Thursday, October 31, 2013

Menggugat “Mitos” Sumpah Pemuda


Peringatan sumpah Pemuda pertama kali diperingati pada tahun 1957 secara nasional (beberapa sumber menyebut 1954 dan 1958) masa dimana Soekarno sedang agresif mengkonsolidasikan kekuatannya bersama dengan TNI-AD yang saat itu dipimpin oleh Nasution. Sumpah Pemuda adalah warisan “simbolisasi” politik masa peralihan dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin. Dalam tulisan ini akan digambarkan bagaimana proses penciptaan mitos sejarah sumpah pemuda dan penggunaannya sebagai instrumen indoktrinisasi politik.
Tahun 1957 adalah senjakala bagi demokrasi parlementer, yang sering disebut sebagai Masa-masa emas demokrasi Indonesia. Pada tahun-tahun itu, Hatta sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden dan membiarkan Soekarno seorang diri memuaskan ambisi “megalomaniak” (Hatta, 1960). Di tahun-tahun kritis dalam demokrasi Indonesia tersebut, pertarungan ide sistem pemerintahan sedang seru-serunya. Konstituante hasil Pemilu 1955, pemilu yang demokratis dalam sejarah politik Indonesia (Feith, 1957), terbelah menjadi pro-federasi dan pro-kesatuan (Buyung, 2000).
Saat itu di konstituante PNI, PKI, Murba, IPKI, GPPS terlibat perdebatan sengit mematahkan argumen teoritis akan keberadaan negara federal dari Partai pendukung ide negara federal seperti, Masyumi, PSII, Partai Buruh, dan Parkindo (Buyung, 2000). Situasi keamanan juga sedang kritis, beberapa daerah sedang bergolak karena tidak puas dengan kekuasaan Jakarta, sebut saja RMS di Maluku, DI/TII di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah (MMC). (Feith, 2007). Pada tahun 1957 tersebut, tepatnya 21 Februari, Presiden Soekarno baru saja mengeluarkan konsepsi Presiden sebagai tamparan bagi sistem parlementer dan konstituante yang sedang berkerja menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. (Lev, 2009) dan (Feith, 1963)
Soekarno memerlukan sebuah “mitos” baru tentang Kesatuan Indonesia di tengah-tengah sentimen ketidakpuasan daerah karena dominasi Jakarta. Padahal perlu diketahui sebagian besar pergolakan di pusat digerakkan oleh konflik internal di TNI khususnya Angkatan Darat (Crouch, 2007) dan (Nasution, 1989).
Beberapa daerah menuntut adanya distribusi kekuasaan yang vertikal sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah dimana otonomi diberikan kepada Propinsi, Kabupaten dan Desa. Tapi disinilah justru awal mula kekacauan di daerah. Karena amanat UU No. 22 tahun 1948 menjadi dasar daerah menuntut otonomi namun apa lacur, Jakarta malah mengeluarkan UU pembentukan beberapa Propinsi dan Sumatera dan Jawa.
Sepertinya halnya pergolakan di Aceh yang kecewa karena memasukan Aceh menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara, padahal janji Soekarno adalah memberikan Aceh kedudukan sebagai Propinsi tersendiri (Legge, 1961, p. 29). Kekecewaan daerah semakin memuncak saat Jakarta merasa berwenang untuk menunjuk Gubernur di Propinsi tersebut yang tidak berasal dari daerah yang bersangkutan, memanfaatkan celah kosong regulasi saat masa peralihan dari RIS ke RI. Penunjukan Jakarta tanpa memperhatikan usulan dari daerah tersebut merupakan hal yang sangat bertolak belakang saat masa kolonial dimana pejabat tertinggi pemerintahan sipil berasal dari daerah setempat. Sehingga, seperti yang digambarkan oleh Mohammad Syafei, tokoh dari Sumatera Barat, sebagai hegomoni Jawa terhadap luar Jawa (Kahin, 2005, p. 257)
Situasi kerasnya pembangkangan daerah luar jawa tersebut ditambah manuver elit militer dan sipil yang memanfaat sistuasi untuk mencari perhatian guna negosiasi kekuasan dengan Jakarta “menuntut” Soekarno memerlukan suatu alat propaganda yang “sakral” untuk mempertahankan kekuasaan Jakarta terhadap daerah. Selain itu Soekarno memerlukan alat untuk membungkam politisi-politisi sipil di Konstituante.
Soekarno memanfaatkan momentumnya pada saat pembukaan Kongres Bahasa II tanggal  28 Oktober 1954. Saat itu Soekarno menyitir keputusan Kerapatan Pemuda 1928 tapi tujuannya jelas, Konstituante dari partai-partai politik di dalamnya. Soekarno juga menggunakan kesempatan itu pembukaan Konggres Bahasa II tersebut untuk menyalahkan partai-partai politik sebagai biang keladi carut-marutnya politik nasional saat itu.
Peringatan hari Sumpah Pemuda awalnya memang gagasan Soekarno sejak tahun 1949 tapi bukan untuk memperingati putusan kerapatan Pemuda 1928, namun justru untuk memperingati hari kelahiran lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pada tahun 1950 mulai dilakukan formulasi politik untuk mendukung pembangunan nation character building dan Konggres Pemuda dijadikan salah satu milestone sejarah nasional Indonesia.
Tahun 1954, tanggal 28 Oktober dipilih sebagai hari pergerakan nasional, sebuah peringatan biasa yang tanpa gembar-gembor seremonial, tanpa upacara bendera seperti hari-hari besar nasional. Tahun-tahun selanjutnya, terutama 1956, Soekarno mulai memakai Sumpah Pemuda sebagai “palu godam” dan kali ini jelas ditujukan kepada daerah-daerah yang membangkang ke Jakarta. Dalam salah satu pidatonya, Soekarno mengatakan “Jangan coba-coba mengkhianati Proklamasi dan Sumpah Pemuda. Mereka yang sekarang ingin memisahkan diri dari Indonesia adalah para pengkhianat yang lupa kepada Sumpah bangsa ini”.
Mitologisasi Putusan Kerapatan Pemuda menjadi peringatan Sumpah Pemuda terjadi tahun 1958 dimana hari pergerakan nasional telah berubah menjadi Hari Sumpah Pemuda, edaran pemerintah disebarkan ke seluruh kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah dan kantor swasta untuk mengibarkan bendera merah putih dan melakukan upacara. Sumpah pemuda akhirnya Indonesian  the holy trinity, tritunggal suci – bangsa, bahasa, tanah air (Dhakidae, 2001)
Isi dan kandungan putusan Kerapatan Pemuda 1928 yang akhirnya disebut sebagai Sumpah Pemuda tersebut tak lepas dari dekonstruksi sejarah yang dilakukan oleh Mohammad Yamin. Pakar hukum lulusan Recht Hogeschool (RHS) ini memang memainkan peranan penting dan dekonstruksi sejarah Indonesia. Yamin merupakan kampiun narasi dan “sejarahwan rezim Soekarno” dan atas usulan dan ide-idenya tentang Sumpah Pemuda kepada Soekarno. Sehingga Soekarno begitu leluasa menggunakan jargon-jargon tersebut untuk melemahkan politisi sipil di Konstituante, menyentil pembangkangan daerah yang sebenarnya legal dan konstitusional dan meletakkannya mereka sebagai “pengkhianatan” kepada Republik.
Mohammad Yamin, memang sosok kontroversial dalam konstruksi sejarah Indonesia. Benedict Anderson menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin. Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri. Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi. Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946. (Anderson, 2006). Asvi Warman Adam menilai, Yamin adalah seorang ahli propaganda (Adam, 2010, pp. 165-179). Progandis rezim Soekarno yang menyediakan berbagai keperluan rezim “kebalikan Mephistopeles – meminjam “cemooh” Bung Hatta – untuk membenarkan segala tindakan politiknya dalam melawan konstituante dan dominasi partai politik di Konstituante.

Evolusi Teks Putusan Kerapatan Pemuda 1928
Keith Foulcher menjelaskan adanya tafsir-tafsir ideologis-politis terhadap Sumpah Pemuda pada masa kolonialisme, Orde Lama, dan Orde Baru. Evolusi teks Sumpah Pemuda tersebut merupakan Tafsir-tafsir yang muncul dengan sekian dalil dan pamrih mengacu pada kondisi politik dan arus kesadaran sejarah.
Pada versi 1928, kalimat “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Kalimat itu kerap mengalami perubahan semantik dan konsekuensi politik. Kalimat tersebut sering dirubah-ubah menjadi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.” (Foulcher, 2000). Perubahan kalimat itu merepresentasikan kesengajaan dalam pengendalian ingatan historis dan politis. Folcher menjelaskan hal ini dalam konteks “bahasa” sebagai simbol komunikasi politik mengalami reduksi dalam konteks pemaknaan dan implikasi. Disinilah, hasil kerapatan pemuda 1928 yang mengandung semangat zaman dan imaji nasionalisme malah menjadi instrumen kekuasaan dan pembungkaman aspirasi politik.
Lebih lanjut Keith Foulcher, menegaskan formulasi teks Sumpah Pemuda tersebut sebagai realisasi kesatuan tanpa kompromi oleh kepentingan rezim Orde Baru dalam mekanisme sentralisasi dan kontrol. Formula “satu bahasa” itu menjadi kunci untuk operasionalisasi politik bahasa versi Orde Baru. Foulcher menilai perubahan kata itu masuk perkara simbol dan makna nasionalisme. (Foulcher, 1990)
          Mengapa kata “Sumpah” menggantikan kata “Ikrar” dalam hasil putusan kerapatan pemuda 1928? Hal ini merupakan salah satu metode penguasa untuk mencari legitimasi kekuasaannya. Dhakidae dalam pengantarnya di buku “Imagined Community” menjelaskan adanya sebuah Holy Trinity dalam wacana politik kekuasaan di Indonesia. Menurut Dhakidae, Holy Trinity tersebut yang terdiri dari bangsa, tanah air dan bahasa, menjadi un-holly trinity,

“Satu bahasa” tidak lagi dengan sendirinya mengharuskan Indonesia menjadi satu bangsa, satu tanah air tidak dengan sendirinya mengharuskannya jadi “satu bangsa”. Dengan demikian, lanjut Daniel, bangsa-bahasa dan tanah air seolah-olah melibatkan dirinya dalam satu perang besar Hobbesian — Bellum omnium contra omnes, perang semua terhadap semua orang, sebegitu rupa sehingga bangsa mencair, rasa kebangsaan menciut bahkan sirna sekaligus. Realitas kebangsaan yang demikian itu sekarang tentu harus menjadi keprihatinan bersama. Memang sungguh sangat ironis, sebuah bangsa yang besar ini hanya terbangun secara imajiner yang direpresentasikan oleh bahasa sumpah. Yang mana inti sumpah ini sendiri pada awalnya mempunyai tujuannya yang temporer yakni melawan imperialisme.” (Dhakidae, 2001)         

Dalam teks aslinya, hasil kerapatan pemuda 1928 tersebut berbunyi sebagai berikut :

POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Sumatranen Bond (Pemoeda Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen Pasoendan, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 October tahoen 1928 dinegeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan dalam kerapatan tadi;
sesoedahnja menimbang segala isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil poetoesan:

PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

KEDOEA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.

KETIGA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia;

mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
kemaoean
sejarah
bahasa
hoekoem-adat
pendidikan dan kepandoean;
dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita

Ada kalimat tegas dalam teks ini di alenia terakhir tentang persatuan Indonesia dengan memperhatikan kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Jelas disini masih diterimanya konsep pluralisme dalam wacana persatuan. Namun dalam perjalanan sejarah, konsep persatuan ini dijadikan sebagai mitos yang menyingkirkan pluralisme atau ke-bhineka-an.
Dari sisi teks hasil putusan Konggres Pemuda 1928 tersebut terdapat beberapa perubahan sehingga menjadi “Sumpah Pemuda” dan akhirnya menjadi unholy trinity rezim kekuasaan otoriter. Teks asli hasil kerapatan Pemuda 1928 berubah pada Konggres Bahasa Indonesia pertama 28 Oktober 1938, sepuluh tahun setelah Kerapatan Pemuda 1928. Gubahan pertama ini dilakukan oleh Muhammad Thabrani sehingga berubah menjadi : (1) Kita bertanah air satu, yaitu Tanah Air Indonesia; (2) Kita berbangsa satu, yaitu Bangsa Indonesia; (3) Kita berbahasa satu, yaitu Bahasa Indonesia. Dalam versi lain dikatakan pada tahun 1938, Yamin secara sadar dan sengaja mengubah kembali Ikrar Pemuda 1928 menjadi Sumpah Pemuda sehingga kata “berikrar” menjadi “bersumpah”. Yamin pada tahun 1930 dalam pamflet “Pemberontakan Indonesia Muda” dari kata “ikrar” menjadi kata “Sumpah”. (Gonggong, 2012).
Tahun 1949, saat menjelang akhir pelaksanaan Konfrensi Meja Bundar, diadakan Konggres Pemuda pertama. Teks kerapatan Pemuda 1928 kembali digubah menjadi : (1) Satu bangsa, Bangsa Indonesia; (2) Satu bahasa, Bahasa Indonesia; (3) Satu tanah air, Tanah Air Indonesia; (4) Satu negara, Negara Indonesia.” Kongres Pemuda Tahun 1949 dilatarbelakangi oleh kembalinya Belanda ke Indonesia yang diikuti pembentukan negara-negara boneka bentukan Van Mook.
Pada tahun 1954, sesuai dengan surat edaran Menteri Pendidikan saat itu, Yamin, tentunya dengan menyelipkan kata “Sumpah” berbunyi : (1) Kami Putra-Putri Indonesia Mengakui Satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia; (2) Kami Putra-Putri Indonesia Mengakui Satu Bangsa, Bangsa Indonesia; (3) Kami Putra-Putri Indonesia Mengakui Satu Bahasa, Bahasa Indonesia.
Era orde baru, teks Sumpah Pemuda kembali digubah, dengan merubah kata “bangsa” kembali menjadi “tanah air”, kata “Sumpah” tetap digunakan, sebab saat itu Soeharto menggunakan Sumpah Pemuda sebagai instrumen pengendalian emosi politik. (1) Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (2) Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia; (3) Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia.
Kemudian pada tahun 1988, saat peringatan 60 tahun Sumpah Pemuda, sebuah teks gubahan Sumpah Pemuda beredar dalam bentuk kaos. Sebuah perlawanan gerakan mahasiswa yang sudah tumbuh saat itu terhadap rezim otoriter Soeharto. Teks tersebut berbunyi (1) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan; (2) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Berbagsa satu, Bangsa yang Gandrung akan Keadilan; (3) Kami Mahasiswa Indonesia Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Kebenaran. Teks ini menjadi salah satu battle cry pada berbagai aksi demonstrasi mahasiswa sejak 2008 sampai saat ini.
Pasca reformasi, Sumpah Pemuda kembali menjadi salah satu instrumen kekuasaan dan indoktrinisasi. Entah bagaimana dan memang sulit dijelaskan, Sumpah pemuda menjelma menjadi sesuatu yang kramat dan sakral, dan di luar akal sehat menjadi dalih bagi pembungkaman aspirasi daerah terhadap hegomoni Jakarta, terutama di luar jawa. Bahkan menjadi alasan bagi jargon baru dalam emosi politik, NKRI Harga Mati. Hal ini ditemukan pada sebuah pamflet anonym yang pernah diperoleh penulis dalam satu kesempatan. (1) Kami Putera-Puteri Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia; (2) Kami Putera-Puteri Indonesia Mengaku Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia; (3) Kami Putera-Puteri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia; (4) Kami Putera-Puteri Indonesia Berideologi Satu, Ideologi Pancasila; (5) Kami Bersatu Mengembalikan Konstitusi Kepada UUD 1945 yang Asli.

Desakralisasi Sumpah Pemuda
Ada sesuatu yang lebih radikal dibandingkan Sumpah Pemuda tersebut. Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia, sebuah gerakan pemuda yang lebih radikal daripada para “anak-anak priyayi” yang sekolah di Batavia. Lahirnya pernyataan asas-asas Perhimpunan Indonesia tahun 1925 disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo, sebagai Manifesto Politik 1925. Perhimpunan Indonesia, yang telah dipersiapkan sejak tahun 1923 itu dengan Mohammad Hatta sebagai penggerak utamanya. Menurut ahli sejarah ini, Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925 ini. Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat Manifesto itu: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia; (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri; (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan; dan (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun. (Kartodirdjo, 1993). Kartodirjo dengan panjang lebar menjelaskan Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia jauh lebih radikal daripada Kerapatan Pemuda “priyayi” 1928. Kartodirdjo menyebut Manifesto 1925 itu lebih penting daripada Sumpah Pemuda. Ini karena di dalamnya terdapat tiga prinsip dasar unity (persatuan), fraternity (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan) konsep yang menginspirasi dari semangat revolusi Prancis liberte-egalite-fraternite (Kartodirdjo, 1993).
Sartono Kartodirdjo menegaskan posisinya mendukung Manifesto Politik yang menurutnya berhasil merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai Ideologi. Bagi Sartono, Manifesto itu akan mengarahkan gerakan-gerakan etno-nasionalisme menjadi gerakan ke arah Indonesia merdeka, jadi konsep kesatuan telah roh spiritualitas kesukuan dan regionalisme. Sartono juga mempertanyakan mengapa sampai sekarang yang diperingati secara nasional adalah “Sumpah Pemuda” dan bukan Manifesto Politik 1925, padahal konsep-konsep dalam pernyataan Perhimpunan Indonesia itu lebih fundamental bagi nasionalisme sedangkan Sumpah Pemuda dapat dianggap sebagai sebuah pelengkap saja dari Manifesto Politik 1925. (Kartodirdjo, 1993).
Sartono tidak sendirian, banyak pemikiran tokoh yang menggugat sakralisasi Sumpah Pemuda yang tak lebih dari instrumen pengendalian ingatan politik. Seolah-olah segala sesuatu yang berbau mempertanyakan kembali hegemony Jakarta terhadap daerah dianggap sebagai pelanggaran dan bahkan pengkhianatan pada Sumpah Pemuda.

Penutup
          “Sejarah ditulis oleh pemenang” demikian quote terkenal dari Winston Churchill; dan memang begitulah yang terjadi. Sakralisasi “Pesatuan dan Kesatuan” telah memenangkan pertarung kesadaran dan ingatan politik sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan sakralisasi dengan akronim “Sumpah” yang dibuat dengan sengaja dan sadar oleh progandis sekaliber M. Yamin, Soekarno memiliki amunisi untuk membungkan konstituante. Akhirnya Konstituante bubar setelah draft UUD yang baru berhasil disepakati. Dengan dalih “Persatuan dan Kesatuan” Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden yang ternyata membunuh Demokrasi yang baru bersemi, Hatta meradang karenanya, dan Buya Hamka harus mendekam di penjara karena menerbitkan tulisan Hatta yang tak terbantahkan itu, Demokrasi Kita. Kemudian ditambah lagi dalih persatuan dan kesatuan tersebutlah, PRRI-Permesta dibungkam yang akhirnya malah memberikan ruang bagi perimbangan kekuatan politik yang semu antara Soekarno-PKI dan TNI-AD.
          Rezim Soekarno jatuh, namun penggantinya, Soeharto masih menggunakan instrumen “Sumpah Pemuda” sebagai alat propaganda. Hasilnya adalah stabiltas politik yang bertumpu pada peniadaan tafsir lain tentang “persatuan kesatuan”. Hanya ada tafsir tunggal tentang persatuan dan kesatuan, tafsir rezim Soeharto sendiri. Doktrinisasi politik dicangkokkan ke otak murid-murid di sekolah dengan kurikulum yang menjadi alat kekuasaan. Semua dibungkam, politik lokal mengabdi pada kemauan Jakarta, sentralisasi kekuasaan dan sentralisasi ekonomi. Orde Baru dengan perangkat kekuasaannya hadir dalam setiap ruang hidup rakyat. Bahkan dinding pun bertelinga, negara intel.
          Sekali lagi rezim berganti, dan akhirnya ada perubahan, tapi tidak dengan konsep persatuan. Sebelum meninggalkan panggung politik, propagandis TNI, justru memobilisasi sebuah usaha masif untuk mengendalikan kesadaran dan ingatan politik. NKRI harga Mati. Negara kesatuan Republik Indonesia menjelma menjadi jargon-jargon politik. Sejak reformasi, NKRI menjadi jargon yang mematikan tafsir lain terhadap sistem negara. Dan seperti biasa, Sumpah Pemuda tetap sebagai instrumennya.
          Inilah warisan Yamin terhadap Indonesia, sebuah sakralisasi peristiwa yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dilahirkan oleh Perhimpunan Indonesia di jantung negeri penjajah. Selayaknya, manifesto politik Perhimpunan Indonesia, yang lebih radikal daripada sekedar Sumpah Pemuda menjadi konstruksi baru pada politik Indonesia. Baik pada konsep persatuan yang pluralis, persaudaraannya dan kemerdekaannya.




Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2013/10/28/menggugat-mitos-sumpah-pemuda-603182.html