Sunday, May 27, 2018

Sabah Dalam Arus Sejarah: Dari Zaman Neolitikum Hingga Referendum


arifsae.com - Bukti pertama kehidupan di Sabah ditandai dengan ditemukannya peralatan batu dan sisa makanan dari ekskavasi di sepanjang wilayah Teluk Darvel di Gua Madai-Baturong, dekat dengan Sungai Tingkayu. Penemuan batu ini diperkirakan berasal dari 20.000-30.000 tahun yang lalu.
Bagian Muzeum Sabah (dok. Pribadi)
Pada tahun 2003, di Lembah Mansuli di Distrik Lahad Datu juga ditemukan beberapa peninggalan arkeologi yang menggambarkan Sabah pada 235.000 tahun yang lalu. Selain itu, bukti lainnya juga ditemukan di Bukit Tengkorak, Semporna yang terkenal karena menjadi tempat pembuatan tembikar terbesar di Asia Tenggara pada zaman Neolitikum.

Penduduk asli wilayah Sabah diduga dari orang Aborigin Australia, yang kemudian, menurut S.G Tan dan T.R Williams, suku asli ini yang menjadi cikal bakal penduduk tempatan saat ini, seperti orang Kadazan-Dusun, Murut, Sungai, dan lainnya. Penduduk ini diyakini berasal dari Tiongkok Selatan dan Vietnam Utara, serta wilayah Sarawak yang berasal dari wilayah Kalimantan.

Dari Brunei Ke Sulu

Pada abad ke-6, Jalur Kalimanan Utara sudah ramai dilewati dan dikunjungi oleh pedagang Tiongkok. Jalur ini menjadi pusat transit karena posisinya dijalur perdagangan antara Tiongkok dan Nusantara. Abad ke-7 wilayah ini menjadi vassal dari Kerajaan Sriwijaya dan menjadi rumah bagi komunitas bernama Vijayapura. Beberapa ahli percaya kalau komunitas Vijayapura inilah yang menjadi leluhur orang Brunei.

Abad ke-14, Kasultanan Brunei berdiri. Sabah belum menjadi wilayah dari kerajaan itu. Baru pada abad ke-15, Sultan Bolkiah melakukan ekspansi besar-besaran hingga ke Banjarmasin Selatan. Dalam eskpansi itu, Sabah masuk menjadi bagian Kasultanan Brunei. Pada abad ke-16, Brunei merupakan salah satu kerajaan besar yang meliputi wilayah dari Kalimantan Utara hingga ke Filipina.

Dalam perjalannnya, dominasi Kasultanan Brunei terganggu dengan kehadiran Kasultanan Sulu di Mindanao, Filipina. Namun dengan berbagai kesepakatan, pada abad ke-17, Kasultanan Sulu ikut membantu mengatasi masalah internal dari Kasultanan Brunei. Menurut Graham Saundres, Brunei memberikan beberapa wilayahnya ke Kasultanan Sulu untuk menjadi kompensasi karena telah membantu mengatasi konfllik itu. Wilayah yang diberikan itu adalah sebagian Sabah.

Kasultanan Sulu tidak lama menguasai wilayah Sabah ini, karena dengan kedatangan bangasa Spanyol, wilayah ini berganti pemilik. Kemudian perganti lagi ketika Inggris datang dan mendirikan Kongsi Dagang Inggris (EIC). Kejadian ini resmi dilakukan setlah Alexander Dalrymple, menandatangani perjanjian kontrak dengan Kasultanan Sulu.

British North Borneo Company (sebelumnya British North Borneo Provisional Associaion Ltd.) mendirikan kantornya dengan ibu kota di Kudat. Pada tahun 1885, ketika Protokol Madrid ditandatangani oleh Inggris, Spanyol dan Jerman yang mengakui kedaulatan Kasultanan Sulu sebagai wilayah kedaulatan Spanyol sebagai ganti atas klaimnya terhadap Kalimanan Utara. Pada perjalnjian itu, Sabah tetap menjadi wilayah jajahan Inggris.

Bergabung ke Federasi Malaysia

Gejolak dunia terjadi, Jepang melakukan ekspansi dengan mengambil alih wilayah-wilayah sekutu, termasuk Kalimantan Utara. Namun pada akhir perang dunia II, wilayah yang sudah direbut Jepang dikembalikan kepada pemilik-pemilik sebelumnya. Sabah, Sarawak dan Brunei menjadi wilayah jajahan Inggris lagi.

Konflik muncul lagi pada era-1960. Ketika itu, tiga negara (Brunei, Filipina dan Federasi Malaya) mengklaim wilayah Sabah. Mereka sama-sama mengklaim berhak atas wilayah itu. Brunei mengklaim kalau Sabah adalah wilayah kekuasaanya, Filipina berkeyakinan Sabah bagian dari wilayahnya karena sebelumnya merupakan milik sah Kesultanan Sulu yang disewakan kepada perusahaan Inggris dan Federasi Malaya mengklaim Sabah karena Inggris adalah pemilik sah Sabah.

Federasi Malaya ingin menggabungkan wilayah Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi Malaysia yang didukung penuh oleh Inggris. Konflik antara Brunei-Filipina berhasil diselesaikan pada 1962. Sedangkan antara Filipina dan Malaya berjalan rumit. Akhirnya pada tanggal 31 Juli 1963, dengan ditangatanganinya Manila Agreement, konflik itu sedikit mereda.

Indonesia ikut terlibat dalam konfilk antar kedua negara ini. Presiden Sukarno lebih mendukung perjuangan Filipina, karena menurutnya pembentukan Federasi Malaysia merupakan bentuk Neo-Kolonialisme dari Inggris. Perjanjian itu berisi tentang kesepakatan referendum bagi rakyat Sabah dan Sarawak. Referendum ini ditujukan untuk mengetahui keinginan rakyat Sabah dan Sarawak, apakah mau ikut bergabung dengan pembentukan Federasi Malaysia atau tidak.

Konflik yang lebih rumit terjadi antara Brunei dan Malaya. Masing-masing pihak bersikukuh terhadap pendiriannya. Namun sebuah penyerangan bersenjata (oleh rakyat Brunei terhadap pos-pos keamanan Inggris di hampir seluruh Kalimantan Utara) pada 8 Desember 1962 membuat posisi politik Brunei runtuh. Inggris kembali menggenggam Brunei dan Sabah sebagai protektoratnya. Yang tersisa tinggal Malaya. Gerbang kelancaran proyek Malaysia pun kian menganga.

Puncaknya, ketika tim pencari fakta dari PBB (yang menjalankan amanat Manila Agreement, dibantu wakil-wakil Indonesia dan Filipina) sedang bekerja, PM Malaya, Tunku Abdul Rahman mengumumkan proklamasi Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Peristiwa inilah yang menakibatkan Presiden Sukarno melancarkan “Konfrontasi” dengan slogan Ganyang Malaysia-nya.

Presiden Sukarno menganggap, “ini adalah penggabungan wilayah yang dipaksakan”, sehingga meminta Sekjen PBB, U Than untuk meninjau ulang. Meski beberapa konfilk terus terjadi, terutama dengan Indonesia dan Filipina, secara formal wilayah Sabah dan Sarawak tetap menjadi bagian Federasi Malaysia sejak diproklamasikan, 16 September 1963 hingga saat ini.[]

Sumber Tulisan:
www.historia.id
www.urangsabah.com
www.wikipedia.org