Karya : Agus Noor
Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara.
Menyelesup ke rumah-rumah kampung
pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para
warga pun tak terlalu peduli.Tapi ketika sampai malam tangis itu terus
terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis
itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka
lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah.
Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa
warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda.
”Siapa sih yang
terus-terusan menangis begitu?!”
”Apa
dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini
sudah keterlaluan!”
”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.
”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.”
”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.
”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.”
Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang
ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas
melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami
Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar
itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin
itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai
kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari
tangisan itu?
Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan
Kumirah. Kamar itu sepi terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis
itu mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan
mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap rumah, tapi tak menemukan siapa
yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu. Kadang tangis itu
terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara
perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang.
Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti
sayatan panjang yang mengiris malam.
Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam
merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh
kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu
menyedihkan sepanjang hari seperti itu?
”Ini
sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis,
tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti
begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.
”Kami
harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”
”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.
”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”
”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”
”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.
”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”
”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”
”Jadi
kebawa pingin nangis…”
”Itu
namanya mengganggu ketertiban!”
”Pokoknya
orang itu harus segera diamankan!”
Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT
segera menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu
dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan
sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang
masih kecil. Mungkin roh orang itu masih gentayangan dan terus-terusan
menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di
seluruh kampung.
”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”
”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”
***
Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan
menyedihkan. Tangisan itu terdengar
begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh.
Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar
tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang
mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan.
Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila
orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang
benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus
sepanjang hari.
Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu.
Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan
siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada
Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis
yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah benar-benar
mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin terdengar
ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi
teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari
tahu siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari.
Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan
itu. Siapakah yang tahan terus- terusan menangis seperti itu.
”Mungkin itu
tangis pembantu yang disiksa majikannya…”
”Mungkin itu
tangisan buruh yang baru terkena PHK.”
”Mungkin
itu tangisan korban mutilasi…”
”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…”
”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”
”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”
”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”
”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…”
”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”
”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”
”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”
Hingga
hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota
segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang
tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir
sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi
perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan
terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke
dusun-dusun paling jauh di pedalaman.
Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan.
”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.
Menteri yang lain hanya diam.
Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan.
”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.
Menteri yang lain hanya diam.
***
Pada
hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah.
Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari
kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya
memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin
Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu
tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang
menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela,
tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5
Milyar.Mendadak istrinya sudah di sampingnya.
”Ada
apa?”
”Saya
seperti mendengar suara tangis…”
”Siapa?”
”Entahlah…”
”Sudah,
tidur saja. Besok kamu mesti pidato”, kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan
mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap
berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.
***
Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin
perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam
gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor lelawa yang terbang
melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak
tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning
yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening.
Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun
mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.Apakah kau dengar tangisan itu?