Monday, December 16, 2013

Politik Kolonial Belanda: Pengaruhnya terhadap Pelaksanaan Hukum Islam



Sebagaimana diketahui, bangsa penjajah selain bertujuan untuk mengeruk keuntungan ekonomi (gold) dari tanah jajahan (glory) juga mengemban misi agama (gospel) yang sama sekali berbeda dengan agama mayoritas bangsa Indonesia. Di antara upaya yang dilakukan untuk mewujudkan misi agama tersebut adalah dengan mempertentangkan hukum adat dengan hukum Islam.
Di antara upaya yang dilakukan oleh bangsa penjajah dalam menyebarkan misi agama mereka adalah dengan memasuki dan mencampuri hukum bangsa jajahan. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dan diterapkan oleh masyarakat ketika itu dipengaruhi bahkan sedikit demi sedikit disingkirkan. Kenyataan ini dapat diinterpretasikan dari aturan-aturan yang dikeluarkan oleh mereka.
Sedikitnya, ada dua aturan yang diapungkan secara jelas dalam rangka menghambat laju hukum Islam itu. Pertama adalah ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) dan kedua adalah Pasal 131 ketentuan serupa. Di ketentuan pertama, yakni Pasal 163 IS mereka membagi penduduk Indonesia kepada tiga kelompok. Pembagian kepada tiga kelompok ini juga berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi masing-masingnya.
Kelompok dengan dasar Pasal 131 IS ini dapat dilihat sebagai berikut:
1. Golongan Eropa
2. Golongan Timur Asing
3. Golongan Bumi Putera
Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang eropa lain di luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian juga ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan Undang- Undang serta anak-anak klasifikasi golongan eropah dimaksud yang lahir di tanah jajahan.
Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan eropah maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di antaranya adalah orang Arab, India, dan China.
Sedangkan golongan terakhir, yakni Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli. Pengelompokan yang demikian ini–seperti disinggung terdahulu–berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropah hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing berlaku hukumnya sendiri.
Selanjutnya bagi golongan terakhir–Bumi Putera–hukum yang berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum eropah dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini selanjutnya disebut sebagai penundukan diri terhadap hukum eropah, baik secara sempurna maupun sebagian saja. Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum eropah berlaku utuh bagi setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain, subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan eropah sehingga hukumnya juga hukum eropah.
Berbeda halnya dengan jenis penundukan hukum yang disebutkan terakhir. Pada penundukan ini, hukum eropah baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan oleh golongan lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka.
Pemberlakuan hukum adat bagi golongan Bumi Putera sudah tentu menimbulkan masalah. Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan adanya ketentuan tertulis seperti dijelaskan terdahulu menimbulkan bias negatif terhadap hukum agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam.
Bias negatif itu adalah membenamkan hukum Islam di bawah bayang-bayang hukum adat. Hal ini sudah tentu dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, bangsa penjajah selalu berusaha agar ideologi mereka bisa diikuti oleh bangsa jajahannya.
Seiring dengan usaha untuk menanamkan ideologi ini, ada tiga teori yang diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan satu teori terakhir dilontarkan oleh orang Indonesia. Teori terakhir ini merupakan teori bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori itu secara berurut adalah; Receptio in Complexu, Receptie Theorie, dan Receptio a Contrario.
  1. Receptio in Complexu
Receptio in Complexu merupakan teori yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini bermakna bahwa hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh sebab itu, jika seseorang beragama Islam maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau sempurna”.
  1. Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857–1936). Teori ini selanjutnya ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–1941).
Teori resepsi berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan”.
  1. Receptio a Contrario
Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan teori pematah–populer yang dikemukakan oleh Hazairin (1906–1975) dan Sajuti Thalib (1929–1990). Dikatakan sebagai teori pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah dengan receptie theorie Christian Snouck Hurgronje di atas. Pada teori ini justru hukum adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam.
Dari ketiga teori ini terlihat bahwa usaha untuk meredam gerak maju hukum Islam didasarkan kepada teori kedua, yakni receptie theorie. Hukum Islam dianggap sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum adat. Oleh karenanya, jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam namun menurut ketentuan hukum tertulis–Pasal 131 IS–ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat.
Makna tersembunyi di balik pemberlakuan teori ini adalah dihadapkannya bangsa penjajah ketika itu dengan tiga konsep hukum yang masing-masingnya memiliki karakter tersendiri.. Ketiga konsep dimaksud adalah hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat. Berhadapan dengan ketiga konsep ini sudah dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan hukum yang lebih menguntungkan bagi mereka. Dan hukum yang lebih menguntungkan itu dijatuhkan kepada hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan semata-mata adalah hukum bangsa penjajah sudah tentu tingkat kebencian dan permusuhan terhadap mereka semakin besar. Oleh karena itu, untuk menghindari sisi negatif ini mereka mengapungkan hukum adat yang memang menunjang terhadap misi mereka. Dengan demikian, benar kiranya kalau hukum adat dimaksudkan oleh bangsa penjajah untuk melumpuhkan gerak langkah pelembagaan hukum Islam yang bermuara kepada tercapainya misi penjajahan mereka.
Kesimpulan Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa politik hukum yang dijalankan oleh bangsa penjajah selalu mengacu dan melindungi kepentingan mereka di negeri jajahan. Kepentingan itu tidak hanya berada pada lingkup ekonomi dengan keuntungan materilnya tetapi juga dalam bidang hukum, memunculkan hukum adat di atas hukum agama dengan tujuan menumbuhsuburkan politik devide et impera.

Sumber: serbasejarah.