Saturday, December 12, 2020

Tan Malaka: Kontribusi Sunyi Sekitar Proklamasi #SeriTanMalaka

Tan Muda

arifsae.com - Tan Malaka memprediksi Perang Dunia II akan segera berakhir.  Ia memprediksi sebentar lagi Jepang akan kalah dalam peperangan itu. Kekalahan beruntun dalam Perang Asia Timur Raya memperteguh keyakinanya. Pada awal Juni 1945, Tan berencana untuk menghadiri kongres pemuda di Jakarta. Ia menemui Sukarni dirumahnya, Jalan Minangkabau, Jakarta. Disana juga ada Chaerul Saleh, B.M Diah serta pemuda lainnya. Tan tidak menggunakan nama aslinya, ia menggunakan nama samaran Ilyas Hussein dan berasal dari Bayah, Banten Selatan.


Para pemuda tak mengenali wajah Tan Malaka, mereka memperlakukan Hussein selayaknya tamu biasa dan mempersilahkan untuk ikut mengikuti jalannya rapat. Dalam rapat itu, para pemuda dikejutkan dengan analisis tajam dari Hussein. Mereka merasa takjub dengan gagasannya terhadap kondisi politik saat itu. Menurut Sukarni, gagasan Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka dalam buku Massa Actie. Sukarni terpengaruh pendapat dari Hussein, ia lebih mantap untuk secepatnya memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang. Sukarni bahkan sempat curiga, seorang Hussein yang hanya tinggal di wilayah terpencil mengetahui analisis-analisis tajam tentang kondisi politik waktu itu.


Bahkan pikiran Sukarni justru mengarah kepada dugaan Hussein merupakan mata-mata Jepang. Oleh karena itu, rapat dipindahkan tidak lagi di rumahnya, namun di rumah Maruto Nitimihardjo, Jakarta Selatan. Dalam rapat-rapat selanjutnya, Sukarni mulai terpengaruh terhadap analisis Hussein untuk secepatnya mendorong kemerdekaan Indonesia. Tentunya kemerdekaan itu tanpa campur tangan Jepang, dan dengan usaha dari orang Indonesia sendiri. Hussein sendiri setelah pertemuan itu kembali ke Bayah untuk melanjutkan penyamarannya sebagai Juru ketik.


Hussein terus berjuang di wilayah Bayan, dia sering mengadakan rapat-rapat rahasia mengajak serta para pemuda Banten untuk ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pertemuan yang dilakukan di Rangkasbelitung ini mengobarkan semangat untuk mencapai kemerdekaan sendiri, tapa campur tangan Jepang, “Kita bukan kolaborator!”. Itulah ketegasan sikap Hussein yang ditunjukan kepada para pemuda Banten. Ia kembali ke Jakarta untuk menjalin komunikasi dengan Sukarni.


Kondisi di Jakarta semakin hari semakin tak aman. Berbagai pengawasan diperketat oleh Kompetai, polisi rahasia Jepang. Hal ini juga menyebabkan kesulitan bagi Tan untuk menjalin komunikasi dengan para pemuda. Para pemuda sendiri menjadi curiga terhadap Tan yang menyamar dengan nama Ilyas Hussein itu. Pada tanggal 14 Agustus 1945, Hussein berhasil menemui Sukarni dirumahnya, namun pertemuan itu tak lama, Hussein mengusulkan untuk segera mengerahkan massa pemuda. Sukani juga merahasiakan berita menyerahnya Jepang terhadap sekutu karena sudah dibom atom terhadap dua kotanya.


Sukarni tak tahu bahwa Hussein yang selama ini menemuinya adalah Tan Malaka, seorang yang tulisan-tulsiannya menjadi pegangan pergerakan para pemuda. Tan juga tidak mengetahui rencana para pemuda yang akan ‘mengamankan’ Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Suatu tempat yang akhinrya menjadi basis proklamasi, aksi para pemudia itu disebabkan karena tidak ada titik temu tentang bagaimana cara dan kapan proklamasi akan dikumandangkan. Meskipun dengan perdebatan yang panjang, akhinrya teks proklamasi itu berhasil disusun di rumah Laksamana Maeda. Esok harinya, proklamasi yang  bersejarah itu dibacakan di Pegangsaan Timur 56.


Jepang melarang penyebarluasan berita Proklamasi, itulah mengapa Tan sendiri tak tahu bahwa sudah terjadi Proklamasi. Ia sendiri tahu dari berbincanga mulut ke mulut orang-orang di jalanan. Menurut Harry A. Poeze, ketidak terlibatan Tan dalam proklamasi adalah sesuatu yang ironis. Padahal Tan adalah orang pertama yang menggagas konsep republik dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia tahun 1925. Buku inilah yang menjadi pegangan politik pergerakan. Termasuk Suakrni, aktor peristiwa Rengasdengklok, yang sangat terisnpirasi dari tulisan-tulisa Tan Malaka. Tan jelas kecewa dengan peristiwa itu, “sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak memperdulikan penjelasan seorang manusia atau golongan manusia”.


Tan dan Rapat Raksasa di Ikada

Setelah proklamasi, Tan menemu Ahmad Subardjo. Pertemuan terakhr antar keduanya itu sudah sangat lama terjadi. Ahmad Subardjo sendiri pernah pertemu dengan Tan Malaka di Belanda tahun 1919. Sejak bersama Ahmad Subardjo, Tan dikenalkan dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Kepada para temannya, Ahmad Soebardjo meminta merahasiakan keberadaan Tan karena alasan keamanan yang masih belum bisa dikalkulasikan. Setelah perjumpaan itu, Tan terus membangun jaringan gerilya. Ia kembali lagi ke Jakarta.


Para pemuda, terutama Sukarni, mendrong aksi massa seperti pada buku Massa Actie. Maka terbentuklah Komite van Actie. Komite ini lah yang mengibarkan bendera Merah-Putih diberbagai sudut tempat. Kabiniet yang sudah terbentuk terlihat seperti tidak melakukan kegiata apa-apa. Ahmad Subardjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri meminta saran kepada Tan. “buat semboyan-semboyan untuk propaganda”. Itulah saran Tan. Sejak saat itu, kemunculan Tan Malaka terdengar sampai ketelinga Presiden Soekarno. Ia meminta Sayuti Melik untuk mencarinya.


Pertemuan itupun terjadi. Pertemuan itulah yang menjadi tonggak pembuatan testemen politik yang dikeluarkan Bung Karno untuk Tan Malaka. Para pemuda mencari Tan yang beritanya sudah menyebar. Sukarni dan Adam Malik berusaha menemukan Tan. Tapi belakangan, muncul Tan-Tan palsu yang mengaku-ngaku. Akhirnya Sukarni dan Adam Malik menemukan Tan. Sukarni kaget, tidak percaya. Ternyata selama ini Hussein yang beberapa kali mencarinya dan bermalm di rumahnya adalah Tan Malaka, sosok tokoh yang legendaris itu. Untuk memastikannya, Sukarni mencecer Tan dengan pengetahuan tentang isi buku Massa Actie. Tentu saja Tan bisa menjelaskan dengan mudah.


Akhirnya pertmuan itu menjerumus kepada satu ide dengan para pemuda Menteng 31 itu, yaitu melakukan demonstrasi besar-besaran. Aksi ini untuk mengetahui seberapa besar dukungan rakyat dengan proklamasi yang sudah dibacakan itu. Para pemuda terpacu untuk melakukan aksi itu. Aksi itu direncanakan dilakukan tanggal 17 September 1945, tapi aksi itu baru terlaksana dua hari kemudian. Berbagai berita disebar untuk melakukan aksi itu, termasuk ke kampunng-kampung sudut kota untuk menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada. Termasuk undangan kepada Bung Karno, tapi ia menolak.


Pada 19 September 1945, hari yang sudah ditentukan, para massa berbondong-bondong menuju ke Lapangan Ikada. Diperkirakan ada sekitar 200.000 ribu orang memadat isi lapangan. Dipanas terik, dan dibawah moncong senjata Jepang, massa tetap menunggu dengan tenang. Massa tetap menunggu kehadiran Bung Karno ditengah-tengah mereka. Pada hari yang sama, sidang kabinet terbelah menjadi dua pendapat. Sebagian menteri setuju untuk menghadiri rapat raksasa itu, dan sebagian lainnya tidak setuju. Akhirnya pada 4 sore, Bung Karno menuju ke Lapangan Ikada untuk menenangkan massa yang sudah menunggu berjam-jam. Itulah rapat akbar pertama yang terjadi pasca proklamasi. Dukungan massa yang besar ini membuktikan bahwa rakyat masih memberikan dukungan penuh kepada pemerintah. Setelah kejadian itu, rakyat menjadi lebih berani untuk melakukan perlawanan kepada Jepang.


Kehadiran Tan Malaka dalam rapat Raksasa di Lapanga Ikada bisa dibuktikan dengan salah satu foto yang mengabadikannya. Harry A. Poeze, yang melakukan analisnya selama bertahun-tahun. Meskipun kesaksian-kesaksian para orang yang bertemu dengan Tan sudah ada, tapi bukti visual belum ditemukan. Oleh karena itu, Poeze mencoba mencarinya. Ia mengambil jalan berputar dengan menghimpun dokumen di 8 negara dari 11 negara yang pernah disinggahi Tan. Misalnya, Tan selalu memakai kopi kebun  dan celana pendek sejak melarikan diri dari Filiphina (1925-1927).


Bukti lainnya yang didapat dari pencarian Poeze adalah tinggi badan Tan. Dalam sebuah buku tulisan Tan, Dari Penjara ke Penjara II, Tan pernah menulis bahwa setelah ditangkap di Hong Kong, ia pernah dicukur habis rambut dan diukur tinggi badannya. Kemudian Poeze mendatangi asip polisi Inggris yang pernah menahan Tan di Hong Kong. Dan ternyata tinggi badan Tan Malaka sekitar 165 sentimeter!!! Dari ciri-ciri inilah, Poeze bisa menganalisis bahwa salah satu foto ketika terjadi rapat raksasa di Lapangan Ikada, Tan berdampinga persis dibelakang Bung Karno. Tan terbukti secara visual menggerakan para pemuda untuk menghadiri rapat itu.


Namun setelah mendengar pidato Bung Karno, Tan kecewa. Kekecewaan ini dikarenakan isi pidato Bung Karno. Dalam rapat yang berlangsung sekitar 5 menit itu, Bung Karno hanya menyampaikan rakyat harus tetap tenang dan selalu mempercayai pemmerintah. Kemudian massa diminta untuk pulang ke rumah masing-masing. Tan disisi yang lain sangat kecewa dengan pidatonya Bung Karno. Menuruntya, pidato itu tidak menggambarkan semangat berjuang. “tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Setelah itu, Tan memilih jalannya sendiri untuk memperjuangkan kemerdekaan 100 persen seperti yang dicita-citakan.[]