Saturday, October 14, 2017

“LINGKARAN DUSTA” DI TENGAH BANGSA YANG BHINEKA

SUB JUDUL : ANTI HOAX SANG PENDIDIK
Oleh : Susilowati S.Pd.
Guru Sejarah MAN Purbalingga 
Turn Back Hoax (Sumber Gambar: www.radioidola.com)
“Copas....:
..........VIRALKAN........
Bagus Ini Tulisan... (Emoticon Jempol)
Baca Sampai Tuntas...
5000 Pucuk Senjata dan Kilas Balik Genocida Muslim Maluku
Untuk Kewaspadaan Ummat Islam NKRI....

Semakin Nyatanya Kebangkitan PKI Disusul Berita Import 5000 Pucuk Senjata Ilegal Sebagaimana Disampaikan Panglima TNI Bapak Gatot N, Membuat Kami Terkenang Kembali Genocide Muslim Maluku Yang Dimulai Awal Tahun 2000 Lalu.

Sebelum Meletusnya Pembantaian Yang Dilakukan Kelompok Minoritas (Salibis) Terhadap Kelompok Mayoritas (Muslim)....

(Dan seterusnya.....)”

Kutipan Broadcast di atas saya peroleh dari salah satu grup Whatsapp yang saya ikuti. Informasi tersebut memberikan kesan bahwa sedang ada upaya masif dari kelompok tertentu untuk membangkitkan PKI, bahkan gerakan ini semakin nyata karena sudah ada pemesanan senjata yang (kesannya) akan digunakan untuk membantai umat muslim seperti yang terjadi di Maluku. Padahal faktanya tidak demikian, menurut Menkopolhulkam Wiranto, setelah dikonfirmasi kepada panglima TNI, KAPOLRI, Kepala BIN dan instansi terkait, terdapat 500 pucuk senjata laras pendek buatan PINDAD (bukan 5000 pucuk dan bukan standar TNI) oleh BIN untuk keperluan pendidikan Intelejen. Fakta ini kemudian saya share ke grup, dengan tujuan agar berita bohong (hoax) ini tidak lagi disebarluaskan.
Hoax dengan bumbu sentimen SARA dan ujaran kebencian semacam ini hampir setiap saat muncul di Smarthphone saya. Tersaji dalam berbagai bentuk, dan tersebar melalui berbagai media sosial (medsos) yang saya miliki, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Selain dalam bentuk broadcast yang disebarkan melalui grup-grup WA, seperti yang saya contohkan di atas, di Facebook juga tidak sedikit yang menulis status  atau mengunggah link-link senada,  yang memicu debat kusir di kolom komentar, kemudian berujung pada pertengkaran, bahkan saling unfriend dan saling blokir. Bukan hanya itu, di Instagram juga bertebaran meme-meme yang melecehkan seseorang, golongan, ataupun kelompok tertentu. Belum lagi di Twitter, setiap saat muncul cuitan berupa sindirian atau ujaran bernada provokatif yang bertujuan untuk menggiring opini publik. Begitulah situasi di medsos saat ini, begitu gaduh, simpang siur, kadang menyesatkan. Lantas sebagai pendidik, apakah kita hanya akan tinggal diam manakala keluarga, siswa, serta masyarakat di lingkungan sekitar kita ikut terseret dalam lingkaran (siklus) kegaduhan tersebut? Tentu saja tidak, karena hal yang terlihat sepele ini, jika kita biarkan dapat menjadi “predator” berbahaya bagi kebinekaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kita perlu memberikan edukasi, agar mereka mampu mendeteksi darimana dan bagaimana siklus ini dimulai, untuk kemudian memotong rantai peredarannya, sehingga “predator” kebhinekaan yang bernama hoax ini bisa kita musnahkan bersama-sama, atau setidaknya bisa kita hambat pertumbuhannya.

Siklus Hoax
Di era kegaduhan informasi ini, tidak perlu cara yang rumit untuk mempengaruhi pikiran publik. Cukup dengan informasi bohong yang dikemas ala kadarnya, asalkan sudah diunggah pada pangsa pasar yang sesuai dan dibaca oleh kelompok yang merasa satu pandangan maka berita tersebut akan sangat mudah untuk “diamini” dan “diimani” sebagai fakta, untuk kemudian disebarkan kemana-mana. Hal ini terjadi karena saat ini masyarakat kita banyak yang terjebak dalam Post-Truth. Menurut Oxford Dictionaries Post-Truth diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang objektif.
Post-truth menggambarkan bagaiman fakta tidak lagi dominan dalam mempengaruhi pemikiran orang, karena unsur perasaanlah yang lebih dikedepankan. Seolah hoax bukan tentang fact or fake, namun tentang like or dislike. Jika demikian, tentunya akan sangat mudah bagi penebar hoax untuk menginfluence pikiran  publik, terutama terhadap kelompok yang merasa satu pandangan. Dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, saat ini penggiringan opini menjadi pekerjaan yang mudah dan murah, hanya dengan situs anonim, Facebook, Twitter, serta Instagram fake, informasi sesat yang mereka publish dalam sekejap mata dapat diviralkan di berbagai penjuru jagad maya. Seperti yang dilakukan oleh Saracen, sindikat pebisnis berita hoax, konten tulisan berbau SARA, dan ujaran kebencian. Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap bahwa sindikat Saracen beraktivitas dengan menggunakan grup Facebook. Diantaranya, melalui Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracen News.com yang telah beroperasi untuk menggalang lebih dari 800.000 akun. Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan trend di media sosial. Unggahan tersebut biasanya berupa kata-kata, narasi ataupun meme yang dapat menggiring opini negatif terhadap kelompok tertentu.
Selain Saracen, dari data yang telah dirilis oleh kementerian Komunikasi dan Informatika, di Indonesia setidaknya terdapat sekitar 800 ribu situs penyebar konten hoax. Itu adalah angka yang sangat fantastis, bayangkan saja, jika konten hoax tersebut di-share di semua akun yang mereka miliki, maka dalam sekejap mata akan dibaca oleh jutaan followers-nya, belum lagi jika kemudian di-repost dan di-broadcast kembali melalui berbagai medsos. Betapa banyak kerusakan yang telah mereka ciptakan hanya dalam hitungan detik. Ini adalah kejahatan luar biasa, jutaan orang menangkap informasi sesat hanya dalam sekali “klik”. Apalagi setengah lebih penduduk Indonesia telah menggunakan internet, sehingga produk informasi sesat tersebut akan sangat mudah untuk diviralkan. Banyaknya pengguna internet di Indonesia dapat diketahui dari hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang menyatakan bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta.  Sedangkan konten media sosial yang paling banyak dikunjungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54 % dan urutan kedua adalah Instagram sebesar 19,9 juta user atau 15 %,  selanjutnya  jumlah pengguna Twitter sebanyak 7,9 juta pengguna atau 5,5 %.

Mengenali “Predator” Kebhinekaan
Setiap warganet berpotensi untuk menjadi agen hoax, oleh karena itu kita harus menyadari bahwa tidak semua informasi yang diperoleh melalui medsos bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jangan mudah terdistorsi oleh informasi yang kelihatannya faktual namun menyesatkan, kenali terlebih dahulu apakah berita tersebut memang benar ataukah hanya dusta yang berkedok kebenaran. Berdasarkan potongan broadcast yang saya cantumkan di atas, sebenarnya berita hoax  dapat kita identifikasi, langkah yang pertama adalah dengan melihat judulnya, yang terkesan heboh, berlebihan, dan provokatif. Selain itu berita tersebut juga tidak mencantumkan sumber maupun penulis, sehingga tidak ada yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kebenaran dari isi berita. Selanjutnya lihatlah gaya tulisannya yang terkesan amatir, dimana setiap kata diawali dengan huruf besar, ini menyalahi kaidah penulisan yang baku. Kemudian kita periksa isinya, berita tersebut memuat klaim berlebihan mengenai jumlah senjata, yang katanya berjumlah 5000 ternyata hanya 500, selain itu isi berita tersebut juga terkesan provokatif dan dapat menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu. Jika kita menjumpai berita yang demikian, maka sebelum di-share perlu diverifikasi terlebih dahulu, cross chek dengan sumber lain sehingga kebenarannya dapat dipastikan.
Banyak cara untuk memverifikasi kebenaran ataupun kepalsuan sebuah  informasi di internet. Pertama adalah dengan melakukan cross chek berita ke sumber lain yang kredibel, jika tidak ada kesesuaian berita maka patut diduga berita tersebut hoax. Selanjutnya dengan mengecek “disclaimer” untuk mengetahui keterangan dari situs yang memuat berita yang terindikasi hoax. Biasanya disclaimer berada di atas atau paling bawah halaman web, ada juga yang berada diantara artikel. Jika situs tidak mencantumkan keterangan apapun tentang mereka, maka sudah dipastikan bahwa itu adalah situs berita palsu. Adapaun cara yang paling mudah adalah dengan mengunjungi situs-situs yang ahli dalam membongkar hoax, yaitu Sekoci.org, Snopes.com, Hoax-Slayer.com, Hoax or Fact, Thats nonsense, Hoax-net.be., Ellinikahoaxes.gr, hoaxes.org, dan Indonesia Report yang menyajikan kategori Hoax atau Fakta. Sedangkan untuk memverifikasi keaslian gambar bisa melalui Findexif.com, Exif Viewer Jeffrey, Foto Forensik, Google Pencarian Gambar, TinEye.com, ImageRaider, serta JPEGsnoop.

Putuskan Rantainya, Rawat Kebhinekaannya
Tidak dapat dipungkiri di abad virtual dewasa ini, arus informasi dapat bertukar dengan sangat cepat, mudah dan murah. Informasi apapun bisa dibuat oleh siapapun, dan dapat disebarkan kemanapun dalam kecepatan cahaya, tanpa harus mengeluarkan biaya mahal. Kini seluruh warganet adalah prosumen, produsen sekaligus konsumen informasi. Efek langsung fenomena prosumen adalah ledakan suplai informasi yang bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Melimpahnya suplai ini, memudahkan kita dalam menemukan informasi apapun di internet. Bahkan terlalu mudah, karena informasi yang tersedia jauh melebihi kebutuhan kita. Dalam semburan melimpahnya informasi itu, tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana memilah dan memilih informasi mana yang dibutuhkan dan dipercaya. Jika kita telah mampu mengidentifikasi informasi mana yang bisa kita serap dan mana yang harus kita abaikan, setidaknya kita akan mampu memutuskan rantai peredaran hoax yang telah merugikan begitu banyak pihak.
Saat ini banyak praktik penyusunan dan penyampaian informasi yang dengan sengaja dibuat menyesatkan dengan tujuan yang beragam, mulai dari yang hanya main-main, agitasi yang bersifat menghasut, politik, propaganda, dan kepentingan yang berorientasi kepada ekonomi. Entah untuk kepentingan apapun itu, mereka telah mendulang keuntungan besar dari praktik penyebaran hoax tersebut, misal Saracen yang bisa mendapatkan keuntungan finansial hingga 750-800 juta rupiah dari bisnis kebencian yang mereka kelola. Politikus yang menggunakan cara keji ini juga telah mendapatkan keuntungan berupa jatuhnya citra lawan politik mereka, hingga mulusnya jalan menuju kursi kekuasaan yang diidamkan. Namun segala keuntungan itu hanyalah milik mereka, sedangkan warganet yang tanpa disadari telah menjadi agen penebar dusta, kebencian, dan isu SARA tidak mendapatkan apapun, bahkan bisa terancam pidana. Contohnya seperti yang terjadi pada Jonru Ginting, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap telah melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE, yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditunjukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Lebih dari itu, hal yang paling berbahaya dari fenomena hoax, ujaran kebencian, dan sentimen SARA yang sedang booming saat ini adalah terancamnya kebhinekaan di negeri kita tercinta. Tidak mudah menjaga keutuhan negara kepulauan terbesar di dunia, seperti Indonesia, yang di dalamnya terdapat begitu banyak perbedaan. Bayangkan saja,  Indonesia memiliki lebih dari 18.306 pulau, dihuni oleh 254,9 juta manusia yang memeluk 6 Agama berbeda, terdiri dari 300 kelompok etnis dan 1.340 suku bangsa, dengan 1.211 bahasa daerah, terbentang dari barat ke timur sepanjang 5.193.250 km melintasi tiga zona waktu, dengan luas wilayah 3.977 mil dari Samudera Indonesia hingga Samudera Pasifik. Betapa kayanya Indonesia, sehingga sangat pantas jika bangsa ini di sebut sebagai sekeping surga yang diturunkan Tuhan di muka bumi. Namun surga ini bisa menjadi neraka, jika orang-orang yang hidup di dalamnya tidak mampu merawat apa yang ada. Dari sekian banyak hal yang dimiliki oleh bangsa ini, kebhinekaan merupakan hal yang paling indah dan berharga, namun sekaligus juga berbahaya.  Oleh karena itu, mari tanggalkan dan abaikan segala hal yang dapat mengoyak keping kebhinekaan kita, jangan pernah memberikan ruang bagi mereka yang ingin merusak dan memecah belah persatuan dan kesatuan yang sejauh ini sudah berhasil kita pelihara.
Kita memang tidak bisa menghindar dari pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Era globalisasi menyebabkan setiap masyarakat modern mustahil untuk bisa mengisolasi diri dari pergaulan. Setiap masyarakat modern mau tidak mau harus selalu bersentuhan dengan masyarakat modern yang lain, baik dalam kehidupan ekonomi, maupun dalam kehidupan sosial, politik, atau pun kultural. Jika kita berusaha untuk menolak takdir sebagai masyarakat modern, dan memilih untuk mengasingkan diri maka kita akan menjadi masyarakat yang “kuper” dan “out of date”. Untuk itu sebagai pendidik, kita harus mampu berperan aktif dalam mempersiapkan generasi muda yang tetap “gaul” namun juga tangguh dalam menghadapi tantangan jaman, terutama menghadapi gempuran hoax yang dapat merusak sendi-sendi kebhinekaan bangsa Indonesia. Proses belajar mengajar harus selalu memberikan penekanan pada pentingnya toleransi, kerjasama, serta melatih anak untuk berpikir kritis dan analitis, sehingga mereka lebih peka terhadap perubahan jaman. Selanjutnya kita tanamkan pemahaman kepada para siswa agar tidak mudah terdistorsi oleh isu-isu berbau SARA yang dapat memicu perpecahan, sehingga keutuhan NKRI dapat terus terpelihara, karena ke depan di tangan merekalah bangsa ini akan kita wariskan.
Seluruh elemen masyarakat harus bersatu padu untuk melawan hoax, ujaran kebencian, dan diskriminasi SARA yang merupakan “predator” berbahaya bagi keutuhan NKRI. Memang tidak mudah untuk memerangi keberadaan konten hoax di jagad maya, namun setidaknya kita dapat menekan laju pertumbuhannya dengan melaporkan situs-situs di website maupun akun-akun di media sosial yang yang terindikasi menyebarkan konten hoax, sehingga akan diblokir oleh pihak terkait.  Selain itu cara mudah namun efektif yang bisa kita tempuh untuk memutus rantai siklus hoax yaitu dengan berhenti me-repost dan me-broadcast informasi yang tidak bermanfaat. Ketika kita mendapatkan informasi dan ingin mengeshare kembali, sebaiknya tabayyun terlebih dahulu, pastikan informasi tersebut benar dan bermanfaat. Meskipun benar jika itu tidak bermanfaat jangan disebarkan, karena menurut hadist Bukhari Muslim “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, katakanlah kebaikan atau diamlah.” Make sure before sharing, karena “Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tetapi satu telunjuk (tulisan) sanggup menembus jutaan kepala.” (Sayyid Quthb)            

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Faris Khoirul. 2009. Fikih Jurnalistik (Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Amir Piliang, Yasraf. 2004. Dunia yang Dilipat (Tamasya melampaui Batas-batas Kebudayaan). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra
Asyrik, Rahim, dkk. 2015. Komunikasi Media dan Masyarakat (Membedah Absurditas Budaya Indonesia). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset
Emmerson, Donald K. 2001. Indonesia Beyond Soeharto q: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta : Gramedia.
Huda, Khoirul, dkk. 2004. Pendidikan HAM (Modal Fundamental Bagi Anak Didik Indonesia). Jakarta; CV. Fauzan Inti Kreasi (FIKRI)
Isparmo. 2016. Data Statistik Pengguan Internet Indonesia Tahun 2016. (Online)
Jordan, Ray. 2016. Menkominfo: Hampir 800 Ribu Situs Sebar Hoax di Internet. Detik News (Online)
Ryandi. Dimas. 2017. Wiranto Luruskan Info Soal 5.000 Senjata Versi Panglima TNI, Simak Ini. (Online)
Setiawan. 2014. Kompas : Gunakan Data Resmi (online)
(https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170404/281642485018747. Diakses pada Jum’at,  29 September 2107, pukul 17.01)
Supriansyah. 2017. Vox Hoax Vox Dei. (Online)
(https://geotimes.co.id/kolom/sosial/vox-hoax-vox-dei, diakses pada Sabtu, 30 September 2017)
Team Indonesian Report. 2016. 6 Cara Verifikasi Kebenaran atau Kepalsuan Informasi Online. (Online)
(http://www.indonesiareport.com./6-cara-verifikasi-kebenaran-atau-kepalsuan-informasi-online, diakses Sabtu, 30 September 2017).
Team Indonesian Report. 2016. Cara Mendeteksi Informasi Berita Apakah Sebuah Tipuan Hoax. (Online). 
     http://www.indonesiareport.com./cara-mendeteksi-informasi-berita-apakah-sebuah-tipuan-hoax, diakses Sabtu, 30 September 2017)