Wednesday, October 26, 2016

SYAIKHAH RAHMAH EL-YUNUSIYAH: PEJUANG PENDIDIKAN PEREMPUAN

Oleh: Arif Saefudin[1]
Rahmah el-Yunusiah
Mungkin tidak banyak yang mendengar, atau bahkan asing dengan nama yang sudah membuat bangga Indonesia ini, namanya senantiasa bermekaran dari musim satu ke musim lainnya. Bahkan inspirasi dalam dunia pendidikan, terutama khusus perempuan, membuat namanya tidak lekang ditelan waktu, bahkan mampu menginspirasi dan memberikan pemikiran perspektif baru hingga saat ini. Nama itu adalah Rahmah el-Yunusiyah seorang perempuan kelahiran Minangkabau Minangkabau sudah terkenal telah melahirkan begitu banyak tokoh-tokoh utama negeri ini, seperti founding father Muhammad Hatta (Wakil Presiden RI yang pertama), Sutan Sjahrir (Perdana Menteri pertama Indonesia), dan masih banyak lainnya.
Meskipun hingga saat ini Rahmah el-Yunusiyah belum dianugrahi pahlawan nasional, namun tidak ada yang menyangkal bahwa dalam sejarah hidupnya dipenuhi dengan coretan-coretan emas yang masih berkilau hingga saat ini. Karena jasa-jasanya, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, memberikan gelar Syaikhah (guru besar perempuan) pertama. Penganugrahan Syaikhah pada tahun 1957 ini didedikasikan karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan pedidikan kaum perempuan. Karena penganugrahan itu, Rahmah berhasil mewarnai kurikulum Al-Azhar.[2] Prestasi yang sangat membanggakan bagi rakyat Minangkabau khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya.
Menurut Rahmah el-Yunusiyah, seorang perempuan diberikan anugrah sekaligus persoalan yang begitu pelik. Pada masanya, ada semacam aturan tidak tertulis, bahwa sehebat apapun dan sepintar apapun seorang perempuan, pada akhirnya ‘kodrat’ dan ‘takdir’nya akan kembali pada kehidupan rumah tangga mengurusi urusan dapur, sumur, dan kasur.[3] Bahkan anggapan tentang kebodohan dan posisinya sebagai sosok yang lemah sekaligus menjadi manusia golongan kedua harus dijalani, tanpa mengenyam pendidikan yang layak. Padahal segala sesuatu, apalagi mendidik anak, perlu ilmu dan pengetahuan yang cukup, tidak hanya membesarkan secara fisik, namun juga harus dibekali dengan non-fisik,  pendidikan.[4]
Nama Rahmah el-Yunusiyah mungkin bagi sebagian rakyat Indonesia terdengar asing ditelinga. Kita lebih familiar bila menyebutkan perjuangan perempuan dengan nama Raden Ajeng Kartini tentang emansipasi wanitanya. Sebenarnya kontribusi RA Kartini hampir sama dengan Rahmah el-Yunusiyah, yaitu tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Kontribusinya yang besar dalam memperjuangkan kaum perempuan harus kita teladani. Terutama untuk generasi muda saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha menyajikan kilasan sejarah singkat kontirbusi Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah dalam memperjuangkan dan memajukan pendidikan kaum perempuan.

Bibit-Bibit Perjuangan
Rahmah el-Yunusiyah lahir pada hari Jum’at, tanggal 29 Desember 1900 Masehi, atau bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah. Dia terlahir dari kalangan keluarga ulama, ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus dan ibunya Rafi’ah. Ayahnya merupakan seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan Pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Pernah belajar ke Mekkah selama 4 tahun dan masih ada darah keturunan dengan seorah tokoh perang Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao. Sedangkan ibunya, biasa dipanggil Ummi Raf’iah, masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Menikah pada usia 16 tahun, sedangkan Syekh Muhammad Yunus berusia 42 tahun. Rahmah el-Yunusiyah terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara, yaitu Zainuddun Labay, Mariah, Muhammad Rasyid, dan Rihanah.[5]
Kelahiran Rahmah el-Yunusiyah dibidani oleh kakek ibu mereka bernama Kurdi Kurai (Hajjah Khadijah) yang berprofesi sebagai dukun beranak. Konon, kelahiran salah satu founding father kita, Sutan Sjahrir, juga dibidani oleh Hajjah Khadijah karena kebetulan rumahnya berdekatan di Padang Panjang. Sejak kecil Rahmah el-Yunusiyah terkenal dengan sifat keras hati dan bercita-cita tinggi. Kemaunannya keras dan susah untuk dihalang-halangi, bahkan sanggup menangis apabila kemauanya tidak terpenuhi. Kepribadian yang kuat dan jiwa besarnya sudah tampak menonjol. Hal ini bisa dilihat dari kecintaanya terhadap pekerjaan masak memasak dan berbagai kerajinan tangan, bahkan sudah mampu menjahit dan menambal pakainnya sendiri.[6]
Sejak kecil, Rahmah el-Yunusiyah dikenal jarang bergaul dengan teman-temannya, karena sifat pemalu yang dimilikinya. Tapi sifat pemalu inilah yang dikemudian hari menjadi tameng berbagai masalah yang dihadapinya shingga dia berlapang dada dalam setiap kerumitan yang menghadang. Tempaan cobaan telah membentuk kepribadian Rahmah el-Yunusiyah menjadi seorang yang tabah, dan mempunyai pendirian yang kokoh serta keimanan yang semakin kuat.

Pondasi Pendidikan
    Ketika Rahmah el-Yunusiyah menginjak umur 6 tahun pada tahun 1906 Masehi, Rahmah sudah ditinggalakan oleh ayahnya, Syekh Haji Muhammad Yunus karena wafat. Sehingga interaksi dan pendidikan tidak didapatkan dari ayahnya, dia dibesarkan oleh ibu dan kakak-kakaknya. Sejak kecil, Rahmah el-Yunusiyah tidak pernah mendapatkan pendidikan formal seperti kakak-kakaknya yang lain, namun Rahmah belajar ilmu agama kepada Engku Uzair, salah seorang murid Syekh Haji Muhammad Yunus.
      Untuk mengajarkannya baca tulis, para kakak-kakaknya, seperti Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad yang pernah bersekolah mengajarinya baca-tulis latin dan angka-angka Arab atau angka Melayu.[7] Terutama kakak sulungnya, Zainuddin Labay, seorang tokoh pembaharuan sistem pendidikan Islam, dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, Diniyah School, yang didirikan tahun 1915. Dengan kemampuan kakaknya yang bisa menguasai berbagai bahasa, Inggris, Arab, dan Belanda ini, menjadi inspirasi Rahmah el-Yunusiyah dikemudian hari untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.
   Sejak usianya menginjak 10 tahun, Rahmah el-Yunusiyah sudah aktif mengunjungi pengajian-pengajian yang rutin diadakan dilingkungan sekitar. Konsep perpindahan pengajian antar surau ke surau yang lain sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Minangkabau. Ada sekitar 8 (delapan) surau yang melakukan pengajian dan bergantian.[8] Dengan mengikuti pengajian tersebut, Rahmah el-Yunusiyah secara tidak langsung belajar agama dan memperoleh pengalaman yang terus bertambah.
      Dengan mengikuti kegiatan pendidikan yang didikrikan oleh kakaknya itu, Rahmah belajar banyak hal. Dia mengikuti pengajian dan pengajaran disekolah Diniyah School  tersebut, yang memberikan pengetahuan praktis dan bergaul dengan banyak teman yang beragam. Awalnya Rahmah tidak diperkenankan bergaul dengan anak laki-laki, namun setelah mengikuti itu Rahmah bisa bergaul dengan murid laki-laki. Melalui pergaulan itu, dia bertukar fikiran baik mengenai hukum Islam, sosial, budaya dan hubungan antar manusia. Melalui pergaulan ini, Rahmah mulai menyadari tentang keadaan lingkungan sekitarnya, terutama kaum perempuan, yang tidak diberikan kesempatan untuk menuntut ilmu seperti yang dialaminya.
     Selama menjadi siswa di Diniyah School, Rahmah menjadi lebih kritis tentang sikap ketidak terbukaan yang dialami oleh sekolah Diniyah yang kurang memberikan penjelasan mengenai problematika khusus perempuan. Perasaan ketidak puasan ini, sempat didiskusikan dengan teman sesama perempuan, yaitu Rasuna Said dari Maninjau[9] dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir dari Lubuk Alung. Mereka berempat sepakat untuk membentuk sebuah kelompok belajar yang didikrikan khusus untuk perempuan. Rahmah el-Yunusiyah mengajak ketiga temannya itu untuk menambah ilmu agama secara mendalam di luar sekolah Diniyah, diantaranya ke Surau Jembatan Besi.[10]
     Pelajaran yang diterima di Surau Jembatan Besi inipun belum cukup memuaskan dahaga keilmuan agamanya. Hal ini dikarenakan tidak terjawabnya pertanyaan-pertanyaan menyangkut tentang perempuan. Oleh karena itu, Rahmah meminta kepada Syekh Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul[11] untuk berkenan memberikan privat kepadanya di rumahnya. Lewat gurunya itu, dia memperdalam ilmu agama dan permasalahan tentang perempuan, disamping itu, dia mendalami juga tentang bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih. Selain berguru dengan Haji Rasul, dia juga mengaji keberbagai ulama-ulama besar lainnya, seperti Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Mohammad Jamil Jambek dan Syekh Daud Rasyidi. Lingkungan relijius  dan cendekia seperti inilah yang telah menumbuhkan kepribadian Rahmah el-Yunusiyah. [12]
     Selain ilmu agama, Rahmah el-Yunusiyah juga belajar tentang ilmu kebidanan di RSU Kayu Tanam, dan berhak mendapatkan izin praktek/ijazah bidan dari dokter. Sebelum mengikuti khursus kebidanan ini, awalnya Rahmah mendapatkan bimbingan yang diberikan oleh Kurdi Urai, seorang bidan yang menolong kelahirannya. Selain itu, dia juga mempelajari ilmu tentang pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), dari enam dokter yang juga gurunya dalam hal kebidanan, dokter tersebut adalah dr. Sofyan Rasyad dan dr. Tazar di Rumah Sakit Umum Kayu Tanam, dr. A. Saleh di RSU Bukittinggi, dr. Arifin dari Payukumbuh, dr Rasjidin dan dr A. Sani di Padang Panjang. Selain belajar tentang ilmu kebidanan, sekaligus praktek di RSU Kayu Tanam.[13]
       Bukan hanya ilmu agama dan kesehatan, Rahmah el-Yunusiyah juga belajar tentang menenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banya dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Ilmu bertenun ini dilengkapi dengan jahit-menjahit. Kedua ilmu ini, menenun dan menjahit, nantinya dimasukan kedalam kurikulum sekolahnya. Mengenai ilmu-ilmu lainnya, semisal ilmu alam, bumi dan lainnya, Rahmah pelajari sendiri dari buku-buku. Ilmu-ilmu yang dia pelajari sejak muda, diajarkan kepada murid-muridnya setelah dia mendirikan sekolah Diniyah puteri pada tahun 1923.
         Pengalaman dari berbagai tempaan guru-gurunya dalam menuntut ilmu, membuat kepribadian Rahmah el-Yunusiyah menjadi seorang yang sabar, penuh toleransi dan teguh pendirian, serta kokoh dalam keimanan dan keilmuan. Hal ini menjadi investasi dikemudian hari untuk mendirikan sekolah Diniyah perempuan, karena dia sempat kecewa melihat kaumnya tidak bisa memperoleh pendidikan yang memadai. Padahal Rahmah el-Yunusiyah meyakini betapa pentingnya peranan pendidikan sebagai salah satu jalan untuk mengangkat derajat kaum perempuan.

Eksistensi Madrasah Diniyah Puteri
      Rahmah el-Yunusiyah mempunyai idealis dan cita-cita yang tinggi, cakrawala pandangannya jauh kedepan. Dia tidak mau memandang perempuan hanya sebagai makhluk yang hanya melahirkan anak dan mengurus rumah tangga saja. Namun jauh dari itu, dia ingin menempatkan perempuan mempunyai derajat yang lebih tinggi dan pantas. Tapi diluar itu, para perempuan juga harus mengerti posisi kodratnya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai anggoata masyarakat. Kaum perempuan harus bisa menjalankan perannya sebagaimana digariskan dalam agama Islam.
Pada saat itu, masih sangat jarang kaum perempuan mengenyam pendidikan. Pemikiran masyarakat waktu itu, terutama masyarakat Melayu, memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua yang tidak terlalu memerlukan pendidikan yang tinggi. Perempuan saat itu masih sangat pasif, dan belum mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi agama dan negaranya. Kondisi ini membuatnya prihatin, dia berpendapat pendidikan sangat penting bagi kaum perempuan. Dengan pendidikan, maka kaum perempuan akan terangkat harkat dan martabatnya.
       Permasalahan itu yang membuat dirinya bertekat untuk mendirikan sendiri sekolah khusus untuk anak-anak puteri. Meskipun belum terpikirikan apakah sudah tepatkan waktunya? Masyarakat akan menyekolahkan anaknya pada saat itu? Sudah siapkah para orang tua melepaskan kungkungan anak-anak perawannya untuk dinikahkan dalam usia muda?
       Kekhawatiran itu pernah disampaikan kepada kakaknya, Zainuddin Labay el-Yunusy, yang teleh lebih dulu mendirikan Diniyah School. Tanggapan kakanya sangat positif, dan mendukung penuh rencana Rahma, dukungan juga diberikan oleh teman-teman puteri pengurus dan anggota PMDS (Pesrsatuan Murid-Murid Diniyah School), suatu organisasi pelajar, dan Rahmah el-Yunusiyah adalah ketua bagian puterinya.[14] Dengan keputusan bulat, pada tanggal 1 November 1923 secara resmi Rahmah el-Yunusiyah mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama, Madrasah Diniyah Li al-Banat.
     Ibarat bayi yang baru lahir, lembaga pendidikan ini tidak langsung berkembang. Butuh perjuangan yang panjang dan bahu membahu untuk terus membuat lembaga ini tetap eksis. Bersama kakaknya, Zainuddin Labay, Rahmah berjuang mengelola sekolah. Awalnya muridnya hanya 70-an orang yang sebagaian besar adalah ibu-ibu muda. Kurikulum awal yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu pengetahuan agama dan bahasa Arab, ditambah dengan pengetahuan umum yang praktis dan menjahit. Gurunya awalnya hanya empat orang, yaitu Rahmah el-Yunusiyah merangkap sebagai pemimpin, Darwisah, Nasisah, dan Djawena Basyir.[15]
Proses belajarnya berlangsung di serambi masjid Pasar Usang. Namun Allah berkehendak lain, ditengah proses bertambahnya murid, Allah memanggil kakaknya, Zainuddin Labay, yang meninggal pada usainya masih muda. Kepergian kakaknya, yang ikut berjuang membuatnya terpukul. Tapi tekadnya untuk memajukan sekolahnya masih berkobar tinggi. Dia melanjutkan keberadaan Madrasah Diniyah dengan membangun gedung, meja, bangku dan perlengkapan lainnya.
        Untuk membagun gedung, Rahmah el-Yunusiyah melakukan penggalangan dana dengan cara tour ke berbagai kota. Dari Aceh hingga Sumatera Utara selama tiga bulan. Dalam proses penggalangan dana ini, dia berhasil membangun gedung dan asrama yang mampu menampung 275 dari 350 total murid keseluruhan. Berkat kegigihannya, lembaga pendididikan Madrasah Diniyah berkembang sangat pesat.
Menjelang kekuasaan Belanda berakhir, Rahmah juga sempat mendirikan empat lembaga puteri lainnya. Pada tahun 1938, dia mendirikan Yunior Institut Puteri, sebuah sekolah umum setingkat Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia) dan Kulliyatul Mu’allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama Putra pada tahun 1940.[16] KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru-guru agama putra yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Pada zaman Jepang keempat lembaga pendidikan putri tersebut tidak dapat diteruskan.
     Setelah Merdeka, pada tahun 1947, Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR) lama pendidikannya tujuh tahun, setingkat dengan Sekolah Dasar enam tahun yang didirikan oleh pemerintah, Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.[17]
Tahun 1964, Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun. kemudian tanggal 22 November 1967, akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda dengan SK Menteri Agama RI No. 117 tahun 1967.[18]
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Rahmah menganut sistem pendidikan terpadu, yaitu memadukan pendidkan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat didalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing-masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru-guru asrama.
         Dalam perjalanan mengola lembaga pendidikannya, Rahmah el-Yunusiyah sebisa mungkin bersikap independen. Dia tidak berpihak kepada pihak tertentu, baik itu pihak pemerintah atau swasta. Salah satu contohnya ketika dia tidak setuju atas usulan afiliasi semua lembaga pendidikan Islam di Minangkabau. Dia menolak penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh Mahmud Yunus. Hal ini karena tidak adanya buku standar yang dijadikan rujukan, karena melihat keadaan ini, Mahmud Yunus yang menjabat sebagai Direktur Normal School ingin mengadakan konsep pembaharuan pendidikannya dan meprakarsai pembentukan panitia Islah al-Madaris al-Islamiyah Sumatera Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian independensi sekolahnya, maka dia menolak keras ide itu.[19]
Menurutnya, lebih baik memelihara satu tapi terawat daripada disatukan tapi porak poranda. Diniyah School pun tidak mematuhi hasil keputusan dari musyawarah itu. Kondisi sekolah-sekolah agama tersebut masih seperti semula hingga 1936, yaitu setelah konferensi seluruh organisasi berhasil dalam standarisasi sekolah-sekolah agama kaum muda. Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, dia menolak bekerja sama dengan Belanda termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini.[20]
Dengan tegas dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa perguruannya akan berusaha dengan kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan yang dihadapi. Independensi sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh Belanda kalau di kemudian hari akan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan, sebagaimana yang pernah dilakukan surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang perang Paderi. Sikap independen dan nonkooperatif tersebut, disamping menggambarkan ciri khas kepribadiannya yang gigih, juga merupakan respon terhadap situasi politik saat itu demi kelangsungan visi sekolahnya.

Tujuan Dakwah Rahmah
      Didirikannya Diniyah Puteri ini merupakan sebuah panggilan jiwa untuk memajukan peran perempuan. Dalam ajaran Islam, posisi perempuan sangat dimuliakan, bahkan dalam sebuah hadist, surga berada ditelapak kaki ibu. Maka untuk mencapai dan mewujudkan surga yang dijanjikan Allah itu, perempuan harus lebih baik dalam perannya sebagai masyarakat, baik itu dalam keluarganya dan sebagai warga negara. Untuk mewujudkan itu semua, pendidikan merupakan hal yang pokok, hal inilah yang menjadi pokok tujuan utamanya, yaitu membentuk puteri yang berjiwa Islam. Dengan kerangka ini, Rahma ingin perempuan berpandangan luas dan tetap berpegang dengan ajaran Islam, selain itu juga mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan lahir dan batin, baik bagi dirinya, keluarganya, masyarakat dengan mengikuti perintah Allah.
     Kalimat sederhana yang menjadi tujuan sekolah ini adalah membentuk puteri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas pengabdiaan kepada Allah SWT. Ini berarti membentuk perempuan yang berjiwa Islam. Serta mengarahkan permpuan untuk menjadi “ibu pendidik”, yang berarti, pertama, ibu pendidik baik dalam rumah tangga, hal ini dikarenakan seorang perempuan mempunyai fitrah sebagai ibu bagi anak-anaknya, rumah tangga akan tercermin dalam tingakh laku sehari-hari sebgai anggota keluarga.
    Arti ibu pendidik yang kedua, pendidik yang baik disekolah, yaitu kemampuan dan bakat untuk menjadi seorang pengajar. Sifat lemah lembut merupakan sifat utama bagi pendidik yang baik, dan ini dimiliki terutama oleh perempuan. Dan yang ketiga, ibu pendidik didalam masyarakat, karena masyarakat membutuhkan figur ibu untuk menjadi seorang mubalihgat yang menyebarkan kebenaran. Oleh karena itu, konsep al ummu madrasatil uula, ibu adalah sekolah pertama, merupakan tempat yang pertama memberikan pondasi karakter.

Kiprah diluar Madrasah Diniyyah
Selain mengasuh lembaga Madrasah Diniyah puterinya, Rahmah el-Yunusiyah juga aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan sosial keagamaan lainnya. Pada tahun 1930-an, ikut dalam pergerakan Permi (persatuan Muslimin Indonesia), dia juga dekat dengan kalangan Muhammadiyah, dan bekerjasam dengan tokoh wanita lainnya, Rasuna Said, yang juga sempat mengajar di sekolahnya.
Rahmah el-Yunusiyah juga aktif dalam berbagai gerakan yang menentang praktek-praktek penindasan oleh pemerintah Belanda. Langkah-langkah nya dengan cara mendirikan Perserikatan Guru-Guru Puteri Islam di Bukittinggi, menjadi ketua panitia penolakan Kawin Bercatat, dan Ketua Pergolakan Organisasi Sekolah Liar. Pada tahun 1933, Rahmah el-Yunusiyah memimpin rapat umum kaum ibu di Padang Panjang, karena perbuatannya ini, dia dikenakan denda oleh pemerintah Belanda sebesar 100 Golden karena tuduhan membicarakan masalah politik dan menghasut massa.
Rahmah el-Yunusiyah juga pernah menjadi anggota dan pengurus Sarekat Kaum Ibu Sumatera (GKIS) Padang Panjang. Organisasi ini berjuang untuk menegakan harkat dan martabat kaum perempuan dengan menerbitkan majalah bulanan. Hingga pada tahun 1935, Rahmah el-Yunusiyah mewakili ibu Sumatera Tengah ke kongres perempuan yang diadakan di Jakarta. Dalam kongres ini, Rahmah bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum perempuan Indonesia untuk mengenakan selendang. Setelah kongres berakhir, dia tidak langsung pulang ke Padang Panjang, namun tinggal di Jakarta untuk mendirikan pendidikan khusus perempuan di Gang Nangka, kwitang, Kebong Kacang, Tanah Abang, Jatinegara dan Johar di Rawasari.[21]
Pada zaman Jepang, selain menjalankan sekolahnya yang sudah maju, dia juga aktif dalam organisasi Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bertujuan untuk menentang pemerintahan kolonial Jepang menggunakan perempuan-perempuan, terutama perempuan khusus Sumatera Tengah, sebagai penghibur untuk melayani tentara-tentara Jepang. ADI juga menuntut pemerintah Jepang, untuk menutup rumah bordil dikarenakan bertentangan dengan kebudayaan dan agama Indonesia secara umum. Gerakan ADI boleh dikatakan berhasil, hal ini dibuktikan dengan pemerintah Jepang mengambil perempuan-perempuan dari Korea dan Singapura.
Rahmah el-Yunusiyah juga pernah menjadi ketua Haha Nokai (Organisasi Kaum Ibu) di Padang Panjang. Pada akhir pendudukan Jepang, menjadi anggota peninjau yang dipimpin oleh Mohammad Sjafei. Ketika perang Pasifik pecah, Rahmah rela menjadikan sekolahnya dijadikan rumah sakit dadakan untuk menampung para pejuang yang terluka. Setelah merdeka, Rahmah mengayomi Laskar Sabililah dan Laskar Hizbulwatan, selain itu, dia juga turut andil mempelopori terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Disamping itu, juga menjadi anggota Mahkamah Syari’at Bukittinggi dan anggota Majelis Islam Tinggi Sumatera Tengah. Nama besar Rahmah el-Yunusiyah juga sempat dimasukan sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun dia tidak pernah sampai ke Jakarta, karena lebih mengurus ibunya yang sakit. Dalam bidang politik lainnya, nama Rahmah el-Yunusiyah juga termasuk pendiri partai Masyumi di Minangkabau. Hingga pemilu pertama tahun 1955, dia terpilih menjai anggota parlemen mewakili daerah Sumatra Tengah (1955-1958).
Nama besarnya bahkan melampaui batas negaranya, tahun 1955, Diniyah puteri mendapatkan kunjungan dari Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Dalam kunjunganya, rektor Al-Azhar sangat mengagumi sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Rahmah. Bahkan, setelah kunjungannya, pihak Universitas Al-Azhar membuka khusus fakultas untuk permpuan yang diberi nama, Kuliyyah Banat. Tahun berikutnya, tahun 1956 pihak Universitas Al-Azhar mengundang Rahmah untuk berkunjung ke Kairo. Dalam kunjungannya itu, pihak universitas menganugrahkan gelar Syeikhah kepada Rahma el-Yunusiyah, gelar yang sebelumnya belum pernah diberikan kepada seorang perempuan.[22]
Rahmah el-Yunusiyah telah berhasil membuktikan kepada dunia bahwa muslimah Indonesia bukanlah perempuan yang terbelakang.  Bahwa muslimah taat bisa berkontribusi bagi keluarga, masyarakat, agama dan bangsanya. Rahmah berhasil mewujudkan cita-cita yang sejak muda di gagasnya, karena keyakinan yang teguh kepada Allah SWT serta tekadnya yang membaja.

Catatan Akhir
Bagi sebagian rakyat Indonesia yang bersikap ‘kolot’ terhadap pentingnya pendidikan perempuan yang tinggi, masih menjadi domain bagi kehidupan sehari-hari dilingkungan kita. Lihat saja disekitar kita, bagaimana istilah ‘dapur, sumur, dan kasur’ masih begitu populer dikalangan masyarakat. Ungkapan ini ingin menegaskan kita bahwa sehebat apapun perempuan, pada akhirnya “kodrat” dan “takdir” perempuan akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan memasak, mencuci dan seks.
Anggapan ini bukanlah hal baru, namun sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam masyarakat Sumatra Barat pun, asumsi perempuan tidak layak mengenyam pendidikan terlalu tinggi kerap menjadi bahan perdebatan. Rahmah el-Yunusiyah yang lahir di tanah Minang mencoba menolak anggapan itu. Dia beranggapan bahwa permpuan memiliki hak belajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan dibanding laki-laki, permpuan juga mampu dan bahkan jauh lebih hebat bila diadu dengan kecerdasan. Persoalannya terletak pada akses pendidikannya. Saat itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari yang diharapkan dan perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Menurutnya perempuan tidak harus menuntut emansipasi dalam semua bidang. Seorang perempuan juga harus berperan di rumah untuk mendidik anak-anaknya. Namun, tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama dan negaranya juga menanti andil kaum perempuan. Tanggung jawab itu diberikan dengan jalan menempuh pendidikan, baik pendidikan dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Mungkin jika saat ini Rahmah el-Yunusiyah masih hidup, dia akan sependapat bahwa membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagai burung yang terbang hanya menggunakan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua manusia, mendidik perempuan berarti membangun negara, karena perempuan adalah tiang negara.
Lewat lembaga pendidikan yang didirikannya, Madrasah Diniyyah, Rahmah el-Yunusiyah berusaha menyumbangkan pemikirannya untuk merombak paradigma lama itu. Meskipun tidak mudah, penuh jalan berliku, namun kegigihannya untuk memajuka pendidikan perempuan nampaknya hingga saat ini sudah berbuah. Hingga akhir hayatnya pada tanggal 26 Februari 1969, pendiriannya tidak berubah, tetap ingin memajukan pendidikan kaum perempuan di Indonesia. Meskipun Rahmah el-Yunusiyah telah tiada tapi semangatnya tetap mengalir hingga hari ini. Kisah hidupnya tetap memberi inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Daftar Pustaka
Abudin Nata. 2000. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Aminnudin Rasyad, dkk. 1991. Rahmah el Yunusiyah dan Zainuddin Labay el Yunusy: Dua Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia, Riwayat Hidup, Cita-Cita dan Perjuangannya. Jakarta: Pengurus Diniyah Puteri Perwakilan Jakarta.
Azyumardi Azra. 2008. Membangkik Batang Tarandam: Wacana dan Praksis Revitalisasi Mina`ng in Reinventing Indonesia. Jakarta: Penerbit Mizan.
Hasril Chaniago. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Jajat Burhanudin (ed). 2002. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahmud Yunus. 1993. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Magdalia Alfian. 2012. “Rahmah El Yunusiah: Pioneer of Islamic Women Education in Indonesia, 1900-1960’s”., dalam Jurnal Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 4 (1) 2012.
Tantang Ahmad Syahrul Alim. 2013. “Rahmah el-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Islam Muslimah Indonesia” dalam http://www.dakwatuna.com/2013/04/30/32399/rahma-el-yunusiyah-pelopor-pendidikan-muslimah-indonesia/., diakses tanggal 10 Juli 2016.
Zulmuqin. 2015. Transformation of the Minangkabau Islamic Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad And Rahmah El-Yunusiyah., dalam Jurnal AL-TA’LIM JOURNAL 22 (2), 2015.





[1] Tulisan ini diikutkan dalam Lomba KUPI "Ulama Perempuan".
[2] Lihat Magdalia Alfian. 2012. “Rahmah El Yunusiah: Pioneer of Islamic Women Education in Indonesia, 1900-1960’s”., dalam Jurnal Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 4 (1) 2012., Hlm 63.
[3] Dapur, berarti hanya mengurus masalah masak memasak. Sumur, berarti tentang kebersihan rumah dan kasur, berarti hanya melayani suami di tempat tidur.
[4] Lihat Zulmuqin. 2015. Transformation of the Minangkabau Islamic Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad And Rahmah El-Yunusiyah., dalam Jurnal AL-TA’LIM JOURNAL 22 (2), 2015, Hlm 155-164.
[5] Lihat Aminnudin Rasyad, dkk. 1991. Rahmah el Yunusiyah dan Zainuddin Labay el Yunusy: Dua Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia, Riwayat Hidup, Cita-Cita dan Perjuangannya. Jakarta: Pengurus Diniyah Puteri Perwakilan Jakarta., hlm 35-38.
[6] Jajat Burhanudin (ed). 2002. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama., hlm 1-38.
[7] Magdalia Alfian. 2012. Op.Cit., Hlm 57.
[8] Ibid.,
[9] Nama Rusuna Said dikemudian hari diangkat menjadi pahlawan Nasional.
[10] Ibid.
[11] Haji Abdul Karim Amrullah ini merupakah ayah dari ulama terkenal Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih familiar dengan panggilan Buya HAMKA.
[12] Azyumardi Azra. 2008. Membangkik Batang Tarandam: Wacana dan Praksis Revitalisasi Minang in Reinventing Indonesia. Jakarta: Penerbit Mizan. Hlm 551-552.
[13] Zulmuqin. 2015. Op. Cit., hlm 161.
[14] Zulmuqin. 2015. Op. Cit., hlm 161.
[15] Ibid.,
[16] Abudin Nata. 2000. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada., hlm 30.
[17] Tantang Ahmad Syahrul Alim. 2013. “Rahmah el-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Islam Muslimah Indonesia” dalam http://www.dakwatuna.com/2013/04/30/32399/rahma-el-yunusiyah-pelopor-pendidikan-muslimah-indonesia/., diakses tanggal 10 Juli 2016.
[18] Ibid.,
[19] Mahmud Yunus. 1993. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. Hlm 193.
[20] Ibid.,
[21] Hasril Chaniago. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia., hlm 427.
[22] Magdalia Alfian. 2012. Op.Cit., Hlm 64.