Friday, October 23, 2015

Privatisasi Badak di Rumah Baru

VIVA.co.id - Menyebut kata badak biasanya yang terlintas dibenak kita hanya tertuju pada satu tempat, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sebenarnya Indonesia mempunyai 2 diantara 5 spesies Badak di dunia, yaitu Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis) dan Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus).
Jika di Sumatera ada Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Jawa ada TNUK, satu-satunya tempat yang masih tersisa sebagai habitat yang masih bersahabat untuk keberlangsungan kehidupan Badak.

Khusus untuk Badak Jawa, memang sangat miris, dengan jumlah populasi Badak Jawa yang sangat memperihatinkan, dari data WWF(World Wide Fund)-Indonesia, jumlah badak yang ada di Jawa hanya tersisa sekitar 40-50 ekor di alam liar. Badak Jawa sudah berstatus sangat terancam (critically endangered) dalam daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature).

Oleh karena itu, kehidupan Badak Jawa harus kita selamatkan dan lestarikan, usaha saat ini sudah berusaha dilakukan. Pertanyaanya, apakah usaha saat ini sudah cukup? Tegas jawabannya belum. Lalu solusi seperti apa supaya Badak Jawa dan Sumatera bisa terus lestari dan terjaga spesiesnya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mencari ancaman terbesar dari kelangsungan kehidupan badak, setelah kita mencari ancaman, baru bisa mencari solusinya, ancaman apa itu?

Untuk ancaman Badak Jawa, yang pertama adalah berkurangnya keragaman genetis, artinya populasi yang hanya ada di sekitar TNUK akan mempersempit perkembangbiakan bagi Badak Jawa. Sehingga ketika terjadi wabah penyakit atau bencana alam yang terjadi maka dapat dipastikan Badak Jawa akan lenyap dari bumi Indonesia.

Badak Jawa sendiri hanya melahirkan satu anak dalam waktu rentan sekitar 4 tahunan dengan masa kehamilan sekitar 15 bulanan. Kemudian ancaman yang kedua adalah hilangnya habitat aslinya karena maraknya pembukaan lahan sehingga berpengaruh kepada habitat Badak Jawa.
Masalah ini tentu karena manusia sendiri, secara langsung manusia sudah banyak melakukan kerusakan dan pembukaan lahan yang ada disekitar habitat Badak Jawa. Seperti Badak Jawa, Badak Sumatera juga mengalami ancaman yang sama, yaitu perambahan hutan untuk dijadikan perkebunan, dan yang lebih parah lagi adalah ancaman perburuan ilegal Badak Sumatera untuk di ambil cula dan kulitnya.

Setelah mengetahui ancaman terhadap badak, maka kita harus mencari solusinya, apa solusinya? Salah satu solusinya dengan mencari habitat baru. Mau tidak mau, itu harus dilakukan. Kita tidak boleh menunggu terlalu lama mengambil risiko kalau badak benar-benar akan punah. Kepunahan badak bisa terjadi karena bencana alam, penyakit atau karena ulah manusia.

Sebenarnya permasalahan ini sudah dipertimbangkan oleh WWF-Indonesia, tapi memang perlu progresivitas yang cepat. Tentunya syarat mutlak mecari habitat baru harus terpenuhi, seperti habitatnya harus mirip dengan TNUK, yaitu habitatnya harus aman dari ancaman, tercukupi makanannya, jangan ada gangguan-gangguan dari manusia yang berlebihan, serta wilayahnya juga harus luas.

Salah satu tempat yang sangat mungkin dijadikan habitat baru Badak Jawa adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat. Ditempat ini, Badak Jawa pernah berdiam lama sebelum meletusnya Gunung Krakatau 1883. Kondisi di Taman Halimun sangat cocok dan hampir mirip dengan keadaan di TNUK. Selain Taman Halimun, alternatif tempat-tempat yang memungkinkan untuk dijadikan habitat baru untuk Badak Jawa adalah Hutan Baduy, Cagar Alam Sancang, dan Cikapuh Jawa Barat .

Mengenai permasalahan Badak Sumatera, sebenarnya sudah berbagai upaya dilakukan, dari percobaan penangkaran sampai usaha kerjasama dengan pemerintahan Malaysia. Tapi memang badak termasuk hewan penyendiri yang susah ditangkarkan.

Tempat di Sumatera selain TNBBS, yaitu di Gunung Leuser dan TN Way Kambas. Apakah ketika sudah mendapatkan rumah baru tugas kita sudah selesai? Jelas belum.
Tugas semua stekholder yang terkait, seperti pemerintah dalam membuat regulasi, masyarakat mengendalikan diri sampai lembaga-lembaga independen (seperti WWF-Indonesia) untuk mengontrol dan mengawasi kelestarian Badak Sumatera dan Jawa.
Mari kita selamatkan dan lestarikan Badak Sumatera dan Badak Jawa dengan salah satu cara memberikan rumah baru yang nyaman, dengan pelayanan yang memuaskan.(Cerita ini dikirim oleh Arif Saefudin, Purbalingga)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?



atau kunjungi di http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/684186-privatisasi-badak-di-habitat-baru

Tuesday, October 20, 2015

Wajah DPR: Parlemen atau Preman?

“Guru Intelektual Saya Adalah Spiritualitas,
Sedangkan Guru Spiritualitas Saya Adalah Intelektualitas” (Gus Dur)

Nasihat Gus Dur diatas sangat erat kaitannya dengan keseimbangn hidup. Sesuatu yang tidak berimbang maka akan menjadi timpang, bila ada chek and balance dalam sebuah fenomena, maka akan menimbulkan keserasian. Di Indonesia jelas tidak kurang orang yang pintar, tapi kenapa birokrasi pemerintahan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat masih belum melaksanakan mandat rakyat? Jawabannya ada pada titik keseimbangan antara ilmu dan perilaku kita sebagai makhluk bernegara dan makhluk beragama. Seperti perkataan Albert Einstain, bahwa ‘Agama Tanpa Ilmu Pincang, Ilmu Tanpa Agama Buta’, artinya kalau salah satu saja yang dominan maka tidak akan menemui titik keseimbangan.
     Bila melihat dalam panggung politik di Indonesia, maka akan banyak sekali kita melihat ketimpangan itu. Terutama dalam sebuah kehidupan berpolitik kita akhir-akhir ini yang masih jauh dari berpolitikan yang ideal. Dari pagi hingga malam, dari chanel satu hingga chanel yang lain akan penuh dengan pemberitaan negatif tentang anggota DPR kita. Bila disebutkan, mungkin berita dari ‘plesiran’nya keluar negeri, korupsi ‘jamaah’, ketiduran ketika sidang sampai membuka link vedio porno dan masih masih banyak lagi semua tingkah para wakil kita yang tidak patut dilakukan. Maka pertanyaan yang timbul dalam benak kita, mengapa mereka menghianati ekspektasi konstituennya seperti ini? Lalu apa yang akan saya lakukan seandainya menjadi anggota parlemen?

Posisi Amanah vs Komisi ‘Basah’
Semua manusia akan menjadi pemimpin, minimal untuk memimpin dirinya sendiri. Terlebih lagi sebuah posisi yang diamanahkan oleh rakyat kepada wakilnya di parlemen untuk memperjuangkan hak-haknnya. Mereka bagiakan ‘ikan’ segar ketika musim pemilu datang, tapi terlupakan ketika musim pemilu hilang. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban, apakah sudah memimpin sesuai amanah, ataukah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang yang dipimpin yang hanya mementingkan ‘komisi basah’.
     Seorang anggota parlemen adalah pemimpin untuk kontstituennya, karena berkat suara itu, maka anggota parlemen bisa melenggang ke Senayan. Bila dilihat, memang parlemen kita belum sempurna, tapi apakah permasalahan parlemen kita tidak bisa diatasi? Kembali pada masing-masing diri kita, maukah para anggota parlemen berubah demi kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara. Tapi kenyataannya sekarang, banyak wakil rakyat justru hanya membela kepentingan pribadi dan partainya dibanding dengan kepentingan rakyat yang sudah memberikan sumbangan suaranya. Para anggota parlemen yang mau berbuat baik pun akan menyerah karena tersisih dengan kepentingan partai, seperti pepatah mengatakan bahwa sekumpulan batu keras diatas gunung, masih ada batu apung yang lembut. Artinya meskipunpara anggota parlemen mau berusaha mengutamakan kepentingan konstituennya, tetap mereka akan mengikuti apa kata ketua partainya.
     Bila dibandingkan dengan anggota parlemen dulu dan sekarang memang sedikit berbeda. Pada masa dulu, keinginan kuat seorang anggota untuk membangun bangsa dan negara sangat kuat dibandingkan seperti sekarang yang berlomba membangun sebuah ‘rumah-rumah mewah’, jiwa kenegarawan mereka lebih dikedepankan dibandingkan dengan jiwa politikusnya, itulah sebabnya para anggota parlemen zaman dulu tidak mementingkan harta, yang terpenting kemajuan bersama dengan berlandasakan jiwa nasionalisme dan patriotime yang kuat. Pada masa sekarang, aliran-aliran hedonisme dan matrealisme lebih banyak penganutnya, itulah sebabnya para koruptor banyak ditemui pada anggota parlemen saat ini, kebiasan kongkalikong dan konspirasi untuk menjatuhkan lawan politiknya sangat lumrah dan gampang sekali dilihat layaknya ‘dagang sapi’.
     Bagaimana dengan pendidikan mereka? Apakah mereka dari kalangan terpelajar? Jawabanya mereka justru rata-rata sangat berpendidikan, dari gelar sarjana sampai doktor hampir merata. Tapi permasalahanya bukan tinggi rendahnya pendidikan formal mereka, tapi bagaimana pendidikan mereka diimbangi dengan akhlak atau perilaku mereka. Pendidikan tanpa diimbangi dengan moral karakter anggota akan sangat berbahaya, tapi tanpa pendidikanpun juga lebih bahaya. Jadi pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur utama kenerja anggota parlemen kita, namun akhlak dan karakter yang kuat dengan ditunjang pendidikan yang mumpuni akan mengantarkan kita sebagai sebuah bangsa besar dan dihormati oleh dunia.
    Selain permasalahan diatas, kebebasan media diera reformasi sekarang juga menjadi tekanan kuat kepada para anggota parlemen. Setiap rapat diliput, setiap jalan-jalan direkam, setiap memberikan statmen dicatat. Bahkan bila kita melihat media di TV nasional, akan sangat gampang melihat gambaran-gambaran negatif yang ditemui. Kemudian, yang lebih parah bahwa, masyarakat menelan mentah-mentah berita yang ditampilkan oleh media tanpa melihat pemberitaan secara seimbang. Media tidak bisa melihat bahwa mereka adalah manusia biasa. Kita selalu mengharapkan keadaan yang sangat ideal, tapi sesuatu yang ideal tidak akan memuaskan semua orang. Seperti pepatah bahwa tak ada gading yang tak retak.
     Memang membandingkan kinerja parlemen zaman dulu dan sekarang akan seperti jauh panggang dari api. Tetapi, bila membandingkan keduannya maka tidak bisa terlepas dari perbedaan zaman dan perkembangannya. Kinerja anggota parlemen tetap bisa dipermasalahkan, selama mereka memainkan ‘komis basah’, tanpa mementingkan posisinya yang diberikan karena amanah dari konstituennya.

[Andai] Jadi DPR: Sinergitas Ilmu dan Laku
Kita semua merupakah pemimpin diri kita sendiri, itu sudah jadi kesepakatan umum. Apalagi sebuah negara, pasti membutuhkan sosok pemimpin yang dapat mengatur, mengendalikan, dan membawa negara yang dipimpinnya menjadi negara yang berdaulat dalam segala bidang. Sebagai seorang yang diutus untuk mewakili aspirasi konstituennya, maka selayaknya anggota parlemen harus menjadi tokoh panutan bagi masyarakatnya.
     Indonesia saat ini sangat membutuhkan sosok-sosok pemimpin di parlemen, supaya menjadikan bangsa Indonesia menjadi negara yang disegani dan bermartabat bagi bangsa lain di dunia. Para anggota parlemen, harus benar-benar mengabdikan diri pada rakyatnya seperti para anggota parlemen zaman dulu, tidak sekedar basa-basi yang tanpa implementasi nyata. Dari beberapa pemimpin-pemimpin tinggi di Indonesia tentu memiliki visi dan misi untuk memajukan bangsa dan negara, tapi sedikit sekali yang benar-benar mengimplementasikan visi dan misinya dengan tanggung jawab dan sikap yang nyata.
     Tentu tantangan dan tugas sebagai anggota dewan tidaklah mudah, kenapa? Disamping tugas mereka yang seabreg dan tanggung jawab yang besar maka untuk menjadi seorang (jika menjadi) anggota parlemen tentu akan mensinergikan ilmu yang dimiliki dengan perilaku yang baik (dalam hal ini berkaitan dengan spritiualitas). Untuk mensinergikan antara ilmu dan perilaku, maka apabila menjadi anggota parlemen saya akan melakukan sinergi antara ilmu dan laku.
     Berkaitan dengan ilmu, tentu untuk mempunyai ilmu harus mencari dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun, baik formal maupun informal. Ilmu yang dimaksud tentu berkaitan dengan tata negara dan kelola sebuah negara. Cita-cita saya menjadi pejabat publik, tentu sebagai pejabat publik, akan memegang teguh empat pilar bangsa, yaitu NKRI, Bhineka Tungal Ika, UUD 45 dan Pancasila, terlebih dengan ideologi pancasila yang sudah dibangun oleh founding father kita dulu. Karena pancasila sebagai ideologi bangsa kita sekarang hanya bertengger menjadi sekedar formalitas semata. Dan untuk terus menerus menuntun pribadi dan karakter bangsa ini menuju pada negara maju maka harus bercermin pada sila-sila dari pancasila. Itu sebagai tantangan saya sebagai seorang yang bercita-cita sebagai pejabat publik.
     Selain ilmu yang harus dikuasai sebagai anggota parlemen, juga harus mengedepankan perilaku dengan berlandaskan agama dan kepercayaan masing-masing. Setiap agama memerintahkan perbutan-perbuatan terpuji seperti jujur, amanah, bertanggung jawab dan menepati janji-janji. Hal itu memang sulit, tetapi bukan tidak mungkin dilakukan selama kita bersungguh-sungguh untuk menerapkan sifat-sifat terpuji itu dalam dunia perpolitikan. Dengan membangun politik yang konstruktif, maka segala perbedaan dan pro-kontra disana-sini tidak menyebabkan menjadi alat untuk menjatuhkan lawan politiknya. Segala perbedaan itu justru menjadi pertimbangan dan memperkaya kebijakan-kebijakan yang nanti akan diputuskan.
     Masih berkaitan dengan perilaku sebagai anggota parlemen, maka saya akan bersikap obyektif dalam berprilaku dan tidak berlaku secara egois dan subyektif dalam menjalankan amanah. Hal ini karena kita harus menyadari bahwa kita merupakan bangsa yang besar dengan jumlah penduduk juga banyak yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan beratus-ratus suku, berbagai agama, dan budaya.

Menuju Parlemen Modern
Membentuk sebuah parlemen yang modern dan ideal tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Apalagi ini berkaitan dengan ‘perang’ hati, yang sesungguhnya sangat sulit untuk dilihat digedung DPR. Disana lah tempat pertarungan sengit antara hati yang bersih dan hati yang ‘kotor’. Kalau mereka mau bertahan dan mempertahankan hati bersih mereka, maka anggota parlemen inilah yang bisa dikatakan sebagai anggota parlemen yang ideal. Tapi, pada prinsipnya semua hal yang memang baik harus dicoba untuk dapat menyelamatkan bangsa dan menuju parlemen yang modern.
     Kita sepakat bersama, bahwa untuk mewujudkan sebuah parlemen yang modern dan sehat maka perlu adanya ‘reformasi’ bahkan ‘revolusi’ besar-besaran dan menyeluruh tidak hanya dari anggota parlemen khususnya tapi juga pada sistem yang sudah ada. Bangsa kita yang sudah merdeka selama 70 tahun sejak kemerdekaan seharunya telah cukup memberikan tanda-tanda perubahan parlemen untuk menuju kedalam parlemen yang modern dan kearah yang lebih baik. Ada beberapa perubahan yang menurut penulis harus dilakukan untuk anggota parlemen menuju parlemen modern, yaitu:
     Pertama, membuat peraturan yang terkait dengan kedisiplinan anggota parlemen dengan lebih diperketat lagi sehingga anggota yang tidak disiplin harus ditindak secara tegas, kedua, perbaiki sistem pemilihan anggota parlemen, karena tidak memberikan kesempatan kepada anggota non-partai. Sebab dengan sistem partai saat ini dirasa sangat terlihat segala sesuatu kebijakan bersifat subyektif. Anggota DPR seakan dibayang-bayangi kepentingan partai dan terkait dengan politik balas budi dari partai pengusungnya. Ketiga, penempatan anggota DPR dengan dasar the right man in the right place, artinya menempatkan orang pada posisinya berdasarkan kompetansinya bukan karena kongkalikong dan kepentingan-kepentingan politik ‘kotor’. Serta yang keempat, mengawasi secara ketat kekayaan anggota parlemen dari sebelum dan sesudah menjabat, apakah harta kekayaanya sesudah menjabat rasional atau irasional.
     Meskipun persepsi dan paradigma tentang parlemen dimasyarakat tentang segala sesuatu berbau negatif, tetapi perubahan itu harus dilaksanakan. Karena untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang besar, maka diperlukan parlemen yang modern dengan anggota yang berlandaskan dengan ilmu yang mumpuni dan perilaku yang terpuji. Sebagai generasi muda, saya yakin akan perubahan itu...


Dikutkan dalam Parlemen Modern 2015