Fatahillah dikenal sebagai pendiri Jakarta. Padahal ia
hanyalah pemberi nama Jayakarta pada kota yang dulunya bernama Sunda Kelapa. Ia
memberi nama Jakarta setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Jayakarta sendiri berarti kemenangan yang besar dan bersinar-sinar. Sebenarnya
banyak kontroversi tentang Fatahillah. Apalagi sejak ditemukannya kitab
klasik Pusaka Caruban Nagari di Keraton Cirebon pada tahun
1996. Ada beberapa kontroversi antara pengetahuan masyarakat tentang Fatahillah
dengan data-data dan interpretasi sejarah yang ada.
Kontroversi pertama adalah pakaian.
Menurut Denys Lombard (Lombard: 1996, 158, Jilid I) pakaian tradisional Jawa
adalah kebaya, kain batik, dan selendang. Menurut Harry J. Benda (Benda: 1980),
Clifford Geertz (Geertz: 1981), A.H. Johns (dalam Taufik Abdullah: 1987,
85-104), Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1992, cet vii,
jilid III) serta Widji Saksono (Saksono: 1995) Islam tidak akan diterima di
Indonesia kalau keras dalam fiqh dan tidak mau menyesuaikan dengan budaya
Indonesia. Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan pada masa kekuasaan
kerajaan-kerajaan Islam tidaklah ada wanita muslimah yang memakai kerudung atau
jilbab yang rapat seperti yang digambarkan dalam film Fatahillah yang dibuat
tahun 1997.
Apalagi pada abad ke-19 gerakan-gerakan sosial yang
bercorak Mahdiisme tuntutannya biasanya adalah pemakaian kerudung bagi wanita
sebagai counter culture bagi pakaian tradisional Jawa dan pakaian
Barat yang keduanya tanpa kerudung. Mengapa hanya argumen Lombard yang diangkat
di sini ? Karena dari tiga karya tentang Kerajaan Jawa Islam yang
bersifat Total History yaitu Denys Lombard, Nusa Jawa:
Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996); Antony Reid, Asia
Tenggara dalam Kurun Niaga 1280-1500, (Jakarta: Sinar Harapan, 1991); serta
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992, cet. vii) hanya karya
Denys Lombard yang mengungkapkan tentang busana. Dari hasil wawancara dengan
sejarawan Unpad Ahmad Mansur Suryanegara penulis mendapat data tentang evolusi
pakaian wanita Jawa yaitu pada waktu zaman pra Islam pakaian wanita Jawa adalah
tidak menutup dada, pada awal kedatangan Islam ada perubahan menjadi menutup
dada dengan kemben, kemudian berubah lagi menjadi tangan panjang
kebaya. Berarti pada masa Fatahillah pakaian wanita Jawa masih kemben.
Samakah Fatahillah dengan Sunan Gunung Jati?
Dr. Simuh dalam seminar di FSUI mengatakan bahwa
Walisongo dan Syekh Siti Jenar itu tidak ada. Yang ada adalah ribuan wali.
(Simuh: 1995) Berarti keberadaan Sunan Gunung Jatipun patut dipertanyakan. A.H.
Johns menerangkan tentang pentingnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam
di Indonesia termasuk walisongo di Jawa, tetapi ia tidak membahas secara khusus
tentang Sunan Gunung Jati. Memang membicarakan samakah Fatahillah dengan Sunan
Gunung Jati sangatlah sulit seperti membicarakan tiga teori besar masuknya
Islam ke Nusantara, semuanya argumennya kuat.
Yang pertama mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati
sama dengan Fatahillah adalah Hoesein Djajadiningrat dalam disertasinya yang
dibukukan yaitu Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Sejarah Banten,
(Jakarta: Djambatan, 1984). Buku ini ditulis berdasarkan kitab Sadjarah
Banten dan sebelum ditemukannya kitab Pusaka Caruban Nagari dari
Cirebon. Dalam kitab Pusaka Caruban Nagari dikatakan Fatahillah
berbeda dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah (Fadhilah Khan) adalah menantu
dari Sunan Gunung Jati. Di Indonesia pengungkapan bahwa Fatahillah berbeda
dengan Sunan Gunung Jati adalah baru tahun 1996 dan diungkapkan oleh Sejarawan
Uka Tjandrasasmita setelah ditemukannya kitab Pusaka Caruban Nagari.
Tetapi apakah kita langsung mengekor pada teori yang
terakhir ini ? Saya pikir tidak harus. Kita lihat saja mana argumen yang lebih
kuat, dan sebagai sejarawan bisa saja melakukan interpretasi terhadap data yang
ada. Sebagai contoh walaupun teori tentang masuknya Islam di Nusantara yang
terakhir adalah teori Makkah tetapi tetap saja masih banyak ahli yang memakai
teori Gujarat atau teori Parsi. Dalam kasus Fatahillah ini walaupun tahun 1996
Uka Tjandrasasmita telah mengungkapkan bahwa Fatahillah berbeda dengan Sunan
Gunung Jati tetapi ketika tahun 1997 Denys Lombard datang ke Indonesia ia tetap
tidak mau merevisi bukunya (edisi Indonesianya terbit tahun 1996) yang
mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.
Interpretasi terhadap Historiografi Tradisional
Sadjarah Banten dan Pusaka Caruban Nagari
keduanya adalah jenis historiografi tradisional yang bersifat mitologis,
legitimatif, dan etnosentris. Mitologis maksudnya jenis historiografi ini
bersifat penuh mitos dan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Legitimatif
maksudnya jenis historiografi ini bersifat melegitimasikan kekuasaan.
Etnosentris maksudnya jenis historiografi ini bersifat sangat menonjolkan suku
atau etnis penulis tulisan sejarah tersebut. Contoh cerita yang mitologis
misalnya penggambaran kesaktian raja-raja Jawa dan Walisongo dalam Babad
Tanah Jawi. Contoh cerita yang legitimatif misalnya penggambaran silsilah
raja Jawa yang keturunan Dewa Wisnu sekaligus keturunan Nabi Muhammad dalam
babad yang sama. Tentang riwayat dalam Sadjarah Banten yang
menyatakan bahwa ayah Sunan Gunung Jati ialah seorang raja Arab sedang ibunya
adalah seorang putri raja Pajajaran, Dr. Hoesein Djajadiningrat menyatakan
bahwa sesungguhnya periwayatan cerita yang sedemikian itu bermaksud memberikan
dasar hukum bagi ketahtaan Sunan Gunung Jati atas satu daerah yang semula bawahan
Pajajaran. Dengan demikian cerita tentang asal-usul tersebut memiliki tendensi
untuk membelokkan perhatian mereka yang akan mengutak-atik hak tahta Sunan
Gunung Jati sebagai raja di Cirebon. Contoh cerita yang etnosentris
misalnya Babad Tanah Jawi mengungkapkan bahwa orang paling hebat di
dunia ini adalah orang Jawa. Kemudian orang Jawa malu akan kekalahannya dari
Jan Pieterzoen Coen. Lalu dibuatlah silsilah yang mengatakan kalau diurut-urut
Jan Pieterzoen Coen adalah orang Jawa pula.
Karena sifat historiografi tradisional yang
etnosentris ini penulis mempunyai interpretasi tentang Pusaka Caruban Nagari
yang mengungkapkan bahwa Fatahillah itu berbeda dengan Sunan Gunung Jati.
Fatahillah adalah orang yang berada di bawah kekuasaan raja Demak Sultan Trenggono.
Kalau Fatahillah sama dengan Sunan Gunung Jati berarti Sunan Gunung Jati dengan
kerajaan Cirebonnya bertekuk lutut di bawah kekuasaan Demak. Bagi orang
Cirebon, hal ini tidak boleh terjadi. Karena itu dibuatlah “buku
sejarah” yang mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati tidak berada di bawah
kekuasaan Demak dengan cara mengungkapkan bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan
Fatahillah yang suruhan raja Demak.
Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/06/22/kontroversi-fatahillah-renungan-ulang-tahun-jakarta-22-juni-466334.html