Wednesday, October 30, 2019
Sambutan Kepala Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) dalam Buku Terusan-Terus 2
![]() |
Cover Buku |
Assalamualaikum
wr.wb.
Pendidikan adalah kunci utama dalam pembentukan
karakter yang paling utama, sehingga mereka mampu menyiapkan berbagai tantangan
perubahan dunia yang begitu cepat. Oleh karena itu, semua warga negera
Indonesia harus mendapatkan hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.
Begitu juga anak-anak Indonesia di
luar negeri. Salah satu upaya pemerintah dalam memberikan akses pendidikan itu adalah
dengan mendirikan Community Learning
Centre (CLC) di Sabah dan Sarawak, Malaysia. Melalui upaya tersebut,
diharapkan dapat membawa dampak yang positif dalam menyiapkan generasi emas
Indonesia. Upaya itu ditambah dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme bagi
anak-anak Indonesia yang berada di Malaysia.
Kita
bisa melihat usaha itu melalui buku kumpulan antologi berjudul, Terusan-Terus ini. Setiap kata dalam
puisi ini murni dari imajinasi mereka. Apalagi dunia sastra begitu asing bagi
generasi muda saat ini, dengan semangat inilah imajinasi dan kreasi mereka
tersalurkan. Karena mereka sedang menumbuhkan apa yang terpendam dalam diri
mereka, entah itu tentang sekolah, keluarga, kehidupan hingga pertemanan. Biasanya tema-tema seperti
itu yang terlintas dibenak para anak muda.
Albert Einstein pernah
mengatakan bahwa, “Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan.”
Alasannya, ilmu pengetahuan bersifat terbatas sedangkan imajinasi tidak
terbatas. Kemampuan berimajinasi anak melalui puisi adalah refleksi mereka
terhadap alam sekitar dan lingkungan mereka, inilah yang harus diasah melalui
dorongan untuk terus menerus menuliskan pemikiran mereka melalui puisi. Hal ini bisa berdampak positif,
karena secara tidak langsung mereka menumbuhkan budaya menulis bagi sekitarnya.
Saya ingin mengucapkan
selamat kepada guru-guru hebat yang dengan sabar dan tekun membantu
anak-anaknya menyusun buku ini. Saya yakin buku ini akan membawa rasa haru
sekaligus bangga atas semangat belajar anak-anak Indonesia yang tersebar di
seluruh CLC se-Sabah.
Lahirnya antologi puisi
guru dan anak-anak CLC Terusan 2 ini sangat perlu diapresiasi sebagai sebuah
karya orisinil mereka yang berada di negeri perantauan. Saya selaku Kepala
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu mengucapkan selamat pada guru dan anak-anak CLC
Terusan 2 yang tesebar di 3 TKB, yaitu Andamy, Terusan 1 dan Terusan 2 sendiri.
Saya yakin, buku ini dapat menjadi penyemangat anak-anak BMI lainnya untuk
terus belajar berkarya.
Selamat Membaca!
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Kota Kinabalu, 24 Juli 2019
H.
Istiqlal, S.Pd., MM.
Sambutan Pensosbud KJRI KK dalam Antologi Puisi Terus-Terusan 1
Cover Buku
Assalamualaikum
Wr.Wb.
Sebuah bangsa
akan maju seiring dengan majunya pendidikan. Untuk itulah, menjadi sebuah
keniscayaan bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam membentuk karakter yang
unggul, sehingga mereka mampu menyiapkan berbagai tantangan perubahan dunia
yang begitu cepat. Dengan itulah, semua warga negera Indonesia harus
mendapatkan hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.
Begitu juga
dengan anak-anak Indonesia yang terlahir di luar negeri, salah satunya adalah
anak-anak Buruh Migran Indonesia (BMI) di Malaysia. Mereka tetap mendapatkan
perhatian yang sama dari pemerintah Indonesia, sehinga kedepannya tetap
memberikan peluang masa depan yang lebih baik lagi. Harapannya mereka akan
pulang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan memberikan kontribusinya untuk
Indonesia tercinta.
Salah satu upaya
pemerintah dalam memberikan akses pendidikan itu adalah dengan mendirikan Community Learning Centre (CLC) di Sabah
dan Sarawak, Malaysia. Melalui upaya tersebut, diharapkan dapat membawa dampak
yang positif dalam menyiapkan generasi emas Indonesia. Upaya itu ditambah
dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme bagi anak-anak Indonesia yang berada
di Malaysia.
Kehadiran CLC,
bukan hanya sekedar menjadi tempat kegiatan belajar-mengajar, tetapi lebih dari
itu telah menjadi pendongkrak tumbuh kembangnya kreatifitas termasuk budaya
membaca dan menulis. Dan sekali lagi,
saya menyambut baik terbitnya buku kumpulan antologi berjudul, Terus-Terusan ini yang ditulis oleh
para guru dan murid CLC. Melalui puisi, mereka mengekpresikan harapan,
cita-cita dan mimpi serta segala persepsi mereka mengenai hidup dan kehidupan
ke dalam goresan kata-kata yang indah.
Pada kesempatan yang baik ini, saya selaku Konsul Fungsi Pensosbud KJRI
Kota Kinabalu sekali lagi menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada para guru
dan siswa-siswi CLC Terusan 2 termasuk 2 Tempat kegiatan Belajar (TKB) yaitu CLC Andamy dan Terusan 1. Saya berharap
kiranya buku ini dapat menginspirasi dan menjadi penyemangat bagi anak-anak BMI
untuk terus belajar berkarya.
Selamat Membaca!
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Kota Kinabalu, 8 Juli 2019
Cahyono Rustam
Wednesday, August 21, 2019
Patriot Bangsa dari Kota Perwira: Buku Biografi Usman Janatin
![]() |
Buku Usman Janatin |
Usman Janatin
merupakan putera
ke-8 dari sembilan bersaudara pasangan Haji Mochammad Ali
dan Siti Rukijah. Ia lahir pada tanggal 18 Maret 1943 pada pukul 10.00. Janatin, begitu keluarga memanggilnya, terlahir dari keluarga petani yang religius. Di lingkungan inilah, Janatin terbentuk kepribadiaannya. Ayahnya bekerja sebagai seorang petani sekaligus sebagai kayim, yaitu seorang
yang dipercayai
sebagai pemuka agama desa. Maka sedikit banyak pola pendidikan
yang diterima
Janatin juga
tidak bias dilepaskan dalam suasana
yang religius. Kakak-kakaknya yang sebagian
besar merupakan anggota militer menjadikan motivasi tersendiri dalam diri Janatin untuk mengikuti jejak mereka menjadi anggota militer. Terlebih lagi
kejadian
gugurnya Letkol Kusni,
kakak sulung Janatin, yang
meninggal
karena
berperang pada
masa
revolusi senjata tahun 1949.
Kehidupan semasa kecil Janatin dilalui selayaknya anak kecil seusianya.
Janatin menghabiskan masa kecilnya dengan menempuh pendidikan
formal dan
bermain bersama teman-temannya. Pendidikan formal dimulai dari SR
Jatisaba yang ditempuh
dari
kelas 1 sampai 3. Untuk kelas 3
sampai dengan
6, Janatin
harus
melanjutkan ke SR Bancar yang berjarak 3 km. Semua jenjang sekolah dasar ini ditempuh Janatin dengan berjalan
kaki. Setelah
selesai menyelesaikan jenjang sekolah dasarnya, Janatin melanjutkan ke jenjang
yang lebih
tinggi di SMP Budi Mulya, Purbalingga. Di sini,
Janatin bergaul dengan
berbagai
teman yang berasal dari berbagai latar belakang.
Selama bersekolah,
Janatin merupakan anak
yang tidak
terlalu menonjol dalam
bidang
akademik, namun sangat menonjol ketika mengikuti pelajaran
yang membutuhkan
ketangkasan fisik. Selepas sekolah,
ia tidak lupa menghabisakan waktu untuk bermain dengan teman-temannya,
salah satu kegemarannya adalah bermain sepak
bola dan bulutangkis.
Ia juga tidak lupa membantu pekerjaan ayahnya,
seperti mencarikan rumput untuk makanan ternak,
dan sesekali membantu
di sawah.
Semasa Janatin menjalani tahap akhir pendidikan
di SMP Budi Mulya, ia
mendengar tentang memanasnya hubungan Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai masa depan Irian
Barat. Puncaknya pada
tanggal 19 Desember 1961 Presiden RI Soekarno mengumandangkan Tri Komando
Rakyat (Trikora) di alun-alun kota Yogyakarta, sebagai bentuk konfrontasi total
dengan Belanda guna memperjuangkan kembalinya Irian Barat. Sejalan dengan
kampanye pembebasan Irian Barat tersebut, dilakuan mobilisasi besar-besaran untuk merekrut anggota milieter dan sukarelawan. Pemuda Janatin terpanggil untuk mendaftarkan dirinya sebagai
calon Tamtama KKO-AL.
Meskipun ada sedikit penolakan dari
orang tuanya, Janatin yang terpanggil untuk
membela harkat
dan
martabat bangsanya nekat
mendaftarkan dirinya ke
Sekolah
Calon Tamtama KKO-AL
(secatmoko) di Malang pada tahun 1962. Dengan tahapan seleksi ia berhasil
lulus. Berbagai
latihan fisik
dan mental dilalui oleh Janatin,
hingga dinyatakan lulus pendidikan tanggal 1 Juni 1962,
Janatin mendapatkan pangkat Prajurit III KKO. Niat Janatin untuk mengusir
Belanda dari Irian Barat urung terlaksana, karena tercapai kesepakatan damai
antara Indonesia dengan Belanda pasca persetujuan New York tanggal 15 Agustus
1962. Persetujuan New York mengakhir perseteruan Indonesia-Belanda dan Irian Barat
dinyatakan kembali ke Pangkuan NKRI melalui perantara Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Tugas pertama Janatin yaitu mengikuti Operasi Sadar di
Irian Barat untuk memastikan penyerahan kekuasaan berjalan lancer.
Meskipun tugas di Irian Barat telah
dilaksanakan Janatin dengan baik,
namun tugas
negara yang lain telah menanti Janatin dan prajurit-prajurit KKO-AL lainnya, yaitu Operasi
Dwikora. Komando Dwikora dikumandangkan oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk
konfrontasi terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang disebutnya bagian dari
proyek neokolonialisme Inggris. Pada tanggal 31 Agustus 1957 Inggris memberikan
kemerdekaan kepada Persekutuan Tanah Melayu (Malaya), sementara Singapura,
Sabah, dan Serawak tetap berstatus koloni Inggris. Di sisi lain,
Brunei yang masih
tergantung kepada
Inggris juga
menjadi rencana besar
membentuk Federasi Malaysia.
Pemerintah Inggris dan
negara-negara Blok Barat lainnya yang merasa khawatir dengan perkembangan
kekuatan komunisme di Indonesia, menyetujui gagasan tersebut yang dipandangnya
sebagai strategi pembendungan pengaruh komunis.
Keputusan pembentukan Federasi Malaysia mendapat protes keras dari pemerintah
Filipina dan sebagian masyarakat di Serawak serta Borneo Utara (Sabah). Filipina memprotes
karena berpandangan bahwa wilayah Sabah masih menjadi
bagian dari Kesultanan Sulu, di Mindanao, Filipina.
Sementara
itu rakyat Kalimantan
Utara yang menolak bergabung dengan Federasi Malaysia melancarkan serangkaian
aksi demonstrasi dan pemberontakan bersenjata. Pemberontakan tersebut dimotori
Partai Rakyat Brunei pimpinan Azahari yang menghendaki kemerdekaan penuh Kalimantan Utara, lepas dari koloni
Inggris, dan membentuk Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU).
Awalnya, Indonesia
memandang gagasan pembentukan Federasi Malaysia sebagai persoalan internal
Malaysia, Singapura dan Borneo Utara. Namun, setelah melihat peran Inggris yang
demikian dominan yang disertai pengerahan kekuatan militer secara
besar-besaran, Indonesia berbalik menentang pembentukan federasi. Presiden Soekarno
dalam pidato 17 Agustus 1962 menyebutnya sebagai proyek neokolonialisme Inggris
di Asia Tenggara. Tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri RI Soebandrio
menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan bermusuhan dengan Malaysia.
Guna menyelesaikan masalah sengketa wilayah, Presiden
Filipina Diosdado Macapagal berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) di Manila antara tanggal
7-11 Juni 1963. KTT tersebut dihadiri Presiden Soekarno (Indonesia), PM Tenku
Abdul Rahman (Malaya), dan Presiden Macapagal
(Filipina). KTT Manila menghasilkan Persetujuan Manila atau Manila Accord yang ditandatangani tanggal
31 Juli 1963. Salah satu pasal dalam Manila
Accord menyebutkan hak penentuan nasib sendiri atau referendum di
wilayah-wilayah yang diklaim sebagai bagian dari Federasi Malaysia. Adapun
pelaksanaan dan hasilnya diserahkan kepada PBB. Namun, belum lagi tim bentukan
PBB bekerja, secara sepihak Malaysia dan Inggris mengumumkan deklarasi Federasi
Malaysia pada tanggal 16 September 1963.
Tindakan sepihak tersebut, dipandang Indonesia
sebagai pengingkaran terhadap kesepakatan damai Manila Accord. Akhirnya, terjadilah pergeseran pasukan secara masif
di perbatasan Indonesia-Malaysia, baik disekitar Selat Malaka
maupun Kalimantan. Sementara itu, masyarakat dari dua belah pihak pun turut
“memanaskan” suhu konfrontasi. Demonstrasi kerap terjadi di sekitar kedutaan
besar masing-masing. Puncaknya, tanggal 21 September
1963 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Penyerangan dan penghinaan terhadap lambang negara
RI (Garuda Pancasila) di Kedubes RI di Kuala Lumpur membangkitkan kemarahan
Presiden Soekarno. Melihat kian meredupnya peluang penyelesaian secara
diplomatik, akhirnya tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno dalam rapat raksasa
di Jakarta mengumandangkan Komando Dwikora, yang berbunyi: (1)
Perhebat
ketahanan revolusi Indonesiadan (2) Bantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk
membubarkan Negara Boneka Malaysia.
Komando Dwikora menjadi puncak
dari konfrontasi Indonesia-Malaysia dengan jargon Ganyang Malaysia. Berbagai angkatan berbenah untuk menindaklanjuti Komando Dwikora ini. Salah
satunya adalah KKO-AL. Sebagai salah satu pasukan berkualifikasi khusus, KKO-AL
secara simultan melaksanakan serangkaian latihan operasi yang bersifat khusus
pula seperti infiltrasi, demolisi, sabotase, gerilya, dan antigerilya, serta
operasi intilijen dan perang hutan. Latihan infiltrasi, gerilya, dan perang
hutan menjadi fokus utama mengingat kondisi medan Kalimantan sebagian
besar berupa bukit-bukit berlembah yang diselimuti hutan
rimba lebat. Sementara untuk menghadapi medan operasi di sekitar Selat Malaka,
KKO-AL
menambahkan serial latihannya dengan materi renang tempur, infiltrasi, dan
sabotase melalui laut.
Guna
menjaring prajurit-prajurit yang memenuhi standar tersebut, KKO-AL melaksanakan
serangkaian seleksi personel. Janatin,
yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Prajurit II KKO-AL setelah bertugas dari Irian Barat,
berhasil lulus seleksi dan mengikuti latihan khusus di Cisarua, Bogor, selama
satu bulan pada bulan April 1964. Adapun materi pendidikan meliputi intelijen
dan kontra-intelijen, sabotase, demolisi, gerilya, dan sebagainya. Pelatihan
khusus ini dikomandani Mayor KKO Budi Prayitno dan Letnan KKO Harahap sebagai
wakilnya. Setelah lulus dari pendidikan khusus di Cisarua, Prako II Janatin kemudian ditempatkan di OperasiA/Koti, di Pulau Sambu.
Untuk memperkuat Operasi A/Koti, KKO-AL mengerahkan sekitar 300 personel mulai dari
pangkat perwira hingga kopral. Kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam Ops. A
selanjutnya dibagi menjadi beberapa tim dengan sandi Brahma dan berada di bawah
kendali dua basis. Basis II bertugas mengkoordinasikan operasi di Semenanjung
Malaya dan Basis VI bertugas di wilayah Kalimantan Utara.
Janatin
bertemu dengan Tohir dan Gani bin Arup di Pulau Sambu karena berada dalam satu kesatuan, yaitu Tim
Brahma I yang dipimpin Kapten KKO Paulus Subekti. Janatin,
Tohir, dan Gani mendapat tugas yang sama yakni melakukan infiltrasi sekaligus
mengadakan sabotase di instalasi militer Inggris di Singapura.
Saat
memperoleh perintah untuk melaksanakan infiltrasi dan kegiatan intelijen ke
wilayah Singapura, Janatin
ditunjuk sebagai Komandan Tim, karena dinilai lebih senior dan memiliki
pengalaman kemiliteran. Namun kelemahannya, Janatin “buta” dengan situasi Singapura. Tohir,
justru sebaliknya, sangat paham dengan situasi Singapura, bahkan hafal
gang-gang kecilnya. Oleh sebab itu, Janatin
banyak memperoleh informasi mengenai Singapura dari Tohir.
Guna mengelabui agen-agen
rahasia atau informan Inggris dan Malaysia, Janatin mengganti namanya menjadi Usman bin Haji
Muhammad Ali dan Tohir menjadi Harun bin Said. Bersama dengan Gani bin Arup,
Usman dan Harun menyamar sebagai pedagang yang kerap hilir mudik dengan
menggunakan perahu kecil. Dengan berkedok pedagang keliling, ketiganya banyak
mendapatkan keterangan serta leluasa melakukan pengintaian di beberapa objek
vital. Ketiganya berhasil masuk ke Singapura dan kembali ke basis dengan
selamat sebanyak dua kali. Di basis Sambu inilah, didiskusikan beberapa titik
sasaran beserta kemungkinan dampaknya.
Pada tanggal 9 Maret 1965,
ketiga prajurit komando ALRI tersebut berhasil masuk ke tengah kota Singapura. Dengan pertimbangan yang matang, ketiganya
lalu sepakat bahwa sasaran utama mereka adalah gedung megah yang terletak di Orchard Road dan tidak jauh dari Istana
Kepresidenan Singapura, yaitu MacDonald House. Disinlah bom
meledak pada tanggal 10 Maret 1965. Ledakan tersebut merusak beberapa bangunan dan menewaskan 6 orang meninggal dunia dan puluhan luka-luka.
Mereka lalu berencana kembali ke pangkalan. Meskipun berhasil menyamar dengan menaiki Kapal Begama yang hendak menuju Bangkok, namun mereka ketahuan oleh pemilik kapal dan disuruh untuk meninggalkan kapal esok harinya. Saat diturunkan, mereka mendapati sebuah
sebuah motor boat
yang dikemudikan seorang Tionghoa.
Keduanya lalu nekad merampas morot boat tersebut dan membawanya berlayar menuju
Pulau Sambu. Malang di tengah perjalanan mesin kapal tiba-tiba macet sehingga
terombang-ambing di laut. Akhirnya pukul 09.00 pagi tanggal 13 Maret 1965
keduanya ditangkap patroli polisi perairan Singapura.
Setelah melalui proses identifikasi dan diketahui
sebagai anggota KKO-AL,
Usman dan Harun kemudian diajukan ke pengadilan tanggal 4 Oktober 1965. Hakim
J. Chua menolak mengategorikan mereka sebagai tawanan perang, dengan alasan tidak
mengenakan seragam militer.
Pada tanggal 20 Oktober 1966,
pengadilan berdasarkan Pasal 302 Penal Code 119 menjatuhkan hukuman gantung
sampai mati. Upaya banding dari dua prajurit KKO-AL menemui jalan buntu, bahkan
ketika diajukan Privy Council di London tidak membuahkan hasil. Pada
tanggal 12 Mei 1968, Privy Council
secara resmi menolak banding, tanpa proses persidangan sama sekali.
Sementara itu, situasi politik
Indonesia menjelang akhir tahun 1965 juga terjadi perubahan yang signifikan. Era
kepemimpinan Soekarno beralih ke Soeharto sejak tahun 1967. Dengan demikian
upaya pembebasan Usman dan Harun kini beralih Presiden Soeharto. Peralihan
kekuasaan itu membuka babakan baru dalam hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan Singapura dan Malaysia. Di bawah kepemimpinan Soeharto dengan rezim Orde
Barunya, dilakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia dan Singapura. Republik
Singapura sendiri resmi memperoleh kemerdekaan dari Imggris tanggal 9 Agustus
1965.
Pada tanggal 15 Oktober 1968,
Presiden Soeharto mengirim utusan pribadinya Brigjen TNI Cokropranolo ke
Singapura untuk menemui Presiden Singapura Yusof bin Ishak dan Perdana Menteri
Lee Kwee Yew. Namun, pemerintah Singapura tetap menolak permintaan pembebasan
atau keringanan hukuman Usman dan Harun. Pada hari Rabu tanggal 16
Oktober 1968 pukul 18.00 pemerintah Singapura mengumumkan pelaksanaan hukuman
mati tetap dilaksanakan esoknya, tanggal 17 Oktober 1968.
Saat itulah, para pejabat negara
Indonesia tersebut terkagum-kagum melihat ketabahan dan keteguhan dari dua
prajurit KKO-AL
itu. Tidak terlihat perasaan takut atau putus asa sedikitpun walau hukuman
gantung telah menanti mereka. Usman dan Harun tetap dieksekusi gantung pada tanggal
17 Oktober 1968 pukul 06.00 di penjara Changi, Singapura.
Setelah pelaksanaan eksekusi, utusan pemerintah
Indonesia Dr. Ghafur dibantu empat pegawai KBRI mengurus jenazah keduanya. Meskipun dipersulit akhirnya, jenazah baru dapat
diterbangkan ke Indonesia pada pukul 14.00 dengan menggunakan pesawat dari
TNI AU.
Pemakaman Usman dan Harun dilakukan dalam sebuah upacara militer pada tanggal
18 Oktober 1968 pukul 13.00 di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan Inspektur
Upacara Letnan Jenderal TNI Sarbini. Keduanya dimakamkan berdampingan sesuai
keinginan mereka sebelum meninggal.
Berdasarkan Keputusan Presiden RI
No. 050/TK/Tahun 1968 tanggal 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional dan tanda kehormatan Bintang Sakti. Kemudian, sebagai
penghargaan atas jasa dan pengorbanan mereka, pangkat Janatin alias Usman bin
Haji Muhammad Ali dinaikkan menjadi Sersan Satu (Anm) KKO-AL dan pangkat Tohir alias Harun
bin Said dinaikkan menjadi Kopral (Anm) KKO-AL.
Hubungan
diplomatik antara
Indonesia dan Malaysia secara
resmi dibuka kembali pada tanggal 31 Agustus 1967
tepat hari ulang tahun kemerdekaan Malaysia yang ke sepuluh. Dibukannya kembali hubungan diplomatic ini menunjukkan berakhirnya konfrontasi yang telah dilakukan selama ini. Ketegangan dengan Singapura mereda praktis setelah kunjungan
PM Lee Kuan Yew ke Indonesia.
Ketika akan
berkunjung ke Indonesia pada tahun 1973, Presiden
Soeharto mempersilahkan kunjungan
PM Lee Kuan Yew, tetapi dengan satu syarat, yaitu ia harus melakukan ziarah ke makam pusara kedua
Pahlawan Nasional tersebut di TMP
Nasional Kalibata. Entah
apa yang dipikirkan PM Singapura
itu, dengan tangannya sendiri ia mau meletakkan karangan bunga di atas makam kedua pahlawan itu. Sejak kunjuangan PM Lee
Kuan Yew ke makam Sertu KKO-AL (Anm) Usman
Janatin dan
Kopral KKO-AL
(Anm) Harun tersebut, praktis
hubungan kedua negara kembali menjalani babak baru.[]
Untuk Memesan BUKU USMAN JANATIN, Silahkan hubungi DISINI.
Saturday, June 29, 2019
Pengantar Penulis Buku Menebar Serpih Asa
![]() |
Buku Menebar Serpih Asa |
Puji syukur selalu
senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat
serta hidayahnya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan buku ini. Tujuan penulisan
buku ini sederhana, yaitu mengabadikan kisah. Dalam buku ini berisi segala
lika-liku seorang guru ladang sawit. Ditengah perjuangan dan pengabdian di
Sabah, Malaysia, selalu terbesit ingin mengabadikan da menuliskannya.
Solawat serta salam
tidak lupa selalu dihaturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang
telah menyelamatkan kita dari jaman Jahiliyyah, sehingga kita dapat memiliki
kemampuan untuk menangkap ilmu pengetahuan secara maksimal.
Penyusunan buku ini
penuh dengan perjuangan, penuh dengan lika-liku, dan penuh dengan tawa-haru.
Pada dasarnya penyusunan buku ini sebagai wacana bagi saya untuk selalu
mengingatkan dari diri sendiri dan terutama anak. Buku ini akan menjadi
pengingat bagi saya dan keluarga tentang kehidupan saya di negeri rantau.
Saya mempunyai
keinginan untuk menuliskan beberapa kisah dalam kehidupan pribadi, keluarga
ataupun dalam bermasyarakat yang telah saya jalani ini, dengan maksud agar
dikemudian hari saya bisa berkaca pada perjalanan hidup saya yang pernah saya
lalui, agar dikemudian hari saya dapat berbuat lebih baik lagi. Manusia itu
tempatnya salah dan lupa, itulah salah satu bijak yang memotivasi saya untuk
menuliskan kisah tentang kehidupan saya. Selain untuk bahan refereansi namun
juga dapat digunaka untuk introspeksi diri agar kita dapat selalu bersyukur
dengan apa yang telah kita dapatkan selama ini.
Penyelesaian buku ini tentu
dengan bantuan banyak orang. Tidak lupa saya ucakan terima kasih kepada semua
pihak, karena tanpa bantuan dari berbagai pihak mungkin penulis tak akan bisa
menyelesaikan buku ini. Terimakasih pada kawan-kawan guru di Sabah, terutama Bu
Aji yang sudah memberikan warna. Anak-anak di CLC Terusan 2 yang selalu
memberikan semangat. Tidak lupa kedua orang tua dan istri tercinta, Yuli
Windarti dan puteri kecil kami, Naira Ayudiasiya yang selalu memberikan motivsi
dan doanya.
Buku “Menebar Serpih
Asa” ini merupakan jilid II dari sekian jilid yang direncananakan, tergantung
masa tugas di Malaysia. Jilid I sudah berhasil diterbitkan dengan judul,
“Menggali Sebutir Makna”.
Buku ini hanya catatan
pribadi, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan pastinya memuat
berbagai macam kesalahan, untuk itu segalan macam kesalahan dalam buku ini kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak ada gading yang tak retak, kami menerima
segala macam masukan dan kritik. Segala kesalaah kami memohon maaf yang
sebesar-besarnya. Semoga saran dan kritik yang membangun akan menjadikan lebih
baik dalam mengeluarkan edisi buku jilid berikutnya.
Sabah-Malaysia,
22 Februari 2019
Penulis
Wednesday, May 29, 2019
Mengawal Suara di Ladang Sabah, Catatan Pemilu Ketua KSK 04
![]() |
Para Pekerja Migran Indonesia menyalurkan suaranya di Ladang Andamy, Sandakan, Sabah, Malaysia (9/4/2019) |
Tanggal 21 Mei
2019 dini hari menjadi babak baru kehidupan berdemokrasi kita, tidak lain
karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pemenang Pemilihan Umum
2019. Hasilnya, Ir. H. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai
pemenang dari kompetitornya, H. Prabowo Subianto dan H. Salahudin Sandiaga Uno.
Prosentase
kemenangan 55,50 % berbanding dengan 45,50 %. Hasil inilah cerminan dari proses
panjang perjalanan pesta demokrasi kita. Segala upaya, biaya, daya, bahkan
nyawa telah di berikan untuk mensukseskan pesta 5 tahunan ini.
Tercatat di data
Kemenkes per 17 Mei 2019, bahwa 527 petugas KPPS meninggal dan 11.239 orang
sakit. Tidak hanya didalam negeri pengorbanan itu diberikan, untuk menjaga
setiap hak suara orang Indonesia, KPU membentuk Panitia Pemunguan Suara Luar
Negeri (PPSLN) diberbagai penjuru dunia. Tidak mudah. Karena harus menembus
berbagai birokrasi diberagai negara.
Salah satu PPSLN
yang dibentuk di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
telah ditetapkan sebanyak 140.878 orang. Untuk TPS yang tercatat sebanyak 26
dan Kotak Suara Keliling (KSK) sebanyak 433 pada tujuh distrik, yaitu
Sandakan-Kinabatangan, Kudat, Keningau, Labuan, Beafourt-Sipitang, Bandar Kota
Kinabalu 1 dan 2.
Segala tantangan
dan hambatan menjadi kendala tersendiri ketika melaksanakan pemilu di luar
negeri. Tidak seperti di Indonesia, orang-orang Indonesia yang berada di Sabah
telah bercampur dengan penduduk lokal maupun orang Filiphina yang terkadang
kita sukar membedakaanya. Dan masih banyak tantangan lainnya.
Tantangan
di Ladang
Hari Minggu, 7
April 2019 berkumpul para petugas KSK diseluruh Distrik Sandakan-Kinabatangan
di Hotel Livingston, Sandakan. Tujuannya tidak lain mengambil logistik dan
kotak suara untuk melakukan pemungutan suara esok harinya.
Pengambilan
berjalan lancar, namun ada beberapa kendala. Salah satunya adalah terbakarnya
mobil pengangkut KSK yang baru diambil di Sandakan. Peristiwa ini juga saya
lihat sendiri, betapa api begitu ganas melumat segala isi, termasuk mobilnya. Untung saja kawa saya selamat.
Kejadian ini terjadi di jalan Jalan Sapi Nangoh-Paitan yang tujuannya akan
dibawa ke wilayah kerja Perusahaan Sawit IJM dan Meridian.
Jarak tempuh
yang jauh dan human eror menjadi
penyebab utamanya. Perjalanan dari pedalaman sawit ke Bandar Sanadakan
membutuhkan waktu sekitar 4 hingga 12 jam perjalanan. Sungguh melelahkan. Sayangnya,
di Indonesia sendiri peristiwa ini sudah dijadikan lahan penyebaran hoax.
Berbagai berita
negatif dan berbau fitnah tersebar karena berita ini. Padahal peristiwa ini
murni karena human eror. Dan sudah
ditindak lanjuti oleh KPU RI untuk mengganti segala logistik yang terbakar.
Itu hanya salah
satu contoh nyata, betapa pemilihan umum diluar negeri tidaklah mudah. Kerja
yang berat ditambah isu yang terus menyerang menjadi ujian tersendiri. Seperti
kisah saya sendiri, yang harus menempuh jalanan jauh dan berbatu untuk melayani
hak suara mereka.
KSK yang saya
pimpin adalah KSK 04 yang terletak di Perusahaan sawit Terusan 2 Estate dibawah
naungan Wilmar Plantition. Selain itu, saya harus membantu kawan lainnya di ladang-ladang
kecil. Seperti ladang Andamy, Kamansi Dua, dan Hiew Syn Kiong. Dan pemungutan
suara itu tidak bisa dilakuakan dalam 1 hari.
Kami diberikan
kesempata selama 3 hari untuk keliling ke ladang-ladang sawit itu. Udara panas,
dan jarak yang jauh menjadi suguhan wajib. Terlebih lagi ladang kecil, yang terkadang
hanya berpenghuni 20-40 orang Indonesia. Namun, mereka punya hak yang sama,
selama dia bisa menujukan identitas sebagai Orang Indonesia, maka mereka berhak
menentukan pilihannya.
Mereka punya hak
untuk mengikuti pesta demokrasi 5 tahunan ini. Disini, mereka hanya mencolos 2
surat suara, yaitu suara pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan DPR-RI. Banyak
dari mereka yang tak paham, siapa orang yang didalam surat suara itu. Namun,
dengan sosialisasi kecil-kecilan, semua berjalan lancar.
Tugas kami
selesai ketika penyerahan kembali kotak suara ke Sandakan untuk kemudian
dihitung di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kota Kinabalu, Sabah.
Tepat tanggal 17 April 2019 penghitungan suara dilakukan. Jarak dari Sandakan
ke Kota Kinabalu sekitar 300 km, dan membutuhkan waktu 5-6 jam perjalanan. Di
sana, semua petugas TPS dan KSK berkumpul menjadi satu untuk tujuan yang sama,
yaitu rekapitulasi hasil dari pemungutan suara di ladang-ladang.
Terhitung 3 hari
kami semua melakukan kegiatan itu, saya sendiri memulai jam 17.00 sore hingga
selesai jam 01.00 dini hari. Waktu 7 jam itu hanya 2 surat suara, bisa
dibayangkan betapa lelahnya kawan-kawan petugas yang ada di Indonesia karena menghitung
5 surat suara.
Selama proses 3
hari penghitunga suara, dihasilkan 87.227 orang Indonesia menggunakan hak
pilihnya dari DPT 140,878. Suara untuk pasangan calon 01 sebanyak 71.109 orang
dan pasangan calon 02 sebanyak 15.555 orang, sedangkan sisanya suara tidak sah.
Artinya partisiasi orang Indonesia di Kota Kinabalu sebanyak 61,9 %. Prestasi dari
partisipasi ini menjadi tanda selesainya tugas kami.
Kembali
ke Indonesia Raya
Setelah semua
pesta demokrasi ini selesai, bangsa Indonesia harus kembali berdaulat. Jhon
Locke pernah mengatakan bahwa, kedaulatan rakyat pada hakikatnya sejalan dengan
arti dan makna demokrasi, yaitu sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Kedaulatan rakyat inilah yang menjadi kekuasaan tertinggi di negara
demokrasi.
Ini menjadi penting,
karena kewajiban kita untuk selalu merawat kedaulata rakyat yang hampir lelah
diserang bertubi-tubi akibat diserang isu-isu hoax yang berpotensi memecah belah bangsa. Pasca pemilu 2019 ini,
semua pihak harus kembali pada persatuan, membangun Indonesia secara
bersama-sama, dalam bingkai Indonesia Raya.[]
Subscribe to:
Posts (Atom)
Popular
Label
- ASAL USUL DESA (66)
- DOKUMEN AKADEMIK (19)
- KOMPETISI (31)
- KONTROVERSI SEJARAH (33)
- MALAYSIA (375)
- OPINI PENDIDIKAN (40)
- PERISTIWA SEJARAH (39)
- RENUNGAN (11)
- RESENSI BUKU (28)
- SASTRA (26)
- TIPS DAN TRIK (6)
- TOKOH BANGSA (10)
- TRAVELING (22)