Monday, May 14, 2018

Onje Sebagai Akar Sejarah Kabupaten Purbalingga

Agenda Grebeg Onje 2017
arifsae.com - Sejarah berasal dari bahasa Arab ‘sajaroh’, yang artinya pohon. Konstruksi anatomi pohon terdiri dari tiga komponen utama, yaitu  akar, batang dan buah/daun.  Dengan demikian, sejarah bisa dimaknai sebagai anatomi ‘pohon peradaban’ yang terdiri dari akar masa silam, batang masa kini, dan buah masa depan.  Jadi, sejarah merupakan kesatuan tiga dimensi waktu  (masa silam, masa kini dan masa depan) yang menjadi ruang tumbuh kebudayaan manusia. Batang pohon masa kini tidak bisa dipisah dari akar masa silam.  Batang pohon yang terputus dari akarnya akan mati dan mustahil bisa memproduksi buah.  Purbalingga sebagai sebuah tatanan sosial, adalah juga sebuah ‘pohon’ peradaban yang harus terus dicari persambungan akar nilai kesejarahannya.

Transisi Majapahit → Demak Oleh Wali Sanga
Pasca Majapahit, Islam mendapat momentum sejarah untuk hadir dan terlibat sebagai subyek nilai di dalam proses politik Nusantara. Demak merupakan hasil karya peradaban Bangsa Nusantara pasca Majapahit. Sebuah tatanan sosial yang dikonstruksi berdasarkan nilai-nilai Islam. Keruntuhan Majapahit tahun 1479 M yang dikenal dengan istilah ‘sirna ilang kertaning bumi’ adalah peristiwa paling tragis dalam sejarah Nusantara. Berbagai konflik internal keraton dan bencana alam berupa semburan lumpur di daerah Canggu membuat keutuhan Majapahit gagal dipertahankan. Kerajaan yang sedemikinan besar dan menjadi kebanggaan Bangsa Nusantara ini ‘luluh lantak’ di lantai sejarah. Tokoh-tokoh Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga mencoba menawarkan alternatif solusi untuk merespon tragedi akbar tersebut. Keputus asaan bangsa nusantara mencoba dibangkitkan kembali dengan dibangunnya kerajaan atau kesultanan Demak. Ide Wali Sanga inilah yang menjadi episode baru tatanan politik Nusantara.

Demak berhasil mengutuhkan kembali puing-puing peradaban Nusantara. Tatanan dengan nuansa dan atmosfir baru ini seperti semilir angin pantai yang meyegarkan kembali jiwa bangsa nusantara yang sempat depresi akibat tragedi sirna ilang kertaning bumi. Wali Sanga adalah konseptor yang meletakan batu bata sejarah peradaban Nusantara pasca Majapahit. Setelah sebelumnya di era pra Demak,  kebudayaan Nusantara diinspirasi oleh konsep nilai Hindu-Budha. Demak sebagai pusat kekuasaan tentu sangat efektif sebagai sarana penyebaran Islam di Nusantara. Kerajaan Islam besutan Wali Sanga ini kemudian berlangsung hingga beberapa kali pergantian Raja. Dimulai dari Raden Patah (1500 – 1518), lalu digantikan putranya yaitu Pati Unus (1518 – 1521). Setelah Pati Unus Wafat, tahta kerajaan dipegang oleh adiknya yang bernama Sultan Trenggono (1521 - 1546). Kemudian putra Sultan Trenggono yang bernama Sultan Prawoto atau pangeran Mukmin (1546 – 1549) menjadi raja terakhir kerajaan Demak.

Sepeninggal Sultan Prawoto, Wali Sanga kemudian berinisiatif memindahkan pusat konsentrasi perjuangan Islam ke daerah pedalaman Jawa, yaitu Pajang, di daerah Surakarta. Murid pinunjul Sunan Kali Jaga yang bernama Jaka Tingkir alias Mas Karebet yang mendapat ‘titah langit’ untuk menjadi Raja pertama pedalaman Jawa dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Dari Pajang lah kemudian syiar Islam merambah di wilayah pedalaman Jawa. Konsepsi Islam terus menjadi inspirasi perjalanan sejarah hingga ke berbagai level tatanan sosial.

“Tѐtѐsing Madu, Rembesing Kusuma” - Bibit Unggul ‘Pohon’ Purbalingga -
Salah satu daerah pedalaman Jawa yang tidak bisa lepas dari eksistensi politik Pajang  adalah Purbalingga. Bahkan hubungan Purbalingga dan Pajang bisa dibilang sebagai hubungan istimewa karena berkait langsung dengan urusan Trah Raja Pajang. Dari sinilah terlihat bahwa Purbalingga sesungguhnya memiliki garis sejarah yang kuat dengan Pajang. Garis sejarah tersebut tentu bisa menjadi modal moral dan spiritual bagi Purbalingga masa kini untuk menemukan martabat dan harga diri sejarahnya. Hubungan antara Purbalingga dengan Pajang menjadi istimewa karena Pajang merupakan kerajaan Islam pertama yang berhasil didirikan di daerah pedalaman Jawa. Artinya, Purbalingga memiliki tali sejarah yang tersambung dengan artefak penting dalam sejarah pekembangan Islam, yaitu Pajang. Berikut uraian lengkap yang menjadi fakta bahwa Purbalingga memiliki ketersambungan darah sejarah dengan Pajang.

Ki Tepus Rumput, tokoh inilah yang mengawali cerita  babad Onje.  Beliau merupakan tokoh sentral keberadaan Kadipaten Onje pada masa lampau. Diceritakan Sanurji (juru kunci makam Adipati Onje), ketika itu di suatu tempat masih dalam keadaan alas (hutan) gung liwang-liwung. Tempat tersebut berada di sebelah timur gunung Slamet. Dialah petualang yang berasal dari bang kulon (wilayah barat). Nama sang petualang itu Ki Tepus Rumput. Dalam perjalanannya Ki Tepus Rumput singgah di suatu tempat. Duduk di atas sebuah batu dan bersandar pada pohon jati sambil beristirahat. Ternyata pohon jati yang digunakan untuk bersandar Ki Tepus Rumput berbau wangi. Tempat peristirahatan itu sekarang di kenal dengan nama Jati Wangi. (menurut  Sanurji).

Kemudian mendengar suara kokok ayam jantan dari arah tenggara. Dengan mendengar kokok ayam tersebut Ki Tepus Rumput menduga, ada manusia lain yang mendiami tempat itu. Ki Tepus Rumput mencari tempat asal suara kokok ayam, ternyata ada sebuah padepokan yang dihuni oleh Ki Onje Bukut. Di sekeliling  padhepokan itu ditumbuhi banyak pohon burus.   Ki Tepus Rumput juga ditemui oleh sosok manusia, yang bernama Ki Kantharaga. Dalam pertemuannya itu Ki Tepus Rumput di suruh bertapa di wetan gunung gede (Gunung Slamet) yang bernama bukit Tukung. Ternyata Ki Kantharaga setelah memberikan wejangan dan perintah kemudian menghilang. 

Karena  tempat pertemuan antara Ki Tepus Rumput, Ki Onje Bukut dan Ki Kantharaga banyak ditumbuhi pohon burus maka tempat itu dinamakan Onje (bunga/kembang pohon burus). Petualangan Ki Tepus Rumput   sekaligus  merupakan suatu perjalanan ritual berupa bertapa. Dalam  bertapa tersebut mendapatkan suatu wisik (ilham) agar mengikuti suatu sayembara yang diselenggarakan Sultan Pajang. Sayembara tersebut dilaksanakan karena Cincin milik Sultan Pajang yaitu Socaludira hilang. Cincin tersebut masuk ke jumbleng (jamban),  dan belum ada yang dapat menemukannya. Isi sayembara tersebut, bahwa barang siapa yang dapat menemukan Cincin Sultan Pajang maka apabila seorang perempuan akan dijadikan istri dan apabila seorang laki-laki  dihadiahi Garwa Selir Sultan yaitu Putri Adipati  Menoreh yang bernama Kencana wungu dan tanah seluas dua ratus grumbul.

Dalam mengikuti sayembara di Keraton Pajang, Ki Tepus Rumput  berhasil menemukan Cincin Socaludira  milik Sultan Hadiwijaya.  Maka ditepatilah janji Sultan Hadiwijaya bahwa kalau yang dapat menemukan seorang laki-laki maka akan diberi hadiah garwa selir.  Yaitu seorang putri yang berasal dari Menoreh anak dari Adpiati Menoreh. Maka sang Sultan pun memberikan hadiah tersebut dengan disertai pemberian lainnya yaitu berupa tanah seluas 200 grumbul dan diberi julukan atau “Sinebut Ing Ngaluhur, Kiyai Ageng Ore-Ore”.  Sultan Hadiwijaya berpesan bahwa sang putri jangan sekali-kali “digauli”.  Dalam naskah Babad  Onje disebutkan,

“Ingkang abdi sami boten saguh  mendhet, amung Kyai Ki Tepus Rumput   ingkang saged mendhet. Lajeng dipunpaikani dinamelan sumur ing sandhingipun, nunten kepanggih kagungan dalem supe, lajeng kapundhut kalih Kanjeng Sultan Pajang, dhawuhe Kanjeng Sultan, “ingsun ora wani-wani, sapa kang anemokaken manira paringi bojo ingsung bocah desa asal Menoreh, Putrane Kyai Dipati Menoreh, iya rawatana, ananing iya wus meteng olih kapat tengah, iya iku poma-poma aja kowe tumpangi”.

Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa Kadipaten Onje berhubungan erat dengan kerajaan Pajang. Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam yang berdiri pada tahun 1568 M didirikan oleh Jaka Tingkir yang mempunyai nama lain Mas Karebet putra Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenongo, kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya sebagai Raja Pajang disahkan oleh Sunan Giri .

ONJE : Akar ‘Pohon’ Purbalingga
 Tidak ataupun belum ada  yang menyebutkan tahun berapa secara pasti kerajaan Pajang mengadakan sayembara yang dimenangkan oleh Ki Tepus Rumput. Setelah mengikuti sayembara dan berhasil mendapatkan hadiah dari Sultan Hadiwijaya, Ki Tepus Rumput  kemudian kembali ke arah barat,  yaitu ke dhusun Truka Onje  dengan disertai empat  orang pengawal yaitu:

1. Puspa Jaga
2. Puspa Kantha
3. Puspa Raga
4. Puspa Dipa  

Dengan demikian maka Ki Tepus Rumput   menjadi Adipati I  di Kadipaten Onje, dengan julukan Kyai Adipati Ore-Ore. Sebagai pusat Kadipaten berada di sebelah timur Sungai Klawing. 

Tibalah pada saatnya anak yang dikandung Putri Menoreh lahir, dan ternyata lahir bayi laki-laki. Ki Tepus Rumput memberitahukan kepada Sultan Pajang. Sultan Pajang bersabda;

“Ya kaulah yang merawat anak itu baik-baik, besok jika anak itu sudah mampu melayamkan tombak bawalah kemari”. 

Maka setelah tiba pada waktunya, dipersembahkanlah anak itu ke Keraton Pajang. Kemudian Sultan Hadiwijaya memberi nama atau gelar  Kyai Adipati Anyakrapati ing Onje, dengan ditandai upacara bupati serta diberi tanah seluas 800 grumbul. Selain itu juga diberi sentana kamisepuh atau pengikut kaum kepala desa sebanyak tujuh keluarga supaya menjadi pembantu di Onje.

Setelah menata pemerintahan dan dirasa sang Putra Sultan sudah mampu menjadi adipati  yang mumpuni, maka Ki Tepus Rumput  melanjutkan petualangannya menuju ke arah timur Kadipaten Onje.

Adipati Onje II kemudian dipegang oleh Anyakrapati. Adipati Anyakrapati menikah dengan dua orang wanita, yaitu Puteri Keling dari Jawa Barat, dan puteri adipati cipaku yang benama Rara Pakuwati. Pernikahannya dengan puteri keling tidak dikaruniai anak. Dari Rara Pakuwati, Adipati menurunkan tiga orang anak, yaitu Raden Mangunjaya, Raden Citra Kusuma dan Rara Banowati.  Dua orang Istrinya ini kemudian wafat oleh sebuah peristiwa di internal keluarga kadipaten.

Setelah dua orang istri adipati Anyakrapati meninggal dunia, beliau kemudian menikah lagi dengan puteri adipati Arenan yang bernama Nyai Pingen. Dari Istrinya yang ketiga inilah, lahir dua orang putra yang bernama Ki Wangsantaka dan Ki Arsantaka.

Dua orang dengan watak dan potensi yang pinunjul. Dua Jawara ini menarik untuk dikupas hingga ke ceruk terdalam ruang sejarah Purbalingga. Kakak beradik ini mengambil pilihan sikap yang berbeda dalam menjalani prinsip-prinsip sejati kemanusiaannya. Ki Wangsantaka memilih memegang idealisme Onje dengan meneruskan seluruh tata nilai yang dibangun leluhurnya. Sementara itu Ki Arsantaka memilih mengembara ke luar Onje dan berkarir di pemerintahan Belanda waktu itu. Dua sikap yang tampak berseberangan jika dilihat dari kulit luarnya. Tetapi jika kita bersedia untuk sedikit arif dalam melihat persoalan dan realitas di jaman itu, pilihan Ki Arsantaka tentu bukanlah keputusan yang keliru.

Ki Wangsantaka yang kuat memegang prinsip, dengan menolak berkompromi dengan Belanda waktu itu adalah juga sebuah ketangguhan nasionalisme yang patut untuk diteladani. Dengan segala resiko yang harus dihadapi, Ki Wangsantaka memilih berkonfrontasi dengan Belanda. Pada sisi lain, sikap fleksibel dan kompromis Ki Arsantaka juga membuahkan prestasi yang besar. Belanda dipandang oleh Ki Arsantaka terlalu kuat jika harus diladeni secara militer. Maka dengan bergabung menjadi pejabat pemerintahan Belanda, yaitu menjadi Demang di daerah Banjarnegara, Ki Arsantaka berhasil meminimalisir kebringasan Belanda. Kabupaten Purbalingga tetap dipegang oleh trah Onje adalah bukti penghormatan Belanda kepada Ki Arsantaka. Inilah prestasi diplomatik yang brilian dari salah seorang putra mahkota Onje.

Sementara Ki Wangsantaka dengan segala keteguhan pribadinya itu merupakan ‘penjaga gawang' nilai patriotisme. Sikap Ki Wangsantaka telah membuktikan kepada dunia bahwa Onje sebagai sebuah wilayah perdikan yang gagal ‘dirayu’ oleh Belanda untuk tunduk dan bertekuk lutut.

Kyai Arsantaka
Setelah dewasa, Kyai Arsantaka menikah dengan 2 orang putri. Istri pertama bernama Nyai Merden dan istri kedua bernama Nyai Kedung Lumbu. Dari istri pertama, Kyai Arsantaka di karuniai 5 orang putera, yakni; pertama Nyai Arsamenggala, kedua Kyai Dipayuda, ketiga Kyai Arsayuda, yang kemudian menjadi menantu Tumenggung Yudanegara II. Putera keempat bernama Mas Ranamenggala dan kelima adalah Nyai Pancaprana. Dengan istri kedua, Kyai Arsantaka di karuniai 1 putera yaitu Mas Candrawijaya, yang di kemudian hari menjadi Patih Purbalingga.

Dari babad inilah maka selanjutnya masyarakat Purbalingga meyakini bahwa Kyai Arsantaka merupakan leluhur para penguasa di Kabupaten Purbalingga.

Kabupaten Purbalingga, menurut Babad Purbalingga, di awali ketika Kyai Arsayuda, Putera ke-3 Kyai Arsantaka dari istri pertamanya yaitu Nyai Merden, di jadikan menantu Tumenggung Yudanegara II,  yang kemudian diangkat sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Ngabehi Dipayuda III.

1.  R. Tumenggung Dipayuda III
R. Tumenggung Dipayuda adalah putra ke-3 dari Kyai Arsakusuma yang berganti nama menjadi Kyai Arsantaka dengan istri yang bernama Nyai Merden. Banyak babad atau cerita tentang berdirinya sebuah pusat kekuasaan kabupaten Purbalingga, dimana  Kyai Arsantaka disebut-sebut sebagai cikal bakal berdirinya kabupaten Purbalingga. Dari perkawinannya dengan Nyai Merden, Kyai Arsantaka dikaruniai 5 orang putera, yakni: Nyai Arsamenggala, Kyai Dipayuda I, Kyai Arsayuda, Mas Ranamenggala dan terakhir adalah Nyai Pancaprana.

Sebelum menjadi Bupati Purbalingga, Kyai Arsayuda adalah menantu dari Tumenggung Yudanegara II ( 1728-1759) yang kemudian diangkat sebagai Bupati Banyumas, selanjutnya diangkat sebagai Bupati Purbalingga bergelar Ngabehi Dipayuda III.

Pada masa kekuasaan R. Tumenggung Dipayuda III, pemerintahannya dianggap monumental karena desa Purbalingga di jadikan sebagai Ibukota kabupaten yang sebelumnya berada di Karang lewas.

2.  R. Tumenggung Dipakusuma I
R. Tumenggung Dipakusuma adalah putra dari Ngabehi Dipayuda III dengan istri ke-3 yang bernama Nyai Tegal Pingen (putri dari Kyai Singayuda dan cucu dari Pangeran Mahdum Wali Prakosa, Pekiringan). Dari perkawinan tersebut, R. Ngabehi Dipayuda III dikaruniai 5 orang putra, yakni; pertama Raden Tumenggung Dipakusuma I yang kemudian menjadi Bupati Purbalingga menggantikan Ngabehi Dipayuda III, kedua Raden Dipawikrama yang kemudian menjadi Ngabehi Dayuh Luhur, ketiga R. Kertasana yang kemudian diangkat menjadi Patih purbalingga, keempat R. Nganten Mertakusuma dan kelima Kyai Kertadikrama yang kemudian diangkat menjadi Demang Purbalingga.

3. R. Tumenggung Bratasoedira (24 Juni 1830)
R. Tumenggung Bratasoedira adalah putra dari R. Tumenggung Dipakusuma I dengan Raden Ayu Angger, puteri Pangeran Aria Prabu Amijaya yang berarti cucu dari  Mangkunegara I. Dengan perkawanan tersebut, R. Tumenggung Dipakusuma I dikaruniai 4 putra, yakni; pertama Raden Mas Tumenggung Bratasoedira ( Raden Mas Danukusuma), Kedua Raden Mas Bratakusuma, ketiga Raden Mas Taruna Kusuma I,  dan keempat adalah Raden Ayu Suryaningrat.  

4.  R. Tumenggung Taruna Kusuma I (1 Agustus 1830)
R. Tumenggung Taruna Kusuma adalah adik dari R. Tumenggung Bratasoedira, yang berarti adalah putra ke-3 dari R. Tumenggung Dipakusuma I dengan istrinya Raden Ayu Angger ( cucu dari Amangkurat I).

5. R. Tumenggung Dipa Kusuma II (22 Agustus 1831)
R. Tumenggung Dipa Kusuma II adalah putra dari Raden Mas Tumenggung Bratasudira (Bupati Purbalingga ke-3) yang kawin dengan Mbok Mas Widata dari Kawong. Dari perkawinan tersebut di karuniai 4 putra, yakni; pertama Raden Ayu Mangkusudira, kedua Raden Anglingkusuma, ketiga Raden Mas Tumenggung Dipa Kusuma II, keempat Raden Dipasudira.  

6.  R. Adipati Dipa Kusuma III (7 Agustus 1846)
R. Adipati Dipa Kusuma III adalah putera pertama dari R. Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri keduanya yaitu Raden Ayu Karangsari, puteri dari Raden Tumenggung Citrasuma, Bupati Jepara.

7.  R. Tumenggung Dipa Kusuma IV (4 Sept 1869)
R. Tumenggung Dipa Kusuma IV adalah putra dari Raden Tumenggung Dipa Kusuma II dengan istri ke-3 nya yang bernama Raden Ayu Brobot. Dengan istri ke-3 nya, Dipa Kusuma II di karuniai 5 putra, yakni; pertama Raden Ayu Adipati Suranegara, menjadi bupati Pemalang, kemudian yang kedua  R. Dipaningrat, ketiga Raden Dipaatmadja yang kemudian menjadi patih Banyumas selanjutnya menjadi Bupati Purbalingga dengan gelar Raden Tumenggung  Dipa Kusuma IV. Kemudian keempat adalah Raden ayu Dipasudira dan kelima Raden Ayu Mangku Atmadja.

8. R. Tumenggung Dipa Kusuma V (14 Februari 1868)
R. Tumenggung  Dipa Kusuma V adalah putra dari R. Tumenggung Dipa Kusuma IV dengan istrinya yang bernama Raden Ayu dipa Atmadja. Dari perkawinan tersebut di karuniai 8 putra, yakni; Raden Ayu Tumenggung Cakraseputra, menjadi Bupati Purwokerto, kedua Raden Tumenggung Dipa Kusuma V ( Kanjeng Candi Wulan), ketiga Raden Adipati Dipa Kusuma VI, keempat Raden Ayu Wiryaseputra, kelima Raden Sumadarmaja, keenam Raden Ayu Adipati Cakranegara, ketujuh Raden Ayu Taruna Kusuma IV,  dan kedelapan Raden Ayu taruna Atmadja.

9. R. Brotodimedjo (20 Nopember 1893-13 Sept 1899)
Raden Brotodimedjo adalah Ymt Bupati Purbalingga. Ia adalah mantan patih Purbalingga.

10. R. Tumenggung Adipati Dipa Kusuma VI (13 Sept 1899)
R. Tumenggung Dipa Kusuma VI adalah adik dari Dipa Kusuma V, yang berarti putra ketiga dari R. Adipati Dipa Kusuma dengan istri yang bernama Raden ayu Dipa Atmadja.

11. K.R.A.A. Soegondo (29 Oktober 1925)
K.R.A.A Soegondo adalah putra dari  Raden Tumenggung Dipa Kusuma IV, yang sekaligus menjadi menantu dari Paku Buwono X di Surakarta.
Selanjutnya setelah kekuasaan K.R.A.A. Soegondo berakhir, terjadi kevakuman.  Baru kemudian, setelah Indonesia merdeka bupati Purbalingga diangkat oleh DPRD, berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut:

12. Mas Soeyoto  (1946-1947)
13. R. Mas Kartono    (1947-1950)
14. R. Oetoyo Koesoemo  (1950-1954)
15. R. Hadisoekmo  (1954-1960)
16. R. Mohammad Soedjadi  (1960-1967)
17. R. Bambang Moerdharmo, SH  (1967-1973)
18. Letkol PSK Goentoer Daryono   (1973-1979)
19. Drs. Soetarno   (1979-1984)
20. Drs. Soekirman   (1984-1989)
21. Drs. Soelarno  (1989-1999)
22. Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Sotarto Rahmat   (2000-2005)
23. Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Heru Sudjotmoko,M.Si   (2005-2010)
24. Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si+ Drs. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si  (2010-2015)
25.  Drs. Sukento Ridho M + H. Tasdi, SH MM. (2015-2016).
26.  H. Tasdi SH MM + Dyah Hayuning Pratiwi, S.E, B.Econ. (2016-2021).

Oleh : Agus Sukoco, dipaparkan dalam rangkaian acara Grebeg Onje 2017