Thursday, January 19, 2017

Mencari Kejujuran [Cerpen]


Jam dinding sudah menunjukan pukul 01.00 WIB, suara brrrttt brrrrtttt dari printer terdengar dikesunyian malam. Kelengkapan berkas-berkas lamaran untuk melamar dibeberapa sekolah sudah selesai tersusun. Rasa kantuk yang ditahannya semakin menjadi-jadi. “Huftt....mau tidur dulu aah, tapi baiknya aku bereskan dulu ini semua.” batinnya.
Rencananya lamaran itu akan dia kirim via pos besok. Ada beberapa yang diantarkan langsung. Tapi yang lainnya harus pakai pos karena memang jaraknya yang lumayan jauh. Laptop dan printer sudah dia matikan dan membereskan kertas-kertas yang berserakan. Dihembuskannya nafas dalam-dalam, “Allhamdulilah, plong!” senyum lega terbentuk dibibirnya. Dia beranjak kekamar tidurnya dan melihat isterinya sudah nyenyak tertidur.
            Adzan subuh sudah berkumandang, suasana dingin yang menusuk tulang merebak keseluruh ruangan rumah. Selimut tebal tiba-tiba ditarik pelan. “Mas, bangun, shubuhan dulu?” dia kaget. Agak malas jawabanya, “Heeemmmm.”, dia kemudian bangun menuju tempat wudhu. Setelah melaksanakan sholat Shubuh terselip do’a supaya lamarannya ada yang berhasil. Pagi nanti akan dia kirimkan lamaran ini via pos 10 dan yang 5 akan diserahkan sendiri ke sekolahan yang jaraknya dekat. Dia sempatkan jalan pagi disekitar rumahnya. Setelah selesai jalan pagi, dia menuju dapur untuk minta dibuatkan kopi oleh istrinya.
            “De, tolong buatkan kopi donk.” Istrinya yang sedang sibuk didapur segera mempersiapkan kopi pesanan suaminya. “Tadi malam tidur jam berapa mas?” tanya isterinya sambil tanganya terus meracik kopi.
            “Sekitar jam 1 malam, nanti aku coba kirim lamaran ke kantor pos, sudah tak buat 15 rangkap, yang 5 mau aku antarkan sendiri, semoga ada yang berhasil.”, dia menjawab pertanyaan istrinya sambil mengambil handuk untuk siap-siap mandi.
            “Iya, semoga berhasil ya mas, ada sekolah yang manggil njenengan, ini kopinya tak taruh meja”. Jawaban suaminya hanya singkat, “Iya.”, dan kemudian beranjak kekamar mandi. Dia khwatir isterinnya kembali menanyakan pertanyaan yang lebih banyak . Meskipun istrinya tidak banyak menuntut, tapi perasaan tidak enak dalam hatinya masih berkecamuk karena sudah 6 bulan sejak lulus S1 hanya mengajar di SKB paket C. Dia mengenal istrinya dikampus tempat mereka kuliah, mereka beda jurusan. Dia menikahi istrinya setelah 1 bulan kelulusannya dengan cara yang sederhana. Baginya menikah muda adalah cita-citannya dari dulu. Urusan rezeki, dia percaya akan diberikan jalan oleh Allah. Istrinya sudah menjadi guru SD. Setelah istrinya berangkat, diapun menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan sedang.
***
Matahari sudah mulai menampakan hangatnya ketika dia sampai. Setelah motornya dimatikan, dia melangkah memasuki kantor pos. Jam sudah menunjukan 09.45 WIB. Berkas-berkas dikeluarkan setelah mengambil nomor antrian. Dan tiba-tiba, “Dorrr....” ada suara mengagetkannya dari belakang. Karena kantor pos yang dia datangi merupakan kantor pos terbesar dikota Purbalingga, sehingga tidak terlalu melihat orang-orang disekitarnya.
Astaghfirulloh, Ajiii. Tak kira siapa, bagaimana kabarnya? Kerja dimana sekarang?” Tanyanya pada sosok teman satu jurusan dibangku kuliah dulu.
Alhamdulillah baik..Aku sekarang kerja di Bank Yok. Kamu kerja dimana sekarang? Mau kirim apa nih?” Tanya balik Aji pada Yoko. Tanpa basa-basi, Aji langsung meraih tumpukan amplop dan melihat tulisan sampul amplopnya.
“Emmm, apa ini Yok? Mesti lamaran kerja ya? Belum dapat kerja?” tanya Aji. Yoko hanya mengangguk kecil. Ada rasa enggan didirinya untuk bicara dengan Aji yang terkenal usil itu.
“Mudah-mudahan berhasil Yok,” suara lirih Aji membuatnya terdiam sejenak. Runtut pertanyaan Aji tentang berapa lamaran yang sudah dikirim serta kegiatan apa saja yang dilakukan setelah lulus sarjana. Dijawabnya dengan singkat.
“Coba kamu ikuti ‘caraku’, setelah lulus daftar di Bank, pasti sudah setengah tahun yang lalu kamu bekerja.” Meskipun Aji lulusan Fakultas Keguruan, dia tidak mau menjadi guru honorer karena gajinya kecil. Ucapan Aji begitu jelas dan menusuk ditelingannya.
“Maksudmu Ji?” tanyanya ingin tahu arti dari ucapan Aji itu.
“Aahhh....masa kamu tidak tahu maksudku?” heran Aji. Sepertinya Aji menyesal terlanjur berbicara padanya lalu mengambil sikap tutup mulut. Dia jadi penasaran. Rasa engganya semula untuk bicara dengan Aji sirna. Tiba-tiba Yoko dipanggil oleh teller untuk menyerahkan berkas yang dikirim. Setelah selesai, dia kembali ketempat duduk dan melanjutkan obrolannya dengan Aji.
“Ji, sebenarnya yang seperti itu aku sudah tahu, tapi aku tidak percaya hal itu,” dia mencoba memancing Aji supaya lebih banyak bicara. Dia jadi ingat bahwa Aji mempunyai mantan pacar waktu kuliah dan mungkin akan tertarik ketika dia tawarkan no HP mantannya. Semoga ini bisa membuat Aji bicara.
“Ji, aku punya no HP nya Lulu loh,” pancingnya sambil menatap lebih serius Aji. “Hah, masa?? Mana sini, aku minta nomornya,” ternyata taktiknya jitu, dengan mengambil posisi duduk disampingnya dan pura-pura melihat sekeliling kantor pos, Aji kembali berucap dengan sedikit berbisik pelan. “Akuu.....nitip uang dan terima beres.” dia mengerutkan dahinya dan menoleh kearah Aji.
“Maksudmu?” tanyanya. Namun Aji diam. Dia makin penasaran. Dicobanya memancing penjelasan itu dengan memberikan nomor HP Lulu. Dia sikut badan temannya itu. “Emm,iya,,iya,” Aji langsung tanggap. “Aku dulu titip uang 20 Juta kesodaraku yang kerja di Bank, setelah itu kamu pasti diterima dan menikmati gaji besar kaya aku,” ucap Aji terpaksa.
“Hahh..yang bener aja Ji? Ati-ati kalau bicara loh. Mbok jadi fitnah!”
“Fitnah? Hehehe....!!” Aji tertawa kecil melihat ekspresi muka temannya itu. “Yoko,,Yoko! Ini sudah jadi rahasia umum. Teman-teman kita yang bekerja di Bank rata-rata seperti itu.”
“Kamu jangan asal ngomong Ji!” Yoko kembali menegaskan pernyataan temannya itu sekali lagi.
“Iya! Sumpah. La aku buktinya Yok. Wong kalau kamu mau, nanti tak bantu ke Om ku yang kepala sekolah, zaman sekarang mencari sekolah tanpa punya ‘chenel’ susah Yok.” Rasa ingin tahu Yoko lebih membludak dan ingin bertanya lebih jauh lagi. Tapi, tiba-tiba suara dari pegawai teller pos memanggil namanya, tanda surat lamaran sudah selesai diinput data untuk dikirimkan. Setelah selesai, mereka berpamitan.
***
            Waktu terus berjalan. Dua bulan telah berlalu sejak dia mengirimkan surat lamaran kerjannya di kantor pos. Hari itu, ada surat datang dari tukang pos. Setelah membuka suratnya, kop surat tertulis MA favorit di kota Purbalingga, tertulis perihal balasan surat lamaran. Dia teruskan kebawah, rupanya pemberitahuan bahwa pihak sekolah meminta maaf karena tidak ada lowongan guru disekolah tersebut. Ini merupakan surat pemberitahuan sejenis yang kesekian kalinya.
            Untuk kali ini dia sedikit tertekan. Dia kecewa untuk kesekian kalinya. Padahal sekolah itu merupakan MA terbaik dikotanya. Terbayang kembali olehnya, begitu repot menyusun surat lamaran itu, terbayang juga kuliah yang sudah 4 tahun dan harapan istri serta keluarganya yang ingin melihat dia mengajar disekolah formal. Meskipun sekarang dia sudah mengajar sebagai guru di SKB paket C, tapi sistem kerjannya tetap berbeda dengan sekolah formal.
Tidak lama setelah itu, HP nya berbunyi, ternyata ada sms masuk dari Aji, “Lagi dirumah tidak? Aku lagi berkunjung kerumah nasabah didesamu, kalau dirumah aku mau main nanti.” Setelah dibaca sms dari temanya itu, dia membalas bahwa sekarang ada dirumah.
Setelah sampai dirumah Yoko, Aji dipersilahkan duduk dan Yoko mengambilkan minuman untuk Aji. Jam-jam pagi memang tidak ada orang dirumah, istrinya pergi mengajar di SD, dan mertuannya pergi berjualan dipasar. Tanpa sadar ketika Yoko mengambilkan minum, Aji melihat surat pemberitahuan penolakan dari sekolah dimeja. Ketika sudah selesai menyajikan hidangan, duduklah Yoko. Aji memulai percakapan. “Sudah berapa penolakan yang kamu terima Yok?” tanpa basa-basi Aji bersuara ‘menusuk’ hati Yoko. “Sudah deh Yok, ikuti caraku saja? Mumpung bulan ini Bank ku akan mengadakan rekruitmen, kalau tidak aku bantu masukan ke sekolah Om ku, kan sebentar lagi tahun ajaran baru.”
“Mmmm, begitu ya?” jawaban Yoko hambar.
“Iya Yok, zaman gini kamu terus berpegang pada idealismu sama saja mati konyol.” Tuding Aji. Yoko sudah mulai terpancing untuk menjawabnya.
“Mati Konyol? Tidaklah! Mungkin memang belum rezekiku.” dalihnya. Dia tatap Aji. Temannya yang usil itu seperti tidak menerima dalihnya dan mendesak terus. Dari pada diam terus, Yoko menjawab terus terang.
“Ji, kamu memang ingin tahu alasanku kenapa aku tadak mau bekerja selain jadi guru, dan aku juga tidak mau menjadi guru karena chanel mu itu?” Aji cepat mengiyakan. Kemudian Yoko memulai percakapannya, “Begini Ji,” dia kembali terdiam dan menghela nafasnya.
“Heiii!” Aji mengagetkan. “Begini apa maksudmu Yok?”
“Begini. Aku tidak mau bekerja diluar dunia pendidikan karena panggilan dan pilihan hidupku, aku kuliah menimba ilmu selama 4 tahun dengan tujuan menjadi pendidik, kenikmatan tersendiri mentransferkan ilmu yang sudah dipelajari selama 4 tahun, juga menjadi bekal amalan kita diakhirat, kan ilmu yang bermanfaat salahsatu amalan yang tidak akan terputus setelah kita meninggal kelak.” Kembali diam, Aji menegaskan temannya lagi dan sepertinya belum paham maksud tersirat dari Yoko.
“Terus....? Kenapa aku tawarkan bantuan jadi guru kok malah kamu tidak mau?” Aji mengalihkan pertanyaanya pada masalah tawarannya untuk dikenalkan kepada Om nya yang jadi kepala sekolah.
“Kalau masalah itu, untuk sekarang aku lebih memilih tetap mengajar di SKB dulu, usahaku untuk mencari kerja tidak akan berhenti, aku menikmati proses ini. Bukan karena ‘dititipkan’ om kamu. Aku ucapkan beribu terima kasih, tapi memang ini pilihan hidupku, kalaupun saat ini aku belum dipanggil, aku anggap semata-mata memang belum rezekiku. Aku yakin, dari sekian sekolah, pasti ada 1 yang memang membutuhkan guru, cepat atau lambat. Aku percaya kuasa Allah.” Jawaban Yoko cukup membungkamkan Aji. Akhrinya Aji cepat-cepat mengalihkan pembicaraan setelah mengetahui jawaban sebenarnya dari temannya itu.
Setelah cukup bertamu, Aji pamit untuk melanjutkan kunjungannya kerumah nasabah-nasabah yang akan disurvey.

***
            Satu bulan berlalu setelah Aji main kerumahnya. Dia meyakini bahwa rezeki tidak akan tertukar. Mungkin saat ini belum saatnya dia bekerja jadi guru di sekolah formal. “Aku tidak boleh menyerah.” Ucapnya dalam hati, kebetulan bulan ini tahun ajaran baru hampir dimulai.

            Tidak lama berselang, ada telepon masuk, dilihatnya dari nomor baru. Bukan nomor HP, itu nomor kantor. Dia penasaran, dan mengangkatnya, “Hallo, Assalamualaikum.” Ucapnya. “Waalikumsalam, betul ini dengan bapak Suyoko Nugroho? Kami dari SMA.......” ***