Thursday, December 8, 2016

REFORMASI SASTRA DI KELAS-KELAS KECIL

Oleh: Arif Saefudin 
Juara 2 Lomba Esai Bulan Bahsa UGM 2016, Klik Disini
Dunia sastra, hingga saat ini masih menjadi dunia yang ‘terasing’ bagi kebanyakan generasi muda, mereka lebih disibukan dengan aktivitas dengan gadget nya. Mereka terjebak dalam rutinitas yang tanpa batas, yaitu rutinitas keseharian yang membuat mereka ‘malas’ berkarya, apalagi untuk bersastra. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satu aspeknya adalah persoalan masa lalu (Baca: Orde Baru) yang banyak membelenggu sebagian sastrawan. Diluar itu, kaum elit dianggap tidak menanggapi kritik para sastrawan dan cenderung tidak mau bergaul dengan mereka. Akibatnya, kebijakan kebudayaan dan terutama kesastraan tidak dapat perhatian yang serius dari pemerintah.[1]
Perkembangan dunia sastra, pada masa reformasi ini bisa dikatakan sedang menemukan momentum baru, apabila kita melihat toko-toko buku disekitar, tentunya akan dengan mudah melihat berbagai karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan hebat Indonesia. Karya sastra ini berupa roman percintaan, puisi-puisi dan novel-novel yang ber-genre ramaja. Selain media cetak, media online manjadi tempat yang subur bagi pecinta sastra untuk menuntaskan dahaganya. Saat ini, kita sering melihat karya-karya sastra diangkat kedalam layar lebar, sebuah kenyataan yang tidak bisa dinikmati oleh sastrawan sekaliber Pramudya Ananta Toer dan Chairul Anwar sekalipun.
Dibalik menggeliatnya dunia sastra sekarang, sastra tidak betul-betul menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia secara umum. Dalam dunia pendidikan misalnya, para pelajar hanya memandang sebelah mata dan menganggap dunia sastra tidak penting. Hal ini sudah dikatakan oleh Taufik Ismail sebagai ‘generasi nol buku’. Taufik Ismail membandingkan pelajar lulusan 13 Negara, termasuk didalamnya Indonesia, bahwa pelajar kita tidak diwajibkan membaca buku apalagi mewajibkan untuk menulis. Generasi inilah yang disebut Taufik Ismail sebagai ‘generasi yang rabun membaca, dan pincang menulis’.[2]
Kenyataan ini diperkuat oleh fakta tentang apresisasi karya sastra dinegara tetangga dibandingkan di Indoneisa, padahal penulisnya merupakan sastrawan kita. Misalkan saja, karya Ahmad Fuadi, novel karyanya yang berjudul Negeri Lima Menara menjadi bacaan wajib bagi beberapa sekolah yang ada di Australia.[3] Pertanyaanya, bagaimana kita sebagai generasi muda memaknai sastra dan pentingnya sebuah budaya literer?

Budaya Literer untuk Pendidikan Karakter
Bila dilhat, pendidikan kita lebih mengarah kepada sebuah tujuan untuk tidak memanusiakan manusia secara utuh, lahir maupun batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistik, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Akibatnya keluaran dari nilai-nilai keagungan budi dan keluhuran pekerti jadi tidak tersentuh. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, seperti melontarkan kata-kata barbar dan bahasa tubuh yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai estetika dan etika ini telah terkebiri dan terkerdilkan oleh gaya hidup yang hedonis dan konsumtif.
Rendahnya tingkat apresiasi generasi muda terhadap sastra hingga kini masih menjadi problematika dikalangan pengamat dan pemerhati sastra. Kalau keadaan ini berlanjut, bukan mustahil pengajaran apresiasi sastra didunia pendidikan semakin terpuruk dan terasingkan dari hiruk pikuk persaingan antar bangsa. Menghadapi persaingan global ini, dunia pendidikan menempati peran yang sangat penting untuk bisa mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan aspek kognitif, namun juga merambah kedalam aspek afektif dan psikomotor.
Dari sinilah muncul kesadaran, bahwa pendidikan karakter yang berbudaya literer berbasis sastra menjadi sebuah keniscayaan. Dunia sastra dan tradisi literer merupakan sarana untuk membentuk karakter suatu bangsa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, imajinasi, dan proyeksi sebuah masyarakat dan kebudayaannya.[4] Buku tetralogi Buru karya Pramudya Ananta Toer misalnya, menggambarkan gambaran mengenai mentalitas baru insani pribumi yang sedang mengalami perubahan dan menanti sebuah momentum kebangkinan kesadaran nasional. Selain itu, novel Andrea Hirata berbicara tentang sebuah perjuangan hidup mengejar kesuksesan ditengah kehidupan yang serba terbatas. Novel ini memberikan inspirasi kepada penikmatnya agar kesulitan bukanlah akhir, namun proses permulaan untuk menuju sebuah kesuksesan.
Selain dapat menjadi media pembentukan karakter, secara umum sastra juga dapat menjadi saluran bagi terbangunnya budaya literer dalam masyarakat. Budaya literer tidak hanya berkenan dengan kemampuan teknis membaca dan menulis. Seorang yang terbebas dari tunaaksara tidak dengan sendirinya dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki budaya literer. Hanya mereka yang memiliki kemampuan baca-tulis lah yang secara teknis serta menjadikan aktifitas baca-tulis sebagai kebutuhan sehari-harilah yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang berbudaya literer.
Untuk menumbuhkan budaya literer ini, memang tidak mudah. Generasi muda harus berani melawan tradisi dengan berani berkreasi. Salah satunya dengan membuat  puisi, karya sastra yang memang secara ‘tidak sadar’ lebih dekat dengan anak muda. Oleh karena itu, penulis berusaha membangun sebuah pondasi, menjaga obsesi dan menuju realisasi yang nyata dengan membuat antologi puisi bersama anak-anak muda disekitar kita.

Membangun Pondasi dengan Antologi Puisi
Harapan itu selalu ada. Tidak sedikit generasi muda yang mau dan berani untuk bersastra, sebab masih banyak serpihan ‘mozaik-mozaik’ anak muda yang masih menjunjung tinggi dunia sastra. Bila dilihat, tanpa sadar mereka sebenarnya sering bersentuhan dengan dunia sastra. Salah satu contohnya adalah ketika kita melihat status mereka dimedia sosial. Sebagian dari mereka, entah itu di facebooktwitterpath dan media sosial yang lainnya, status mereka rata-rata puitis dan penuh ‘mistis’, karena banyak dari mereka menuangkan alam pikiran distatus sosialnya, dan banyak kata sajak-sajak mengalir tanpa mereka merasa.
Dari semangat itu, penulis ‘menantang’ mereka untuk menyatukan puisi-puisi kedalam sebuah buku kecil. Untuk mengumpulkan itupun tidaklah mudah, karena membutuhkan waktu yang sedikit menguras tenaga dan pikiran. Hanya mereka yang mau berdamai dengan rutinitas dikelas yang tanpa batas. Mereka disatu sisi harus berkutat pada pelajaran dan tugas yang jelas segudang jumlahnya, namun harus mengumpulkan dan membuat karya sastra berbentuk puisi.
Mereka mencoba berolah sastra, belajar membuat dan menuliskan puisi serta mengapresiasikannya lewat bentuk sebuah antologi. Mereka memadukan dan mengimajinasikan, itulah puisi. Hal ini seusuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Shahnon Ahmad bahwa sebuah kata dipadukan, maka akan mendapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pembaca, kiasan dan perasaan yang bercampur baur menjadi sebuah rangkaian kata.[5]
Untuk membuat sebuah puisi saja membutuhkan waktu dan suasana yang mendukung terutama harus mempunyai sebuah tema atau ide. Faktor tersebut harus ada dalam proses pembuatan sebuah puisi, karena untuk mencari tema dan ide itu sifatnya hanya sepintas terfikirkan. Pertanyaanya bagaimana menumbuhkan ide? Ide itu datangnya tiba-tiba, maka kita perlu menyediakan catatan kecil, semisal buku harian atau catatan di smartphone. Ide-ide yang datang tiba-tiba itu, setelah ditulis dalam bentuk catatan-catatan kecil tersimpan maka dibuka lagi ketika kita dalam keadaan yang tenang, dari hasil perenungan ini bisa digali terus menjadi sebuah puisi.
Apalagi dalam kondisi anak muda yang sedang menyemai jati diri mereka. Mereka sedang menumbuhkan apa yang terpendam dalam diri mereka, entah itu tentang pertemanan maupun masalah cinta. Biasanya tema-tema seperti itu yang terlintas dibenak para anak muda. Puisi mereka biasanya merupakan media yang paling tepat untuk terus menuangkan perasaan mereka yang galau ataupun baper (terbawa perasaan). Hal ini bisa berdampak positif, karena secara tidak langsung mereka menumbuhkan budaya menulis bagi sekitarnya. Meskipun budaya membaca mereka masih sedikit lemah, karena bisanya puisi yang mereka buat bukan karena dari membaca, namun disebabkan karena pengalaman pribadi mereka yang sudah dialami.
Hal ini meskipun belum lengkap, budaya menulis ini akan diimbangi dengan sendirinya karena mereka setelah mau menulis, biasanya akan ‘terpaksa’ membaca, sehingga budaya yang timbul akan lengkap dengan budaya membaca dan menulis. Kedua aspek ini tentunya akan menumbuhkan karakter mereka menjadi karakter-karakter yang berpotensi menumbuhkan budaya literer. Namun apabila bakat terpendam mereka tidak di ‘bangunkan’ maka hal ini bisa mengancam semangat budaya membaca dan menulis.
Ada dua hal yang mengancam budaya membaca dan menulis ini, yaitu pertama, vokasionalisme baru, dimana lembaga-lembaga pendidikan hanya menekankan aspek ketrampilan teknis. Semisal, banyak jurusan disekolah-sekolah yang hanya menjuruskan minat siswa namun tidak melihat sisi-sisi yang lain, atau bakat yang ‘tertidur’ mereka. Dan yang kedua, terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya media televisi yang menampilkan budaya-budaya konsumtif dan pragmatis, semisal sinetron-sinetron yang sama sekali tidak ada nilai pendidikannya, yang ada hanya pihak televisi mengejar rating dan pemasukan iklan, sehingga secara tidak langsung televisi akan membunuh budaya menulis dan membaca.[6] Oleh karena itu, semangat untuk melawan dari serangan-serangan untuk mengkerdilkan semangat anak muda ini harus terus dikobarkan.
Melalui semangat ini, kiranya penulis berusaha terus menjaga tradisi bersastra untuk kaum muda. Sebab, seperti yang sudah dibahas, kebiasaan membaca dan menulis merupakan indikator majunya sebuah peradaban bangsa. Misalkan di negara Jepang, penggunaan media kertas ternyata lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan tisu toilet. Tradisi bersastra ini akan (setidaknya) menjaga agar usaha menyemai jatidiri mereka terabadikan oleh sebauh karya puisi. Sehingga diharapkan generasi sekarang tidak menjadi generasi yang menurut Taufiq Ismail sebagai generasi yang ‘rabun membaca dan pincang menulis’ itu.
Kumpulan-kumpulan puisi mereka harus berani dibukukan. Karena sudah banyak tersedia berbagai penerbit-penerbit yang mau menerbitkan  berbagai tulisan kita, meskipun hanya penerbit indie. Hal ini mendorong penulis dan siswa bersama-sama untuk membangunkan budaya literer ini kedalam sebuah buku antologi  puisi. Penerbit yang sudah menerbitkan buku antologi ini adalah Mer-C Publising yang berada di Jakarta Selatan. Cetakan pertama pada bulan Februari 2016, dan ber ISBN 978-602-71073-2-8 dengan judul buku “Retorika Cinta dalam Senja: Antologi Puisi Menyemai Jati Diri”. Sebuah langkah awal dan pemicu bagi bibit-bibit yang berbakat untuk mengembangkan dan mendorong supaya lebih semangat untuk menuangkan semua ide kedalam bentuk tulisan. 
         Meskipun buku antologi ini masih terbatas penulisnya (3 orang penulis), namun setidaknya penulis mencoba menyumbangkan pikiran dan tenaga, untuk tetap membuat ‘lilin kecil tetap menyala dan berubah menjadi kobaran api yang besar’ lewat generasi muda yang berpotensi untuk bersinggungan secara langsung dengan dunia sastra. Akhirnya penulis menyadari bahwa dunia sastra pada umumnya akan ‘bangun’ dari tidurnya selama masih ada pena-pena anak muda yang berani menerobos dan menuangkan buah pikirannya meski hanya sekedar antologi puisi sederhana. Semoga dunia sastra pada umumnya, dan sastra pesantren khusunya akan terus menggeliat dan mengeluarkan taringnya. Esai ini penulis tutup dengan sepenggal puisi dalam antologi buku Retorika Cinta dalam Senja:

DIMANA CINTA SESUNGGUHNYA?

Cinta, bila kau datang tiba-tiba
Kedekatan jiwa, kecantikan mesra
Rindu nan penuh khayal merajut jiwa
Seisi hati menggenap untuknya
Asa mencinta tuk menyatu sepenuh tenaga
Rasa menjadi hidup hampa
Jika tanpa dia
Cinta, sekarang bila kau tahu
Dasar niat itu dibawah pusarmu
Nafsu raga jadi tujuanmu
Keduannya bersama cinta
Pasangan cinta itu idaman, alasannya
Cinta, sesatkah kamu cinta?
Sesat,! Jika sekumpul alasan akan pecinta
Pola tata krama dianggap tercela
Asal haram jadi halal, cinta untuk pecinta
Cinta, sekarang belum waktunya?
Siksaan adzab selanjutnya
Neraka akibatnya
Apa??? Neraka? Belakang urusannya
Itu masih lama
Cinta, sekarang kamu siapa?
Syariat, dihantam alasan apa saja
Lingkungan, berdukung berduyun mengiya
Keluarga, bila sudah ‘ada’, pasti setuju diterima
Apa??? Neraka? Masih kasat mata
Itu masih lama
Cinta, dimana kamu cinta yang sesungguhnya?
Hanya lewat jalan restu-Nya
Yang bisa memborgol modus cinta
Minta restulah pada-Nya
Semoga petunjuk-Nya
Datang untuk cinta yang sesungguhnya

Purbalingga, 8 November 2015


Daftar Pustaka
“Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas, 28 November 2015.
Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
Wildan Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema “Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi April 1979.
Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.


[1] Lihat Wildan Yatim. 1979. “Tidak didukung Situasi Politik”., dalam rubrik dialog dengan tema “Sastra Kita: Tetapkah Terpencil?”, Jurnal Prisma edisi April 1979.
[2] Lihat makalah dari Taufiq Ismail. 2009. “Dari Pasar Djohar ke Djalan Kedjaksaan”, Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Model Pembelajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif, Universitas Negeri Semarang, Ahad, 7 Juni 2009.
[3] “Bacaan Wajib”, Rubrik Nama dan Peristiwa, Harian Kompas, 28 November 2015.
[4] Lihat buku Yudi Latif. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas.
[5] Lihat Larlen. 2012. “Nilai Estetika Puisi Dua Pintu Kita dan Batu Pelangi”., dalam Jurnal Pena Vol. 2 No. 3 Desember 2012. Hlm 97-117.
[6] Yudi Latif. 2009. ibid.., hlm 19.