Monday, November 11, 2013

PEMUDA: PENENTU MASA DEPAN BANGSA (I)



Belum lama euforia kemenangan Tim Nasional (Timnas) U-19 bergema di seluruh pelosok Indonesia ketika memenangkan kejuaran AFF U-19, hal itu dapat dimaklumi karena terlalu lama rakyat Indonesia merindukan gelar juara dalam dunia sepak bola. Terlepas dari rasa nasionalisme, penulis merasa moment ketika Ilham Udin Armyn berhasil menuntaskan tugasnya men“jebrett”kan gawang lawan sangat mengharukan, dibandingkan ketika menyanyikan Indonesia Raya setiap upacara hari Senin atau hari-hari besar nasional lainnya. Tapi, pemandangan kontras terlihat ketika setiap para pemain Timnas Senior bertanding, rasa was-was selalu menghinggapi hampir di seluruh pertandingan pada 90 menit pertama. Poin utama yang ingin penulis sampaikan disini adalah, peran para pemain yang notabene masih berumur 19 kebawah yang sekarang sedang di dengung-dengungkan sebagai “pahlawan” adalah para kaum muda.
Tidak berlebihan betapa sanjungan besar di sematkan untuk kaum muda, seperti ucapan dari Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Ir. Sukarno (1901-1970), bahwa “berikan aku 1000 orang tua, dan dengan mereka akan aku gerakan Gunung Semeru! tapi beri aku 10 pemuda yang membara cinta pada tanah airnya, maka dengan mereka akan aku guncangkan dunia”, kata-kata itu begitu mengagungkan para kaum muda untuk mengasah potensi yang di milikinya dan membangkitkan semangat juang bagi para kaum muda untuk “mengguncangkan” dunia. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana pemuda zaman dulu memperjuangkan bangsanya? masihkah para pemuda zaman sekarang memikul beban sebagai agen of change pada zaman reformasi yang serba modern ini? mengapa bila dilihat dari pola hidup para pemuda zaman modern ini, cenderung lebih menekankan pada nilai-nilai konsumtif daripada mengedepankan nilai progresif untuk mengembangkan potensi dan meraih prestasi?
Sebelum dibahas lebih lanjut, maka perlu ditegaskan definisi pemuda itu sendiri, agar tidak simpang siur penggunaanya, pemuda disini adalah setiap anak muda yang berumur kisaran antara 15-30 tahun yang bersemangat untuk merubah masa depan bangsanya. Meskipun definisi pemuda yang di pakai disini berbeda dengan definisi dari badan atau lembaga yang mengeluarkan definisinya masing-masing. Tapi yang jelas, pemuda adalah orang yang mempunyai potensi yang dapat membuat keadaan yang ada di sekelilinganya menjadi lebih baik (atau lebih buruk) dengan kekuatan yang dimilikinya, baik itu fisik ataupun buah pikirannya dalam membangaun masa depan bangsa.
Bila dilihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari zaman pra kemerdekaan sampai dengan sekarang, hampir disetiap peristiwa besar yang terjadi tidak pernah terlepas dari peran perjuangan bergelora dari kaum pemuda yang akhirnya menjadi penentu arah masa depan bangsa. Para pemuda biasanya memiliki sebuah idealisme yang dipegang dengan kuat ketika menjadi pelajar atau mahasiswa, usia yang muda menjadikan nilai intelektualisme menjadi tonggak bagi pengabdian yang tanpa pamrih dan tanpa embel-embel apapun demi perjuangan membela kepentingan bangsa dan negara. Meskipun dalam perjuangannya mereka berbeda suku, agama, ras, antar golongan bahkan ideologi yang berbeda-beda mereka kesampingkan demi untuk menuju cita-cita mulia, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Peran pemuda sudah di catat dalam tinta emas perjalanan sejarah Indonesia, kalau diklasifikasikan berdasarkan tahap-tahap, maka hampir dalam setiap tahap-tahap tersebut ada sosok pemuda sebagai lokomotif dan garda terdepan perjuangan bangsa. Secara singkat, penulis -dengan keterbatasannya- membagi peran para pemuda dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi beberapa tahap, yaitu: (1) tahap perjuangan sebelum tahun 1900-an, (2) tahap organisasi (1905-1924), (3) tahap meneguhkan identitas diri (1925-1944), (4) tahap revolusi (1945-1949), (5) tahap transisi (1950-1966), tahap militerisasi (1967-1998), dan (6) tahap reformasi sampai masa kini (1999-2013). Berikut ini, penulis akan berusaha uraikan secara singkat peran pemuda pada tiap-tiap tahapan perjalanan sejarah Indonesia sebagai berikut:
Tahap pertama, yaitu tahap perjuangan para pemuda sebelum tahun 1900-an. Pada tahap ini biasannya perjuangan menggunakan senjata dan terjadi di berbagai daerah, perlawanan dengan senjata tersebut kalah canggih dan komplit dibandingkan dengan pemerintah Kolonial. Selain itu, pemimpin perlawanan menjadi tokoh sentral dalam menjalankan perlawanannya, sehingga ketika pemimpin itu tertangkap maka tidak ada yang melanjutkan perjuangannya, kemudian skup perlawanannya bersifat lokal dan tidak terkordinir antara daerah satu dengan daerah yang lainnya. Meskipun tidak berhasil mengusir pemerintah Kolonial, setidaknnya perlawanan itu berhasil memperlemah kekuatan pemerintah Kolonial. Peran pemuda yang paling menonjol yang dilakukan sebelum 1900-an adalah perang Pattimura di Maluku (1817), perang Diponegoro di Jawa (1825-1830), perang Imam Bonjol (1822-1837) di Sumatra, perang Jelantik (1850) di Bali, serta masih banyak lagi perlawanan di daerah-daerah yang lainnya, tentu saja tokoh sentral itu adalah para pemuda yang sedang bergelora untuk mengusir para penjajah dari tanah airnya.
Tahap yang kedua adalah tahap organisasi (1905-1924). Tahap organisasi merupakan tahap yang mengedepankan organisasi sebagai alat perjuangannya, dalam tahap ini perjuangan senjata sedikit berkurang. Salah satu organisasi tersebut adalah Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 (dijadikan hari kebangkitan nasional), menjadi titik awal perjuangan dengan menggunakan organisasi, para pemuda sadar bahwa perjuangan dengan bersenjata dan terpisah-pisah yang bertumpu hanya pada kharisma seorang pemimpin akan mudah dipatahkan oleh pemerintah Kolonial. Ide pergerakan nasional ini di inspirasikan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo (1852-1917), seorang dokter pribumi yang gencar keliling Jawa untuk mengumpulkan dana yang dapat di gunakan sebagai beasiswa (studiefonds) bagi penduduk pribumi yang memiliki potensi. Setelah itu, perjuangan dilanjutkan oleh para pelajar dari STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang diwakili oleh dr. Soetomo (1888-1938) dan kawan-kawan, mereka berkeinginan untuk meraih pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan pola pendidikan yang di jalankan oleh pemerintah Kolonial. Para pendiri Budi Utomo rata-rata memiliki usia 21 tahun.
Sebelum itu bahkan pada usia 26 tahun Haji Samanhudi (1879-1956) mendirikan Sarikat Dagang Islam (SDI) di Surakarta pada 16 Oktober 1905, untuk mewadahi para pedagang-pedagang (batik) pribumi muslim agar tidak kalah dan mampu bersaing dengan para pedagang Cina yang mempunyai status lebih tinggi dari penduduk pribumi. SDI adalah cikal bakal dari Sarekat Islam (SI) yang di pimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto (1882-1934), awalnya Tjokroaminoto bergabung dengan SDI dan mendirikan cabangnya di Surabaya tahun 1912, tujuan utamanya adalah untuk membangun persaudaraan dan rasa tolong menolong sesama muslim dan memajukan perekonomian rakyat, waktu memipin SI Tjokroaminoto berusia 29 tahun. Sejarah membuktikan, lewat Tjokroaminoto para generasi penentu bangsa pernah menjadi muridnya, sebut saja nama Sukarno, Alimin dan Tan Malaka.
Selain organisasi Budi Utomo dan SI, tokoh Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) bersama dengan dr. Cipto Mangunkusumo (1886-1943) dan Douwes Dekker (1879-1950) juga mendirikan partai politik pertama tahun 1912, yaitu Indische Partij (Partai Hindia), dengan tujuan untuk melawan diskriminasi yang dilakukan oleh keturunan Belanda asli dengan dukungan dari pemerintah Kolonial pada keturunan Indo Belanda atau pribumi, mereka menuntut persamaan hak dan kerjasama antara keturunan Belanda dengan para keturunan pribumi. Rata-rata usia mereka hanya 25 tahunan ketika mendirikan partai tersebut, Indische Partij merupakan partai politik pertama yang berani menuntut kemerdekaan pada pemerintah Kolonial. Partai ini di peruntukan untuk menjadi “perumahan nasional” atau “nasionalisme Hindia” bagi semua orang pribumi, Belanda, Cina dan Arab yang mengakui Hindia (Indonesia) sebagai negara dan bangsanya.
Tahap berikutnya adalah tahap meneguhkan identitas diri (1925-1944), tahap meneguhkan identitas ini lebih memantapkan untuk mencapai sebuah negara yang berdaulat. Para pemuda sudah memantapkan untuk menuju sebuah negara yang berdaulat dengan pemerintahan sendiri terlepas dari pemerintah Kolonial. Perjuangan lewat organisasi tidak hanya di dalam negeri saja, perjuangan untuk meraih kemerdekaan juga dilakukan di luar negeri. Perjalanan sejarah juga membuktikan bahwa Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) di Belanda yang didirikan oleh para pelajar dan mahasiswa pada tahun 1908 menjadi wadah bagi perjuangan para pemuda. Pada umur 24 tahun, Mohammad Hatta (1902-1980) diangkat sebagai ketua terlama antara 1926-1930, dalam rentan waktu tersebut, justru pertama kali diikrarkan apa yang sekarang kita kenal sebagai Manifesto Politik, yang mencakup persatuan (unity), kemerdekaan (liberty) dan persamaan (egality). Selain itu, mereka berjuang di negeri orang dengan cara menggunakan media untuk memuat tulisan-tulisan di majalah Indonesia Merdeka, yang berisi tentang opini-opini perjuangan untuk mencapai sebuah kemerdekaan, bebas dan mandiri tanpa tergantung oleh campur tangan negara lain.
Perjuangan dengan organisasi pergerakan mencapai puncaknya ketika diadakan kongres pemuda II atau yang sering disebut dengan sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 atas prakarsa dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Banyak tokoh-tokoh yang berperan serta sebagai penggerak untuk mengadakan kongres itu, salah satunya adalah Mohammad Yamin (1903-1962) yang menjabat sebagai sekertaris serta berperan serta merumuskan bunyi ikrar (keputusan) yang dihasilkan pada kongres tersebut, yaitu bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa satu, Indonesia. Mohammad Yamin ketika berperan serta dalam sumpah pemuda itu berumur 25 tahun, banyak buah pikirannya dalam bidang kesejarahan yang sampai sekarang masih menjadi rujukan, atau ada yang menyebutkan karya-karyanya sebagai “pencipta imaji keindonesiaan”, semisal, Gadjah Mada (novel) 1948, 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih tahun 1958, dan masih banyak karya-karnya lainnya.
Pada tahun 1942 sampai 1945, Jepang mengambil alih wilayah jajahan Belanda. Ketika pertama kali datang, Indonesia menganggap Jepang sebagai “Saudara Tua”, banyak janji-janji yang di berikan Jepang untuk memberikan kemerdekaan di kemudian hari dengan catatan Indonesia mau membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Tidak banyak organisasi yang bisa “hidup” di masa kolonialisme Jepang, karena semua organisasi dan partai di bubarkan. Jepang membentuk pasukan-pasukan yang sebenarnya di gunakan untuk mem back up tentara Jepang, misalkan Heiho (pembantu prajurit Jepang), Seinenden (barisan pemuda), Keibodan (pembantu polisi), Peta (Pembela Tanah Air) dan lainnya, yang sebagan anggotanya berumur antara 18-30 tahun. Pasukan-pasukan ini yang nantinya menjadi cikal bakal menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak tokoh-tokoh militer yang nanti menjadi penentu pemimpin bangsa, misalnya, Soedirman, A.H Nasution, Soeharto dan masih banyak yang lainya.   


Sumber: dari Essay yang menjadi 10 finalis terbaik lomba Essay Sejarah se-Jawa yang diadakan oleh UNNES