Tuesday, July 4, 2017

Kisah Sejarah Pancasila: Dari Proklamasi Hingga Kini

arifsae.com-Pada tulisan pertama saya, telah dibahas mengenai kisah sejarah Pancasila dari inspirasi ketika Bung Karno diasingkan di Ende hingga disahkannya ketika sidang PPKI yang pertama. Tulisan ini bisa kalian baca DISINI.
Buku Kisah Pancasila
Kali ini, tulisan ini akan menyambung dari tulisan pertama, yaitu dari proklamasi hingga saat ini. Kisah yang tentunya tak mulus, penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Pancasila mencari roh nya yang sejati. Mari kita lanjutkan kisah Pancasila dari masa Revolusi.
Masa Revolusi hingga RIS
Setelah disahkan sebagai ideologi dasar negara pada 18 Agustus 1945, Pancasila tak serta merta punya tempat nyaman di negara yang baru berdiri itu. Justru periode cobaan terberat ada pada tahun-tahun pertama republik ini berdiri. Terpenting ketika kehendak Belanda yang mau memuaskan dahaga untuk menguasai Indonesia. Ibarat anak kecil, langkah kaki Indonesia ini masih tertatih-tatih untuk mengurus segala aspek kehidupannya.

Disisi lain, proklamasi Indonesia, menurut Belanda hanya ulah segelintir ekstrimis, dan bukan kehendak seluruh rakyat Indonesia. Aksi Belanda ini membuahkan berbagai ancaman senjata yang terjadi dimana-mana (Pertempuran di Surabaya, Ambarawa, Medan, dan lainnya), perundingan diplomasi pun dilakukan (perundingan Linggarjati, Renville, KMB) sampai pemrontakan dari dalam negeri (PKI di Madiun) yang menambah terdesaknya negeri ini. Pancasila untuk pertama kalinya, diuji eksistensinya.

Diantara cobaan itu, mungkin yang terberat adalah ketika Agresi Belanda II tahun 1949 dilakukan, hingga akhirnya berhasil menangkap Sukarno dan Hatta, yang menurut Belanda lenyap sudah negara Indonesia. Untungnya, masih ada PDRI di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara menyelamatkan nyawa proklamai kita.

Keberhasilan dari perjuangan Indonesia ditandai dengan penyerahan kedaulatan Indonesia 29 Desember 1949 pasca perundingan KMB. Sejak saat itu, bentuk pemerintahan Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Bagaimana nasib Pancasila?

Versi Proklamasi UUD 1945
“...susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”
Versi RIS 29 Desember 1949-17 Agustus 1950
“Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagama Negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.”

Sejak disahkannya RIS, dengan otomatis ideologi dan UUD juga harus diganti, dan Pancasila pun sedikit mengalami perubahan meski dengan substansi yang sama.
 
Masa Parlementer
Dalam prosesnya, RIS tidak bertahan lama. Kurang dari 7 Bulan, RIS dibubarkan dan kembali lagi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semangat yang terkandung dalam Pancasila belum tumbuh secara maksimal. Hal ini lebih dikarenakan Indonesia memilih sistem Parlementer dalam pemerintahan, dan meninggalkan sistem Presidensil yang dipilih ketika proklamasi dikumandangkan.

Pancasila kala itu tak seperti saat ini, karena sejak kembali menjadi NKRI, UUD yang digunakan bukan lagi UUD 1945 namun menggunakan UUDS 1950. Otomatis pembukaan UUDS 50 pun berbeda dengan UUD 45, yang berarti merubah juga [sedikit] isi Pancasila. Coba bandingkan isi UUDS 50 dengan UUD 45 dibawah ini,

“Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam bentuk suatu piagam Negara yang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, untuk Mewujudkan Kebahagiaan Kesejahteraan, Perdamaian dan Kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.”

Dalam proses setelah menjadi NKRI-pun kelihatanya tak berjalan sesuai keinginan Bung Karno. Buktinya tahun 1951 Bung Karno mengajak untuk kembali kepada semangat Pancasila, tapi tak serta merta didengar oleh para Perdana Menteri yang memerintah. Ketika sistem Parlementer diadopsi oleh Indonesia, konsekuensi “pertikaian” antar partai bisa saling menjatuhkan dan menimbulkan mosi tidak percaya. Ini tentunya mengakibatkan kerja setiap kabinet tak berjalan secara maksimal.

Pemilihan umum pertama 1955 pun tak bisa diharapkan banyak. Cita-cita pembentukan DPR yang dipilih oleh rakyat dan anggota Dewan Konstituante yang bertugas untuk membuat UUD dan menggantikan UUDS 1950 pun tak ada hasilnya. Seperti isi pidato Presiden Sukarno pada tanggal 10 November 1956 ketika akan membuka sidang pertama Dewan Konstituante, beliau menyatakan:

“Kita bukan tidak memiliki Konstitusi, malah dengan konstitusi yang berlaku sekarang, kita sudah memiliki tiga konstitusi...Tapi semua konstitusi itu..adalah bersifat sementara. Dan semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawartan antara anggota-anggota konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Karena semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri...”
Bung Karno ingin UUD nantinya merupakan cerminan dari seluruh rakyat Indonesia dengan perwakilannya. Namun, kenyataanya perdebatan semakin sengit didalam perumusan itu. Kaum Nasionalis ingin tetap menggunakan Pancasila sebagai dasar negara, disisi lain kaum Islam menuntut untuk digunakannya dasar negara berlandaskan agama Islam.

Kaum Islam menuntut untuk dikembalikannya 7 kata yang hilang, karena 7 kata itulah yang disepakati ketika “Piagam Jakarta” disahkan pada 22 Juni 1945. Pertentangan inilah yang tidak bisa menemui titik temu. Disisi lain, ketidak jelasan kabinet ini justru berimbas pada kehidupan ekonomi yang sulit dan politik kebangsaan yang tak stabil.

Desakan masyarakat semakin kencang untuk kembali kepada UUD 1945. Presiden Sukarno lantas menyampaikan amanat itu kepada Dewan Konstituante pada 22 April 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Untuk menindak lanjuti, pada 30 Mei 1959 Dewan Kontituante melakukan pemungutan suara. Hasilnya 269 setuju dan 199 tidak setuju kembali kepada UUD 45. Namun karena anggota tidak memenuhi Kuorum maka tak membuahkan kesepakatan.

Melihat keadaan yang semakin tak menentu dan tak ada hasil Dewan Konstituante yang sudah bekerja selama 4 tahun yang belum menghasilkan UUD, maka sejak tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang berisi (1) membubarkan Dewan Konstituante; (2) Kembali ke UUD 1945, (3) dan pembentukan MPRS. Demikianlah, Pancasila akhirnya kembali kepada jatidirinya.
Masa Demokrasi Terpimpin
Memasuki era 1960-an, Presiden Sukarno dengan demokrasi terpimpinnya sering menyuarakan untuk kembali kepada UUD 1945 dengan semangat “Revolusi belum Selesai”. Dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno, Indonesia memasuki masa mencari jalan langsung dibawah Pemimpin Besar Revolusi.

Saat itu, menurut Bung Karno, Pancasila masih menjadi pemanis bibir saja dan tak ada isi yang mengakar didaada. Praktis selama masa jabatanya, Bung Karno selalu mengingatkan lewat pidato-pidato kharismatiknya, bahwa kita harus kembali dan menjiwai Pancasila secara sejati.

Akan tetapi, sebelum gagasan Bung Karno tentang Pancasila belum sempat terrealisasi, pertentangan politik era 1960-an semakin memanas. Pemberian ruang kepada PKI menjadikan posisi Pancasila terrongrong. Hingga puncaknya, terjadilah poristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa penculikan yang akhirnya melahirkan beberapa kekerasan didaerah yang berujung bergantinya pucuk pimpinan.

Pancasila masa itu kembali diuji untuk tegak berdiri sebagai ideologi negara, sejak saat itu, satu hari setelah peristiwa itu diperingati sebagai hari kesaktian Pancasila.
Masa Orde Baru
Tahun 1968, Presiden Soeharto menjadi pemimpin negara Indonesia yang baru. Pola kepemimpinan pun berbeda dengan Bung Karno. Semangatnya ingin menjadikan pemerintahanya menjadi Demokrasi Pancasila, ini dibuktikan dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara. Isinya pun seperti apa yang kita kenal sekarang.

10 tahun berikutnya, tepatnya 22 maret 1978, rumusan Pancasila itu ditetapkan secara resmi melalui TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa atau P4). Setiap butir Pancasila dijabarkan menjadi 36 butir pedoman praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Pada masa Orde Baru ini, aktivitas penataran P4 diwajibkan kepada semua warga negara dari jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Lebih luas lagi, sertifikat dari hasil P4 ini menjadi syarat jika ingin bekerja dilingkungan pemerintah.

Pemerintah saat itu menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi dan harus mengakui Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Tujuaanya adalah membentuk apa yang dimaksud dengan “Manusia Pancasila”.

Hingga tahun 1998, seiring lengsernya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan, MPR membuat TAP MPR XVIII/MPR/1988 yang mencabut TAP MPR sebelumnya. Sehingga dengan dikeluarkannya TAP MPR yang baru, maka mencabut semua konsep tentang Ekaprasetia Pancakarsa. Pencabutan ini didasarkan karena Pancasila tidak menjadi dasar negara yang mengatur kehidupan bernegara, tetapi lebih diarahkan untuk mengatur pula semua urusan pribadi seseorang warga negara.
Pancasila Masa Kini
Era-Reformasi diawali dengan lengsernya Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 30 tahun lebih. Sekali lagi, Pancasila diera ini mendapatkan kesempatan untuk menemukan jiwa aslinya yang lama hilang, yaitu sebagai dasar negara merdeka yang hendak melenyapkan penjajah [versi baru] dari bumi Indonesia. Pemaknaan ini dicoba terus menerus dari presiden-presiden era reformasi, namun sekali lagi, Pancasila nampaknya belum menemukan jatidirinya yang sebenarnya.
Saat ini, Presiden Jokowi juga berusaha mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan ajaran Bung Karno tentang “Trisakti”, yaitu berdikari secara ekonomi, politik, dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Untuk menerjemahkan semangat ini, era kepemimpinan Presiden Jokowi dimaknai dengan agenda prioritas yang berjumlah sembilan, yaitu “Nawacita.”

Pada poin terakhir ke-9, yaitu memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Poin ini yang kembali mencuatkan pentingnya sebuah kebhinekaan dan menjunjung tinggi keberagaman.

Tugas semakin berat diemban oleh pemerintahan saat ini. Dengan dikobarkannya semangat Pancasila seperti yang aslinya, yaitu tertanam di bumi Indonesia merdeka, dalam aliran darah perjuangan melawan kolonialisme [versi baru], ditaman sarinya keberagamaan budaya bangsa. Pancasila adalah dasar mengapa kita semua bisa ada disini sebagai sebuah bangsa Indoenesia.
Demikianlah sekilas tentang kisah sejarah Pancasila, apabila ada kekurangan silahkan memberikan masukan dikomentar. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan. Sumber Foto dan isi artikel adalah dari buku "Kisah Pancasila". Sekian...