Wednesday, October 11, 2017

Proposal LKIR LIPI Kategori IPSK [JUARA 1 LIPI DAN LOLOS INTEL ISEF DI AMERIKA]


Peta Solo (Sumber: Wikipedia)
ANAK-ANAK TERBUANG:
STUDI TENTANG SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ADHA 
DI SURAKARTA
Karya : 
Latifah M. Sholikhah    

A.  Latar Belakang
Penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV AIDS) merupakan masalah kesehatan terbesar didunia dewasa ini, terdapat hampir di seluruh dunia. Penyakit ini telah menjadi pandemi yang menghawatirkan masyarakat di banyak negara, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakit. Saat ini penderita HIV AIDS cenderung terus meningkat dengan angka kematian yang tinggi.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2014 bahwa lebih dari 33 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, dan 90% dari mereka berada di negara berkembang. HIV telah menginfeksi 4,4 juta anak-anak dan telah mengakibatkan kematian 3,2 juta. Setiap hari 1800 anak termasuk bayi baru lahir terinfeksi HIV. Di Indonesia HIV AIDS menyerang anak-anak yang hidup sebanyak 530.000 orang.
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tahun 2014 menyebutkan bahwa jumlah komulatif kasus infeksi HIV AIDS yang dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 provinsi Jawa Tengah menempati posisi ke tujuh dari sepuluh provinsi. Sementara, salah satu kota di Jawa Tengah yang mempunyai kasus HIV ADIS adalah Kota Surakarta. Berdasarkan laporan dari KPA Provinsi Jawa Tengah, Kota Surakarta menduduki posisi ke tiga dari lima kabupaten atau kota dengan jumlah HIV AIDS terbesar di Jawa Tengah.  Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Surakarta sampai bulan Maret 2016 jumlah kasus HIV AIDS di Surakarta mencapai 1.882 kasus dan sebanyak 502 orang pengidap meninggal dunia[1]. Peningkatan kasus HIV AIDS di Surakarta seperti terlihat tabel di bawah ini:
Tabel 1: Jumlah kasus HIV AIDS di Surakarta
Tahun
HIV
AIDS
Jumlah
2011
77
123
200
2012
57
158
215
2013
84
203
287
2014
87
204
291
2015
99
242
346
Sumber: Solopos, 2016
Dalam hal ini kasus HIV AIDS diatas juga termasuk Anak dengan HIV AIDS (ADHA). Saat ini nasib ADHA di Surakarta tidak menentu. Hal ini dikarenakan masyarakat selalu tidak menerima keberadaan ADHA di lingkungan tempat tinggal mereka. Bahkan pada saat akan dipindahkan ke Kedung Lumbu, Pasar Kliwon, Surakarta masyarakat langsung memblokade jalan masuk menuju rumah yang akan ditempati oleh ADHA tersebut. 
Berdasarkan observasi pendahuluan[2], ADHA menjalankan aktivitasnya di dalam rumah. Masyarakat cenderung menjauhi dan mengucilkan ADHA yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit HIV AIDS membuat masyarakat merasa takut untuk berdekatan dengan ADHA. ADHA di Kota Surakarta saat ini ditampung di sebuah Yayasan mandiri Lentera yang berperan aktif mengangkat derajat dan martabat ADHA.
B.  Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu mengkaji sikap masyarakat terhadap Anak Dengan HIV AIDS (ADHA) di Surakarta.
C.  Pertanyaan Penelitian
1.    Bagaimana sikap masyarakat Kota Surakarta terhadap Anak dengan HIV AIDS (ADHA) ?
2.    Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terbentuknya sikap tersebut ?
3.    Bagaimana metode yang paling tepat dalam mengubah sikap masyarakat terhadap ADHA ?
D. Manfaat Penelitian
1.        Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi masyarakat pada umumnya untuk lebih berempati terhadap Anak Dengan HIV AIDS (ADHA).
2.        Membantu petugas kesehatan untuk merencanakan tindak lanjut dalam menanggulangi kasus HIV AIDS di Kota Surakarta.

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Anak dengan HIV AIDS (ADHA)
AIDS(Acquired Immunodeficiency Syndrome)adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV(Human Immunodeficiency Virus). Dalam bahasa Indonesia AIDS disebut sindrom cacat kekebalan tubuh[3]. HIV dapat ditularkan melalui empat (4) cara, yakni: (a) Hubungan seks (anal, oral, vagina) yang tidak terlindung dengan orang yang telah teinfeksi HIV; (b) Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik secara bergantian dengan orang yang terinfeksi HIV; (c) Ibu hamil penderita HIV kepada bayi yang dikandungnya; (d) Kontak darah/ luka dan transfusi darah yang sudah tercemar virus HIV. Akan tetapi HIV tidak dapat menular melalui gigitan nyamuk, orang bersalaman, berciuman, orang berpelukan, makan bersama/piring dan gelas, tinggal serumah[4]. Kecuali beberapa upaya medis[5], upaya pencegahan penularan HIV/AIDS juga dapat dilakukan dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat agar tidak melakukan perilaku beresiko, khususnya pada remaja.
Seseorang yang terjangkit HIV AIDS dapat berdampak sangat luas dalam hubungan sosial, dengan keluarga, hubungan dengan teman-teman, relasi dan jaringan kerja akan berubah baik kuantitas maupun kualitasnya. Anak-anak yang terjangkit HIVAIDS secara alamiah hubungan sosialnya akan berubah. Dampak yang paling berat dirasakan oleh orang-orang dekat lainnya. Perubahan hubungan sosial dapat berpengaruh positif atau negatif pada setiap orang. Reaksi masing-masing orang berbeda, tergantung sampai sejauh mana perasaan dekat atau jauh, suka dan tidak suka seseorang terhadap yang bersangkutan[6].
Anak yang didiagnosa HIV[7] juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarga. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainya sehinga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua memerlukan waktu untuk menghadapi masalah emosi, sok, kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas, marah dan berbagai permasalahan lain[8]. Infeksi HIV adalah penyakit yang tidak hanya mempengaruh anak yang terinfeksi, tetapi juga saudaranya yang tidak terinfeksi dan anggota keluarga lainya. Perkembangan anak akan terlambat. Angka kesakitan dan kematian pada anak yang tidak terinfeksi juga akan meningkat karena ibunya mengalami gangguan kesehatan[9].
Anak penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi tiga hal, yaitu: (a) Emotional support, meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan; (b) Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat; (c) Material support, meliputi bantuan atau pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah[10].   
Masyarakat
Masyarakat terdiri atas individu-individu manusia yang membentuk dan dibentuk oleh organisasi. Masyarakat adalah perpaduan anatara heterogenitas dan keteraturan. Masyarakat adalah bentuk paling modern dari peradaban manusia hingga saat ini, dari bentuk awalnya komunitas (homogen) berkembang menjadi massa (heterogen tak teratur)[11]. Masyarakat juga dapat berarti merupakan kumpulan individu dan kelompok yang membentuk organisasi sosial yang kompleks. Dalam organisasi sosial tersebut terdapat nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berfungsi sebagai aturan-aturan untuk bertingkah laku dan berinteraksi dalam kehidupan masyarakat[12].
Definisi lain menyebut masyarakat sebagai suatu kumpulan manusia yang saling berinteraksi dengan pemikiran, perasaan dan aturan (norma dan nilai) yang dipegang bersama[13]. Atau dinyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia, yang hidup dan bekerja sama dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengorganisir diri dan sadar, bahwa mereka merupakan suatu kesatuan sosial dengan batas-batas sosial yang jelas[14]. Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud masyarakat yaitu suatu kumpulan manusia yang saling berinteraksi, yang hidup dan bekerja sama dalam suatu kesatuan sosial.
Stigma
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya[15]. Stigma dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, penyedia pelayanan kesehatan, teman-teman dan keluarga-keluarga[16]. Sedangkan stigma terkait AIDS adalah segala persangkaan, penghinaan dan diskriminasi yang diajukan kepada Anak Dengan HIV AIDS (ADHA) serta individu, kelompok dan komunitas yang berhubungan dengan ADHA[17]. Adanya stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan sosial masyarakat. ADHA dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial[18].
Sikap (Attitude)
Pengertian sikapdapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, bertindak, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun nonfisik. Sikap juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Reaksi tersebut dibedakan menjadi dua yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit) dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit). Sedangkan dalam pengertian umum sikap adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup[19].
Terbentuk dan berubahnya sikap dapat dipandang sebagai proses persuasif. Dalam proses ini, pesan yang berkaitan dengan objek sikap disampaikan kepada individu agar menyetujui ide-ide yang termuat dalam pesan tersebut[20]. Sedangkan faktor yang menjadi dasar dalam menerima pengetahuan antara lain adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tempat dimana masyarakat tersebut berada di pedesaan atau perkotaan[21].
              Sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat macam, yakni: (a) Adopsi, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap; (b) Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terhadap objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula; (c) Integrasi, pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal tentu sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenal hal tersebut; (d) Trauma, adalah pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan[22].
              Pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. (2) Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap[23].
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Gerungan diantaranya ialah: (a) Pengalaman pribadi, apa yang telah dan sedang dialami akan ikut membentuk dan memepengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial; (b) Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap; (c) Orang lain yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan persetujuannnya bagi setiap gerak, tingkah dan pendapat, seseorang yang tidak ingin dikecewakan atau seseorang yang berarti khusus akan memepengaruhi pembentukan sikap terhadap sesuatu; (d) Media massa, sebagai saran komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut; (e) Institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam arti individu; (f) Serta faktor emosi dalam diri individu, tidak semua bentuk sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang sesuatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego[24].

METODOLOGI PENELITIAN 
              Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis, yang didukung oleh data-data kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah lapangan dan kepustakaan. Studi lapangan dilaksanakan dengan menggunakan metode wawancara mendalam (indept interview) yang dipandu oleh sebuah wawancara terstruktur. Wawancara dilakukan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan[25]. Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber penting di lokasi penelitian yang ditentukan secara purposive, yakni yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Wawancara mendalam antara lain dilakukan terhadap Yayasan Lentera, pejabat di Dinas Sosial, maupun pejabat di lingkungan Dinas Kesehatan Surakarta, Ketua Program KPA Surakarta, Lurah Sondakan, Guru SD N 2 Bumi, Guru SMP Murni, serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
Selain wawancara mendalam, penelitian ini juga didukung oleh data kuantitatif, yakni berupa penyebaran kuesioner menggunakan skala likert yang disebarkan kepada 360 orang anggota masyarakat. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan terstruktur dengan alternatif (option) jawaban yang telah tersedia sehingga responden tinggal memilih jawaban sesuai dengan aspirasi, persepsi, sikap, keadaan atau pendapat pribadinya[26]. Dalam penelitian ini angket (kuesioner) berfungsi untuk mengetahui mengetahui sikap dan faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap keberadaan ADHA di Kota Surakarta.
Kuesioner disebarkan kepada responden, yang sampelnya ditarik secara random. Dengan teknik pengambilan sampel secara acak di suatu area (random area)  yang diambil sedemikan rupa sehingga tiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Pada sampel acak ini semua sampel diberi kesempatan (probability sampling), hasilnya dapat dievaluasi secara objektif namun pada terpilihnya sampel itu harus benar-benar berdasarkan faktor kebetulan (chance), bebas dari subjektivitas. Teknik pengambilan sampel dengan secara random sampling memiliki keunggulan yaitu teknik ini tidak hanya terletak pada teori yang mendasari, tetapi juga ada bukti-bukti empiris[27].
Selain wawancara dan penyebaran kuesioner, peneliti juga melakukan observasi langsung terhadap kehidupan sehari-hari ADHA di Kota Surakarta dan sikap masyarakat terhadap keberadaan ADHA. Peneliti mengamati dan mencatat hal-hal menurut apa adanya (kondisi aslinya). Mengamati kondisi benda atau lokasi tertentu juga dilakukan sebagai usaha pemantapan makna mengenai frekuensi mengenai pemakaian atau pemanfaatan yang berkaitan dengan peristiwa yang berhubungan dengan sesuatu yang dikaji tersebut[28]. Selain itu, sebagai data sekunder, digunakan dokumen dan arsip. Teknik ini dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan data dari dokumen dari instansi terkait, artikel maupun  arsip baik dari media massa maupun buku-buku literatur sebagai data sekunder guna mendukung data primer yang diperoleh di lapangan.
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Surakarta terhadap keberadaan ADHA. Kota Surakarta dipilih karena merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang memiliki kasus komulatif infeksi HIV AIDS yang tinggi, dimana dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Selain itu, di kota ini terdapat sebuah yayasan, yakni Yayasan Lentera, yang menampung keberadaan ADHA, tepatnya berada di Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
MOHON MAAF TIDAK DIBAGIKAN FORMAT WORD NYA.



[1] Solopos, 26 Juli 2016.
[2] Observasi, 5 Maret 2016 di Yayasan Lenteran
[3] Riono, Macam-Macam Penyakit Mematikan di Dunia,(Jakarta: Erlangga, 1999), halaman 46.
[4] Irwanto dan Utomo, HIV AIDS,(Jakarta: Gramedia, 1998), halaman 67.
[5] Dalam upaya menurunkan risiko terinfeksi HIV, berbagai organisasi kesehatan dunia termasuk Indonesia menganjurkan pencegahan melalui pendekatan ABCD, yaitu : (a) A atau Abtienence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah; (b) B atau Be Faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah; (c) C atau condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks beresiko; (d) D atau Drugs, yaitu tidak menggunakan napza terutama napza suntik agar tidak menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama. Lihat, Frank, Hindari Penyebab AIDS,(Bandung: Grafindo, 1997), halaman 73.

[6] Kemensos, Bahan Interaktif Kementrian Sosial dalam Rangka Peringatan hari AIDS Sedunia (Jakarta: Gramedia, 2011), halaman 125.
[7] Terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu: (i). Faktor Ibu, antara lain Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anaknya. Selain itu, jumlah sel CD4 (Ibu yang memiliki jumlah sel CD4 yang rendah lebih berisiko menularkan Hiv ke bayinya. Semakin rendah sel CD4 semakin besar risiko penularan); status gizi selama hamil, penyakit infeksi selama hamil, dan gangguan pada payudara (seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara) dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI. (ii). Faktor Bayi, antara lain bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan terhadap penularan HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya berkembang kurang baik, adanya luka di mulut bayi. (iii) Faktor Obstetri, antara lain jenis persalinan (risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada perslinan melalui bedah sesar (sectio caesaria), lama persalinan (semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dan lendir ibu, serta ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat jika dibandingkan ketuban pecah kurang dari 4 jam, maupun tindakan episiotomy (ekstrasi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV kaena berpotensi melukai ibu atau bayi). Lihat, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan (Jakarta: Direktorat Jedral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2014), halaman 20-23.
[8] Depkes RI, Pedoman NasionalPenanggulangan AIDS (Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003), halaman 154.
[9] Rie AV et all, Membidik AIDS Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA (Yogyakarta: Balai Penerbit Galang Press Yogyakarta dan Yayasan Memajukan Ilmu Penyakit Dalam, 2013), halaman 56.
[10] Nursalam, Model Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV AIDS (Bandung: Grafindo, 2005),   halaman 56.
[11]Gunawan Sumodiningrat et all, Membangun Indonesia emas: model pembangunan Indonesia baru menuju negara-bangsa yang unggul dalam persainagn global. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005), halaman 112.
[12] Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.(Bandung: Setia Purna  Inves, 2007), halaman 1.
[13] Neni Nurmayanti Hasanah,Get Success UN Sosiologi. (Bandung: Garfindo Media Pratama, 2008), halaman 20.
[14]Nursal Luth dan Daniel Fernandez,(Bandung: Sosiologi 2 Untuk SMU Kelas 3. PT Galaxy Puspa Mega, 2000), halaman 142-144.
[15]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus BesarBahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal 89
[16]Zainul Ahwan. 2013. Stigma dan Diskriminasi HIV & AIDS Pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di Masyarakat. Pasuruan: Universitas Yudharta, halaman. 7.
[17]Asep Sukmara, Perubahan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Sosial Masyarakat Desa Talise Sebagai Desa Proyek Penegelolaan Sumber Daya Pesisir Berbasis Masyarakat Di Sulawesi Utara (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), halaman 6.
[18]Oktarina, Hubungan Antara Karakteristik Responden, Keadaan Wilayah Dengan Pengetahuan, Sikap Terhadap HIV Pada Masyarakat Indonesia  (UNISA, 2009), halaman 363.
[19]Eka Riyana, Stigma dan Diskriminasi Terhadap ODHA di Kota Bandung.(Bandung: UNPAD, 2012), hal 45.
[20]Agusyanti, Situasi AIDS di Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan: UNHAS, 2012), halaman 56.
[21]Oktarina, op.cit. halaman 98.
[22]Ritianawati, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), halaman 78
[23] Dayaksini dan Hudaniah, op. cit. halaman 34.
[24]Gerungan, Psikologi Umum  (Jakarta: Salemba, 2013), halaman 56.
[25]Sutopo, Metodologi Penelitian (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2006), halaman 84.
[26]Singarimbun dan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1985), halaman 66.
[27]Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: Gramedia, 1983), halaman 84.
[28]Sutopo, op cit, halaman 27.