Tuesday, January 31, 2017

Asal Usul Nama Desa Lamongan

Kantor Desa Lamongan

Monday, January 30, 2017

Pengantar Penelitian dalam Pendidikan [Resensi]

Buku Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (Koleksi Pribadi) 

Saturday, January 21, 2017

[MELAWAN] Lupa Cara Berdemokrasi

Demoksai (Sumber Gambar)
Belajarlah dari Barat, Tetapi Jangan Peniru Barat. 
Melinkan Jadilah Murid dari Timur yang Cerdas 
(Tan Malaka)

Pemilu presiden dan wakil presiden 2014 sudah lewat, ketika itu, kita sempat terkuras dan "terbelah" menjadi dua. Tapi, kita patut berbangga, sepanas apapun tensi nya, kita sudah mulai bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Kini, menginjak akhir tahun 2015, kita dihadapkan lagi dengan tantangan berdemokrasi baru, yaitu pemilu serentak yang dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam sejarah Indonesia, pemilu serentak yang akan dilaksanakan tanggal 9 Desember 2015 besok adalah yang pertama.

     Fakta tersebut menunjukan bahwa tantangan pesta demokrasi besok sangat berat. Masyarakat berbagai daerah di Indonesia akan berpartisipasi, dan partisipasi inilah yang akan menentukan arah masa depan disetiap daerah minimal 5 tahun ke depan. Pertanyaanya yang muncul di benak kita, apakah kita sudah siap untuk "berpesta" lagi? Apakah cara berdemokrasi kita sudah benar?

     Sejak reformasi 1998, Indonesia sudah beberapa kali melakukan pesta demokrasi yang boleh dikatakan cukup "sukses", dunia sudah mengakui bahwa Indonesia sebagai negara dengan demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tapi, dibalik "kesuksesan" pesta demokrasi yang sudah kita lakukan, masih banyak persoalah yang masih membayangi kehidupan berdemokrasi kita. Berdasarkan data dari Global Democracy Ranking 2013, kualitas demokrasi Indonesia hanya menduduki peringkat 66 dari 115 negara, dengan Thailand di peringkat 65 dan India di peringkat 67, dan termasuk dalam kategori flawed democracy.5 Peringkat tertinggi di raih oleh Norwegia, Swedia, dan Finlandia. 

     Indonesia sejak lahirnya sudah memutuskan untuk menganut sistem demokrasi. Sudah 70 tahun Indonesia menghirup udara kebebasan, dan sudah banyak perjuangan, dan pengorbanan untuk mempertahankan sistem demokrasi yang kita anut ini. Meskipun sebagai negara penganut sistem demokrasi, kenapa Indonesia bulum bisa dinilai demokratis? Permasalahan itu tidak jauh dari sekitar kita, justru letak permasalahan berada pada diri kita, rumah kita, sekolah dan lingkungan kita.
  
Mengasuh Demokrasi di Rumah
Keluarga adalah pondasi awal dalam pembentukan karakter seseorang. Ibarat sebuah rumah, pondasi yang kuat akan membuat rumah tidak mudah roboh. Pembentukan karakter seseorang terletak dalam pendidikan keluarga. Umur 0-5 tahun merupakan fase awal pengetahuan seseorang, dan letak awal karakter seseorang nantinya akan dibentuk. Oleh karena itu, keluarga menjadi alat yang sangat efektif dan fundamental dalam menumbuhkan kultur demokrasi di Indonesia.

     Penanaman demokrasi dalam keluarga dilakukan melalui penerapan pola asuh yang demokratis. Pola asuh demokratis menurut Baumrind (1967) adalah pola asuh yang mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka dan merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak. Menurut psikolog Tika Bisono, pola asuh demokratis menuntut orang tua bersikap rasional dan selalu mendasari tindakannya dengan pemikiran. Mereka juga memahami kemampuan anaknya sehingga tidak memberikan ekspektasi yang menekan. Orang tua demokratis memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan membebaskan anak dalam memutuskan suatu tindakan. Apabila hendak menasehati, orang tua demokratis selalu melakukannya dengan pendekatan yang hangat. Aturan yang diberikan berdasarkan pada alasan yang logis, jadi tidak asal suruh. Hal ini akan membentuk karakter anak yang bebas tetapi bertanggungjawab.6 

     Sayangnya, masih banyak keluarga yang tidak menerapkan pola asuh demokratis dalam rumah tangga. Hal ini terlihat jelas dari budaya paternalisme yang masih mengakar kuat pada mayoritas keluarga Indonesia. Budaya ini mengedepankan ayah sebagai orang yang memiliki wewenang paling besar dalam keluarga. Keluarga yang bersifat paternalistis cenderung menganggap anak sebagai individu yang belum dewasa, sehingga anak cenderung overprotected atau terlalu dilindungi dan hampir tidak memiliki wewenang untuk mengemukakan pendapatnya.7 Hal ini menentang salah satu syarat dasar terselenggaranya demokrasi di bawah Rule of Law, yaitu poin nomor 4 yakni kebebasan untuk menyatakan pendapat.8 

     Budaya paternalisme bertalian dengan pola asuh otoriter, yang merupakan pola asuh yang menuntut anak untuk mengikuti aturan ketat yang ditetapkan orang tua. Pola asuh otoriter menurut Baumrind cenderung gagal memberikan alasan akan aturan yang diberikan, namun aturan tersebut tetap harus dituruti karena orang tua lebih berwenang dan anak dianggap belum dewasa. Ini akan menyebabkan anak melakukan sesuatu atas dasar keharusan, bukan karena mereka mengerti mengapa hal tersebut harus dilakukan. Anak pun tumbuh menjadi individu yang memiliki inisiatif yang minim dan daya kreasi yang rendah sebab jarang dituntut untuk berpikir dan membuat pertimbangannya sendiri. Sebagian besar dari keputusannya adalah hasil proyeksi keinginan orang tuanya. Anak menjadi bidang proyeksi dari keinginan orang tua. 

     Budaya tersebut akan membuat anak menjadi tidak dekat dengan orang tuanya. Hal ini membuat anak menjadi enggan mengemukakan pendapatnya, sebab tidak akan dipandang sebagai lawan bicara yang setara. Padahal, keluarga adalah ruang paling aman dan paling krusial bagi seorang anak untuk mengemukakan pendapat. 

     Orang tua dengan pola asuh otoriter memiliki ekspektasi terhadap anak untuk selalu datang dengan hal-hal yang menyenangkan, seperti hasil ulangan yang bagus atau bentuk prestasi lainnya. Anak pun menjadi enggan menceritakan masalah yang dihadapinya dan cenderung menyembunyikan atau bahkan memutarbalikkan fakta agar orang tuanya senang. Rumah tidak lagi menjadi tempat paling nyaman bagi anak, apalagi tempat untuk penanaman budaya demokrasi. 

Sekolah Demokrasi di Sekolah-Sekolah
Sebagai lembaga yang memiliki ikatan kuat dengan anak dalam rentang waktu 12 tahun dari SD sampai SMA, sekolah dapat menjadi sumber paparan budaya demokrasi yang paling besar dalam hidup seorang anak. Penanaman demokrasi di sekolah dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dengan membentuk soft skills, atau seperti diperkenalkan oleh Robert Strenberg dari Universitas Yale, successful intelligence (SI). SI dipercaya lebih penting daripada hard skills. Daniel Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosi (EQ) berkontribusi sebanyak 80 persen pada kesuksesan seseorang, sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanya memiliki kontribusi 20 persen. 

     Sungguh disayangkan bahwa sistem sekolah konvensional di Indonesia tidak mendukung pembentukan SI tersebut. Data dari TIMSS 2007 (Trends in International Math and Science Survey) menunjukkan bahwa hanya 1 persen dari siswa Indonesia memiliki kemampuan berpikir tinggi (high order thinking skills/HOTS) yakni kemampuan untuk mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah nonrutin, serta mengambil kesimpulan data. Angka ini jauh kalah dibandingkan dengan Singapura, Taiwan, dan Korea yang mencapai lebih dari 40 persen. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan berpikir rendah (low order thinking skills/ LOTS) di Indonesia mencapai 78 persen, dengan Singapura, Taiwan, Korea, Jepang dan Hongkong hanya di bawah 15 persen. 9 

     Ratna Megawangi menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh sistem sekolah konvensional di Indonesia yang terlalu berorientasi akademis, dengan proses yang menekankan pada metode menghafal, latihan berulang/drilling, dan pengajaran satu arah. Orientasi tersebut hanya melatih kemampuan berpikir rendah dan berpotensi negatif terhadap pembentukan SI, sebab hanya mengondisikan siswa untuk belajar demi lulus ujian. Setelah ujian berakhir dan siswa telah lupa seluruh hafalannya, siswa tidak punya keterampilan apa-apa lagi karena tidak disiapkan kemampuan menganalisis dan mengolah informasi yang membutuhkan kemampuan berpikir tinggi.

     Siswa Indonesia menjadi terbiasa disuapi. Diajarkan “apa” yang mereka harus pikirkan, bukannya “bagaimana” cara berpikir. Akibatnya lulusan yang dihasilkan hanya sekadar baca atau tahu tentang suatu masalah, namun tidak dibekali kemampuan yang mencukupi untuk melakukan bagian yang paling penting: menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya, siswa mengetahui apa itu G30S/PKI dan kapan terjadinya tanpa mengerti mengapa peristiwa tersebut terjadi atau bahkan apakah sumber yang dibacanya itu dapat dipercaya. 

     Evaluasi pembelajaran nasional, yakni Ujian Nasional (berdasarkan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Kriteria Kelulusan dan Penyelenggaraan Ujian Nasional), yang menggunakan sistem pilihan berganda tidak sama sekali berkontribusi untuk memperbaiki keadaan. Sistem seperti ini dengan hanya satu jawaban yang benar dari pilihan yang diberikan memaksa siswa untuk menghafal jawaban mutlak dari sebuah pertanyaan, tanpa ruang untuk berpikir fleksibel dan mencari alternatif. Akibatnya, siswa biasa dididik untuk melihat hal secara hitam dan putih dan tidak kenal dengan sisi abu-abu. Cara berpikir tersebut juga membentuk karakter takut salah, yang akan menyebabkan siswa mudah terombang-ambing dan memiliki sifat ikut-ikutan atau bertahan pada mayoritas/zona aman agar tidak disalahkan. Sistem yang diterapkan berorientasi pada mendapatkan nilai bagus, sehingga siswa pun dilatih untuk mengabaikan proses dan mementingkan hasil yang dapat menjadikannya melakukan segala cara demi mendapatkan hasil yang bagus. 

     Hal ini dengan keras mempersempit ruang untuk terbentuknya masyarakat yang demokratis. Siswa terbiasa melihat hal secara benar-salah, merasa paling benar, dan tidak menerima perbedaan. Orientasi nilai membuat siswa terdorong menyontek dan berbuat curang agar mendapatkan nilai yang bagus. Tidak heran jika banyak politisi yang melakukan segala cara seperti politik uang, penyuapan, dan manipulasi agar dapat terpilih untuk menduduki kursi pemerintahan. 

Menuju Generasi Emas
Sebuah studi yang dilakukan oleh Yonk dari Utah State University dan Profesor Shauna Reilly dari Northern Kentucky University menyimpulkan bahwa warga negara dengan kualitas hidup yang lebih tinggi lebih terlibat dalam proses demokrasi daripada warga negara dengan kualitas hidup rendah. Penemuan ini dapat menjelaskan mengapa negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia dan Denmark menempati peringkat 10 teratas demokrasi terbaik dunia. Berdasarkan Where-to-be-born Index 2013 (sebelumnya disebut Quality-of-life Index) yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit, negara-negara tersebut menempati peringkat 3,4, dan 5 kualitas hidup terbaik di dunia. Indonesia menduduki peringkat 71. 10 

     Denmark dinobatkan sebagai negara terbahagia di dunia berdasarkan World Happiness Report 2013. Beberapa dari enam faktor yang berpengaruh di antaranya adalah dukungan sosial dan kebebasan untuk memilih dalam hidup. Orang tua di Denmark dinilai memiliki daya dukung tinggi terhadap anak, yang disebabkan oleh daya dukung negara yang tinggi terhadap orang tua.11 Rata-rata jam kerja di Denmark 1.546 jam per tahun, lebih sedikit dari rata-rata berdasarkan OECD yang mencapai 1.765 jam.12 Hanya 2 persen pegawai bekerja dengan jam kerja yang panjang, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 9 persen. Hal ini berarti orang tua memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan waktu yang lebih banyak bersama anak mereka. Rendahnya stres membuat orang tua lebih rasional dalam menghadapi anak, yang akan berdampak pada lebih mudahnya penanaman pola asuh demokratis. Waktu yang banyak mempererat kedekatan orang tua pada anak yang akan membuat anak nyaman bersama orang tua dan lebih leluasa untuk mengemukakan pendapat. Belanda, negara yang menempati peringkat 6 kualitas demokrasi dan peringkat 8 kualitas hidup, memiliki rata-rata jam kerja tersedikit di dunia dengan 29 jam per minggu.13

     Selain itu, implementasi pendidikan di negara-negara tersebut juga sudah bergerak menuju pembangunan SI. Megawangi menyebutkan bahwa banyak negara maju yang tidak memberikan nilai apalagi ranking pada siswa kelas rendah (SD atau SMP). Swedia hanya memberikan penilaian deskripsi verbal tanpa skala angka hingga siswa menginjak kelas IX. Begitu pula dengan Finlandia. Evaluasi siswanya menggunakan esai, reasoning, dan pemecahan masalah, mengembangkan kemampuan berpikir tinggi. Kedua negara ini berdasarkan TIMSS dan PISA (Programme for International Student Assessment) menduduki peringkat tertinggi pendidikan dunia. 

     Penerapan kurikulum yang menuju pembangunan SI sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia, namun baru pada sekolah-sekolah progresif dan sekolah-sekolah internasional yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB). Meskipun masih menggunakan skala angka, kurikulum IB menggunakan kriteria dan deskriptor yang jelas untuk setiap skor yang diberikan. Skor maksimum tidak selalu 10, melainkan tergantung pada kriteria yang diujikan.14 Penerapan Personal Project untuk syarat kelulusan Middle Years Programme (MYP) dan Extended Essay untuk syarat kelulusan Diploma Programme (DP) jelas menuntut kemampuan berpikir tinggi.

     Akhir kata, demokrasi di Indonesia masih bersifat sangat superfisial. Perlaksanaan Pemilu yang mendongkrak partisipasi hanyalah demokrasi pada kulit luarnya saja. Secara substansial, masyarakatnya belum menganut demokrasi sebagai asas berbangsa dan bernegara, tercermin jelas dalam kehidupan rumah tangga dan penerapan sistem pembelajaran dalam sekolah.

     Pembenahan terhadap fenomena ini harus dilakukan secara sinergis oleh semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun lembaga-lembaga yang bersangkutan. Orang tua perlu menanamkan pola asuh yang demokratis dalam rumah tangga dan mengedepankan pendekatan partisipatif daripada otoriter. Anak tidak menjadi proyeksi dari keinginan orang tua, melainkan individu bebas yang berhak menentukan keputusannya sendiri sebagai bagian dari masyarakat demokratis. Orang tua harus dapat mengendalikan kapan bersikap sebagai orang yang dituakan dan kapan bersikap seperti teman kepada anak. Meluangkan lebih banyak waktu untuk anak sangatlah penting. Pada akhirnya, kesuksesan karir tidak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaan dan kepuasan dari kesuksesan mendidik anak. 

     Pemerintah, di sisi lain, perlu membenahi sistem pendidikan di negeri ini. Seperti kata Tan Malaka, “Belajarlah dari Barat, tetapi jangan menjadi peniru Barat. Melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas”. Indonesia perlu belajar banyak dari sistem pendidikan di negara-negara Barat yang berhasil mendukung pembentukan SI pada siswa-siswanya. Guru patut diperlakukan sebagai tenaga profesional yang setara dengan dokter, insinyur, atau penegak hukum, sebab di tangan merekalah masa depan generasi muda dibentuk. 

     Indonesia telah jatuh bangun bermetamorfosis dari rezim yang otoriter menuju keterbukaan yang begitu luas. Sekarang tinggal bagaimana kita membangun keluarga dan lingkungan pendidikan yang dapat menjadi pondasi-pondasi kokoh dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi di negara ini. Semua itu dapat dimulai dengan merubah sikap. Dari sikap pesimis akan bobroknya keadaan, menjadi sikap optimis akan adanya perubahan. Dari sikap mengkritik akan kesalahan-kesalahan yang ada, menjadi sikap meluruskan agar menjadi benar. Dari sikap yang hanya pasif menerima keadaan, menjadi sikap yang aktif menjadikannya lebih baik. Dari masyarakat yang masih jauh tertinggal, menjadi masyarakat yang dengan sepenuh hati menjunjung tinggi demokrasi sebagai asas berbangsa dan bernegara. Mari mulai dari sekarang.


Aku Ini Binatang Jalang:Kumpulan Puisi Sejak 1942-1949 [Resensi]

arifsae.com

Identitas buku 
Judul Buku : Aku Ini Binatang Jalang
Pengarang : Chairil Anwar
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Kota Terbit : Jakarta
Tahun terbit : Cetakan ke-20: Juni 2016 (Cetakan Pertama, Maret 1986)

Resensi Buku
Buku ini diberikan pengantar oleh Nirwan Dewanto pada tahun 2011 lalu. Dalam pbbengantarnya, Nirwan mengatakan puisi Chairil merupakan kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus. Pada suatu masa, kita harus membunuh si penyairnya, karena riwayat penyair hanya memisahkan tindak pemaknaan kita, begitu kata Nirwan.

Dalam buku ini, kumpulan puisi-puisi dimulai sejak tahun 1942 hingga akhir mendekati Chairil meninggal pada tahun 1949. Meskipun dalam beberapa pusinya, banyak terjadi perbedaan kata antara versi DCD (Deru Campur Debu) dan versi KT (Kerikil Tajam dan yang Terampas dan Yang Putus). Sajak-sajak yang dimuat dalam buku ini merupakan koleksi Chairil ditambah dua puisi saduran, termasuk saduran Karawang-Bekasi.

Penyusunan buku ini didasarkan kepada penyusunan koleksi ini disesuaikan dengan sistematika HB Jasin, yaitu dengan diurutkan dengan kronologis. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca mengetahui proses tulisan puisi Chairil dari tahun 1942 sampai 1949. Pada akhir puisi, diambah dengan surat-surat kepada HB Jasin, sahabat dekat Chairil. Kemudian disertakan juga berbagai bibliografi mengenai Chairil dan karyanya.

Sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah puisi Chairil dari karya-karyanya, yaitu (1) Deru Campur Debu (Jakarta: Pembangunan, 1966); (2) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (Jakarta: Dian Rakyat, 1981); (3) Tiga Menguak Takdir (Jakarta: Balai Pustaka, 1950); (4) HB Jasin (ed.), Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1983) dan HB Jasin (ed.) Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (Jakarta: Balai Pustaka, 1975).


Diakhir penutup, diberikan Kata Penutup oleh Supardi Djoko Damono, ditulis sejak 1985. Menurut Supardi, tidak ada manusia yang bekerja secara sempurna. Sebagian besar sejak Chairil selayaknya tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajak terbaiknya menunjukan bahwa dia telah bergerak begitu cepat didepan sendirian. Sehingga banyuak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kecerdasan yang tinggi, katanya.

Pada masanya, Chairil bekerja sendirian, dialah pelopor tahun angkatan 45 yang pada masanya negeri ini sedang dirundung masalah penjajahan Jepang dan masa revolusi, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi gaya bahasanya saat itu. namun tidak bisa dipungkiri, keinginan Chairil untuk “hidup seribu tahun lagi” nampaknya akan terrealisasi. Karya “AKU” ini merupakan salah satu karyanya yang terus dikaji hingga kini, bahkan saat beberapa katanya menjadi jargon, seperti “Hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekalo berarti sudah itu mati”, “Kami hanya tulang-tulang yang berserakan” dan masih banyak lainnya. 

Untuk menutup resensi ini, berikut akan disampaikan salah satu puisi yang sangat fenomenal, yaitu AKU.


AKU

Kalau Sampai Waktuku
Ku Mau Tak Seorangpun Kan Merayu Tidak Juga Kau

Tak Perlu Sedu Sedan Itu

Aku Ini Binatang Jalang
Dari Kumpulannya Terbuang

Biar Peluru Menembus Kulitku
Aku Tetap Meradang Menerjang

Luka Dan Bisa Kubawa Berlari
Berlari
Hingga Hilang Pedih Peri

Dan Aku Akan Lebih Tidak Peduli

Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi

Maret 1943

Kala Cinta Mulai Menyapa [Resensi]


arifsae.com


Identitas buku
Judul Buku : Kala Cinta Mulai Menyapa
Pengarang : Azam Syukur Rachmatulloh
Penerbit : Diva Press
Kota Terbit : Jogjakarta
Tahun terbit : Cetakan pertama tahun 2005

Resensi Buku
Buku ini terbagi kedalam 4 bab besar yang disetiap bab-nya memuat sub-bab yang bervariasi. Dalam Bab pertama, buku ini membahas tentang berbagai trend yang merusak berbagai moral generasi muda, seperti trend “Jilbab Telanjang”, yang memang menjamur dimana-mana. Penulis memperlihatkan fakta dilapangan tentang Jilbab Telanjang. Perempuan yang berjilbab tapi mojok dengan kekasihnya menjadi sorotan, kemudian dilanjutkan untuk berboncengan bareng dan lain-lain. 

Pada Bab pertama ini, pembaca diajak untuk melihat realita dikampus-kampus yang menjamur seperti terkenalnya istilah “Ayam Kampus”. Sebuah istilah yang disandangkan untuk kaum perempuan “menjajakan” dirinya kepada para pemburu seks bebas. Faktor-faktor ekonomi, gengsi dan haus hiburan inilah yang membuat para “Ayam” mau terjun didunia hitam ini.

Pada Bab dua, kita diajak untuk melihat realita dunia kos-kos an dikampus, menjamurnya kehidupan kos-kosan yang memperlihakan kebebasan pergaulan yang menakutkan. Ibu kos yang tidak ada, rela tidak kuliah demi berdua. Akhir-akhirnya, terjerumus kepada zina alias seks bebas yang menjadi hal biasa didunia kos. Solusi yang ditawarakan adalah, perdekatkan dengan Allah, memperbanyak shadaqoh, dan mentadaburi Al-Quran. 

arifsae.com

Pada Bab tiga, penulis memperingatkan bahayanya internet, meskipun banyak sisi positifnya, sepreti mengakses berbagai informasi, menjelajaihi dunia, tapi dibalik itu juga tersimpan bebagai bahaya yang mengintai. Hal ini diperingatkan oleh Prof. Dr. Syaitonnirojim, alias syaitan. Mereka menggoda dengan berbagai kehausan seperti kepuasan wawasan seks, dan lemahnya pertahanan diri. Dampak yang ditimbulkan juga sangat berbahaya, seoerti over fantasi seks, komunikasi imaginer dan kencanduan cyberseks.

Hal-hal membahasakan ini memang ditengartai karena maraknya chating yang dipergunakan untuk saling memberikan informasi diri yang akhirnya terjebak kedalam cyberseks. Kemudian Bab empat, membicarakan tentang pacaran yang menjamur diberbagai sisi. Kelakuan anak jaman sekarang yang “menghalalkan” pacaran, ujung-ujungnya mereka melakukan seks pra nikah, alias zina. Penyakit kelamin menjamur, banyak remaja yang terkena penyakit ini. Lebih fatal, mereka para perempuan menyandang status “hamil diluar nikah”.

Parahnya, mereka bukan hanya termakan penyakit kelamin, tapi ketika mereka hamil, mereka malu dan akhirnya melakukan aborsi. Perbuatan yang sangat dilaknat oleh Allah SWT. Bagian terakhir dari buku ini adalah, say no to pacaran. Katakan tidak pada pacaran, karena dunia pacaran merupakan dunia hitam yang efek negatifnya akan ditanggung seumur hidup. Oleh karena itu, katakan tidak pada pacaran, begitulah penulis memberikan pesan kemada remaja.

Buku ini menyajikan berbagai sisi gelap dari pacara, agar para generasi muda tidak melakukan aktifitas itu. Banyak hal lain yang mendorong untuk dilakukan oleh para remaja untuk mendekatkan kepada prestasi dan waktu yang produktif. Penulis juga mengajak untuk mulai merenungi diri dan mencoba mengambil sikap yang tegas untuk memutihkan diri dan meninggalkan sisi gelap pacaran.

Bahasa yang digunakan oleh penulis juga sesuai dengan target pembacannya, remaja. Kekurangan dalam buku ini adalah aspeknya yang kurang luas, dan kurangnya membicarakan dari sisi agama. Demikian resensi buku “Kala Cinta Mulai Menyapa”.

Thursday, January 19, 2017

Mencari Kejujuran [Cerpen]


Jam dinding sudah menunjukan pukul 01.00 WIB, suara brrrttt brrrrtttt dari printer terdengar dikesunyian malam. Kelengkapan berkas-berkas lamaran untuk melamar dibeberapa sekolah sudah selesai tersusun. Rasa kantuk yang ditahannya semakin menjadi-jadi. “Huftt....mau tidur dulu aah, tapi baiknya aku bereskan dulu ini semua.” batinnya.
Rencananya lamaran itu akan dia kirim via pos besok. Ada beberapa yang diantarkan langsung. Tapi yang lainnya harus pakai pos karena memang jaraknya yang lumayan jauh. Laptop dan printer sudah dia matikan dan membereskan kertas-kertas yang berserakan. Dihembuskannya nafas dalam-dalam, “Allhamdulilah, plong!” senyum lega terbentuk dibibirnya. Dia beranjak kekamar tidurnya dan melihat isterinya sudah nyenyak tertidur.
            Adzan subuh sudah berkumandang, suasana dingin yang menusuk tulang merebak keseluruh ruangan rumah. Selimut tebal tiba-tiba ditarik pelan. “Mas, bangun, shubuhan dulu?” dia kaget. Agak malas jawabanya, “Heeemmmm.”, dia kemudian bangun menuju tempat wudhu. Setelah melaksanakan sholat Shubuh terselip do’a supaya lamarannya ada yang berhasil. Pagi nanti akan dia kirimkan lamaran ini via pos 10 dan yang 5 akan diserahkan sendiri ke sekolahan yang jaraknya dekat. Dia sempatkan jalan pagi disekitar rumahnya. Setelah selesai jalan pagi, dia menuju dapur untuk minta dibuatkan kopi oleh istrinya.
            “De, tolong buatkan kopi donk.” Istrinya yang sedang sibuk didapur segera mempersiapkan kopi pesanan suaminya. “Tadi malam tidur jam berapa mas?” tanya isterinya sambil tanganya terus meracik kopi.
            “Sekitar jam 1 malam, nanti aku coba kirim lamaran ke kantor pos, sudah tak buat 15 rangkap, yang 5 mau aku antarkan sendiri, semoga ada yang berhasil.”, dia menjawab pertanyaan istrinya sambil mengambil handuk untuk siap-siap mandi.
            “Iya, semoga berhasil ya mas, ada sekolah yang manggil njenengan, ini kopinya tak taruh meja”. Jawaban suaminya hanya singkat, “Iya.”, dan kemudian beranjak kekamar mandi. Dia khwatir isterinnya kembali menanyakan pertanyaan yang lebih banyak . Meskipun istrinya tidak banyak menuntut, tapi perasaan tidak enak dalam hatinya masih berkecamuk karena sudah 6 bulan sejak lulus S1 hanya mengajar di SKB paket C. Dia mengenal istrinya dikampus tempat mereka kuliah, mereka beda jurusan. Dia menikahi istrinya setelah 1 bulan kelulusannya dengan cara yang sederhana. Baginya menikah muda adalah cita-citannya dari dulu. Urusan rezeki, dia percaya akan diberikan jalan oleh Allah. Istrinya sudah menjadi guru SD. Setelah istrinya berangkat, diapun menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan sedang.
***
Matahari sudah mulai menampakan hangatnya ketika dia sampai. Setelah motornya dimatikan, dia melangkah memasuki kantor pos. Jam sudah menunjukan 09.45 WIB. Berkas-berkas dikeluarkan setelah mengambil nomor antrian. Dan tiba-tiba, “Dorrr....” ada suara mengagetkannya dari belakang. Karena kantor pos yang dia datangi merupakan kantor pos terbesar dikota Purbalingga, sehingga tidak terlalu melihat orang-orang disekitarnya.
Astaghfirulloh, Ajiii. Tak kira siapa, bagaimana kabarnya? Kerja dimana sekarang?” Tanyanya pada sosok teman satu jurusan dibangku kuliah dulu.
Alhamdulillah baik..Aku sekarang kerja di Bank Yok. Kamu kerja dimana sekarang? Mau kirim apa nih?” Tanya balik Aji pada Yoko. Tanpa basa-basi, Aji langsung meraih tumpukan amplop dan melihat tulisan sampul amplopnya.
“Emmm, apa ini Yok? Mesti lamaran kerja ya? Belum dapat kerja?” tanya Aji. Yoko hanya mengangguk kecil. Ada rasa enggan didirinya untuk bicara dengan Aji yang terkenal usil itu.
“Mudah-mudahan berhasil Yok,” suara lirih Aji membuatnya terdiam sejenak. Runtut pertanyaan Aji tentang berapa lamaran yang sudah dikirim serta kegiatan apa saja yang dilakukan setelah lulus sarjana. Dijawabnya dengan singkat.
“Coba kamu ikuti ‘caraku’, setelah lulus daftar di Bank, pasti sudah setengah tahun yang lalu kamu bekerja.” Meskipun Aji lulusan Fakultas Keguruan, dia tidak mau menjadi guru honorer karena gajinya kecil. Ucapan Aji begitu jelas dan menusuk ditelingannya.
“Maksudmu Ji?” tanyanya ingin tahu arti dari ucapan Aji itu.
“Aahhh....masa kamu tidak tahu maksudku?” heran Aji. Sepertinya Aji menyesal terlanjur berbicara padanya lalu mengambil sikap tutup mulut. Dia jadi penasaran. Rasa engganya semula untuk bicara dengan Aji sirna. Tiba-tiba Yoko dipanggil oleh teller untuk menyerahkan berkas yang dikirim. Setelah selesai, dia kembali ketempat duduk dan melanjutkan obrolannya dengan Aji.
“Ji, sebenarnya yang seperti itu aku sudah tahu, tapi aku tidak percaya hal itu,” dia mencoba memancing Aji supaya lebih banyak bicara. Dia jadi ingat bahwa Aji mempunyai mantan pacar waktu kuliah dan mungkin akan tertarik ketika dia tawarkan no HP mantannya. Semoga ini bisa membuat Aji bicara.
“Ji, aku punya no HP nya Lulu loh,” pancingnya sambil menatap lebih serius Aji. “Hah, masa?? Mana sini, aku minta nomornya,” ternyata taktiknya jitu, dengan mengambil posisi duduk disampingnya dan pura-pura melihat sekeliling kantor pos, Aji kembali berucap dengan sedikit berbisik pelan. “Akuu.....nitip uang dan terima beres.” dia mengerutkan dahinya dan menoleh kearah Aji.
“Maksudmu?” tanyanya. Namun Aji diam. Dia makin penasaran. Dicobanya memancing penjelasan itu dengan memberikan nomor HP Lulu. Dia sikut badan temannya itu. “Emm,iya,,iya,” Aji langsung tanggap. “Aku dulu titip uang 20 Juta kesodaraku yang kerja di Bank, setelah itu kamu pasti diterima dan menikmati gaji besar kaya aku,” ucap Aji terpaksa.
“Hahh..yang bener aja Ji? Ati-ati kalau bicara loh. Mbok jadi fitnah!”
“Fitnah? Hehehe....!!” Aji tertawa kecil melihat ekspresi muka temannya itu. “Yoko,,Yoko! Ini sudah jadi rahasia umum. Teman-teman kita yang bekerja di Bank rata-rata seperti itu.”
“Kamu jangan asal ngomong Ji!” Yoko kembali menegaskan pernyataan temannya itu sekali lagi.
“Iya! Sumpah. La aku buktinya Yok. Wong kalau kamu mau, nanti tak bantu ke Om ku yang kepala sekolah, zaman sekarang mencari sekolah tanpa punya ‘chenel’ susah Yok.” Rasa ingin tahu Yoko lebih membludak dan ingin bertanya lebih jauh lagi. Tapi, tiba-tiba suara dari pegawai teller pos memanggil namanya, tanda surat lamaran sudah selesai diinput data untuk dikirimkan. Setelah selesai, mereka berpamitan.
***
            Waktu terus berjalan. Dua bulan telah berlalu sejak dia mengirimkan surat lamaran kerjannya di kantor pos. Hari itu, ada surat datang dari tukang pos. Setelah membuka suratnya, kop surat tertulis MA favorit di kota Purbalingga, tertulis perihal balasan surat lamaran. Dia teruskan kebawah, rupanya pemberitahuan bahwa pihak sekolah meminta maaf karena tidak ada lowongan guru disekolah tersebut. Ini merupakan surat pemberitahuan sejenis yang kesekian kalinya.
            Untuk kali ini dia sedikit tertekan. Dia kecewa untuk kesekian kalinya. Padahal sekolah itu merupakan MA terbaik dikotanya. Terbayang kembali olehnya, begitu repot menyusun surat lamaran itu, terbayang juga kuliah yang sudah 4 tahun dan harapan istri serta keluarganya yang ingin melihat dia mengajar disekolah formal. Meskipun sekarang dia sudah mengajar sebagai guru di SKB paket C, tapi sistem kerjannya tetap berbeda dengan sekolah formal.
Tidak lama setelah itu, HP nya berbunyi, ternyata ada sms masuk dari Aji, “Lagi dirumah tidak? Aku lagi berkunjung kerumah nasabah didesamu, kalau dirumah aku mau main nanti.” Setelah dibaca sms dari temanya itu, dia membalas bahwa sekarang ada dirumah.
Setelah sampai dirumah Yoko, Aji dipersilahkan duduk dan Yoko mengambilkan minuman untuk Aji. Jam-jam pagi memang tidak ada orang dirumah, istrinya pergi mengajar di SD, dan mertuannya pergi berjualan dipasar. Tanpa sadar ketika Yoko mengambilkan minum, Aji melihat surat pemberitahuan penolakan dari sekolah dimeja. Ketika sudah selesai menyajikan hidangan, duduklah Yoko. Aji memulai percakapan. “Sudah berapa penolakan yang kamu terima Yok?” tanpa basa-basi Aji bersuara ‘menusuk’ hati Yoko. “Sudah deh Yok, ikuti caraku saja? Mumpung bulan ini Bank ku akan mengadakan rekruitmen, kalau tidak aku bantu masukan ke sekolah Om ku, kan sebentar lagi tahun ajaran baru.”
“Mmmm, begitu ya?” jawaban Yoko hambar.
“Iya Yok, zaman gini kamu terus berpegang pada idealismu sama saja mati konyol.” Tuding Aji. Yoko sudah mulai terpancing untuk menjawabnya.
“Mati Konyol? Tidaklah! Mungkin memang belum rezekiku.” dalihnya. Dia tatap Aji. Temannya yang usil itu seperti tidak menerima dalihnya dan mendesak terus. Dari pada diam terus, Yoko menjawab terus terang.
“Ji, kamu memang ingin tahu alasanku kenapa aku tadak mau bekerja selain jadi guru, dan aku juga tidak mau menjadi guru karena chanel mu itu?” Aji cepat mengiyakan. Kemudian Yoko memulai percakapannya, “Begini Ji,” dia kembali terdiam dan menghela nafasnya.
“Heiii!” Aji mengagetkan. “Begini apa maksudmu Yok?”
“Begini. Aku tidak mau bekerja diluar dunia pendidikan karena panggilan dan pilihan hidupku, aku kuliah menimba ilmu selama 4 tahun dengan tujuan menjadi pendidik, kenikmatan tersendiri mentransferkan ilmu yang sudah dipelajari selama 4 tahun, juga menjadi bekal amalan kita diakhirat, kan ilmu yang bermanfaat salahsatu amalan yang tidak akan terputus setelah kita meninggal kelak.” Kembali diam, Aji menegaskan temannya lagi dan sepertinya belum paham maksud tersirat dari Yoko.
“Terus....? Kenapa aku tawarkan bantuan jadi guru kok malah kamu tidak mau?” Aji mengalihkan pertanyaanya pada masalah tawarannya untuk dikenalkan kepada Om nya yang jadi kepala sekolah.
“Kalau masalah itu, untuk sekarang aku lebih memilih tetap mengajar di SKB dulu, usahaku untuk mencari kerja tidak akan berhenti, aku menikmati proses ini. Bukan karena ‘dititipkan’ om kamu. Aku ucapkan beribu terima kasih, tapi memang ini pilihan hidupku, kalaupun saat ini aku belum dipanggil, aku anggap semata-mata memang belum rezekiku. Aku yakin, dari sekian sekolah, pasti ada 1 yang memang membutuhkan guru, cepat atau lambat. Aku percaya kuasa Allah.” Jawaban Yoko cukup membungkamkan Aji. Akhrinya Aji cepat-cepat mengalihkan pembicaraan setelah mengetahui jawaban sebenarnya dari temannya itu.
Setelah cukup bertamu, Aji pamit untuk melanjutkan kunjungannya kerumah nasabah-nasabah yang akan disurvey.

***
            Satu bulan berlalu setelah Aji main kerumahnya. Dia meyakini bahwa rezeki tidak akan tertukar. Mungkin saat ini belum saatnya dia bekerja jadi guru di sekolah formal. “Aku tidak boleh menyerah.” Ucapnya dalam hati, kebetulan bulan ini tahun ajaran baru hampir dimulai.

            Tidak lama berselang, ada telepon masuk, dilihatnya dari nomor baru. Bukan nomor HP, itu nomor kantor. Dia penasaran, dan mengangkatnya, “Hallo, Assalamualaikum.” Ucapnya. “Waalikumsalam, betul ini dengan bapak Suyoko Nugroho? Kami dari SMA.......” ***

Aku Tak Sayang Ibuku, ... [Puisi]


Duniaku meluas untuk menyempit
Ku pergi ke Selatan, duniaku ternyata dikakimu
Ke Barat, Timur, Utara semua sama
Duniaku memang hanya untukmu

Teringat sosok yang selalu menaburkan air mata
Lantunan doa-doa selalu penuh keyakinan
Dia cinta tapi aku biasa saja
Malah aku menyumbang air mata untuk yang lain-lainnya
Tanpa sadar, aku meniti kekosongan

Dia cinta tapi aku tak berkeyakinan
Aku diperjuangkan, kok malah melenggang lari-lari melenggang
Malah aku menyumbang air mata untuk yang lain-lainnya
Tetesan air mata selalu dia sumbangkan
Tanpa sadar, aku membuka jalan kehancuran

Ketika peringatan-Nya menghampiri
Hatiku bercermin kusam
Hatiku merasa muram
Mukaku terasa masam
Antara hidup sehangus mati

Runyam....
Masa depan terlihat buram
Hidup jadi segosong mati
Tubuh jadi sematang mumi

Apa aku akan mati?
Ku lihat ragaku utuh
Ku rasa menyawa nafas
Ternyata aku masih didunia

Sejak saat itu, ku sadar ada dia
Sepenuh sayang, aku tersayang disayang-sayang
Kelinglunganku jadikanku terbelenggu
Keblingeranku jadikanku tak mau tau
Kehidupan tanpamu tak akan bisa hidup

Ternyata...
Kecintaan yang dia beri, kebahagiaan yang dia ingini
Tak kenan aku berhura pada duniaku
Egoisku yang seharga bangkai
Dia ingin aku bahagia tanpa berharap dia dibahagiakan

Cintanya, menaklukanku
Kotor jijiknya aku pada diriku
Dibalas cinta nya, kasih belaianya
Cintamu bagai alam semesta untukku
Sanggupkah ku memberikan yang sama?

Aku tak sayang ibuku...
Jika aku siap dapat murka-Nya
Jika ingin duniaku porak-poranda
Jika ingin akhiratku di neraka
Aku ingin meminum basuhan kakikmu
Dalam diriku ada dirimu, maafkan aku ibu..


Purbalingga, 30 September 2015

Pembalasan Pohon [Cerpen]

Pohon Kami
Karya Naira

Waktu masa lalu,kami punya pohon yang mungil
Yang kadang kami sirami dan tersirami air hujan
Dan juga terpancari hangatnya matahari
Disitu aku dan teman-teman bermain
Namun, kini...
Sebentar lagi hilang dari muka bumi
Waktu demi waktu selalu kami tunggu
Tapi sebentar lagi, pohon kami akan mati
Banjir air dimataku..

                                                                                     02-02-2016

            Pohon-pohon itu sebentar lagi akan terkapar ditanah. Tempat bermain yang nyaman untuk anak-anak, rumah yang rindang untuk burung, semut, dan hewan kecil lainnya. Menjadi tempat paling tentram untuk berkumpul, seperti tempat rapat orang-orang dikantoran. Kadang menjadi terminal para pedagang keliling yang menjajakan dagangannya dikomplek perumahan kami.
            “Apa salahnya pohon itu, Ma? Kok pohonya ditebang? Apa mereka tidak paham dengan global warming?” Anakku yang baru menginjak 7 tahun saja sudah tahu global warming, bisa membuat puisi pula.
            “Nanti kita tanam pohon yang lain ya, Sayang?”
            “Tapi menanam pohon itu kan lama menunggu besarnya, Ma.”
            “Kalo kita sabar pasti tidak lama kok.”
            “Kenapa sih mereka tega, Ma?” Tanya anakku lagi, kini matanya kelihatan sembab, tanda kesedihan mendalam yang terpancar diraut mukannya.
            “Katanya pohon-pohon itu daunya menimbulkan banyak sampah, akarnya juga merusak bangunan disekitarnya.”
            “Kok mereka yang repot, pohon itu kan ada didepan rumah kita? Yang kena sampahnya juga bukan mereka? Betul kan, Ma?” Aku hanya mengiyakan, sembari kuelus kepalannya yang sejak tadi bersandar dibadanku. Meskipun pohon itu memang bukan punya kami pribadi.
            “Siapa sih Mah, yang mulanya bicarakan soal penebangan itu?” Tanya anakku penuh kesedihan.
            “Banyak, Sayang. Orang-orang kan juga cape setiap hari harus menyapu daun-daunnya.” Aku mencoba memberikan alasan sekenanya.
            “Ya sudah, nanti aku bantu menyapukan setiap sore. Bener Ma, aku janji, yang penting pohon itu jangan ditebang. Lagipula kasihan kan burung-burung itu. Ada rumah burung diatasnya, Ma?”
            Tapi sudah terlambat. Anakku tidak akan membersihkan sampah-sampah itu. Daun-daun yang rindang itu sudah ambruk sebelum bertemu dengan sinar matahari. Tinggal hatiku sesak, mataku sembab. Sebentar lagi akan jebol. Perasaan anakku begitu dalam kepada pohon yang tumbuh didepan rumah kami itu. Perlahan ketika golok Bang Giman bergerak. Kemudian ranting-ranting itu meluncur ketanah bergantian. Mata anakku terlihat nanar. Tak lama kedua pemilik mata kecil itu menghilang. Meninggalkan goyangan korden yang tertetesi air mata anakku. Terdengan raungan suara anakku didalam kamar. Terkunci, dikunci!
            Orang-orang mulai berdatangan. Tangan-tangan itu membantu dengan sigap Bang Giman untuk menebang pohon utamanya. Beberapa orang menarik tambang dari arah kiri, yang lain memberikan aba-aba. Dan pohon itu sudah dieksekusi. Sekarat! Oh anakku, begitu ramai sekarang pohon halaman depan kita. Kini beberapa orang berebut mengambil bagian-bagian tumpukan kayu. Sementara dari dalam kamar, anakku menjadi-jadi dengan tangisannya.
            Anakku hanya merindukan Semut Rangrang yang bekerja berkejar-kejaran. Menggelar tikar dibawah pohon sambil bermain warung-warungan. Uangnya dari daun-daunan yang berjatuhan untuk pembayaran. Vonis yang dijatuhakn para tetangga sungguh hebat, hanya karena dedaunannya mengotori lingkungan dan akarnya merusak bangunan. Orang-orang lupa akan kehebatan manfaat pohon itu, dialah awal munculnya kebersamaan diblok perumahan ini.
            Kami adalah pendatang yang awalnya tidak saling mengenal. Rutinitas yang menyibukan sehari-hari sangat menyita waktu, mengakibatkan pertemuan antar tetangga sangat jarang terjadi. Hingga pohon itu tumbuh dengan subur. Kami menyiraminnya dengan rutin. Kami memagarinya agar tidak terinjak-injak, awalnya anak-anak yang bermain, lama-kelamaan para ibu-ibu yang awalnya mengawasi anak-anak bermain akhirnya berbincang kesana kemari. Dan akhirnya menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk sekedar sharing rumah tangga. Ditempat itu, kami bertukar informasi. Kami jadi tahu siapa yang sedang sakit, siapa yang butuh pertolongan, atau hal-hal kecil yang tidak penting seperti mencari baju yang bagus, sandal yang murah.
            Yang lebih menyenangkan adalah singgahnya para pedagang. Seperti tukang sayur, tukang bubur, tukang siomay, dan tukang-tukang yang lain. Aku tidak akan berjalan jauh untuk membeli itu semua. Lebih dari itu, pohon itu menjadi sarang-sarang burung. Biasanya buah-buahnya menjadi santapan kelelawar dimalam hari, meskipun bekas-bekas makanan kelelawarnya bermuntahan didepan halaman, namun aku selalu membersihkannya. Belum lagi suara burung cuit cuit yang menghadirkan keasrian alam ditengah perumahan.
***
            Memang benar, semua berjalan baik. Proses penebangan berjalan lancar dan aman. Dari puncak muda sampai pangkal semua dibabat. Pohon-pohon yang sudah mengabdikan diri kepada lingkungan sekitar perumahan kami. Anak-anak, ibu-ibu, para pedagang, hingga burung dan kelelawar. Pipiku masih basah. Lebih terasa sedihnya lagi, akibat penebangan pohon itu perlahan-lahan mualai terasa. Setelah penebangan itu, perlahan sorotan sinar matahari memelototi kami dengan tajam. Tak ada belas kasihan.
            “Mama, coba lihat, burung-burung itu datang, tapi cuma berputar-putar disitu. Kasihan sekali, Ma.” Dalam hatiku bergumam mereka pasti mencari tempat yang biasanya dijadikan sandaran, untuk sekedar bertengger dibatang atau mencari tempat yang nyaman untuk membuat sangkar. Itu rengekan yang entah berapa kali aku dengar dari mulut Naira kecilku.
            “Tuh kan, Ma. Kasihan burung-burungnya, berputar-putar begitu. Mereka pasti kelaparan...”
            “Tidak apa-apa, nanti kan burungnya mencari makanan ditempat lain, mereka kan punya insting, Sayang.”
            “Tidak mau! Suara burung itu indah, pokoknya aku tidak mau burung itu pindah, Mah!”
            Mulut ini tersumbat untuk bicara. Hanya bisa diam. Tiba-tiba anakku meneteskan air matannya lagi.
            “Aduh, anak mama kok sekarang jadi cengeng begini ya?” Tak terasa mataku juga mulai menghangat. Kupeluk anakku erat-erat. Dadanya terasa mengemuruh didadaku.
            “Orang-orang disini jahat-jahat semua! Aku benci mereka, Mama..!” Aku tidak tahan lagi, pipiku juga akhirnya ikut basah.
            “Sudahlah, Nak. Daripada sedih-sedihan begitu mending kita jalan-jalan yuk, ini kan hari libur,” Ayahnya tiba-tiba mendekat memecahkan suasana haru itu.
Tapi pelukan anakku semakin erat. Dia menggelengkan kepalannya. “Pasti teman-temanku tidak mau lagi main disitu. Nanti aku tidak punya teman lagi.”
            “Tidak sayang, tempat main kan banyak, Nak...” Tiba-tiba ayahnya coba menenangkan suasana.
“Tapi kami sudah berjanji untuk buat rumah-rumahan pohon, Yah..Hikz..Hikz”
Perlahan mataku terfokus kedepan halaman rumah. Terasa sekali langit begitu terang. Kupandang halaman. Aku tersentak. Dedaunan dan bunga-bunga itu! Bertahun-tahun kurawat sekarang sudah berubah bentuk! Anthurium itu! Suplir-suplir itu!!!
            “Sayang, sebentar, Mama harus menyirami bunga-bunga itu dulu. Sekarang mereka cepat kena panasnya.”
            “Tuh kan, Ma....” Suara anakku menyalahkan.
Aku baru tersadar, dua hari sudah pohon-pohon itu ditebang. Banyak perubahan yang terjadi begitu drastis. Seperti tanaman pot ku yang layu, sudah pasti karena mereka langsung bertatapan dengan matahari. Selama ini, aku menyirami tanaman-tanamanku dua hari sekali. Tapi kali ini sepertinya harus dua kali sehari! Aku mulai kelabakan. Banyak pula yang sudah lunglai batangnya. Dua hari ini akau tidak memperdulikannya. Inilah akibat pertama yang kurasakan setelah pohon-pohon itu ditebang.
                                                            ***
            Hari berikutnya. Aku masih termangu didepan jendela. Rutinitas baru setelah pohon-pohon itu tidak ada lagi. Mengintip situasi diluar dari balik jendel. Mirip seorang putri yang akan terkena kutukan bila tubuhnya terkena sinar matahari. Hanya menarik nafas lemah menikmati batu-batu taman yang lesu. Warna pagar mendadak kusam dimataku. Daun-daun menjadi lebih banyak berwarna coklat dibanding yang berwarna hijau.
            Sedasyat ini halamanku dianiaya oleh saudaranya sendiri? Matahari, yang sebenarnya membutuhkan sinarnya untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Tak ada gerakan apapun diluar sana. Suasana terasa sepi. Sinar matahari memantul dari logam-logam yang masuk rumah tanpa hambatan. Juga melalui jendela-jendela. Isi rumah benderang bahkan kesilauan. Ketidaknyaman ini membuatku kedalam. Lalu siap duduk untuk menyalakan televisi. Tapi lagi-lagi pantulan itu masuk boks kaca dihadapanku. Aku menelan ludah. Seekstrim inikah akibat pohon-pohon itu ditebang? Dan pantulan-pantulan itu. Seperti kutukan yang menghantui rumah ini hingga kedalam. Akhirnya kuhampiri suamiku yang sedang mengotak-atik laptopnya.
            “Kenapa, Ma? Gelisan sekali?”
            “Rumah ini mulai panas, Yah. Pantulan matahari itu membuat mata Mama silau”
            “Ya, begitulah.” Suamiku bangkit, “Siang-siang begini enaknya makan es, Ma..”
            “Sepertinya tdak ada. Tadi pagi saja Mama mau nuggu tukang bubur tidak berhenti.”
            “Terus tukang es, kemana?”
            “Ya.. Sudah lewat, Yah. Semua orang sudah tidak ada lagi yang mau singgah. Jangankan mereka, anak-anak saja sudah tidak ada. Makannya Mama bingung nih, kemana anak kita mainnya...Biasanya mereka bermain dibawah pohon didepan rumah kita..”
            Suamiku termangu..
            Akhirnya terdiam. Tatapan kami sama-sama lurus keluar. Udara semakin panas. Matahari semakin bebas menerjang tanaman-tanaman pot ku. Suasana sepi sekali. Para pedagang yang meramaikan keteduhan pohon itu sudah tidak nampak lagi. Bahkan baru saja selintas tukang sol lewat. Setelah dia melihat sesaat kearah pohon-pohon yang tidak ada lagi. Dia berlalu entah kemana.
                                                            ***     
            Lihat saja, sejak pohon-pohon itu ditebang, hari Minggu, anakku minta jalan-jalan dengan alasan dirumah membosankan!
            “Coba kalau pohon itu jangan ditabang dulu ya, Yah?” Ucapku tiba-tiba. Sementara mataku lurus kosong kejalan yang akan dilalui oleh mobil kami.
            “Mama ini aneh-aneh saja. Tenang Ma, barusan kan Ayah beli bibit Pohon Mangga. Ayah jamin, kesejukan rumah kita akan kembali lagi dengan pohon ini.”
            “Terus kalau ada yang protes lagi, bagaimana Yah?
            “Suamiku yang sedang menyetir itu menggeleng dengan tenang. “Tidak akan, nanti kita tanam dihalaman rumah kita.”
            Aku menarik nafas panjang. “Mestiya sebelum kita tebang, pohon rambutan itu sudah kita tanam.”
            “Sudahlah, Ma, tidak ada gunannya menyesali. Yang terpenting kan belum terlambat untuk menanamnya kembali...” Aku terdiam. Lalu kutoleh anakku yang sedang tidur dibelakang.
            “Naira tidur ya, Ma?” Suamiku mengikuti arah gerak kepalaku.
            “Ya, dia kecapaian mungkin, gara-gara pohon itu ditebang, kita jadi boros, Yah.”
            “Sudahlah, Ma.”
            Akhrinya aku terdiam. Kupejamkan mata. Jalan tak nampak lagi. Hanya deru mesin ditelingaku. Lalu pohon-pohon itu mengembang di alam pikiranku. Rindang sekali...
                                                            ***
            Sorenya, nampak suamiku sudah siap dengan cangkulnya dan tiga bibit Pohon Mangga. Aku mulai berani keluar. Karena seperti puteri yang takut sinar matahari, aku hanya berani keluar setelah matahari benar-benar berada disebelah Barat. Barulah tampak tetanggaku juga bermunculan. Ada yang sambil mendorong bayi, ada yang menggendong, dan ada yang menuntunnya sambil membawa tempat makan.
            “Wah, Pak Rudi sudah mau tanam pohon baru, ya?” pertanyaan itu terlontar tiba-tiba dari tetangga yang lewat, “Pohon apa itu, Pak?”
            “Pohon Mangga, Pak.”
            “Saya juga menanam pohon Blimbing Wuluh. Selain buahnya bisa dimakan, juga bisa buat obat.”
            Suamiku hanya manggut-manggut.
            “Oya. Bu..Bu Rudi sudah bertemu Bang Giman belum? Dia kan sakit setelah menebang pohon itu, Bu.” Sambil telunjuknya menunjuk pohon-pohon yang sudah rata itu.
            Aku tersentak, “Sakit apa?”
            “Katannya demam, Bu.”
            “Bu Joko tahu dari siapa?”
            “Dari Bu Taufik, kemarin dia mau minta tolong Bang Giman untuk pasang kramik baru. Tapi Bang gimannya ternyata sedang sakit..”
Aku melongo. Kutatap suamiku yang juga mendadak menghentikan menanamnya..
Malamnya suamiku berbisik, “Pohon manapun punya peran penting dalam kehidupan manusia. Kita merasakanya sendiri, beberapa pohon saja yang ditebang, imbasnya sampai kekehidupan kita. Apalagi yang jumlahnya hektaran ya, Ma? Makannya kita harus menghormati meski hanya sebatang pohon, mulai sekarang kita rawat pohon kita dan lingkungan sekitar kita.”

Aku menganggukan kepalaku...***