Wednesday, December 10, 2014

Aku dan Perempuan Anganku [Cerpen]

Karya : Lan Fang

    11.54 malam hari, aku baru menyelesaikan sebuah naskah dan mengirimkannya melalui email ke sebuah media. Sementara dua gelas kopi, segelas air putih, sebotol sirup multivitamin, sebotol obat tukak lambung, dan sebuah asbak dengan satu, dua, tiga, hmm….tujuh puntung rokok berserakan di sisi kiriku. Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku dengan berbaring di sofa. Sementara perempuanku sudah sejak tadi lena berpelukan dengan gulingnya. Buat aku, tidak terlalu penting, apakah aku harus tidur di sofa atau di ranjang yang sama dengan perempuanku.
        Sebetulnya, perempuanku tidak terlalu suka tidur seranjang denganku. Begitu pula aku. Menurutku, ia terlalu banyak aturan. Sedangkan menurutnya, aku terlalu jorok. Ia selalu menyuruhku mencuci muka, tangan dan kaki, menggosok gigi, memakai kaos dan celana tidur, lalu mengecupnya dan mengucapkan "Have a nice dream, honey…" Bah! Ia memperlakukan aku seperti anak lima tahun! Bukankah lebih nyaman menyelonjorkan tubuh dengan posisi seenaknya di atas sofa, dengan perasaan puas karena aku telah menyelesaikan sebuah naskah yang baik, walaupun itu tanpa menggosok gigi dan mencuci muka, tangan, kaki, lalu mengucapkan "Selamat tidur, sayang…" kepada angan-angan?
Angan-angan?
Hm…aku meletakkan kedua lenganku di belakang kepala.
Angan-angan?
Hm…aku memasuki sebuah café di sebuah plaza di tengah kota Surabaya di sepotong senja kelabu yang bergerimis. Hanya beberapa orang duduk di dalam café itu. Sepi. Sayup-sayup When I Need You mengalun dari suara Julio Iglisias.
Angan-angan?
Hm…aku melihat seseorang perempuan duduk di meja paling sudut di dekat jendela kaca. Ia memandang rinai gerimis seakan-akan menghitung jarum-jarum air yang turun satu per satu itu dengan tatapan kosong. Wajahnya cantik tetapi muram. Tubuhnya molek tetapi bahasa tubuhnya jelek sekali. Ia menggigiti ujung jari-jarinya, ia juga mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia juga gelisah bergantian menyilangkan kedua belah betisnya yang langsing.
Angan-angan?
Hm…aku berjalan menuju perempuan itu.
"Kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada perempuan itu.
Ia menoleh. Tersenyum. Tetapi tetap muram. "Menunggumu. Akhirnya kamu datang juga," jawabnya gamang.
"Sudah lama?"
"Lama sekali. Bahkan hampir putus asa menunggumu."
"Lalu kenapa terus menunggu?"
"Karena aku yakin kamu pasti datang. Karena aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu. Karena aku sudah berjanji selalu berada di sisimu."
"Ah…," aku menghela napas dan kemudian duduk di depannya.
"Kenapa kau lakukan itu? Aku sudah dimiliki seorang perempuan," kataku sambil memandangnya lekat-lekat.
Ia mengangkat bahu. "Kalau aku jawab karena aku cinta padamu…, mungkin akan sangat terdengar klise. Kamu sudah pasti menulis terlalu banyak untuk sebuah kata cinta. Kalau aku jawab karena aku percaya padamu, mungkin akan sangat terdengar tolol. Kenapa bisa percaya kepada laki-laki yang telah memiliki dan dimiliki perempuan lain. Lalu menurutmu, aku harus menjawab apa?" ia balik bertanya.
"Jawab saja sesuai kata hatimu. Bukankah kata hati adalah suara yang paling jujur?"
"Hm…," ia bergumam agak panjang sambil menghirup float avocado di depannya.
"Karena ngeri sekali rasanya membayangkan bila harus kehilangan dirimu," jawabnya lugu tetapi menyentuh perasaanku.
"Kenapa aku?"
"Karena kamu memberikan rasa nyaman," sahutnya cepat.
"Apakah kamu merasa nyaman menungguku sekian lama?"
"Tidak."
"Lalu?"
Ia menikam manik mataku dengan tatapannya yang murung. "Tahukah kamu, kalau
kangen itu adalah luka yang paling nikmat?"
"Ah, sejak kapan kamu jadi puitis?"
"Sejak bersamamu."
Aku tertawa kecil. Bersama perempuan ini memang mengasyikkan.
Jeda sejenak ketika aku memesan fruit punch kesukaanku.
"Fruit punch? Cold? Tidak kedinginan? Di luar hujan. Apakah tidak lebih baik
memesan cappuccino?" sergah perempuan itu.
"Kamu selalu membuatku merasa hangat," sahutku.
Olala, benarkah kata-kata pujangga bahwa dunia bisa terbalik kalau sedang jatuh cinta? Panas jadi dingin dan dingin jadi panas? Malam jadi siang dan siang jadi malam? Ah, itu kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang tepat! Sergahku dalam hati. Bagaimana kalau jatuh cinta pada saat dan orang yang salah? Alamak, mungkin siang malam akan menjadi panas dingin.
Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi
’mengeong’.
"Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring tone mengeong seekor kucing.
Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: ’elu di mna, honey? Gw lagi di Palem café Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atur semuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :)’
"Seekor kucing yang kesepian…," sahutnya dengan nada sumbang.
"Seekor kucing?"
"Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya.
"Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian."
"Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melek tidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnya sejurus setelah menghirup float avocado lagi.
Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?"
Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang, empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucing akan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus.
            Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakan sebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Meng-hembuskannya kuat-kuat. Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan perempuan ini.
"Hm…itu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku sejurus kemudian.
"Perempuan seperti anjing…"
"Anjing?!" aku terpana.
"Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cow-cow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu, sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil tertawa.
"Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sang anjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam penantiannya di stasiun itu."
"Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.
"Hm, menurutku ironis!" sahutku.
Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan café, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku.
"Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku."
"Kita?"
"Ya. Kita. Kau dan aku."
"Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.
"Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."
"Hah?"
"Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di café. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."
"Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini Cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."
"Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."
"Deja-vu?!" seruku tidak percaya.
"Kau siapa?" aku masih bertanya.
"Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."
"Aku siapa?" tanyaku lagi.
"Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita."
"Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu.
Sekarang kita ber-deja-vu?"
"Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?"
"Bagaimana dengan perempuanmu?"
"Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."
Dia tertawa manis. "Dasar kucing."
"Meonggg…," sahutku.
Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’anjing kau!’. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata ’kucing kau!’. Bagaimana menurutmu?"
"Meonggg…," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi.
"Kamu birahi ya? Horny, darling?"
"Meonggg…"
       Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan.  Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan.  Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah!  Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet.
Olala!
Aku separuh perempuan, separuh laki-laki.
Astaga!
Wajahku separuh anjing , separuh kucing.
Alamak!
Aku separuh menggonggong , separuh mengeong.

Ber-deja-vu-kah aku?