Sunday, October 6, 2013

Soekarno: Sebuah Dilema dalam Penulisan Sejarah Indonesia

Harian Prioritas (29 September 1986) menurunkan berita utama sekitar pencalonan putra-putri Soekarno oleh Partai Demokrasi Indonesia. Sementara jauh sebelumnya Harian Prioritas pada tanggal 7 Juni 1986 memuat hasil wawancara dengan Rachmawati Soekarnoputri, putri mendiang Proklamator Republik Indonesia. Dalam tulisan tersebut, dia mengatakan bahwa “sejak tahun 1973 hingga sekarang orang-orang yang tidak senang kepada mendiang Soekarno masih saja melakukan pengecilan arti paham dan ajaran-ajarannya serta hasil perjuangannya”. Ternyata wawancara tersebut mendapat tanggapan dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Suryadi, Sekretaris Jendral Golongan Karya Sarwono Kusumaatmaja dan HD Haryo Sasongko. Bertitik tolak dari pernyataan diatas tersebut, maka tulisan ini akan mencoba memberi uraian semampu mungkin dalam meletakkan Soekarno sebagai pahlawan proklamator dan manusia dalam sejarah Indonesia lewat karya-karya sejarah yang tersedia.
Memang tidak mudah menulis tentang Soekarno secara obyektif. Ada orang-orang yang masih saja tidak melupakan kesalahan-kesalahannya di masa lalu dan di lain pihak ada juga orang-orang yang mencoba mengkultuskannya bagaikan seorang dewa. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang bahwa menulis tokoh kontroversial semacam Soekarno diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengambil jarak dengan tokoh yang dibicarakan tersebut. Kalau mau menelusuri sepanjang sejarah penulisan sejarah Indonesia berkaitan dengan nama bekas Presiden Republik Indonesia Pertama, maka tidak jarang ditemukan polemik yang berkepanjangan dan sepertinya tak kunjung selesai. Perdebatan tersebut selalu berkisar masalah bagaimana menempatkan Soekarno dalam sejarah Indonesia secara proporsional.

80 Buku
Semasa Soekarno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia Pertama beredar sebuah buku dengan judul Soekarno, An Autobiografi as told to Cindy Adams (New York: The Bobbs-Merrill Company Inc, 1965). Buku ini diterjemahkan oleh Abdul Bar Salim dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta : Gunung Agung, 1966). Sebagai karya sejarah popular, autobiografi tersebut tentu saja kadar subyektifitas dapat dikatakan tinggi. Seringkali apa yang diutarakan dalam buku tersebut tampaknya bukan merupakan fakta yang sebenarnya, hal tersebut tentunya menjadi tugas sejarawan untuk mendapatkan fakta-fakta yang memang benar adanya. Ada baiknya menyimak apa yang dikatakan Soekarno berkaitan dengan keinginan menulis buku tersebut. Dia mengatakan bahwa “untuk mendapatkan simpati dan meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta.” Dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya ada keinginan dari Soekarno untuk membela diri serangan-serangan yang ditujukan kepadanya terutama sekali kecaman-kecaman yang diperoleh dari pers Barat.
Tidak jelas apakah, dengan adanya buku tersebut, maka orang mau mengerti tentang dirinya sebagai pahlawan dan manusia. Tetapi yang jelas, Soekarno telah menjelaskan siapa sebenarnya dirinya. Setahun kemudian terbit sebuah biografi yang ditulis Solichin Salam dalam judul Bung Karno Putera Sang Fajar. ( Jakarta : Gunung Agung, 1966). Berbeda dengan autobiografi Soekarno, biografi Soekarno ini, sebagaimana dikatakan Solichin Salam, ingin memberi inspirasi terhadap generasi muda Indonesia. Karya-karya sejarah yang bersifat inspiratif cukup banyak beredar di dunia Barat.
Di Indonesia sendiri sudah mulai dengan diterbitkan buku-buku biografi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Buku biografi semacam ini senantiasa berbicara mengenai nilai-nilai kepahlawan yang dipatrikan orang-orang kepada dirinya, dan fakta menjadi urusan nomor dua. Tetapi tulisan semacam ini sah adanya dalam penulisan sejarah Indonesia. Pada tahun yang sama terbit sebuah buku dengan judul Sukarnos Kampft um Indonesien Unabhangkeit ( Frankfurt am Main, Berlin : Alfred Metzner Verlag, 1966). Biografi intelektual ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mary F Somers Heidhues dengan judul Sukarno dan The Struggle for Indonesian Independence (Ithaca and London : Cornell University Press, 1969 ). Biografi intelektual ini merupakan disertasi dari Bernhard Dahm yang sudah dilakukan revisi ulang untuk kepentingan penerbitan buku.
Karya sejarah sarjana Jerman tersebut mencoba menelaah dasar-dasar pemikiran Soekarno melalui kebudayaan Jawa. Dalam buku tersebut, ternyata Bernhard Dahm berhasil menunjukkan kepada sidang pembaca bahwa betapa pentingnya pengaruh kebudayaan Jawa dalam proses sosialisasi dan perkembangan intelektual Soekarno. Karya tersebut bukan tanpa ada kesalahan. Misalnya, ada kritik yang ditujukan kepada Bernhard Dahm, bahwa sarjana berkebangsaan Jerman itu terlalu memaksakan diri melihat Sorkarno sebagai seorang pemikir tanpa melihat tingkah laku politik Soekarno sendiri. Kendati demikian, buku ini tetap saja memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan sejarah Indonesia.
Ternyata karya serius mengenai Soekarno terus berlanjut dengan terbitnya biografi politik Soekarno yang berjudul Sukarno A Political Biography (Allen Lane The Penguin Press, 1972). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sukarno Biografi Politik (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1985). Buku yang diterbitkan dalam bahasa Inggris tersebut beredar ketika terjadi demitologisasi Soekarno yang tampaknya berlebih-lebihan. Melalui buku Sukarno A Political Biography, John Legge mencoba menjelaskan kepada sidang pembaca mengenai lingkungan sosial politik yang memungkinkan Soekarno sebagai operator politik tanpa tandingan, dari tahun 1945–1967 menjadi presiden. 
Sebenarnya banyak sekali buku sejarah yang berbicara mengenai Soekarno sebagai pahlawan maupun manusia, tetapi sayangnya karya-karya tersebut tidak bisa dibicarakan di sini. Hanya buku-buku yang terpenting saja yang mempunyai kaitan dengan penulisan artikel ini yang dibicarakan. Menurut Yayasan Idayu yang menerbitkan buku Bibliografi Soekarno, menyebutkan sekitar 80 buku yang berbicara mengenai Soekarno. Tampaknya tokoh kontroversial ini telah mengundang banyak orang untuk menulisnya dari dalam maupun luar negeri.

Kultur Munafik ?
Dalam urairan berikut, saya mencoba menguraikan mengenai polemik yang ditimbulkan akibat dari nama Soekarno yang disebut-sebut dalam karya sejarah. Ada baiknya menyimak apa yang ditulis oleh jurnal ilmiah Prisma pada bulan Agustus 1977. Jurnal ilmiah tersebut berbicara mengenai orang-orang yang gagasan-gagasan maupun tindakannya dianggap ikut mempengaruhi jalannya sejarah Indonesia. Antara lain, Soekarno, Kahar Muzakar dan Tan Malaka yang dikenal sebagai tokoh yang penuh kontroversi.
Di dalam jurnal ilmiah tersebut, Onghokham menulis mengenai Soekarno dengan judul “Soekarno : Mitos dan Realitas”. Dia mengatakan “masalah Soekarno erat kaitannya dengan persoalan bangsa Indonesia.” Dikatakan ada kemunafikan yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia dalam memperlakukan pribadi Soekarno. Pada puncak masa kekuasaannya, Soekarno digelari Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Walijul Amri, Panglima Tertinggi, dan lain-lain.
Secara tiba-tiba semua gelarnya dicopot. Jasa dan peranannya ditiadakan dan bahkan diejek. Persoalannya kini bukan saja “Siapakah Soekarno“, kata sejarawan UI ini, tetapi juga “Siapa sebenarnya kita dahulu dan siapa kita sekarang?” Apa dulu kita yang munafik atau sekarang kita munafik, Onghokham bertanya. Ketika Soekarno menduduki singgasana kekuasaan berbagai puja-puji diarahkan kepada Soekarno. Tetapi sesudah itu Soekarno mau dibuang ke keranjang sampah sejarah. Ini adalah suatu ironi dari suatu penilaian sejarah, tetapi itu memang kenyataan.
Orang-orang tak boleh lupa kadangkala situasi membuat orang berbuat sesuatu yang tabu dilakukan, hal itu terpaksa dilakukan. Arah politik sudah berpindah, maka ia juga harus ikut pindah. Tak heran apabila budayawan terkemuka, Mochtar Lubis melalui bukunya Manusia Indonesia (sebuah pertanggung jawab) mengatakan kalau kultur munafik sudah menjadi budaya dari bangsa Indonesia.
Pada 18 Maret 1976, Panitia Penyusun Buku Sejarah Nasional Indonesia sebagai buku standard sejarah Indonesia menghadap Presiden Soeharto. Sehabis penyerahan buku standard tersebut, Sartono Kartodirdjo sejarawan terkemuka Indonesia sebagai ketua panitia mengakui dalam penulisan sejarah tersebut kadar subyektifitas tetap ada, dan dia meminta khalayak ramai untuk memberi tanggapan terhadap isi buku standard tersebut agar dapat mengadakan revisi ulang seperlunya.
Tak lama kemudian serangan-serangan yang cukup gencar dilancarkan lewat tulisan-tulisan di harian Merdeka. Kritik tersebut diarahkan kepada peranan Presiden Soekarno pada tahun-tahun sebelum kejatuhannya akibat Peristiwa Gerakan 30 September, Masalahnya adalah sejumlah fakta yang yang dianggap kurang lengkap dan seperti biasanya berkaitan dengan penafsiran. Di mana penulis buku Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI terlalu yakin dengan pernyataan yang dibuat secara sepihak tanpa disertai pernyataan pihak yang lain.
Dalam kata pengatar pada buku Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, Nugroho Notosusanto sebagai editor mengatakan bahwa tidak mudah menulis mengenai peristiwaperistiwa dan tokoh-tokoh yang termasuk jenis kontroversial, dan diakuinya memang dalam penulisan sejarah kontemporer atau sejarah sezaman kadar subyektifitasnya terlalu tinggi dibandingkan dengan masa sebelumnya. Penulis buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI mencoba memberikan interprestasi yang sejauh mungkin seimbang dan layak. Tetapi sayangnya, penulis buku kurang bisa menjaga jarak dengan tokoh-tokoh yang dibicarakan, terutama Presiden Soekarno.
Nugroho Notosusanto kemudian menulis buku dengan judul Proses Perumusan Pancasia sebagai Dasar Negara (Jakarta: Balai Pustaka, 1981). Buku Nugroho Notosusanto tersebut dilampiri dengan tulisan dari A.G. Pringgodigdo serta disertai kata pengantar oleh Dardji Darmodiardjo. Mereka berdua mempunyai pandangan yang sama dengan pandangan Nugroho Notosusanto bahwa Soekarno bukan satu-satunya orang yang membicarakan mengenai Pancasila sebagai dasar negara.
Tulisan Nugroho Notosusanto yang pernah terbit dalam majalah Persepsi pada tahun 1970 tersebut, kemudian disebarkan melalui media massa atas permintaan Departemen Penerangan Republik Indonesia. Tampaknya ada keselarasan, antara keinginan pemerintah Orde Baru dengan tulisan tersebut. Ternyata tulisan tersebut mendapat tanggapan dari berbagai pihak, ada yang bersikap emosional dan ada pula yang melihat persoalan dengan kepala dingin. Yang menjadi titik permasalahan adalah bagian dari pidato Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945 yang memuat pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945, khalayak sangat meragukan isi pidato Muh Yamin tersebut.
Buku Nugroho Nosusanto tersebut, kemudian mendapat respon dari Lembaga Soekarno – Hatta, yang menerbitkan buku dengan judul Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila ( Jakarta : Inti Idayu Pers, 1984). Buku tandingan tersebut mempunyai pendapat yang berbeda dengan Nugroho Notosusanto dan dikatakan bahwa pidato yang disampaikan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut yang mengungkapkan mengenai Pancasila sebagai satu-satunya sumber dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD dari 18 Agustus 1945.

John Ingelson
Tulisan Rosihan Anwar mengenai Perbedaan Analisa Politik antara Soekarno dan Hatta (Kompas, 15 September 1980) mengatakan bahwa salah satu perbedaan kedua tokoh tersebut adalah “dalam sikap politik terhadap Pemerintah Jajahan Hindia Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Soekarno, ahli pidato yang bergembor-gembor lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya pribadi.”
Ternyata pendapat wartawan senior tersebut dikutip dari buku yang ditulis sarjana Australia, John Ingelson, yang berjudul The Indonesian Nationalist Movement, 1927–1934. (Singapore : Heinemaan Educational Books (Asia) Ltd, 1979 ). Buku John Ingelson ini merupakan disertasi yang ditulis ketika dia menyelesaikan studi pasca sarjana pada jurusan Sejarah di Universitas Monash, Australia. Buku John Ingelson tersebut menyebutkan tentang empat pucuk surat yang ditulis Soekarno dari penjara Sukamiskin kepada Jaksa Agung Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1933. Arsip yang ditemukan oleh sarjana Australia pada Kementerian Dalam Negeri di Den Haag tersebut mengatakan bahwa Soekarno minta dilepaskan dari penjara sebagai imbalannya dia tidak akan ikut lagi dalam kegiatan politik sampai akhir hayatnya.
Tulisan Rosihan Anwar tersebut membangkitkan polemik yang berkepanjangan di harian maupun majalah di Indonesia. Sampai-sampai Wakil Presiden Republik Indonesia, Adam Malik meminta agar polemik tersebut dihentikan saja. Yang menarik adalah sebelum Rosihan Anwar menulis, sebenarnya surat-surat tersebut sudah disinyalir majalah mingguan Tempo pada tanggal 6 Oktober 1979. Dikalangan sejarawan sendiri masih mempertanyakan apakah surat salinan tersebut memang benar-benar merupakan surat-surat dari Soekarno. Ada kesulitan untuk menghentikan keraguan yang timbul terhadap surat-surat tersebut, selama surat-surat yang asli tidak terdapat. Sejarawan terkemuka Taufik Abdullah mengatakan bahwa apabila itu benar apa artinya bagi sejarah Indonesia. Memang tidak ada. Ada surat atau tidak, Soekarno tetap berjuang untuk Indonesia Merdeka.
Memang serba salah. Orang-orang senantiasa mencampur-adukan antara Soekarno sebagai pahlawan maupun sebagai manusia belaka. Sebagai pahlawan Soekarno dipenuhi dengan nilai-nilai yang dipatrikan orang kepada dirinya. Sedangkan sebagai manusia tentu saja tidak luput dari kesalahan. Ada baiknya menyimak apa yang diungkapkan dalam autobiografinya sebagai berikut ”Aku bukan manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Setiap makhluk membuat kesalahan. Di hari-hari keramat aku minta maaf kepada rakyatku di muka umum atas kesalahan yang kutahu telah kuperbuat, dan atas kekeliruan-kekeliruan yang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahan ialah, bahwa aku selalu mengejar suatu cita-cita dan bukan persoalan-persoalan yang dingin.” Memang kesalahan sebagai manusia tidak dapat dikenakan pada peranannya dalam sejarah. Dalam penulisan sejarah yang harus ditulis hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap penting saja.
Lain lagi dengan ini, setahun setelah Lembaga Penelitian Sejarah Nasional mengadakan seminar mengenai sejarah Indonesia di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta pada bulan September 1985, Ruben Nalenan, Sekretaris Lembaga tersebut membicarakan hasil seminar di depan pers. Dia menghimbau agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meninjau kembali materi buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, karena dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III untuk SMP yang terdiri dari 154 halaman itu memuat kata-kata sebagai berikut “Dalam pada itu Presiden Soekarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan impor ke Indonesia. Pada pelbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dollar atas nama Presiden”
Akibat teks tersebut mulai orang bertanya-tanya apakah bekas Presiden Republik Indonesia yang pertama ini pernah berbuat semacam itu. Memang masalah yang dibicarakan di sini lebih serius daripada tulisan Rosihan Anwar, karena hal ini menyangkut masalah pendidikan. Banyak orang menganggap bahwa penulisan tersebut tampaknya kurang tepat apabila disajikan kepada murid-murid SMP. Dengan adanya teks tersebut bisa saja membingungkan murid-murid tersebut.

Penutup
Dari uraian diatas, tampak sekali terlihat membicarakan tokoh semacam Soekarno dalam penulisan sejarah Indonesia perlu hati-hati, karena berbicara mengenai dia seringkali menimbulkan guncangan-guncangan yang tentu saja menarik perhatian khalayak ramai. Perlunya bagi pembaca untuk mengetahui bahwa dalam melakukan penulisan seajarah, sejarawan adakalanya terpengaruh oleh situasi dan kondisi-kondisi yang melingkupinya, hal itu tentu saja, mempunyai pengaruh dalam penulisan sejarah tersebut. Yang harus dicatat dalam mengerjakan ilmu sejarah adalah ada kemampuan teknis dan wawasan teori serta tidak melupakan adanya integritas yang tinggi dari sejarawan tersebut. Ada baiknya sejarawan meninjau kembali apa yang sudah menjadi keyakinannya, bukanlah setiap karya sejarah hanya bersifat sementara belaka atau penafsiran sementara Bisa saja seorang sejarawan berlaku semata-mata sebagai seorang cendikiawan yang melibatkan diri semata-mata sebagai seorang ideologi yang bertugas mencari pembenaran belaka, Memang hal tersebut tidak salah, tetapi tentu saja masalah tersebut berada diluar ilmu sejarah.
Sekali lagi, masalah politik tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan sejarah. Sejarah mencatat banyak tokoh yang diagung-agungkan bagaikan seorang dewa dimasa dia masih duduk di singgasana, tetapi sesudah itu boleh dikatakan nama tersebut tak pernah disebut-sebut. Di Republik Indonesia ini hampir saja hal itu terjadi. Tetapi rupanya bangsa Indonesia masih menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Soekarno ketika masih berada di puncak kekuasaan mengatakan bahwa “Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti Soekarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa“.
Dari ucapan tersebut Soekarno merasakan dirinya senantiasa menjadi bahan pembicaraan bagi khalayak ramai. Apa Soekarno mengetahui juga bahwa sesudah pulang ke Rahmatullah ada suatu masa bahwa namanya tak disebut-sebut lagi dengan berbagai alasan. Untuk sementara ini orang hanya bisa menilai peranan yang dimainkan selama hidupnya dalam sejarah Republik Indonesia tercinta ini. Lalu, orang bertanya-tanya, dimanakah tempat Soekarno dalam sejarah bangsa Indonesia ini? Lebih baik pertanyaan tersebut diserahkan pada sejarah untuk menilai.


Sumber: Sketsa Sosok Soekarno tulisan Peter Kasenda