Tuesday, October 4, 2016

PEMUDA: PENENTU MASA DEPAN BANGSA (II)

Oleh: Arif Saefudin


Berikutnya adalah tahap revolusi (1945-1949), tahap ini lebih banyak menggunakan senjata untuk menghadang serangan aksi “polisonisme” Belanda I dan II yang ingin “mencengkeram” kembali wilayah Indonesia. Banyak perlawanan-perlawanan di seluruh daerah Indonesia yang dilakukan oleh para pemuda, misalkan peristiwa Ambarawa, Surabaya, Bandung dan lain sebagainya. Perjuangan para pemuda pada tahap ini yang paling menonjol dalam proses lahirnya negara Indonesia, adalah peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa ini bertujuan untuk “mengamankan” para pemimpin dari pengaruh Jepang dan menegaskan untuk segera meproklamasikan kemerdekaan, karena kondisi Indonesia sedang facum of power dengan ditandai Jepang menyerah kepada negara blok Sekutu pada perang Dunia II. Salah satu tokoh pemuda pada peristiwa Rengasdengklok adalah Sukarni (1916-1971) dan Cairul Saleh (1916-1967), rata-rata umur mereka 28 tahun pada peristiwa itu. Berkat peristiwa itu, kita bisa bangga karena kemerdekaan yang kita capai berasal dari kepemimpinan dari orang Indonesia sendiri, dan bukan hadiah dari Jepang ataupun dari Sekutu.
Tahap transisi (1950-1966) merupakan tahap dari masa perang kemerdekaan kemasa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpinnya Sukarno. Pada masa ini, para pemuda sedang menikmati euforia kemerdekaan, karena 27 Desember 1949 Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia, dan sebagian besar sedang menata perekonomian dan menata kehidupan bernegara. Gerakan-gerakan pemuda sebagian besar dibawah naungan partai politik saat itu. Tragedi yang dilakukan oleh para pemuda, untuk merubah arah perjalanan Indonesia adalah peristiwa demonstrasi pada tahun 1965-6, lewat wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) para demonstran bergerak menuju arah Istana untuk menuntuk Tritura (tiga tuntutan rakyat), yaitu: bubarkan PKI, turunkan harga dan mobilisasi umum. Tokoh aktifis 66 ini salah satunya adalah Soe Hok Gie (1942-1969) yang berumur 21 tahun ketika melakukan demonstrasi, seorang mahasiswa yang memegang idelaismenya sampai akhir hayatnya.
Meskipun dalam proses pergantian dari Sukarno ke Soeharto banyak menimbulkan kontroversi sampai saat ini dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang sampai sekarang tidak di ketahui dimana surat yang asli, tapi yang pasti peran pemuda kembali menjadi salah satu pionir pada arah masa depan bangsa, peristiwa itu berperan besar dalam lahirnya Orde Baru di bawah kepemimpina Soeharto yang kemudian menjadi presiden terlama sepanjang sejarah Indonesia, 32 tahun.
Berikutnya adalah tahap militerisasi (1967-1998), penulis menggunakan kata tahap militerisasi sebab pada masa Orde Baru segala segi politik dan militer di dominasi oleh ABRI (Angkatan Perang Republik Indonesia, sekarang TNI). Bahkan ada semboyan yang terkenal dengan “Dwifungsi ABRI”, yaitu selain hak di militer juga di perbolehkan terjun ke dunia politik. Pada masa ini, tidak banyak peran pemuda yang menonjol karena tekanan dari militer dan mengkungkung aspirasi kaum muda terutama sangat membatasi kegiatan-kegiatan para pelajar dan mahasiswa agar tidak memberikan kritik dan saran terhadap pemerintah. Puncaknya terjadi pada peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (malari), yaitu peristiwa demonstari menyambut kedatangan PM Jepang (Kakuei Tanaka). Mahasiswa meneriakan “Tritura Baru”, yaitu ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi dan turunkan harga. Salah satu tokoh dalam peristiwa ini adalah Sjarir (1945-2008), yang dijebloskan ke penjara setelah peristiwa tersebut. Hampir setelah peristiwa malari ini, gerakan para pemuda sedikit tidak terlihat sampai tahun 1997. Sjarir berumur 29 tahun ketika melakukan demonstrasi tersebut.
Soeharto tidak pernah belajar dengan peristiwa pergantian tampuk kekuasaan dari Sukarno tahun 1966-7. Seolah Sukarno dan Soeharto tampil sangat memukau pada awal kekuasaannya menjadi presiden, tapi lupa bagaimana harus turun dengan cara “santun”. Peristiwa 1998 menjadi buktinya, hampir sama dengan peristiwa 1966, salah satu sebab kenapa Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden adalah peran para pemuda dalam mengorbankan semangat perubahan dari rezim otoriter menjadi pemerintahan reformasi dalam segala aspek dan membrantas praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dengan menduduki gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Berbagai peristiwa yang dilakukan oleh pihak militer untuk meblackam demo ini tidak berhasil, meskipun korban nyawa jatuh, tapi perjuangan pemuda terus berlanjut sampai Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden pada 21 Mei 1998, salah satu peristiwanya adalah peristiwa Trisakti, Semanggi serta peristiwa yang lainnya.
Tahapan yang terakhir adalah tahap reformasi sampai masa kini (1999-2013), pada tahapan ini sebagian para pemuda sedikit “terlena” dengan gaya hidup hedonis. Banyak para aktifis 1998 yang dulunya mengkritik keras pemerintah Orde Baru menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan reformasi dan terbawa arus sistem. Mereka menempati jabatan-jabatan stategis, tapi setelah itu lupa pada perjuangan awal yaitu menegakan birokrasi dan membrantas KKN. Banyak kasus mega korupsi yang justru dilakukan oleh para kaum muda, seperti Bank Century dan Hambalang. Kasus tersebut yang sampai sekarang masih belum final dan tidak jelas ujungnya. Bahkan karena kasus Hambalang tersebut, banyak para pejabat yang masih tergolong muda di jadikan tersangka, kasus terbaru adalah penetapan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) dan Andi Mallarangeng (mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga) sebagai tersangka tindak korupsi pembangunan sport center Hambalang. Bahkan nama terakhir sudah dilakukan penahanan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Tidak seperti jaman pra kemerdekaan, yang berjuang dengan segala pengorbanan dan tidak sedikit para pemuda yang menjadi korban perjuangan, tapi mereka mau meninggalkan segala atribut almamater dan bersatu menuntut perubahan. Tapi sekarang banyak demonstrasi yang dilakukan, tapi apakah membawa perubahan? Kadang justru membuat kerusakan dan menyulut kemelut, tidak jarang juga hanya menjadi alat bagi elite-elite politik yang berkepentingan. Sekarang justru sebagian pemuda yang muncul bukan prestasi tapi berbagai hal yang menyimpang, seperti radikalisme, seks bebas, dan narkoba.  Hal yang lebih miris lagi adalah para pemuda menjadi pangsa pasar budaya-budaya asing yang “menyerang” Indonesia. Bahkan yang lebih berbahaya lagi dan perlu menjadi perhatian kita semua adalah munculnya kembali semangat kedaerahan (etnosentrisme) pada sebagian para pemuda akhir-akhir ini.
Tema baru untuk menggantikan perjuangan zaman dulu adalah pacaran, yang justru hanya menghambat gerak para pemuda. Pelajar yang seharusnya fokus untuk belajar ternyata banyak menyalah gunakan kesempatan untuk sekedar mencari “kesenangan”, kalau zaman dulu para pelajar menggunakan fasilitas apapun untuk belajar, kontras dengan para pelajar zaman sekarang, dengan fasilitas yang serba ada dan serba modern justru menjadikan para pelajar menjadi “terlena” dengan kecanggihan teknologi yang tidak jarang disalahgunakan. Gaya hidup “alay” yang hanya berisi kesenangan semu tanpa memikirkan masa depan dirinya (apalagi masa depan bangsa). Banyak hal negatif yang ditimbulkan dengan tidak mampunya para kaum muda memanfaatkan teknologi yang serba canggih ini. Banyak kasus asusila yang justru terjadi,  seperti kasus yang terbaru seorang siswi SMP di Jakarta merekam (direkam) adegan yang tidak sepatutunya dengan di saksikan oleh teman-temannya sendiri, bahkan sampai sekarang (Oktober 2013) pihak kepolisian belum bisa menetapkan tersangka dari kasus tersebut.
Data yang memperlihatkan fakta tersebut adalah survai Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) pada tahun 2012 di 17 kota besar Indonesia dengan responden sekitar 4700 remaja siswi pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA. Survey itu membuat masyarakat semakin terbelalak matanya melihat hasilnya, menurut survey tersebut bahwa 62,7 % remaja SMP/SMA mengaku sudah pernah berhubungan suami istri pranikah, yang lebih mencengangkan lagi adalah 21,2 % dari siswi-siswi tersebut mengaku telah melakukan aborsi secara ilegal untuk menggugurkan kandungannya.
Meskipun dari hasil survey itu kita semua merasa miris, tapi kita semua harus optimis, kalau masih banyak kaum muda yang baik dan berpotensi untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Tidak sedikit para pemuda yang menorehkan prestasinya di tingkat nasional bahkan internasional. Banyak yang berkarya dalam bidang teknologi, olahraga, dan ilmu sains. Tidak jarang juga para pemuda berjaya sebagai wirausaha yang sukses di tingkat internasional, seperti Erick Tohir yang bisa membeli saham 70 % klub raksasa Itali, Inter Milan. Mereka tidak hanya menuntut perubahan dengan hanya sekedar “berkoar-koar”, tapi mereka memberikan sumbangsih yang nyata dan solusi bagi perubahan dan kejayaan bangsa dan negara di tingkat internasional.
Penulis menasehati diri sendiri untuk selalu fokus belajar dulu, dan tidak memikirkan hal-hal yang bisa mengganggu proses belajar. Juga para pemuda yang lain di seluruh Indonesia, terus menempa diri dalam proses perjalanan hidup. Tidak ada yang bisa di dapat dengan proses yang instan, butuh proses untuk mencapai suatu tujuan. Sungguh tidak akan ada kejayaan bangsa ini kalau para pemudanya tidak bisa berpegang teguh pada prinsip dan belajar dari mana dia berasal, pengorbanan apa yang dilakukan para pendahulu untuk meraih kemerdekaan, seperti kata yang di ungkapkan Sukarno dengan Jas Merahnya, “jangan sekali-kali melupankan sejarah”, para pemuda harus belajar dari sejarah agar bisa membawa diri dan bisa menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia kedepannya.
Ayo para pemuda Indonesia, di tengah-tengah pergolakan zaman globalisasi ini, dan gejolak kemrosotan harga diri dari para politisi atau pemimpin dari mulai eksekutif, legislatif sampai yudikatif sudah terkena “virus” korupsi, harapan untuk merubah dan memperbaiki masa depan bangsa masih ada. Para pemudalah tokoh utama yang akan memimpin bangsa di masa depan, jika para pemuda tidak mau mengambil peran dalam kepemimpinan bangsa, maka bisa di pastikan beberapa puluh tahun yang akan datang, tidak akan ada lagi nama Bangsa Indonesia! semoga tidak akan terjadi seperti itu, kita bisa mencontoh para pendiri bapak bangsa (founding father), karena pemuda pemimpin perubahan dan mencetak peradaban. Sebagai kaum muda yang mempunyai kemampuan dan kemauan harus memberikan solusi dan tindakan nyata yang progres, saatnya para pemuda membuktikan komitmennya kepada bangsa dan negara melalui pengabdian dan karya nyata. Salam semangat untuk menuju perubahan bagi semua para pemuda di seluruh wilayah Indonesia….!


Sumber: dari Essay yang menjadi 10 finalis terbaik lomba Essay Sejarah se-Jawa yang diadakan oleh UNNES