Friday, November 23, 2018

Bulan di Atas Kanvas [Kumpulan Puisi]

Senja Itu
Bulan di atas Kanvas

Angin menggonggong dalam diam
Menyergap sebongkah daging  di balik jeruji
Sedang bias cahaya redup menjadi penentu
Menggoda setiap jari mengulas makna
Hingga tergambar  bulan di atas kanvas
Naif dan khilaf kini telah luruh
Menghunus abdi di balik gemerlap angka
Putih dan hitam kini tak lagi mampu mengurai makna
Segalanya telah berakhir tanpa akhir


Ironi Bunga

Bunga ini terlalu lemah untuk membuka diri
Ketika menyadari dirinya terlalu jauh untuk dikatakan indah
Bunga ini terlalu malu untuk menatap matahari yang memberinya cahaya
Hingga seekor kumbang menghampirinya dengan sayap yang terluka
Memohon untuk bunga ini mekar
Akankah bunga ini akan memberi sandaran untuk kumbang ini?
Ketika rasa takut itu terus menghantuinya
Perasaan yang selama ini memgekangnya
Seperti labirin gelap yang tak berujung
Ironi dalam penantian yang tak terhubung
Bunga. Hidup. Sendiri.
      

Perayaan Kehilangan

Malam mendekap hujan
Aku masih terdiam
Mencecap kenangan
Yang berkelekaran di pemakaman, hatiku.
Sudah, tenang.
Aku di sini mengenakan gaun hitam,
untuk merayakan pesta perpisahan kita sayang. 
     Tidak usah khawatir,
     Kau tak perlu menemaniku di sini
     Karena
Dua cangkir kopi telah terseduh, tanpa pernah kusentuh
Aku tidak menunggumu
Aku sudah tidak lagi menunggumu.
Aku hanya sedang meracik kembang kamboja
Aroma kecewa merebak, menjerat kelu.
Aroma kembang itu
Lambang perpisahan kita
Kemudian kuteguk dua cangkir itu sekaligus
Berisikan kamboja yang telah kuiris-iris seperti kau yang telah mengiris sukmaku.
      Aku melumat diriku sendiri dengan keresahan mendarah daging
      Meremas-remas kenang
      Merobek lingkar cahaya, pada matamu yang tergambar jelas di dahiku.
Aku meminum darah yang muncrat sebagai tanda kehilangan.
Tak ada yang lebih manis dari kedatanganmu
Pun tak ada yang lebih pahit daripada kehilanganmu
Pesta perpisahan kita, Sayang.
Sudah kubuat sedemikian rupa, dengan penghulunya adalah sebuah kematian.
Kau, disusul aku.

Ronta Bumi Untuk Anak Negeri

Pada hari ketigapuluhsatu, hujan bergeming pada daun-daun kering
Mengatasnamakan jiwa terogoh fatamorgana
Diiming-imingi secuil, hati ikut goyah, kerdil.
Ah, andai saja
Sumpah pemuda diawetkan pada jidat tiap anak bangsa
Dasar anak muda zaman sekarang
Gengsi kok dipelihara
Melihara itu palawija biar bisa tumbuh dan dimakan rakyat jelata

                Ah, Bajingan!
Ini negeri ditinggali para bajingan yang seenak wudelnya memamerkan produk bangsa lain
Sudah kembalikah akal kalian? Atau ambah amnesia

Ini aku bangsa kalian, Bumi kalian
Kalian berpijak diperutku
Remaja kekinian boleh nongkrong asal ide terborong.
Boleh gaya-gayaan asal bangsa dipikirkan
Boleh posting instagram asal nasionalisme tergenggam

Moral basi!    
Boyong prestasi ke luar negeri
Biar nona dan tuan disana mengerti hebatnya ibu pertiwi
Genggam dan tuntaskan, semesta memberkati.
Aku
Karya : Lintang Kumalasari
Aku tahu aku hanya perempuan penikmat kopi
Yang senang bercengkrama dengan senja
Aku mengerti, aku tak secantik rembulan dan bintangmu
Pun tak semanis “gula”mu
                Aku..aku..aku
                Aku bahagia dengan diriku
                Dan kukira semesta juga merestuiku untuk tetap menjadi aku
Aku dengan ke”aku”anku
Hatiku bukan rembulan
Yang selalu bisa kau nikmati tiap lekuk garisnya pada langit malam
Aku adalah aku.
Aku
Bukan
Rembulanmu.

Bintang

Jika kau adalah bintang
Akan kuusir siang dari persinggahan langit, agar malam kian kekal
Dan kau akan terus terdekap
Walau hanya sebatas pandang


Tumpah

Lamat-lamat kukecup keningmu, Sayang
Apakah kau benar sudah pergi?
Kau pasti alpa, bahwa aku ingin merebah rasa
Merebah kecewa padamu
Tentang mimpi yang kau lilitkan pada matamu
Merebah segala yang pantas direbah
Tentang airmata hujan
Hujan airmata
Tentang segala yang dipertentangkan.
Tumpah. Melimpah ruah.


Kosong

Daun.
Sebatang kara.
Pohon.
Aku.
Cahaya
Kau.
Hilang ditelan cahaya.

Mawar-melati

Terserah.
Kau membuat sajak yang seperti apa tentang ini
Aku sudah terlalu sering menamai ini sebagai penyatuan kekecewaan
Menggenggam dua yang sakit
Di mana tak ada obat
Kecuali : dipisah.

Putlu

Lantas aku sedemikian luput atas nama jarak yang tak pernah padam
Dalam penantian.
Penantian kehilangan
Kehilangan penantian
Semerbak aroma paling menyakitkan
Aku benar-benar kehilangan
Dan kehilangan yang paling indah, adalah kau tidak merasa kehilanganku.
Pergi. Telah.
Kau telah pergi.
Lama.

Samar

Gelap adalah cantik
Cantik adalah luka
Luka adalah kau
Yang menggenang pada danau mataku.
Hitam pahit
Putih pahit
Sama aja
Sama samar-samar
Sajak sama-sama
Aku, kau, bercumbu di bawah hujan : yang airnya sudah kering sebelum turun.

Sajen

Teruntuk dirimu
Sesajen dan kertas kosong
Bubuhkan sendiri asa-asa yang mengundang tangis
Lewat luka yang biasanya
Kau lahirkan untukku.

Luar-dalam

Di luar sana hujan
Di dalam juga hujan
Airmata.

Saksi

Dibunuh sepi
Sepi membunuh diri
Husst... cerita malam :
Aku telah diperkosa waktu
Terburu-buru
Aku menyerah memilih diam
Bercumbu dengan sekitar (air, api, tanah, dan udara)
Menyembuhkan sesak nafas karena luka
Disaksikan candi : candi bersaksi tentang airmata
Dusta.

Berceceran

Aku melihatmu sedang menyobek senyumku bersama mantan kekasihmu
Aku mendapatimu diam mematung, melihat satu persatu huruf dari namaku jatuh berceceran
                Aku memergokimu tertawa terbahak-bahak
Bersama mantan kekasihmu
Kemudian pergi berlalu, dan membiarkan huruf dalam namaku masih berserakan
Tanpa pernah kau ambil, kemudian kau susun dengan tertata
Memang benar,
Senyumku.
 Terbunuh.
 Senyumnya.

Kematian Berdua

Tergesa-gesa aku membunuhmu
Lalu kutatap kau mati, dengan senyuman
Tergeletak di ruang dalam hati
Kemudian aku menatap lantai yang beraromakan anyir darahmu
Aku merasa telah mendustai rindu
Kau sudah mati.
Kukubur di dalam hati.
Membatinkan batinku,
Sangat dalam.
                Lalu kuputuskan untuk membelikanmu mawar, Sayang.
                Satu tangkai saja,
Biar kita nikmati bersama
Iya, berdua saja ya?
Walau tak  pernah bersama dirimu untuk memakan hidangan di kota
Sekarang aku lega, Sayang.
Kita bisa memakan bunga ini bersama-sama.
Setelah kematianmu.

Muara

Kau mengenalkanku pada Pencipta, kali pertama aku bernyawa
Melalui salawat dan alunan indah, pedoman dalam hidup selalu kau lantunkan
Kutatap dunia, karena kau mempertahankanku
Pelita hidup dalam sejarah kehidupanku
          Oh apakah aku mulai alpa?
          Kau rengkuh hatiku, tanpa kurengkuh hatimu
Kau mendekap tangisku, tanpa kudekap tangismu
Bagai malaikat tak bersayap
Bubuhkan cinta tanpa harap
            Kini kau terbaring lemah
            Menahan segala sakit
           Ahhh.. Salah besar jika aku tak berani taruhkan nyawaku untukmu
Terdiam.
Kuucap janji pada semesta
Segalanya dariku, bermuara pada hatimu, Ibu.


Menyusun Alinea Cinta

Di tepian pantai
Kurapalkan mantra yang berisikan namamu
Memanggil ombak, meliukkan nyiur
Menepis angin, mendekap mentari, dalam senja.
        Menjadikan camar, lambang hati yang lapar
        Ingin kumakan ombak
        Kumakan sunyi
        Kumakan kecewa
       Biar kulepas dahaga
Dan dalam undang-undang tentang percintaan,
kususun alinea cinta padamu
Meriwayatkan sajak-sajak, lahir dalam supremasi hukum cinta yang terarak
Menjabarkan pasal-pasal menyakitkan tentang kekecewaan yang teramat dalam
Selalu saja, kususun aline cinta padamu.


Cinta Tak Salah

Rikala sepi menyayat hati
Mengombang-ambingkan kata, umpama mancala putra dan mancala putri
Kau mengoyak hati, mengirimkan beribu kecewa pada jurang batinku
Tapi selalu saja rindu menyapa
Selalu saja rindu, menjadi alasan untuk tetap mencintaimu
Rindu acapkali membungkam otak
Dengan rasa entah, kebohongan dipapah
      Ah, mengapa aku tak membuang wajahmu ke negeri antah berantah
    Cinta memang selalu disalahkan
Tapi sungguh.
Demi langit, demi bumi, demi senja.
Cinta tak pernah bersalah
Kau dan akulah yang patut disalahkan, karena beraninya menyalahkan cinta
   Cinta tak butuh alasan
   Seperti halnya embun tak perlu gores warna untuk dicintai pagi
Dan inilah retorikaku tentang cinta tak salah

Salam dari Semesta

Ada salam dari mentari yang baru bangun dari peraduan
Ada salam dari embun yang selalu setia menemani pagi
Ada salam dari adzan shubuh yang bersetubuh dengan fajar
Ada salam dari daun yang memilih bersemedi dengan sepi
Ada salam dari temaram pada sejengkal kerinduan
Ada salam dari siang pada sebuah penantian
Ada salam dari bagaskara pada tiap helai kehampaan
Ada salam dari rindu yang kutabur di ladang batinmu
Ada salam dari dewi malam pada hati yang tak pernah bersatu
Ada salam dari bintang, mengungkap kecewa, terbungkam
Ada salam dari kesetiaan pada keesaan Tuhan
Ada salam dari kebencian yang terselip dalam hampa malam
Ada salam dari semesta untukmu, kekasih.

Ah, kuharap kau mau menerima salam-salam ini.