Monday, June 19, 2017

Majapahit dalam "Amukan" Zaman: Kasus Gaj Ahmada dan H. Ayam Wuruk

arifsae.com-Kontroversi Sejarah. Majapahit, siapa orang di Indonesia yang tak pernah mendengar nama besar kerajaan ini? Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kita diajarkan tentang kemaharajaan Majapahit yang wilayahnya melebihi wilayah Indonesia saat ini. Namun akhir-akhir ini, saya sering mendapatkan nama ini muncul diberbagai media sosial. Bukan untuk diajarkan kepada generasi muda supaya membuahkan pemahaman nilai-nilai historis yang terkandung didalamnya? Tapi tulisan-tulisan yang saya jumpai lebih menggatuk-gatukan [mencocok-cocokan] nama mahapatih Majapahit ini, dari Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada.

Viralnya nama Gajah Mada ini justru timbul karena arus zaman yang semakin mengkawatirkan. Nama Gajah Mada ini jadi viral dan berubah menjadi Gaj Ahmada, yang diklaim seoang muslim, dan lebih beraninya lagi mengklaim Kerajaan Majapahit merupakan sebuah Kasultanan Islam. Dari mana asal mulanya penyrobotan sejarah ini?
Gajah Mada (Sumber Gambar)
Kegaduhan ini berawal dari sebuah tulisan yang sebetulnya dicetak terbatas pada tahun 2010 silam. Waktu itu, penulisan buku yang khusus dibuat untuk menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta. Penulisnya adalah Herman Sinung Janutama, siapa beliau? Beliau adalah lulusan UGM jurusan Fisika yang merupakan pegiat kajian budaya Jawa.

Awalnya, judul dalam tulisan ini adalah “Kasultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi”. Penulisan ini diterbitkan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta yang mencetak hanya 1.000 eksemplar. Sebenarnya, dalam penulisan ini ada 29 orang tim yang dibentuk oleh Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Yogyakarta, dan berkerja dari 2006-2009.

Setelah diterbitkan, ternyata buku ini mendapatkan respon dari beberapa kalangan, sehingga isi buku ini disempurnakan dan diterbitkan kembali menjadi buku yang perjudul “Fakta Mengejutkan, Majapahit Kerajaan Islam”, dengan penerbit Noura Books pada tahun 2014 silam.
Buku Herman Sinung Janutama
Mengapa terbit pada 2014 dan baru viral sekarang? Itulah yang saya maksudkan zaman yang “mengkhawatirkan” diatas. Bila melihat fenomena saat ini, radikalisme semakin menjamur, primordialisme semakin tumbuh subur, dan belum lagi masalah agama yang dibawa ke ranah politik akhir-akhir ini menyiratkan tentang terlukanya kebhinekaan dan pentingnya sebuah persatuan. Namun beberapa oknum melihat kesempatan ini untuk menjadikan momentum ini menarik sejarah kedalam sekat-sekat pemisah kebangsaan ini.

Terlihat berlebihan? Tidak. Alasan ini sangat masuk akal, karena oknum-oknum tadi menemukan momentum untuk “memviralkan” status nama Gaj Ahmada dan Kasultanan Majapahit ini, untuk kepentingan suatu golongan dan menafikan nilai kebangsaan. Hal ini akan berimbas pada pengetahuan sejarah generasi muda. Oleh karena itu, saya tergelitik untuk menuangkan pemikiran saya yang sederhana ini menjadi sebuah tulisan. Mari kita mulai dengan melihat persepsi dari penulis buku ini.

Berdasarkan Keyakinan Tradisi
Sebagai seorang pegiat budaya, Herman Sinung Janutama merupakan seorang pecinta budaya Jawa yang memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Jawa. Menurutnya, kesimpulan Majapahit merupakan kasultanan Islam memang berangkat dari tradisi Jawa. Jadi riset hanya untuk membuat pengetahuan sejarah di tradisi Jawa jadi sistematis dan mempunyai catatan pelengkap.

Berangkat dari penelitian Babad Menak, Serat Menak, Darmawulan dan lainnya ini menyimpulkan tidak hanya Majapahit yang merupakan kerajaan Islam tapi Kerajaan Singasari juga kerajaan Islam. Bahkan jauh dari masa itu, Kerajaan Tarumanegara juga dianggap sebagai kerajaan yang sudah menganut agama Ibrahim, karena sudah mengorbankan 1000 sapi setiap tahunnya. Sungguh mencengangkan bukan?

Tapi pembahasan kali ini tak sampai melebar ketema-tema lain. Kita akan membahas tentang klaim dalam buku ini. Dalam ringkasan buku “Fakta Mengejutkan, Majapahit Kerajaan Islam”, disebutkan berbagai bukti bahwa Majapahit sebenarnya merupakan kerajaan Islam dan bukan kerajaan Hindu yang selama ini dipahami berbagai banyak kalangan. Bukti-bukti yang Herman Sinung Janutama beberkan sebagai berikut:

Pertama, telah ditemukannya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”. Maka penemuan koin ini berarti bahwa Majapahit menggunakan mata uang emas ini untuk bertransaksi dalam wilayahnya. Alasanya, sebuah pemerintahan memerlukan alat pembayaran yang “resmi” dalam wilayahnya.

Kedua, pada makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik ditemukannya tulisan bahwa beliau merupakan Qadhi (hakim dalam agama) dalam Kerajaan Majapahit. Ini menurut penulis buku merupakan salah satau bukti bahwa agama Islam merupakan agama resmi dari Kerajaan Majapahit.

Ketiga, lambang kerajaan Majapahit yang berupa sinar matahari dengan berbagai tulisan Arab berupa “Shifat, Asma, Ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat. Menurut penulis, bukti ini juga merupakan bukti kuat yang tidak mungkin dimiliki oleh kerajaan Hindu.

Keempat,  pendiri kerajaan Majapahit yaitu Raden Wijaya merupakan keturunan seorang muslim. Beliau adalah cucu dari Prabu Guru Dharmasiksa, seorang Raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan yang hidup selayaknya seorang sufi. Sedangkan neneknya merupakan seorang muslimah keturunan penguasa Kerajaan Sriwijaya. Penggunaan gelar Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) tidak serta merta menjadi seorang Hindu, penulis menyamakan antara gelar Kertarajasa Jayawardana dengan raja-raja muslim yang menggunakan gelar sansekerta juga, semisal Hamengkubuwono, Pakubuwono, Mangkubumi yang ternyata Islam.

Kelima, terjadi eskodus besar-besaran dari Bagdad ke Timur karena penyerangan yang dilakukan oleh tentara Mongol pada tahun 1253 M. Karena merasa terancam, maka para kaum muslimin melakukan eksodus kewilayah yang lebih aman. Sehingga mereka menetap dan mendirikan kerajaan di nusantara, termasuk mendirikan Majapahit.

Keenam, inilah yang menjadi viral saat ini, yaitu penamaan Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada. Maha Patih ini merupakan sosok yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya. Karena lidah orang Jawa, akhirnya Gaj Ahmada lebih familiar menjadi Gajah Mada. Setelah dia tidak menjabat sebagai Maha Patih, maka Gaj Ahmada lebih dikenal dengan Syaikh Mada oleh masyarakat. Pernyataan ini diperkuat dengan bukti fisik yaitu pada nisan makam Gaj Ahmada di Mojokerto terdapat tulisan ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’.

Inilah alasan yang digambarkan oleh isi buku, dan mengklaim dengan ditemukannya berbagai bukti itu, maka runtuh sudah pegangan sejarah yang sudah bertahan ratusan tahun ini. Apakah semudah itu? Jelas jawabannya tidak!

Bantahan-Bantahan
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, namun lebih bermaksud untuk menyalurkan pemikiran, karena secara akademis, saya merupakan alumnus pendidikan sejarah yang diajarkan tentang metodologi penelitian sejarah. Bantahan ini sebagian besar terinspirasi tulisan dari Adang Setiawan, mari kita bahas satu persatu.
Pertama, penemuan koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”
Majapahit merupakan kerajaan yang besar dengan wilayah yang sangat luas. Untuk menjaga wilayahnya, kadang Majapahit juga bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Hubungan dagang dengan kerajaan lainnya berlangsung dengan menggunakan alat pembayaran berupa uang koin sebagai alat untuk pembayaran.
Koin Berlafalkan Arab (Sumber Gambar)
Hubungan dagang antara Majapahit dan Tiongkok, Majapahiit dan pedagang Gujarat (Arab) memang sering terjadi. Jadi penemuan mata uang yang berasal dari Arab dan bertuliskan Arab sangat memungkinkan terjadi. Tapi apakah penemuan mata uang Arab menjadikan Majapahit sebagai kerajaan Islam? Tentu saja tidak.

Sebagai catatan, pada tahun 2009, Tim Evaluasi Neo Pusat Infromasi (Neo PIM) juga menemukan peninggalan di Situs Trowulan berupa ribuan keping mata uang kuno yang berasal dari Tiongkok. Mata uang ini bertuliskan huruf Tiongkok, yang berjumlah 60 ribuan keping koin.
Mata Uang Tiongkok yang Ditemukan di Majapahit
Apakah dengan penemuan koin ini menjadikan kerajaan Majapahit sebagai penganut Konghucu? Atau Majapahit sebagai penganut Taoisme? Bahkan lebih jauh lagi, apakah Majapahit menjadi bawahan Kekaisaran Tiongkok? Tentu jawabanya TIDAK!

Pembawaan mata uang bagi para pedagang tentu merupakan hal yang biasa. Mereka kadang membawa mata uang berupa emas, perak atau perunggu yang memang lazim digunakan sebagai alat pembayaran waktu itu. Kerajaan Majapahit sendiri mempunyai koin mata uang sendiri yang disebut Gobog.

Begitu juga dengan para pedagang dari Arab. Koin-koin yang bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah” tidak langsung membuat Majapahit sebagai kerajaan Islam. Kemungkinan beberapa penduduk Majapahit memeluk Islam mungkin saja, tapi menjadikan Majapahit sebagai kasultanan Islam sepertinya terlalu jauh.
Kedua, ditemukannya kata Qadhi (hakim dalam agama) di makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Tulisan yang menganggap Sunan Gresik ini sebagai Qadhi tidak ada secara spesifik ditulis dalam makam, yang ada, dalam makam itu terdapat tulisan ayat Al-Quran seprti surat Al-Baqarah ayat 225, Ali-Imran ayat 185, ar-rahman aya 26-27 dan al-taubah ayat 21-22, serta tulisan dalam bahasa Arab yang artinya:

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya (dalam terjemahan lain disebut: terkenal dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.

Menurut Tjandrasasmita, dugaan bahwa nisan ini meruakan kiriman dari luar. Karena berduka atas meninggalnya Sunan Gresik, maka sultan yang berasal dari Samudra Pasai, yang mengirim jirat atau nisan beserta tulisannya tersebut sebagai tanda hormat kepadanya. Jadi nisan itu berasal dari Pasai karena memiliki kemiripan-kemiripan dengan makam para sultan-sultan di Pasai.

Bukankan di Kerajaan Majapahit mempersilahkan berbagai penganutnya untuk memeluk agama? Ada yang beragama Hindhu juga ada beberapa penganut agama Budha. Andaikata memang benar Sunan Gresik menjadi Qodhi dan mengislamkan penduduk atau bahkan bangsawan Majapahit, lalu apa dengan otomatis menjadikan Majapahit sebagai Kerajaan Islam?

Kalau jawabanya iya. Kenapa kerajaan Tiongkok bukan kerajaan Islam. Padahal ada Laksamana Cheng Ho yang seorang muslim asli Tiongkok memimpin armada ekspedisi pelayaran Tiongkok dan merupakan petinggi di negara itu?
Ketiga, ditemukan lambang kerajaan Majapahit yang bertulisan Arab berupa "Shifat, Asma, Ma'rifat, Adam, Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat"
Coba bandingkan antara gambar pertama dengan gambar kedua? Gambar pertama dikalim yang bertuliskan arab diatas, dan gambar kedua merupakan lambang Majapahit yang sudah sering kita jumpai.
Gambar pertama seolah-olah merupakan huruf arab yang bernar-benar tercetak pada artefak yang dipercayai sebagai Surya Majapahit. Tulisan-tulisan pada gambar pertama seolah-olah sangat dipaksakan untuk membentuk tulisan arab.

Sedangkan gambar yang kedua sangat jelas terlihat bahwa tidak ada tulisan-tulisan arab seprti gambar pertama. Sama seperti meme-meme di media sosial, ekspektasi dan realita. Para pendukung meng-ekspektasi-kan lambang Majapahit penuh dengan tulisan Arab, namun realitanya sangat jauh berbeda.
Keempat,  Raden Wijaya merupakan cucu dari Prabu Guru Dharmasiksa, seorang Raja Sunda sekaligus ulama Islam Pasundan yang hidup selayaknya seorang sufi
Memang asal usul keturunan Raden Wijaya sendiri masih menjadi kotroversi. Menurut Pararaton, Reden Wijaya merupakan putra Mahesa Cempaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singasari.

Namun menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya merupakan putra dari Rakyan Jayadarma (putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan Sunda Galuh) dan Dyah Lembu Tal (putri Mahesa Cempaka dari Kerajaan Singasari). Dengan demikian, menurut kitab ini, Raden Wijaya merupakan perpaduan antara raja Jawa dan Sunda.

Namun cerita diatas berbeda dengan Negarakertagama yang menyebut Dyah Lembu Tal merupakan laki-laki, putra Narasinghamurti. Namun Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305, yang dikeluarkan oleh dirinya sendiri menyebut dirinya sebagai Wangsa Rajasa.

Jadi keterangan Raden Wijaya cucu dari Dharmasisksa masih harus diteliti lebih lanjut, karena dari berbagai sumber kitab dan babad sendiri masih berbeda. Sedangkan Prabu Guru Dharmasiksa sendiri terkenal dengan amanatnya yaitu Amanat Galunggung yang intinya berisi tentang pegangan hidup. Ajaran ini dipercaya sebagai kepercayaan lokal budaya Sunda yang berasal dari agama Sunda Wiwitan.

Adapun mengenai gelar perbandingan antara gelar Sansekerta antara Kertarajasa Jayawardana dengan Sultan Hamangkubuwono itu jelas sangat berbeda. Mungkin bisa saja raja menggunakan gelar dari bahasa Sansekerta, tapi tidak mungkin menggunakan gelar Sultan untuk raja non muslim. Sultan adalah gelar identitas kekuasaan sekaligus keagamaan, sama seperti Paus di Vatikan bagi agama Katholik.

Sepertinya sangat aneh kalau misalkan (mohon maaf) pemberian nama “Paus Hamengkubuwono” atau “Sultan Fransiskus”. Karena nama Kasultanan merupakan khas untuk agama Islam.
Kelima, terjadi eskodus besar-besaran dari Bagdad ke Timur karena penyerangan yang dilakukan oleh tentara Mongol pada tahun 1253 M
Mengenai masalah ini, memang ada beberapa kerajaan Isam yang didirikan dari keturunan Arab Islam seperti Kasultanan Perlak di Aceh  (840-1292). Dan Keturunan-keturunannya yang mendirikan Kasultanan di Aceh dan Malaka.

Namun, dalam kasus Majapahit, siapa pendirinya? Penulis buku pun sepakat, kalau yang mendirikan Majapahit adalah Raden Wijaya. Jadi tidak ada hubungan secara langsung dengan eksodus besar-besaran dari Baghdad kan? Dari pemaparan empat diatas, Raden Wijaya berasal dari Sunda atau kalau tidak ya dari Jawa, tidak ada hubungannya dengan eksodus itu.
Keenam, inilah yang menjadi viral saat ini, yaitu penamaan Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada
Mengenai nama Gajah Mada sendiri dari berbagai sumber bukan merupakan nama orang, namun geler. Seperti nama Firaun di Mesir, yang merupakan geler. Di masa itu, memeng banyak gelar-gelar yang menggunakan nama hewan seperti Gajah Kulon, Kebo Anabarang, Gajag Agung, Lembu Agung, Lembu Tal dan lain-lainnya.

Memang sampai saat ini, tidak diketahui siapa nama asli dari Gajah Mada. Tapi yang jelas, pada masa itu memang banyak penggunaan nama-nama Hewan, sebagai lambang dari agama yang dipeluknya. Seperti nama “Gajah” sendiri merupakan kendaraan Dewa Indra. Gajah Dewa Indra diberi nama Airavata. Sementara “Mada” dalam bahasa Jawa Kuno berarti mabuk. Maka sesuai artinya, bagaimana apabila ada seekor Gajah Mabuk? Semua halangan pasti dilibas, semua rintangan pasti ditebas.

Hanya saja, ada kesimpulan bahwa Gajah Mada adalah Gaj Ahmada sungguh sangat tak masuk akal. Kalau hanya asal penggal-penggal, jangan-jangan Raja terbesar Majapahit juga Islam yang sudah berhaji, yaitu H. Ayam Wuruk. Kalau di gatuk-gatukan, terlihat masuk akal juga kan? Haha.. Bahkan lebih sesuai dengan nama-nama yang mencerminkan nama-nama hewan pada masanya.
                                                 ***
Demikian penjelasan dari tulisan sederhana saya diatas, inti dari tulisan ini adalah pendapat Islam telah berkembang pada masa Kerajaan Majapahit mungkin ada benarnya juga, tapi kesimpulan bahwa Kerajaan Majapahit merupakan Kasultanan Islam merupakan kesimpulan yang sangat tergesa-gesa dan perlu diteliti dengan penelitian yang lebih mendalam lagi.

Saya termasuk orang yang suka dengan sejarah kontroversial, karena semakin sejarah itu banyak versi semakin bagus, kita tak mau sejarah tunggal seperti masa Orde Baru yang menyatakan kebenaran sejarah dalam satu versi. Namun, disatu sisi, saya juga tak suka sejarah yang berbeda namun hanya berdasarkan ilmu “gathuk-gathukan”. Termasuk nama yang sedang viral ini, karena lebih enak gethuk dibandingkan dengan ilmu gathuk.
Relief Gajah Mada di Monas (Sumber Gambar)
Untuk menutup tulisan ini, saya kutip klarifikasi penulis buku dalam penyebutan nama Gaj Ahmada ini, 
Sepanjang bacaan kami status viral tersebut beberapa hal tidak terdapat pada buku kami. Misalnya penjelasan tentang GAJ-AHMADA. Dalam buku tertulis GAJAH-AHMADA. Leburan suku kata AH dalam bentukan kata GAJAHMADA adalah hukum GARBA dalam gabungan 2 kata atau lebih dalam kawi atau sansekerta. Dalam kasanah Jawa, tidak mungkin diizinkan kata GAJ, yang mematikan konsonan JA. Sebagaimana suku kata WA juga tidak diizinkan dimatikan, hanya W saja. Tapi dalam viral tidak begitu membabarkannya....” 
jadi penulisnya saja menolak nama Gaj Ahmada? Lalu kamu? Mending menerima nama aku dihati kamu? []

Sumber:
adangsetiawan.wordpress.com
gemarakyat.id
kumparan.com
news.detik.com