredakan ketegangan dua negara. Namun, ketika proses perundingan yang hampir mencapai titik temu, PM Tengku Abdul Rachman menandatangai dokumen persetujuan dengan Inggris di London mengenai deklarasi Negara Federasi Malaysia yang akan dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1963. Realitas yang ada menunjukkan bahwa penandatanganan ini merupakan sebuah penghinaan besar bagi kedaulatan Indonesia, seperti yang dikatakan Presiden Soekarno.
            Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekano kembali menghidupkan semangat revolusi Indonesia Raya, dengan menyatakan negara baru itu merupakan boneka nekolim, (neo-kolonialimse dan neo-imperialisme). Langkah berikutnya adalah membangkitkan semangat konfrontasi. Istilah ini pertama kali diungkapkan oleh Soebandrio pada Januari 1963 setelah pasukan Malaya dan Inggris menghancurkan pembrontakan di Kasultanan Brunei, Kalimantan Utara.[6] Kemudian setelah itu, muncul sebuah slogan baru untuk memanaskan semangat konfrontasi itu, yaitu Ganyang Malaysia.
Realisasi dari fenomena tersebut ditunjukkan dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan setiap minggu untuk membangkitkan semangat anti-Inggris dengan slogan Ganyang Malaysia. Langkah selanjutnya, bisnis-bisnis Inggris dan bisnis ekonomi Persemakmuran lainnya diambil alih selama tahun 1964-1965.[7] Pemerintah Indonesia juga menggabungkan strategi politik konfrontasi dengan diplomasi. Taktik yang sama dilakukan ketika Presiden Soekarno mengambil alih Irian Barat. Menurut Frederick P. Bunnel kebijakan politik ini dilukiskan sebagai confrontation diplomacy, suatu campuran manuver yang bersifat berani, cerdik dan tidak dapat diduga.[8]
Untuk mendukung kebijakan Ganyang Malaysia ini, dilancarkan berbagai konfrontasi oleh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sukarelawan serta sebagian dari masyarakat luas berdasarkan seruan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Dwikora menyeru untuk meningkatkan dan mempertinggi ketahanan Revolusi Indonesia serta membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara.[9] Salah satu sukarelawan dari kalangan Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) yang berkontribusi dalam Operasi Dwikora itu adalah Janatin alias Usman bin Haji Muhammad Ali, atau lebih familiar dengan nama Usman Janatin.
Usman Janatin terlahir di Kabupaten Purbalingga, sebuah Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten yang memiliki luas 77.764 hektare ini memiliki pahlawan-pahlawan terbaik bangsa dari kalangan militer, salah satunya Panglima Besar Jenderal Soedirman, tokoh yang pernah menjadi sentral militer pada awal kemerdekaan. Maka tidak heran, kabupaten ini mendapat julukan Kota Perwira. Sebuah julukan untuk menghormati perwira-perwira yang sudah membela martabat bangsa.
Selain Panglima Besar Jenderal Soedirman, Purbalingga juga mempunyai putera terbaik dari kalangan “perwira” lainnya, yaitu tokoh yang menjadi topik dalam penulisan ini, Usman Janatin. Berdasarkan semangat Dwikora, Usman Janatin dan rekan-rekannya mendapatkan tugas untuk melakukan penyusupan ke Singapura. Dalam tugas ini, Usman Janatin sebagai pimpinan atas rekan-rekannya, Harun bin Haji Mahdar dan Gani bin Aroep. Surat tugas yang bernomor SP. KKO No. 05/Sp/KKO/64 dan Spd KOTI No. 288/KOTI/8/64, tertanggal 27 Agustus 1964 ini sebagai dasar mereka untuk melakukan sabotase dibeberapa tempat di Singapura.[10]
Tokoh yang patut mendapat julukan patriot bangsa ini mau menjadi sukarelawan meski nyawa taruhannya. Sikap patriot ini merupakan semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela, baik mengorbankan jiwa maupun raganya untuk negara. Sikap rela berkorban ini dimaksudkan untuk membela bangsa dan negara dari berbagai gangguan, baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri. Sikap patriotisme ini juga melekat pada sikap nasionalisme.[11] Artinya, ketika seseorang sudah memiliki sikap nasionalisme maka secara otomatis akan memiliki sikap patriotisme. Itulah definisi patriot bangsa yang dimiliki oleh Usman Janatin dalam penelitian ini.
Untuk melihat dan mendownload Jurnal Ilmiahnya, silahkan kunjungi DISINI.




[1] Tanto Sukardi, Perang Dingin: Episode Sejarah Barat dalam Perspektif Konflik Ideologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 2-3.
[2]M.C Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1200 Third Edition (London: Palgrave Macmillian, 2001), hlm. 411-412.
[3]Shukri Shuib, et al. “The Implications of Cold War on Malaysia State Building Process”. Jurnal Asian Culture and History, Vol 1, No. 2, July 2009, hlm. 89-98.
[4]Roso Daras. Total Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer (cetakan ke-empat). (Depok: Penerbit Imania, 2013), hlm. 153.
[5]Daniel Dhakidae. “Hubungan Cinta-Benci antara Indonesia dan Malaysia”. Majalah Prisma Vol. 28, No. 2, September 2009, hlm. 50-53.
[6]Robert Cribb dan Audrey Kahin, Historical Dictionary of Indonesia. (Toronto: The Scarecrow Press, Inc. 2004), hlm. 248.
[7]Adrian Vickers,A History of Modern Indonesia. (New York. Cambridge University Press, 2005), hlm. 228-229.
[8] Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (certakan ke-tiga). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 156.
[9]Steven Farram,Ganyang! Indonesian Populer Songs from the Confrontation Era, 1963-1966”. Jurnal Bijdragen Tot De Tall-, land- En Volkenkunde 170 (2014) 1-24. hlm 8.
[10] Herman Mujirun,Sekilas Kenangan 2 (dua) Pahlawan Serda KKO Usman Bin H. Ali dan Kopral KKO Harun Bin Said. (Jakarta: Yayasan Sosial Usman-Harun, 1974), hlm. 1.
[11]Ibid,.