Thursday, January 19, 2017

Pembalasan Pohon [Cerpen]

Pohon Kami
Karya Naira

Waktu masa lalu,kami punya pohon yang mungil
Yang kadang kami sirami dan tersirami air hujan
Dan juga terpancari hangatnya matahari
Disitu aku dan teman-teman bermain
Namun, kini...
Sebentar lagi hilang dari muka bumi
Waktu demi waktu selalu kami tunggu
Tapi sebentar lagi, pohon kami akan mati
Banjir air dimataku..

                                                                                     02-02-2016

            Pohon-pohon itu sebentar lagi akan terkapar ditanah. Tempat bermain yang nyaman untuk anak-anak, rumah yang rindang untuk burung, semut, dan hewan kecil lainnya. Menjadi tempat paling tentram untuk berkumpul, seperti tempat rapat orang-orang dikantoran. Kadang menjadi terminal para pedagang keliling yang menjajakan dagangannya dikomplek perumahan kami.
            “Apa salahnya pohon itu, Ma? Kok pohonya ditebang? Apa mereka tidak paham dengan global warming?” Anakku yang baru menginjak 7 tahun saja sudah tahu global warming, bisa membuat puisi pula.
            “Nanti kita tanam pohon yang lain ya, Sayang?”
            “Tapi menanam pohon itu kan lama menunggu besarnya, Ma.”
            “Kalo kita sabar pasti tidak lama kok.”
            “Kenapa sih mereka tega, Ma?” Tanya anakku lagi, kini matanya kelihatan sembab, tanda kesedihan mendalam yang terpancar diraut mukannya.
            “Katanya pohon-pohon itu daunya menimbulkan banyak sampah, akarnya juga merusak bangunan disekitarnya.”
            “Kok mereka yang repot, pohon itu kan ada didepan rumah kita? Yang kena sampahnya juga bukan mereka? Betul kan, Ma?” Aku hanya mengiyakan, sembari kuelus kepalannya yang sejak tadi bersandar dibadanku. Meskipun pohon itu memang bukan punya kami pribadi.
            “Siapa sih Mah, yang mulanya bicarakan soal penebangan itu?” Tanya anakku penuh kesedihan.
            “Banyak, Sayang. Orang-orang kan juga cape setiap hari harus menyapu daun-daunnya.” Aku mencoba memberikan alasan sekenanya.
            “Ya sudah, nanti aku bantu menyapukan setiap sore. Bener Ma, aku janji, yang penting pohon itu jangan ditebang. Lagipula kasihan kan burung-burung itu. Ada rumah burung diatasnya, Ma?”
            Tapi sudah terlambat. Anakku tidak akan membersihkan sampah-sampah itu. Daun-daun yang rindang itu sudah ambruk sebelum bertemu dengan sinar matahari. Tinggal hatiku sesak, mataku sembab. Sebentar lagi akan jebol. Perasaan anakku begitu dalam kepada pohon yang tumbuh didepan rumah kami itu. Perlahan ketika golok Bang Giman bergerak. Kemudian ranting-ranting itu meluncur ketanah bergantian. Mata anakku terlihat nanar. Tak lama kedua pemilik mata kecil itu menghilang. Meninggalkan goyangan korden yang tertetesi air mata anakku. Terdengan raungan suara anakku didalam kamar. Terkunci, dikunci!
            Orang-orang mulai berdatangan. Tangan-tangan itu membantu dengan sigap Bang Giman untuk menebang pohon utamanya. Beberapa orang menarik tambang dari arah kiri, yang lain memberikan aba-aba. Dan pohon itu sudah dieksekusi. Sekarat! Oh anakku, begitu ramai sekarang pohon halaman depan kita. Kini beberapa orang berebut mengambil bagian-bagian tumpukan kayu. Sementara dari dalam kamar, anakku menjadi-jadi dengan tangisannya.
            Anakku hanya merindukan Semut Rangrang yang bekerja berkejar-kejaran. Menggelar tikar dibawah pohon sambil bermain warung-warungan. Uangnya dari daun-daunan yang berjatuhan untuk pembayaran. Vonis yang dijatuhakn para tetangga sungguh hebat, hanya karena dedaunannya mengotori lingkungan dan akarnya merusak bangunan. Orang-orang lupa akan kehebatan manfaat pohon itu, dialah awal munculnya kebersamaan diblok perumahan ini.
            Kami adalah pendatang yang awalnya tidak saling mengenal. Rutinitas yang menyibukan sehari-hari sangat menyita waktu, mengakibatkan pertemuan antar tetangga sangat jarang terjadi. Hingga pohon itu tumbuh dengan subur. Kami menyiraminnya dengan rutin. Kami memagarinya agar tidak terinjak-injak, awalnya anak-anak yang bermain, lama-kelamaan para ibu-ibu yang awalnya mengawasi anak-anak bermain akhirnya berbincang kesana kemari. Dan akhirnya menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk sekedar sharing rumah tangga. Ditempat itu, kami bertukar informasi. Kami jadi tahu siapa yang sedang sakit, siapa yang butuh pertolongan, atau hal-hal kecil yang tidak penting seperti mencari baju yang bagus, sandal yang murah.
            Yang lebih menyenangkan adalah singgahnya para pedagang. Seperti tukang sayur, tukang bubur, tukang siomay, dan tukang-tukang yang lain. Aku tidak akan berjalan jauh untuk membeli itu semua. Lebih dari itu, pohon itu menjadi sarang-sarang burung. Biasanya buah-buahnya menjadi santapan kelelawar dimalam hari, meskipun bekas-bekas makanan kelelawarnya bermuntahan didepan halaman, namun aku selalu membersihkannya. Belum lagi suara burung cuit cuit yang menghadirkan keasrian alam ditengah perumahan.
***
            Memang benar, semua berjalan baik. Proses penebangan berjalan lancar dan aman. Dari puncak muda sampai pangkal semua dibabat. Pohon-pohon yang sudah mengabdikan diri kepada lingkungan sekitar perumahan kami. Anak-anak, ibu-ibu, para pedagang, hingga burung dan kelelawar. Pipiku masih basah. Lebih terasa sedihnya lagi, akibat penebangan pohon itu perlahan-lahan mualai terasa. Setelah penebangan itu, perlahan sorotan sinar matahari memelototi kami dengan tajam. Tak ada belas kasihan.
            “Mama, coba lihat, burung-burung itu datang, tapi cuma berputar-putar disitu. Kasihan sekali, Ma.” Dalam hatiku bergumam mereka pasti mencari tempat yang biasanya dijadikan sandaran, untuk sekedar bertengger dibatang atau mencari tempat yang nyaman untuk membuat sangkar. Itu rengekan yang entah berapa kali aku dengar dari mulut Naira kecilku.
            “Tuh kan, Ma. Kasihan burung-burungnya, berputar-putar begitu. Mereka pasti kelaparan...”
            “Tidak apa-apa, nanti kan burungnya mencari makanan ditempat lain, mereka kan punya insting, Sayang.”
            “Tidak mau! Suara burung itu indah, pokoknya aku tidak mau burung itu pindah, Mah!”
            Mulut ini tersumbat untuk bicara. Hanya bisa diam. Tiba-tiba anakku meneteskan air matannya lagi.
            “Aduh, anak mama kok sekarang jadi cengeng begini ya?” Tak terasa mataku juga mulai menghangat. Kupeluk anakku erat-erat. Dadanya terasa mengemuruh didadaku.
            “Orang-orang disini jahat-jahat semua! Aku benci mereka, Mama..!” Aku tidak tahan lagi, pipiku juga akhirnya ikut basah.
            “Sudahlah, Nak. Daripada sedih-sedihan begitu mending kita jalan-jalan yuk, ini kan hari libur,” Ayahnya tiba-tiba mendekat memecahkan suasana haru itu.
Tapi pelukan anakku semakin erat. Dia menggelengkan kepalannya. “Pasti teman-temanku tidak mau lagi main disitu. Nanti aku tidak punya teman lagi.”
            “Tidak sayang, tempat main kan banyak, Nak...” Tiba-tiba ayahnya coba menenangkan suasana.
“Tapi kami sudah berjanji untuk buat rumah-rumahan pohon, Yah..Hikz..Hikz”
Perlahan mataku terfokus kedepan halaman rumah. Terasa sekali langit begitu terang. Kupandang halaman. Aku tersentak. Dedaunan dan bunga-bunga itu! Bertahun-tahun kurawat sekarang sudah berubah bentuk! Anthurium itu! Suplir-suplir itu!!!
            “Sayang, sebentar, Mama harus menyirami bunga-bunga itu dulu. Sekarang mereka cepat kena panasnya.”
            “Tuh kan, Ma....” Suara anakku menyalahkan.
Aku baru tersadar, dua hari sudah pohon-pohon itu ditebang. Banyak perubahan yang terjadi begitu drastis. Seperti tanaman pot ku yang layu, sudah pasti karena mereka langsung bertatapan dengan matahari. Selama ini, aku menyirami tanaman-tanamanku dua hari sekali. Tapi kali ini sepertinya harus dua kali sehari! Aku mulai kelabakan. Banyak pula yang sudah lunglai batangnya. Dua hari ini akau tidak memperdulikannya. Inilah akibat pertama yang kurasakan setelah pohon-pohon itu ditebang.
                                                            ***
            Hari berikutnya. Aku masih termangu didepan jendela. Rutinitas baru setelah pohon-pohon itu tidak ada lagi. Mengintip situasi diluar dari balik jendel. Mirip seorang putri yang akan terkena kutukan bila tubuhnya terkena sinar matahari. Hanya menarik nafas lemah menikmati batu-batu taman yang lesu. Warna pagar mendadak kusam dimataku. Daun-daun menjadi lebih banyak berwarna coklat dibanding yang berwarna hijau.
            Sedasyat ini halamanku dianiaya oleh saudaranya sendiri? Matahari, yang sebenarnya membutuhkan sinarnya untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Tak ada gerakan apapun diluar sana. Suasana terasa sepi. Sinar matahari memantul dari logam-logam yang masuk rumah tanpa hambatan. Juga melalui jendela-jendela. Isi rumah benderang bahkan kesilauan. Ketidaknyaman ini membuatku kedalam. Lalu siap duduk untuk menyalakan televisi. Tapi lagi-lagi pantulan itu masuk boks kaca dihadapanku. Aku menelan ludah. Seekstrim inikah akibat pohon-pohon itu ditebang? Dan pantulan-pantulan itu. Seperti kutukan yang menghantui rumah ini hingga kedalam. Akhirnya kuhampiri suamiku yang sedang mengotak-atik laptopnya.
            “Kenapa, Ma? Gelisan sekali?”
            “Rumah ini mulai panas, Yah. Pantulan matahari itu membuat mata Mama silau”
            “Ya, begitulah.” Suamiku bangkit, “Siang-siang begini enaknya makan es, Ma..”
            “Sepertinya tdak ada. Tadi pagi saja Mama mau nuggu tukang bubur tidak berhenti.”
            “Terus tukang es, kemana?”
            “Ya.. Sudah lewat, Yah. Semua orang sudah tidak ada lagi yang mau singgah. Jangankan mereka, anak-anak saja sudah tidak ada. Makannya Mama bingung nih, kemana anak kita mainnya...Biasanya mereka bermain dibawah pohon didepan rumah kita..”
            Suamiku termangu..
            Akhirnya terdiam. Tatapan kami sama-sama lurus keluar. Udara semakin panas. Matahari semakin bebas menerjang tanaman-tanaman pot ku. Suasana sepi sekali. Para pedagang yang meramaikan keteduhan pohon itu sudah tidak nampak lagi. Bahkan baru saja selintas tukang sol lewat. Setelah dia melihat sesaat kearah pohon-pohon yang tidak ada lagi. Dia berlalu entah kemana.
                                                            ***     
            Lihat saja, sejak pohon-pohon itu ditebang, hari Minggu, anakku minta jalan-jalan dengan alasan dirumah membosankan!
            “Coba kalau pohon itu jangan ditabang dulu ya, Yah?” Ucapku tiba-tiba. Sementara mataku lurus kosong kejalan yang akan dilalui oleh mobil kami.
            “Mama ini aneh-aneh saja. Tenang Ma, barusan kan Ayah beli bibit Pohon Mangga. Ayah jamin, kesejukan rumah kita akan kembali lagi dengan pohon ini.”
            “Terus kalau ada yang protes lagi, bagaimana Yah?
            “Suamiku yang sedang menyetir itu menggeleng dengan tenang. “Tidak akan, nanti kita tanam dihalaman rumah kita.”
            Aku menarik nafas panjang. “Mestiya sebelum kita tebang, pohon rambutan itu sudah kita tanam.”
            “Sudahlah, Ma, tidak ada gunannya menyesali. Yang terpenting kan belum terlambat untuk menanamnya kembali...” Aku terdiam. Lalu kutoleh anakku yang sedang tidur dibelakang.
            “Naira tidur ya, Ma?” Suamiku mengikuti arah gerak kepalaku.
            “Ya, dia kecapaian mungkin, gara-gara pohon itu ditebang, kita jadi boros, Yah.”
            “Sudahlah, Ma.”
            Akhrinya aku terdiam. Kupejamkan mata. Jalan tak nampak lagi. Hanya deru mesin ditelingaku. Lalu pohon-pohon itu mengembang di alam pikiranku. Rindang sekali...
                                                            ***
            Sorenya, nampak suamiku sudah siap dengan cangkulnya dan tiga bibit Pohon Mangga. Aku mulai berani keluar. Karena seperti puteri yang takut sinar matahari, aku hanya berani keluar setelah matahari benar-benar berada disebelah Barat. Barulah tampak tetanggaku juga bermunculan. Ada yang sambil mendorong bayi, ada yang menggendong, dan ada yang menuntunnya sambil membawa tempat makan.
            “Wah, Pak Rudi sudah mau tanam pohon baru, ya?” pertanyaan itu terlontar tiba-tiba dari tetangga yang lewat, “Pohon apa itu, Pak?”
            “Pohon Mangga, Pak.”
            “Saya juga menanam pohon Blimbing Wuluh. Selain buahnya bisa dimakan, juga bisa buat obat.”
            Suamiku hanya manggut-manggut.
            “Oya. Bu..Bu Rudi sudah bertemu Bang Giman belum? Dia kan sakit setelah menebang pohon itu, Bu.” Sambil telunjuknya menunjuk pohon-pohon yang sudah rata itu.
            Aku tersentak, “Sakit apa?”
            “Katannya demam, Bu.”
            “Bu Joko tahu dari siapa?”
            “Dari Bu Taufik, kemarin dia mau minta tolong Bang Giman untuk pasang kramik baru. Tapi Bang gimannya ternyata sedang sakit..”
Aku melongo. Kutatap suamiku yang juga mendadak menghentikan menanamnya..
Malamnya suamiku berbisik, “Pohon manapun punya peran penting dalam kehidupan manusia. Kita merasakanya sendiri, beberapa pohon saja yang ditebang, imbasnya sampai kekehidupan kita. Apalagi yang jumlahnya hektaran ya, Ma? Makannya kita harus menghormati meski hanya sebatang pohon, mulai sekarang kita rawat pohon kita dan lingkungan sekitar kita.”

Aku menganggukan kepalaku...***