Monday, July 31, 2017

Asal Nama Desa Karangtengah


Sudut Desa Karangtengah

arifsae.com - Di zaman dahulu kala ada orang yang sakti mandraguna. Orang itu bernama Aji Karang yang dikenal sangat bijaksana, sehingga banyak masyarakat yang sangat menyeganinya, setiap pagi dia selalu melatih kesaktianya dengan bertapa diluar halaman rumahnya, hari demi hari dia lalui sehingga akhirnya Aji Karang memutuskan untuk mencari pasangan hidup, pagi berganti pagi Aji Karang pun menemukan wanita yang cocok untuk mendampingi hidupnya kelak, Aji Karang jantuh cinta terhapat salahsatu kembang desa yang dikenal didesanya itu, Enah namanya. 

Hidupnya serba mewah dan sedikit sombong, mendengar kabar jika sang pujaan hatinya itu memiliki sifat seperti itu, Aji Karang merasa tertantang untuk mendapatkan cintanya, Aji Karang itu merupakan orang yang tidak mampu sehingga dia berusaha untuk mendapatkan cintanya. Sehingga Aji Karang menggunakan kesaktianya untuk mendapatkan harta kekayaan yang sangat melimpah, sampai akhirnya Aji Karang menjadi orang yang sangat kaya dengan bantuan kesaktianya itu.

Setelah Aji Karang mempunyai harta kekayaan yang sangat banyak, Aji Karang memutuskan untuk langsung mencari Enah si kembang desa yang dicintainya, pada suatu hari akhirnya Aji Karang menemukan Enah disekitar halaman rumahnya, tanpa basa basi Aji Karang langsung mengajak Enah untuk mengobrol di Rumah, dan akhirnya si Aji Karang langsung melamar Enah. Akan tetapi Enah tidak mau dilamar oleh Aji Karang karena Enah masih mempunyai permintaan agar Aji Karang itu memindahkan rumahnya Enah yang sangat mewah itu ke tengah-tengah sawah.

Aji karang langsung menyanggupi permintaan Enah dan tak merasa terberatkan oleh permintaan Enah itu, karena Aji Karang mempunyai kesaktian yang sangat luar biasa, hanya membutuhkan waktu beberapa jam akhirnya rumah Enah bisa dipindah di tengah-tengah sawah yang sangat luas. Setelah melaksanakan perintah dari Enah, Aji Karang langsung menagih janjinnya Enah, akan tetapi Enah tetap tidak mau menikah dengan Aji Karang karena tidak mendapatkan restu dari orang tua, mendengar kabar itu Aji Karang langsung terkejut dan sangat kesal, akan tetapi Aji Karang tetap sabar dan mengejar cintanya Enah sang kembang desa.

Setelah hari demi hari berlalu, akhirnya Aji Karang mendapatkan hati Enah menikah dan mempunyai putra lima, dan putranya minta rumah disebelah rumahnya orang tuanya, karena disawah tersebut banyak rumah, maka atas kemauan masyarakat pada waktu itu menghendaki adanya penamaan desa, kira-kira pada tahun 1854 terbentuklah desa yang dinamakan Desa Karangtengah yang didirikan oleh Aji Karang.

Wilayah Desa Karangtengah meliputi disebelah Barat dibatasi dengan sungai Gringsing, disebelah Selatan dibatasi oleh Desa Timbang, dan disebelah Utara dibatasi oleh Sungai Pancuranmas, pada waktu dahulu Desa Timbang belum ada dan termasuk wilayah kekuasaan Desa Karangtengah.

Sebagai pendiri Desa Karangtengah adalah Aji Karang yaitu pada tahun 1854 atas persetujuan masyarakat pada waktu itu secara aklamasi diangkat menjadi Kuwu yang artinya kepala. Pengangkatan itu berdasarkan atas jasa-jasanya karena dia berpengaruh dan juga sangat disegani dengan istilah lain dia adalah orang yang sangat sakti dikampung itu. Pemerintahan kehidupan pada waktu itu sangat primitif, dan didalam jajahan Belanda kehidupan masyarakat hanyalah dari pertanian, mengolah sawah, dan mengambil hasil tanaman lain.

Begitulah sejarah singkat tentang Sejarah Desa Karangtengah yang dapat saya ceritakan kepada para pembaca, semoga dapat menambah wawasan yang berguna. Segala koreksi masih harus dilakukan, karena sumber yang penulis dapatkan masih sangat minim.

Sumber Referensi:
Wawancara dengan Bapak Soepartja pada tanggal 8 November 2016.



Friday, July 28, 2017

Berkunjung ke Museum Korps Marinir, Jakarta

Museum Korps Marinir

Sunday, July 23, 2017

Remuk (Puisi)

Kau datang ketika aku sedang berjalan.
Lalu kau hentikan aku,  dan aku menoleh padamu. Lantas ku tanyakan mau apa dirimu?
Kau hanya tersenyum seraya berkata : "Aku ingin kau mencintaiku, bahkan sebelum kita bertemu" Ah kata kata melankolis macam apa ini! 
Tapi anehnya, aku mulai menyetujui kesepakatan itu,  dan aku mulai meyakininya.
Ah. Kebodohan apalagi ini!
Lantas aku dan kau berpisah. Jarak telah menjadi penyekat yang sangat pekat.
Tiap hari ku charger rasaku,  agar tetap meyakini cinta itu. Ah kebohongan macam apa ini.  Kau mengecup keningku dengan doa. Dan aku mendekapmu pun dengan rapalan doa-doa.  Namamu tak pernah absen dari perbincanganku dengan Kekasih utamaku. Ya,  Dia lah yang selalu menatap bola mataku penuh kasih tulus,  bukan seperti dirimu.  Ah cinta macam apa ini!  Aku setiap hari menunggu kabar darimu,  tanpa kau pernah memberikan sepucuk layang rindumu padaku. Ternyata aku memang bodoh.  Aku harusnya mengerti,  bahwa kau pasti tak mengindahkan rindu padaku.
Tapi,  aku berpegang teguh pada keegoisanku,  yaitu tetap menunggu dan mencintaimu.
Sampai Pemilik Semesta menunjukkan kebenarannya. Ya. Kamu telah bersama orang lain.  Aku hancur.  Rapuh. Bukan karena masalah itu sebenarnya,  namun lebih kepada mengapa kau bisa lebih pandai berdasamuka dariku?  Hahaha. Dasar manusia bodoh.

Saturday, July 22, 2017

Sunyi (Puisi)

Aku menatap nanar,  menembus sukma perpustakaan.
Berdiam diri menunggu kehadiranmu di sudut ruang.
Tenang.
Untuk menebus rindu yang selama ini kau kirim padaku. Dan mengarungi rasa pada danau matamu. Mengajakmu kembali untuk pulang,  nanti petang.
          Aku menunggumu di sudut ruang itu
          Merindui tiap denyut nadi kehidupan bersamamu,  kekasih.
Mengalirkan gemricik melodi menyetubuhkan puing rindu pada suasana kelam.
Ah entahlah. Rindu itu selalu meneduhkan. Menentramkan relungku. Adalah pada danau matamu, kuarungi rasa yang kau tak pernah merasa.  Adalah padamu,  bercak rindu kian menamparku. Aku benci membencimu. Aku benci merinduimu tanpa kau rinduiku. Namun aku kian terkurung dalam penjara yang bernama rindu.

Jogja Lebrary Center: Surga Arsip Koran, Majalah, dan Jurnal era 1945 hingga 2000-an

Jogja Library Center dari Depan
arifsae.com - tanggal 17 Juli 2017, tepat ulang tahun istri saya. Tak ada kado istimewa dan tak ada rencana merayakanya. Bukannya tak cinta, tapi kita memaknainya dengan cara kita. Tanggal itu juga, saya dan keluarga berencana untuk mengunjungi sebuah tempat.

Tempat ini merupakan tempat kumpulan arsip-arsip kuno yang masih tersimpan rapi. Dari artikel, koran, buku bahkan jurnal hingga majalah tertata rapi disini. Tepat ini bernama Jogja Lebrary Center (JLC) yang merupakan kepanjangan tangan kanan dari Arsip ÄŽaerah Yogyakarta.

Gedung ini merupakan gedung dua lantai dan sudah termasuk kedalam cagar budaya yang dulunya adalah toko buku dan penerbit "Kolf Bunning", makanya kesan kuno jelas terasa ketika pertama kali melihatnya.

Kami menuju ke Jogja bersama keluarga. Tidak terlalu lama jarak tempuh dari kota kami (Purbalingga) menuju Jogja. Sekitar 4 hingga 5 jam perjalanan kami lewati. Tujuan saya kesini tentu ingin mencari referensi berupa surat kabar dan koran era 1960-1968. Untuk apa? Saya sedang meneliti dan menulis biografi Usman Janatin. Siapa dia? Kalau penasaran silahkan lihat DISINI.

Kami sampai Jogja sekitar pukul 08.00. Tempat JLC ini berada disekitaf Jalan Malioboro. Pusat oleh-oleh yang menyediakan kepuasan untuk melampiaskan dahaga belanja. Komplek JLC tak jauh dari DPRD Yogyakarta,  sekjtar 300M. 

Setelah memarkirkan mobil di Hotel Inna Garuda, saya berjalan kaki menuju ke JLC, karena memang tak jauh. Hanya menyebrangi jalan. 

"Akhirnya,  sampai juga. Inilah tempat surga koran lawas, tempat yang sudah lama saya incar". Begitu kataku dalam hati. 

Ketika memasuku JLC, kondisi masih sangat sepi. Karena memang pelayanan dimulai dari pukul 08.00. Ketika membuka pintu, pemandangan yang tak terkira terlihat.  "Bersih,  rapi,  tenang", menjadi hal yang tak bisa dihindarkan. 
Keadaan dari Pintu Masuk
Ketika pertama masuk, petugas akan meminta kita mengisi daftar pengunjung. Sambutan yang ramah ini membuat suasana yang nyaman lebih terasa lagi. Setelah menulis daftar pengunjung, saya dimintai identitas dan disuruh meletakan tas dan barang bawaan untuk djtaruh diloker. 

Setelah proses itu selesai, tinggal terserah kita mau menjelajahi arsip-arsip tahun 1945 sampai sekarang. Berbagai koleksi koran seperti Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Kompas, Bernas dan Suara Karya ada disini.

Ada juga koleksi majalah, seperti Djoko Lodang, Penyegar Semangat, Gatra. disini juga ada koleksi khusus Jepang, yaitu Kyoto Book Corner.

Kalau kita mau mencari salah satu koran ada pilihan alternatif pencarian. Ada dua macam model pencarian,  pertama,  secara digital.  Dan yang kedua, secara manual. 
Koleksi yang Tertata Rapi
Untuk yang digital,  memang koran-koran yang sudah sangat rapuh termakan usia,  dan biasanya korannya sudah sangat lawas, era 1940-an hingga 1998. Kita bisa mencari ini dengan menyalakan komputer dan silahkan bergelut dengan mouse.  Yang penting "wani mumet". Hahaaa

Aturan yang harus dipenuhi dan wajib dilaksanakan bahwa kita tidak boleh memindahkan file digital ke flasdisk, tidak boleh menyalakan internet. Yang boleh kita lakukan adalah memfoto dan memvedio secara mandiri. Berani mumet kan?

Untuk yang digital, memang tidak semuanya ada. Hanya koran-koran tertentu yang didigitalkan. Kalau mau lebih lengkap, kita lihat koleksi di rak dan mencari secara manual. Pencarian secara manual ini justru lebih mudah dan lebih lengkap. Karena tulisan tahun-tahun sudah terpasang dibagian depan koleksi. Jadi kita dimanjakan dengan mencari taun-taun itu. 

Aturan secara manual juga tak sulit. Tinggal kita ambil, baca sepuasnya dan yang terpenting kita mau menaruh ketempat semula. Untuk membuka koranya kita juga harus hati-hati, karena ada beberapa yang sudah sangat rapuh. 
Salah satu Koleksi dari Kedaulatan Rakyat
Tidak hanya koran saja. Di JLC ada juga koleksi yang khusus membahas tentang sejarah Yogyakarta. Tepatnya dilantai 2. Setelah puas mencari dilantai 1, saya melanjutkan untuk menuju kelantai dua. 

Suasana yang rapi sangat terasa. Ada beberapa ruang pertemuan, yang disediakan kalau kita mau berdiskusi. Semuanya bertema klasik. Karena bangunan ini juga merupakan bangunan kuno. 

Koleksi diatas masih belum didigitalisasi,  karena memang lebih banyak koleksi majalah dan buku kuno tentang Yogya. Silahkan menikmati keindahan dan surga arsip koran disini. Sepuasnya dan GRATIS TISS, Tanpa dimintai biaya apapun, yang penting "wani mumet", istilah yang diberikan istri saya. 

Tempat yang memang dicari-cari bagi siapa saja yang ingin kembali kepada memori masa lalu. Semoga kedepannya, tempat ini yang masih terkepung dideretan toko Malioboro bisa bertahan dan menjadi pendidikan bagi anak cucu kita nantinya. []

Wednesday, July 19, 2017

Asal Mula Desa Timbang Penambongan

Desa Penambonga

Timbang merupakan salah satu desa yang ada di kabupaten Purbalingga yang mempunya pantangan, desa timbang ini terletak di kecamatan penambongan lebih tepat nya bersebelahan karena hanya berbatas jembatan dan jalan raya. Timbang merupakan desa yang bisa di bilang terpencil. Di desa timbang ini ada seorang Kyai yaitu Kyai Narasoma yang memprakarsai ada nya pantangan yang harus di taati oleh rakyat timbang itu sendiri. Kyai Narasoma adalah seorang demang timbang yang membawahi desa desa Timbang termasuk desa penambongan, Purbalingga kidul, Kandang gampang dan juga yang terakhir yaitu Purbalingga lor.

Konon katanya tak seorang pun yang tinggal di desa timbang ini mengerti dari mana asal usul Kyai Narasoma ini datang ke daerah timbang. Menurut legenda yang beredar, nama Kyai Narasoma berasal dari perkataan Nara yang berarti orang dan Soma atau Suma yang berarti gemar bertapa jadi dapat disimpulkan bahwa nama Kyai Narasoma ini berarti orang yang gemar bertapa.

Dahulu ketika Kyai Narasoma mengadakan khajatan untuk merayakan pernikahan putrinya dirumah Kyai Narasoma itu sendiri pasti diadakan pertunjukan wayang kulit untuk memeriahkan acara. Dalam acara ini banyak tamu yang datang seperti salah satu nya yaitu Adipati Onje yang ikut serta memeriahkan acara tersebut. Acara ini berlangsung hingga malam hari namun pada saat setelah hidangan dikeluarkan suasana secara tiba tiba menjadi kacau balau. 

Karena insiden tersebut akhitnya acara pun di hentikan, Adipati Onje marah marah kepada Kyai Narasoma karena dia menuduh Kyai Narasoma membubuhi racun di dalan makanan yang dihidangkan untuknya karena Belakangan diketahui bahwa di dalan nasi yang di hidangkan Kyai Narasoma terdapat bintik bintik hitam yang ternyata itu adalah nasi dari beras hitam, bukan racun seperti yang Adipati Onje bayangkan. Namun, dengan tabah dan kerendahan hati yang dimiliki Kyai Narasoma dia tidak mau mengakuinya dan dia tetepa merasa tidak akan jahat kepada seluruh atasannya.

Pagi hari nya Kyai Narasoma mengumpulkan seluruh anggotan keluarga dan keluarga besar nya untuk memberikan sebuah pesan bagi rakyat timbang. Pesan itu berisi bahwa orang orang Timbang dilarang untuk menanggap wayang kulit hingga turun temurun dari masa nya, akhirnya setelah kejadian tersebut seluruh warga timbang mengikuti larangan tersebut tidak hanya timbang, seluruh daerah yang dikuasai Kyai Narasoma juga tidak diperkenankan untuk menanggap wayang kulit karena larangan tersebut kini akhirnya dinamakan Bumi Keputihan.

Selain itu juga ada asal usul nama desa timbang, nama desa timbang ini daat diambil dari seluruh rakyatnya yang dahulu sebagian besar bekerja sebagai pedagang, karena kegiatan seorang pedangang yaitu menjual hingga menimbang nimbang barang dagangannya dan kegiatan ini terus di akukan dari waktu ke waktu. Dan semua orang di desa ini sangat suka menimbang nimbang sesuatu yang menjadi miliknya karena mereka termasuk oang orang yang sangat teliti dan tidak mau merasa rugi. Sehingga setelah itu masyarakat ini lebih sering di juluki sebagai masyarakat Timbang.

Sumber Referensi: 
http://seputarpurbalingga.blogspot.co.id/2011/09/babad-purbalingga-18-kiai-narasoma.html., Diakses tanggal 2 November 2016,
Wawancara dengan ibu Suswati, pada tanggal 30 Oktober 2016.

Tuesday, July 18, 2017

Perwira VS Sehati: Bukan Sekedar di Ganti, tapi ini Masalah Hati

Saturday, July 15, 2017

Usman dan Harun, Pahlawan Kebanggaan Nasional (Selesai)

Pemakaman Usman dan Harun

Tuesday, July 11, 2017

Usman dan Harun, Pahlawan Kebanggaan Nasional (2)

arifsae.com - Masih seputar Konfrontasi dengan Malaysia, tulisan ini masih mengangkat sosok Usman Janatin dan Harun Tohir. Tulisan ini melanjutkan tulisan pertama yang bisa di baca DISINI. Selamat membaca...
KRI Usman-Harun

Korps Marinir TNI AL: Sejarah, Warna dan Emblem

Penyerahan Pandji

Monday, July 10, 2017

Usman dan Harun, Pahlawan Kebanggaan Nasional (1)

Usman Dan Harun (dok Pribadi)

Saturday, July 8, 2017

Ke Bali Aku Kan Kembali: Tour de Bali Part 3 [Habis]

arifsae.com-Bali. Sudah 3 hari kaki ini menginjakan di Pulau Bali. Hari ini, tanggal 12 April 2017, hari terakhir tour de Bali, yang berarti harus mengakhiri wisata di Bali dan kembali kerumah. Untuk wisata hari pertama bisa dilihat DISINI dan hari kedua DISINI.

Seperti biasa, hari ini dimulai dengan sarapan. Karena hari ini akan diawali dengan mengunjungi Pantai Pandawa. Sempat ragu juga panitia, memilih lokasi berikutnya. Tapi dengan beberapa pertimbangan maka dipilihlah Pantai Pandawa menjadi pilihan pertama, dan setelahnya ke Universitas Udayana. 
Tim SMANDA di Udayana
Tapi sayang. Ke Pantai Pandawa hanya dibatasi 30 menit. Kunjangan macam apa ini? kepantai hanya 30 menit. Ahh, tapi bagi saya menginjakan kaki sebentarpun tak masalah, asal kaki-kaki ini tak meninggalkan hatimu. Assekkk...

Dulu, ketika saya ke Bali belum pernah mendengar Pantai Pandawa, dan ternyata memang wisata pantai ini merupakan wisata baru. Pantai Pandawa merupakan pantai pasir putih yang indah. Pantai yang terletak di Desa Kutuh, Kabupaten Badung ini sering disebut wisatawan asing dengan nama secret beach, karena dulu memang susah dijangkau karena tersembunyi dibalik bukit. 

Saat ini, bukit itu dibelah menjadi jalan sehingga sudah sangat mudah menjangkaunya. Ketika memasuki pantai, kita akan melihat jalan turun yang meliak liuk. Jangan lewatkan untuk melihat berbagai patung Pandawa yang diletakan dipinggir dinding-dinding tebing ketika memasuki pantai. 
Nampak dari Pantai
Ada patung Pandawa, yaitu Arjuna, Yudistira, Bima dan saudara kembar Nakula dan Sadewa. Saat saya datang, jam sudah menunjukan pukul 10.00 siang. Keadaan panas yang luar biasa, membuat saya dan teman-teman guru yang lain hanya melihat keindahan pantai dari pinggiran saja.

Memang benar, keindahan pasir putihnya tak diragukan lagi. Ditambah pantai yang berwarna kehijau-hijauan menambah keindahan pantai. Wisatawan mancanegara juga terlihat bersliweran. Namun, sayang karena waktu yang mepet, maka kami harus menuju kelokasi terakhir, yaitu Universitas Udayana.
Keindahan Pantai Pandawa
Perjalanan menuju ke Universitas Udayana berjalan lancar. Ketika sampai, kita akan disajikan kekhasan bangunan Bali yang ditransformasikan pada bangunan kampus. Kami sampai disambut dengan keramahan. Dan ternyata ada sekolah lain yang sudah sampai terlebih dahulu.
Rekotrat Universitas Udayana
Acara disini sebenarnya adalah acara inti. Namanya saja Study Tour, jadi ya ada Study nya, meski banyak tour-nya.;) Acara dimulai dengan sambutan yang diberikan dari pihak kampus dan juga dari pihak sekolah masing-masing.

Setelah selesai, giliran pihak kampus memberikan pemaparannya. Mereka menampilkan keunggulan dari Universitas Udayana ini dari berbagi sisi. Kampus negeri tertua yang ada di Provinsi Bali. Tepatnya 29 September 1962, yang berawal dari cabang Fakultas Sastra Universitas Airlangga. 
Auditarium Universitas Udayana
Sekitar jam 12.00 acara selesai, diakhir dengan foto-foto dan makan siang dalam bus. Akhirnya, hari ini selesai sudah kegiatan. Kami siap-siap untuk menuju rumah yang sudah hampir satu minggu ditinggalkan.

Proses pulang berjalan lancar. Tak ada kendala. Kejadian yang menarik ketika sampai di Jogja. Pihak Tour mengadakan semacam kejutan untuk yang sedang berulang tahun. Seperti dimarah-marahi, bahkan ada yang sampai menangis. Kalau saya, menunggu diluar sambil menikmati udara siang yang sejuk dibahaw pohon.

Setelah itu, kami meanjutkan perjalanan dengan diiringi musik dan ada juga anak yang joged-joged. Bahkan ada juga acara katakan cinta, meski belum diterima cintanya. Oooowhhh... yang membuat saya terkesan adalah ketika momen ini berlangsung ada lagu yang berkesan, lagunya Al, yaitu lagu Galau. "Tembak Tidak yaaaa....Tembak tidak yaa..."" Begitu kata yang paling berkesan.
Acara Katakan Cinta
Itulah kenangan kita, SMA Negeri 2 Purbalingga yang telah melakukan tour de Bali selama hampir 1 minggu. Kenangan ini akan menghampiri menjadi melodi hati yang menari-nari dalam benak dan nurani. Sehingga pengalaman ini bisa menjadi pengingat dan guru yang baik. Seperti kata-kata baju salah satu anak yang sempat saya foto, "Sejarah itu sama dengan pengalaman, Pengalaman adalah guru yang terbaik". Dan suatu saat, aku kan kembali lagi ke Bali. Sekian.

Thursday, July 6, 2017

'Membongkar' Museum Usman Janatin, Pahlawan Nasional Asal Purbalingga

Pintu Masuk ke Museum Usman Janatin

Tuesday, July 4, 2017

Kisah Sejarah Pancasila: Dari Proklamasi Hingga Kini

arifsae.com-Pada tulisan pertama saya, telah dibahas mengenai kisah sejarah Pancasila dari inspirasi ketika Bung Karno diasingkan di Ende hingga disahkannya ketika sidang PPKI yang pertama. Tulisan ini bisa kalian baca DISINI.
Buku Kisah Pancasila

Saturday, July 1, 2017

Kisah Sejarah Pancasila: Dari Inspirasi Hingga Proklamasi

arifsae.com-Pancasila, sampai saat ini masih menjadi dasar negara yang menjadi landasan kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Jiwa Pancasila akhir-akhir ini nampaknya dibutuhkan kehadirannya, ditengah-tengah masyarakat yang mulai menjamur dan tumbuh subur paham-paham tentang kepentingan satu golongan tertentu. 

Kita (me)lupa(kan), betapa istimewanya nilai-nilai yang terkandung didalamnya ditengah realita masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini. Kita membutuhkannya, bersama-sama, menjaga dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dibalik maknanya. Apakah kita sudah tau? Bagaimana kisah sejarah Pancasila? tulisan ini merupakan rekfleksi dari kisah sejarah Pancasila. Mari kita mulai kisah ini dari Ende.

Ende, Inspirasi Lahirnya Pancasila
Ende berada di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tahun 1934, Ir. Sukarno (selanjutnya akan digunakan nama Bung Karno) lagi-lagi menerima konsekuensi dalam memperjuangkan Indonesia Merdeka, yaitu penjara dan pengasingan. Pengasingan ini hal biasa bagi mereka yang mau menentang pemerintah Kolonial Belanda saat itu.

Bung Karno, dibuang ke Ende karena diberikan hukuman "istimewa" oleh Gubernur Jendral atas dasar exorbitante rechten, yaitu hak khusus untuk melakukan interneering (pengasingan ditanah kolonial) atau externeering (pembuangan keluar wilayah). Bung Karno mendapat hukuman yang pertama.

Pemberian hukuman "istimewa" ini dikarenakan Bung Karno berjuang dalam Partindo sejak 25 April 1931, yang sebelumnya juga sudah ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung selama 2 tahun (itupun sebenarnya dihukum 4 tahun, namun karena pledoi-nya yang terkenal, Indonesia Menggugat, akhirnya hukuman dijalani hanya 2 tahun). Akibat dari perjuangannya di Partindo, Bung Karno akhirnya diasingkan sejak 23 Desember 1933.
4 tahun lamannya, Bung Karno menghabiskan waktunya disini untuk bersosialisasi dengan masyarakat yang masyoritas beragama Katholik. Penduduknya pun hanya 5.000 orang, sangat berbeda dengan Jawa yang meyediakan berbagai "menu" perjuangan. Disini Bung Karno hanya ditemani istrinya (Inggit Gunarsih) anak angkat (Ratna Djuami) dan mertuanya (Ibu Amsi), bahkan nama terakhir meninggal disana tahun 1935.

Kebosanan yang dirasakan pasti mempengaruhi kehidupan Bung Karno kala itu, hanya mengurus kebon, berbincang dengan keluarga dan tentunya membaca, itulah kegiatan Bung Karno sehari-hari. Hingga suatu saat, Bung Karno terus berjuang dengan caranya sendiri, yaitu dengan membentuk sebuah kelompok Teater, namanya Kalimoetoe Toneel Club
Bung Karno sendiri yang menulis naskah dan menyutradarainya. Setidaknya ada 13 naskah yang tercipta, tentunya dengan tetap "menyusupi" nilai-nilai nasionailsme dan semangat kebangsaan bagi masyarakat Ende. Bersamaan dengan itu, karena tempat yang paling memungkinkan untuk mengadakan pertunjukan adalah gedung Societeit Katholik. 

Gedung yang dimiliki umat Katolik ini disewa oleh Bung Karno. Sehingga secara tidak langsung Bung Karno sering berinteraksi dengan para pastor, terutama dengan teman baiknya kala itu, Pastor Geradus Henricus Huijtink, SDV. Pertemananya dengan Pastor Huijtink membuat Bung Karno bisa merefleksikan kehidupan ditengah kebhinekaan. 

Suatu saat, Pastor Huijtink ketika berbincang santai ditemani secangkir kopi menanyakan kepada Bung Karno, "dimana tempat orang Flores yang mayoritas Katholik didalam negara yang mayoritas muslim ini?" Bung Karno merenung beberapa saat mendengar pertanyaan itu.

Bung Karno sering menghabiskan waktu untuk merenung dibawah sebuah Pohon Sukun dengan cabang 5 buah yang menghadap ke pantai Laut Sewu. Perlahan-perlahan dari perenungan itu, terbesit dasar negara yang disebutnya kala itu sebagai "lima butir mutiara". Bung Karno tidak menciptakan sendiri Pancasaila, dia menggali, merenungkan segala perjuangan rakyat untuk menuju kemerdekaan.

Setelah 4 tahun di Ende, tahun 1938 pemerintah Kolonial Belanda mencium gerakan Bung Karno yang tetap bisa berjuang dengan caranya sendiri, sehingga memutuskan untuk memindahkan pengasingan Bung Karno ke Bengkulu. Tepat pada 18 Oktober 1938, Bung Karno sekeluarga meninggalkan Ende menuju Bengkulu. Disinilah, landasan kebangsaan terbesit, yang justru tak didapatkannya di Pulau Jawa. Suatu fondasi yang akan menjadi dasar negara Indonesia dikemudian hari, Pancasila.

Kelahiran Pancasila di Sidang BPUPKI
Ketika Jepang menggantikan "kolonialisme" Belanda di Indonesa, serta-merta perlakuakuan kepada pemimpin perjuangan berbeda. Saat pendudukan Jepang, para pemimpin perjuangan diajak untuk bekerjasama, meski dibalik kerjasama itu Jepang menginginakan sesuatu kepada Indonesia, yaitu membantu Jepang pada Perang Asia Timur Raya.

Para pemimpin pergerakan pun tak mau rugi, mereka mengambil keuntungan untuk Indonesia Merdeka dikemudian hari. Tahun 1944, Jepang sudah mulai terdesak, PM Jepang Jendral Kunikai Kaiso mengumumkan pada tanggal 7 September 1944 bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, maka didirikanlah BPUPKI pada tanggal 29 April 1945 dengan tugas menyusun rancangan Uundang-Undang Dasar.
Maka diadakanlah sidang untuk menentukan dasar negara di Gedung Chuo Sangi In (dulu ketika masa Kolonial Belanda gedung ini bernama Volksraad) dan saat ini diberi nama Gedung Pancasila yang terletak di Komplek Kementerian Luar Negeri. Digedung inilah diadakan sidang I, 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Ada 3 tokoh yang berkesempatan untuk menyampaikan ide-nya sebagai dasar negara, Mr. Muhammad Yamin, Dr. Supomo dan Ir. Sukarno.

Kesempatan pertama, Mr. Muhammad Yamin yang mendapat kesempatan pada 29 Mei 1945 pukul 11.00. Beliau memberikan konsep dasar sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyaan
5. Kesahteraan Rakyat

Yamin tidak memberikan nama prinsip itu. Tapi beliau memberikan penjelasan panjang lebar tentang kelimannya. Termasuk penjelasannya mengenai Indonesia Merdeka yang merupakan kelanjutan kemaharajaan Sriwijaya dan Majapahit. Apabila Sriwijaya merupakan "Negera Indonesia pertama", dan Majapahit merupakan "Negara Indonesia kedua", maka Indonesia merdekanya nanti adalah "Negara Indonesia ketiga".

Kelima prinsip yang diajukan Yamin bukan Pancasila. Walaupun ada ide Pancasila didalamnya, namun Yamin tidak bicara mengenai Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial. Pokok isinya hanya berkutat pada bentuk negara, wilayah negara dan warga negara.

Kesempatan kedua, Dr. Soepomo pada 31 Mei 1945 mengutarakan ide nya. Soepomo ingin pola kehidupan kebangsaan berdasarkan pada corak kehidupan di masyarakat Indonesia. Beliau tidak setuju dengan "kebudayaan Barat", karena budaya Barat berpegang pada prinsip individualisme, hal ini menyebabkan rakyat akan saling menjatuhkan. Inti dari isi ide Soepomo adalah:

1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Rakyat

Soepomo menginginkan negara "totaliter" seperti Jepang dengan kaisarnya. Keinginannya meniadakan perbedaan antar golongan pada satu kepemimpinan seperti raja-raja Jawa, maka dia menolak demokrasi yang tergantung pada asas perseorangan.

Sopomo ingin kepala negara mempunyai sifat sebagai "Ratu Adil", karena memang beliau adalah ahli hukum adat Jawa, jadi ide-idenya sangat tercerminkan dari kebudayaan Jawa.

Pandangannya mengenai dasar negara terlalu menekankan pada persatuan dan kurangnya memberikan pertimbangan pada aspek-aspek lain dari peri kehidupan masyarakat Indonesia. Beliau menginginkan adanya dasar negara yang mencerminkan keadaan nyata masyarakat Indonesia, tetapi tidak berhasil merumuskan dasar negara yang betul-betul memayungi keanekaragaman praktik kehidupan masyarakat seluruh wilayah di Indonesia.
Kesempatan ketiga, Ir. Sukarno pada 1 Juni 1945. Sidang yang dilakukan pada hari Jumat ini dimulai dengan pertanyaan oleh Bung Karno, "apa itu kemerdekaan?" apa yang dimaksud dengan kata "merdeka"?

"Kemerdekaan itu layaknya Jembatan emas", kata Bung Karno. Beliau mengibaratkan kemerdekaan sebagai sebuah pernikahan. Ada orang yang takut menikah, ada orang menunggu punya rumah bertingkat, tempat tidur mewah, baru berani menikah. Ada juga yang mau menikah kalau sudah punyai 4 kursi, satu tempat tidur, dan satu dipan. Ada juga yang lebih berani, yaitu Kaum Marhaen, rakyat kecil yang hanya punyai satu gubug dan satu periuk ternyata berani menikah. Tidak ada yang bisa menjamin siapa yang bakal lebih bahagia; si kaya yang peragu atau si miskin yang berani? demikian pula kemerdekaan.

Persoalannya, lanjut Bung Karno, "Kita berani merdeka atau tidak? Kalau menunggu kekayaan terkumpul, mungkin baru 50 tahun kemudian baru merdeka. Kalau mesti menunggu masyarakat Indonesia terdidik, mungkin baru 100 tahun baru merdeka. Permasalahannnya sederhana saja, kita mau merdeka atau tidak? Itu saja."

Hanya dengan merdeka, kita bisa mengusahakan jalan keluar dari masalah-masalah dengan mendirikan pemerintahan yang mandiri. Bung Karno berseru, "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Didalam kemerdekaan itulah kita memerdekakan bangsa kita! Untuk itu, rebutlah dulu jembatan emas menuju masa depan itu."

Setelah itu, barulah Bung Karno memberikan pandangannya mengenai dasar negara yang berjumlah 5 pikiran pokok, kelima poin itulah yang diberi nama Pancasila. Inilah 5 sila yang disampaikan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan

Inilah intisari dari praktek kehidupan Indonesia melawan penjajah dalam mengusahakan kemerdekaan. Penomoran itu tidak mencerminkan peringkat atau prioritas. Namun kelima sila itu merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi. 

Dari lima sila itu, Bung Karno menawarkan apabila ingin lebih diringkas lagi dengan nama Trisila. Asas kebangsaan dan internasionalisme digabung menjadi "sosio-nasionalisme". Asas mufakat dan kesejahteraan sosial dapat diringkas menjadi "sosio-demokrasi". Dan satu lagi adalah "Ketuhanan yang menhormati satu sama lain".

Bung Karno menawarkan Trisila itu apabila mau diringkas lagi, yang menjadi "Ekasila", yaitu satu pokok sila: Gotong Royong. Jadi intisari dari Pancasila sebenarnya adalah gotong royong. Inilah cikal bakal lahirnya Pancasila. Namun pertanyaanya, mengapa berbeda dengan Pancasila yang sekarang?

Transformasi Pancasila
Isi Pancasila berbeda karena dalam persidangan 29 Mei-1 Juni 1945 belum menemukan titik temu. Maka dibentuklah sebuah panita kecil yang berjumlah 9 orang, atau Panitia Sembilan. Tugas panitia ini menyelesaikan dasar negara yang akan menjadi Pembuakaan UUD 1945. Ketua dari panitia ini adalah Bung Karno sendiri.

Pada tanggal 22 Juni 1945 tercapailah kesepakatan diantara sembilan orang itu mengenai dasar negara. Kesepakatan inilah yang kemudian disebut sebagai "Piagam Jakarta", yang merupakan rancangan awal dari pembukaan UUD 1945. Isi awal dari Piagam Jakarta sebagai berikut:
  1. Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
  3. Persatuan Indonesia;
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan;
  5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Demikianlah, Pancasila lahir dengan dinamikanya, meski lahir berbeda dengan usulan awal, dan Piagam Jakarta. Dan berbeda pula dengan isi saat ini, karena harus harus mengilangkan 7 kata "Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Penghilangan 7 kata ini memuncak setelah munculnya pandangan bahwa apabila rumusan 7 kata itu tetap disahkan, maka sebagian besar Indonesia Timur akan memisahkan diri. Melihat situasi memanas, Mohamad Hatta meminta Kasman Singodimedjo untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo yang sangat kukuh untuk mempertahankan rumusan tersebut. Maka setelah berbicara dengan Kasman, akhirnya hati Ki Bagus pun luluh. Beliau berbesar hati mengesampingkan kepentingan golongan demi mengedepankan persatuan nasional.

Sehingga, ketika sidang PPKI, tepat sehari setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, tercapailah kesepakatan dengan musyawarah mufakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Untuk periode inspirasi hingga proklamasi sudah secara sengkat saya uraikan. Kelanjutan kisah sejarah Pancasila akan dilanjutkan ketika mengalami zaman revolusi, RIS, Demokrasi Parlementer dan Terpimpin hingga Saat Orde Baru sampai reforormasi akan dibahas selanjutnya. Kelanjutan artikel ini bisa dilihat DISINI...
Sumber:
Foto dan Tulisan artikel ini bersal dari Buku Kisah Pancasila yang disusun oleh Direktorat Sejarah, Terbit tahun 2017.