Sunday, December 27, 2020

Kelanjutan Kerajaan Jawa #SeriKeratonJawa

Sultan Agung
sumber: rayanet.web.id

arifsae.com - Indonesia saat ini merupakan negara dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi, sebelum Indonesia menjadi negara Republik, ternyata sebagian besar wiayah di Indonesia berbentuk kerajaan. Bahkan pada masa kejayaanya, kerajaan-kerajaan di Indonesia pernah diakui oleh kerajaan besar dibelahan dunia lainnya.


Kerajaan-kerajaan ini hadir dan eksis pada masa Hindu-Budha sampai kedatangan Islam di Indonesia. Sebut saja Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Kerajaan ini menjadi kerajaan maritim yang disegani dikawasan Asia Tenggara. Atau Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, yang luas wilayahnya bahkan melebihi luas wilayah Indonesia saat ini.


Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit eksis pada masa Hindu-Budha. Setelah era Hindu-Budha berakhir (dengan ditandainya masuknya ajaran Islam), maka bergantilah corak Kerajaan yang ada di Indonesia menjadi Islam. Dengan masuknya Islam, maka landasan Islam yang menjadi ciri khas pemerintahannya. Ketika kedatangan penjajah yang mencoba ikut campur dalam kedaulatan wilayahnya, tak jarang kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia menjadi yang terdepan ketika melawan penjajah VOC Belanda. Salah satu contoh kerajaan itu adalah Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, dan Kerajaan Mataram Islam.


Dari semua kerajaan-kerajaan diatas, hanya tinggal Kerajaan Mataram Islam yang masih eksis hingga saat ini. Kerajaan-kerajaan, yang setidaknya melanjutkan kekuasaanya, ini tetap hidup dan mendarah daging di lungkungan orang Jawa. Baik bangunan atau ajaran dan kebudayaanya masih terjaga sampai sekarang. 


Kelanjutan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam atau Kasultanan Mataram berdiri sekitar abad ke-17 yang didirikan oleh Sutawijaya atau Panembahan Senapati putera dari Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan ini boleh dikatakan sebagai penerus dari Kasultanan Pajang sepeninggal Raja Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Bahkan lebih jauh, penerus Kasultanan Demak yang juga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit.


Didalam Kerajaan inilah muncul sosok raja yang membawa pada keemasannya, dialah Mas Rangsang atau Sultan Agung Prabu Hanyongkrokusumo. Pada masa Sultan Agung, wilayah kekuasaanya mencakup sebagian Pulau Jawa (sebagian Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur) hingga Madura. 


Bahkan, Sultan Agung berani menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628-1629 Masehi, disaat kerajaan lain segan dan takut terhadap kekuatan VOC. Namun sayang, setelah mengalami kejayaanya, Kasultanan Mataram perlahan meredup pengaruhnya sejak meninggalnya Sultan Agung. VOC secara berangsur-angsur berhasil memecah belah kerajaan ini menjadi beberapa bagian.


Puncaknya, pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilyah, yaitu Kesunanan Surakarta dibawah raja Susuhan Paku Buwono III dan Kesultanan Yogyakarta dikendalikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram Islam telah pecah. Dan kedua kerajaan pecahaanya dianggap sebagai kelanjutan dari Kasultanan Mataram Islam.


Tidak sampai disitu, perpecahan tetap terjadi di tubuh kerajaan-kerajaan yang dianggap sebagai penerus Dinasti Mataram itu. Karena 2 tahun berselang sejak Perjanjian Giyanti, Kasunanan Surakarta terpecah lagi. Sejak 17 Maret 1757, Raden Mas Said dan Sultan Paku Buwana III menandatangani Perjanjian Salatiga, yang memberikan hak kepada Raden Mas Said untuk menguasai wilayah Timur dan Selatan dari wilayah Mataram. Gelar dari Raden Mas Said adalah Mangkunegara I. Kemudian diberikan wilayah yang berkedudukan di Pura Mangkunegaran.


Perpecahan tidak hanya terjadi dalam  tubuh Kasunanan Surakarta, gejolak juga terjadi di Kasultanan Yogyakarta. Karena pada tahun 1813, didalam wilayah Kasultanan Yogyakarta timbul perselisihan di wilayah kepangeranan yang mengakibatkan wilayah itu memisahkan diri. Wilayah itu adalah Kadipaten Paku Alaman dengan raja Pangeran Nata Kusuma bergelar Pangeran Adipati Paku Alam yang bertempat tinggal di Pura Paku Alaman.


Istana Para Raja

Sebagai sebuah raja, tentu selayaknya sang raja mempunyai istana sebagai lambang kebesaran sebuah kerajaan. Istana untuk para Raja-Raja di Jawa lazim disebut dengan Kraton. Istilah keraton atau sering ditulis kraton, karaton atau kedhaton, berasal dari kata kratuan. Arinya, tempat dimana ratu atau raja tinggal.


Kraton merupakan bangunan yang mewah dan besar yang lazim didiami oleh keluarga kerajaan. Biasanya setiap kraton memiliki ciri khusus dan menjadi identitas bagi kerajaan sekaligus sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Biasanya selain menjadi pusat pemerintahan, juga sebagai lambang budaya dan tentunya tempat tinggal para keluarga raja.


Dalam tulisan ini, akan di bahas secara ringkas mengenai bentuk bangunan dan bagian-bagian arsitektur kraton Jawa sebagai penjaga budaya yang masih tersisa. Keempat kerajaan itu adalah Kraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Kraton Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Paku Alaman yang masih lestari hingga kini.[]

Bersambung ke BAB I DISINI.