Wednesday, November 8, 2017

Serpih Kisah di Sabah || Cerpen

Taman di Sabah, Dok. Pribadi
arifsae.com, cerpen - Aku senang bisa bergabung dilingkungan sekolah CLC Kuari 3 Gum Gum, Sandakan, Sabah. Aku bergabung dengan CLC ini dari awal bulan agustus 2017. Sekolah ini baru didirikan tahun 2016 dan diresmikan menjadi CLC pada bulan Mei tahun 2017 oleh Konjen Kota Kinabalu. Kata Pengelola, bangunan CLC itu merupakan bangunan bekas kandang bebek. Karena usahanyalah, akhrnya kandang Bebek ini disulap menjadi sekolah.

Banyak pengalaman baru di minggu pertama saat bergabung dengan sekolah ini. Diantaranya adalah kegiatan mempromosikan CLC di ladang-ladang sawit terdekat. Meski sudah satu tahun beroperasi, tapi masih banyak warga migran asal Indonesia tidak tahu ada sekolah berkurikulum Indonesia di Sabah terutama di distrik Sandakan. Migran asal Indonesia yang tinggal di kawasan dekat sekolah umumnya bekerja sebagai penjaga ladang sawit persendirian (perorangan). Satu keluarga biasanya menjaga kebun sawit yang luasnya rata-rata 20-50 ekar. Cukup luas untuk dikerjakan hanya oleh satu pasang suami istri.

Melihat satu rumah yang ada di tengah luasnya ladang sawit itu tidak mudah. Jadi untuk mengefektifkan pencarian, kami pun mengumpulkan informasi dari beberapa wali murid yang mengenal dan tahu jalan menuju rumah migran Indonesia yang tinggal di daerah sekitar CLC. Kami menemukan beberapa keluarga yang memiliki anak usia sekolah dan layaknya seorang “sales” kami pun mempromosikan CLC. Saat mempromosikan CLC, Ibu pengelola selalu bercerita kalau bebeknya sekarang berubah menjadi manusia. Aku tahu itu hanya candaan untuk mencairkan suasana.

Disaat perkenalan kerumah-rumah, aku selalu mendengar ibu pengelola memperkenalkanku dengan sebutan, “Guru yang sengaja dikirim Pak Jokowi untuk mengajar anak-anak Indonesia disini”.

Saya hanya tersenyum mendengarnya. Ada juga yang tertawa ketika mendengarnya. Suasana yang cair, dengan penyampaian yang sopan cukup membuka hati dari bapak-ibu pemilik rumah. Alhasil, dari perjalanan hari itu kami berhasil memperoleh 11 orang murid baru. Selain itu, aku pribadi jadi banyak tahu informasi mengenai migran. Mulai dari banyaknya warga migran Indonesia di Sabah yang tidak memiliki dokumen, bagaimana mereka bisa masuk negara lain tanpa paspor, pengetahuan mereka tentang perwakilan Indonesia diluar negeri (KJRI), hubungan dengan  majikan, dan kesadaran pendidikan untuk masa depan anak-anaknya.

Dari semua itu, yang membuatku merasa lega adalah, semangat mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya. Aku pikir sedikit demi sedikit akan terkikis permasalahan migran seiring pengetahuan mereka bertambah, tentunya melalui adanya CLC ini. Dalam perjalanan-perjalanan promosi selanjutnya aku mulai belajar bahasa Sabah dan sedikit demi sedikit ikut bicara. Dari beberapa kosa kata yang aku pelajari dan sering ku pakai saat belajar Matematika adalah kata “ngam’ yang berarti pas atau cocok, ada juga “jom” yang berarti ayo, dan kata khas dari orang Sabah, yaitu “bah”, artinya kurang lebih oke.

Bahasa Sabah memang sedikit berbeda, tapi memang hampir sama dengan bahasa Indonesia, bagaimanapun mereka menggunakan bahasa Melayu. Bahasa yang hampir mirip dengan bahasa Indonesia. Tidak jarang juga bahasanya aneh, bahkan terdengar menggelikan. Salah satu bahasa baru yang aku peroleh adalah “Om”. Menurut anak-anak, sebagian besar murid-murid di CLC Kuari 3 Gum Gum merupakan bangsa Om.

Di Sabah bangsa Om adalah bangsa keturunan orang Timur. Aku baru tahu ketika suatu hari guru lain memanggil anak keturunan Timur “Om”. Aneh juga, karena sepengetahuanku Om adalah adik laki-laki dari Ayah atau Ibu kita.

Awalnya aku terkejut dengan kata-kata kawan guru, “Laki-laki ataupun perempuan yang lahir dari bapak atau mamak orang Timur, maka dia seorang Om”. Aku yang masih baru, belum percaya dengan perkataan kawan guru itu. Sampai ada satu cerita mengenai seorang perempuan yang benar-benar mengaku sebagai Om.

Suatu hari muridku yang bernama Windi sedang bertugas menyapu kantor guru, kemudian aku meminta tolong padanya untuk menggeser lemari kecil, “Windi, bisa tidak bantu ibu geser lemari ini?”.

Windi menjawab dengan yakin, “Bisa, Bu”.

“Kuat?” Aku tanya lagi.

“Kuat Bu, aku kan Om”, Jawabnya dengan senyum.

Aku pun tersenyum melihat semangatnya, terlebih dengan jawabanya yang menggunakan kata Om. Kemudian aku jelaskan bahwa menurut bahasa Indonesia Om berarti adik laki-laki dari Ayah atau Ibu. Dia nampaknya tidak paham, hanya garuk-garuk kepalanya sambil tersenyum kecil.

Bukan hanya disitu, kata Om muncul lagi saat aku akan melakukan Jum’at bersih. Aku merencanakan untuk membuat parit ditepi kelas, karena setiap hujan selalu banjir, tidak ada saluran air. Saat di kelas aku mengajak anak laki-laki untuk keluar mengambil peralatan semacam cangkul dan sekop. Saat akan memulai kerja, tiba-tiba salah seorang guru menyuruh semua anak laki-laki kelas 5 membantunya membuat dinding kelas 3 dan 4.

Dengan suara layaknya seorang komandan ketua kelas langsung menyuruh anak perempuan menggantikan mereka, “Hey, Om-Om. Bantu Ibu buat parit dulu”. Perempuan-perempuan yang sedang menanam bunga itu langsung berdiri dan mengambil alih pekerjaan anak laki-laki.

Aku hanya termangu melihat mereka. Sekali lagi aku bertanya memastikan, “Kenapa kalian dipanggil Om? kalian kan perempuan?”.

Mereka jawab, “Iya lah Ibu, kami memang Om”.

“Kenapa bisa begitu?” Aku pura-pura tidak tahu.

“Iya bu, ibu liat kami syak (saja) rambut keriting, kulit hitam, kan? Itu lah itu, dorang (mereka) sebut kami Om”. Aku terangguk-angguk sambil tersenyum mendengar alasan mereka.

Suatu kali teman guru bercerita tentang Om yang melahirkan sendiri. Aku pun terperanjat saat mendengar ada Om yang bisa melahirkan. Saat itu aku masih benar-benar belum bisa menerima perempuan bangsa Timur juga disebut Om. Jadi sering aku lupa kalau sebutan Om juga berlaku untuk perempuan. Pikiranku sudah yang melayang-layang, transgender lah, berubah kelamin, apa lah, lain-lain. Ujung cerita guru tersebut menyebut Om tersebut makcik (bibi), barulah teringat kalau Om versi Sabah itu berbeda dengan Om dalam bahasa Indonesia.

Di Sabah, bangsa Om terkenal kuat kerja dan tahu kerja (telaten dalam bekerja). Tidak heran para Tokek (majikan) senang memiliki pekerja bangsa Om walaupun mereka tidak punya dokumen atau paspor. Bahkan sampai ada yang dibuatkan paspor supaya tidak pindah kerja.
                                                           ***
Selain pengalaman diladang, pengalaman lainnya juga aku dapatkan ketika terjadi kompetisi antara siswa CLC setingkat SD se-Sabah. Setiap tahun, Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) mengadakan kompetisi-kompetisi antar CLC se Sabah. Salah satunya kompetisi yang diadakan di bulan Agustus yaitu KS2O (Kompetisi Sains, Seni dan Olahraga). Diadakan sebagai ajang unjuk kemampuan anak-anak CLC SD. Bidang yang dilombakan, Sains yaitu IPA dan Matematika, Seni yang mencakup seni lukis dan menyanyi, dan pidato.

Agustus 2017 untuk pertama kalinya CLC Kuari 3 Gum Gum ikut andil dalam kompetisi tersebut. Baru seminggu bertugas di CLC Kuari 3 Gum Gum aku langsung mendapatkan kesempatan untuk mendampingi anak-anak mengikuti lomba KS2O di SIKK. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan pertama anak-anak keluar dari distrik Sandakan. Pengalaman pertama juga buatku ke SIKK, sekolah induk CLC-CLC yang ada di Sabah ini.

Seperti yang sudah di ceritakan sebelumnya bahwa di Sabah banyak juga migran asal Indonesia yang tidak memiliki dokumen, sehingga berimbas kepada anak-anak mereka. Ada juga yang memiliki dokumen/pasport tetapi anak-anak mereka belum bisa memilikinya karena aturan pembuatan paspor seperti masalah penjaminan ataupun tidak adanya dokumen kelahiran.

Jadi kelima anak yang mewakili CLC Kuari 3 Gum Gum adalah anak-anak yang tidak memiliki paspor. Oleh karena itu mereka hampir tidak pernah keluar ladang. Keluar pun hanya untuk ke Gereja, membeli perlengkapan sekolah, atau sekedar ikut ibunya ke pasar terdekat. Tentunya dengan hati yang selalu waspada, takut ketahuan polisi Diraja Malaysia yang kerap kali melakukan checking di area dekat Bandar/Kota.

Lain cerita saat mereka pergi ke Kota Kinabalu, mereka tidak harus sembunyi saat bertemu dengan polisi di perjalanan. Ada surat jalan yang dikeluarkan oleh Sekolah Indonesia Kota Kinabalu yang bercap KJRI KK. Dalam surat tersebut diterangkan bahwa lima orang itu adalah seorang murid CLC yang akan mengikuti lomba di SIKK. Tembusan surat tersebut juga sangat banyak, termasuk polisi Diraja Malaysia. Jadi semua aman selama perjalanan menuju ke SIKK.

Dalam perjalan tersebut anak-anak tidak bisa diam, saking senangnya. Ada yang membaca tulisan rambu-rambu, ada yang sibuk melihat jendela kanan kiri mobil. Walaupun sebetulnya sepanjang perjalanan yang tampak di kanan dan kiri jalan juga sama di ladang persawitan. Menurutku sedikit membosankan, tapi entahlah anak-anak selalu punya fantasi berbeda-beda. Satu ketika ada anak yang melihat gunung, kemudian dia bertanya,

“Ibu, ini gunung apa?”

“Gunung Kinabalu, nak.”

“Besarnya Gunung Kinabalu. Bu, Kenapa aku nampak di buku kecil?” Seketika semua yang ada di dalam mobil tertawa.

“Iya lah, itu kan gambar dalam buku, coba kau gambar dengan kau punya henset (HP).” Kata anak yang lain.

Aku hanya senyum melihat tingkah laku mereka. Saat di kota Ranau, kami menyempatkan mampir ke obyek wisata air panas yaitu Poring, letaknya di kaki gunung Kinabalu. Dari kota Ranau, Poring ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit. Ini juga pertama kalinya anak-anak melihat air terjun dan air panas alami.

Saat melihat kolam air panas, anak-anak langsung membuka sepatu mereka dan langsung mecelupkan kakinya dikolam tersebut. Ditengah takjubnya mereka merasakan air panas, tiba-tiba ada yang bertanya,

“Bu, siapa yang masak air panas ni? Pasti penat.”

“Hmmm, air ini ndak di masak, nak.”

“Macam mana boleh panas begini, bu?”

“Tuhan yang ciptakan, kan bu?”, Sela anak yang lain.

Beruntung guru yang lain menjawab pertanyaan itu dengan sabar. Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Perjalanan di Poring kami lanjutkan menuju air terjun. Lagi-lagi anak yang sama bertanya,

“Ibu, siapa yang kasih turun ni air? Dari mana air ni, Bu? Banyaknya air.”

Mereka takjub dengan keindahan dan kesegaran airnya. Untuk pertama kalinya mereka menyentuh air terjun dari gunung Kinabalu.

“Wah, sejuknya.” Seorang bereaksi setelah merendamkan kakinya di aliran air. Baru saat itu mereka merasakan kesegaran air dari gunung. Di ladang sawit sekitar Sandakan, air bersih sulit didapatkan. Mereka yang tinggal diladang kebanyakan menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, mandi, cuci, masak dan minum.

Teringat dengan pertanyaan yang belum sempat ku jawab, aku menghampiri anak yang bertanya. Kemudian aku jelaskan mengapa ada banyak air di gunung, sampai menjadi air terjun. Entah jawabanku memuaskan rasa ingin tahunya atau tidak. Saat itu aku merasa ada banyak hal yang harus aku pelajari, karena anak-anak seringkali menanyakan hal yang tidak terduga. Perjalanan kala itu berujung dengan bahagia hingga sampai ke SIKK dengan selamat.

Hari berikutnya mereka berlomba menunjukkan kemampuan yang selama ini tidak ditunjukkan kepada siapapun. Untuk pertama kalinya mereka menunjukkan bakat yang mereka miliki didepan dewan juri perlombaan. CLC Kuari 3 Gum Gum yang baru pertama kali mengikuti perlombaan tidak menargetkan juara, Sekolah hanya mau menunjukkan bakat anak-anak didikannya. Hal ini juga menjadikan anak-anak merasa tidak terbebani. Alhasil, ada seorang anak yang berhasil menempati juara ke-3 Matematika.

Hari itu, mereka pertama kali memegang piala. Penuh haru, Pengelola dan Guru memberikan selamat kepada semua anak-anak yang dengan berani menampilkan bakat terbaiknya. Sungguh tidak terduga, anak-anak CLC Kuari 3 Gum Gum mampu mendapatkan juara 3. Aku bangga sekaligus haru dengan mereka, ini akan menjadi penyemangat mereka untuk kedepannya.
                                                       ***
Meskipun banyak bakat yang tersembunyi di Gum-Gum. Banyak anak-anak yang tidak tersentuh pendidikan, akhirnya pergaulan mereka tidak bisa terkontrol, banyak hal negatif yang aku dengar dari kisah disini. Salah satunya adalah isap batu. Apa yang ada di benak saat pertama kali mendengar kata isap batu?

Aku sendiri membayangkan kegiatan menghisap batu itu semacam cara menyembuhkan penyakit. Tapi 180 derajat terbalik. Ungkapan isap batu di Sabah berarti menggunakan narkoba atau dadah dalam bahasa Sabah.

Pertama kali aku mendengar ungkapan ini dari anak murid. Pada suatu siang yang panas, di jam istirahat sengaja aku duduk di bawah Pohon Sukun yang tumbuh di depan kantor guru. Disamping pohon ada segerombolan anak-anak kelas 3 dan 4 yang sedang asik mengobrol. Obrolan itu nampak serius dan mencekam, menimbulkan rasa inign tahuku.

Seorang anak mengatakan, “Semalam ada yang isap batu.” 

Aku pun mendekat sambil bertanya, “Apa itu isap batu?”

Sherlin menjelaskan, “Itu Bu, yang suka di isap bujang-bujang.”

Fakhrul yang paling kecil ikut menyahut, “Itu Bu, kalo isap batu ditangkap polis.”

“Begitu kah?”  Jawabku.

Burhan yang sedang main bola mendengarkan percakapanku, dia pun datang dan menjelaskan, “Yang putih macam tepung, Bu. Terus dihisap dengan astro (sedotan). Dorang suka tuh hisap-hisap”.

Dari penjelasannya nampak banyak mengetahui tentang batu yang diisap itu, “Barangkali di lingkungan tempat tinggalnya, banyak yang menghisap batu.” Pikirku.

Benar saja dugaanku, saat aku tanya memang dia sering nampak (melihat) orang menghisap batu di lingkungan rumahnya. Bukan keluarganya, melainkan para bujang tetangganya. Tetapi yang masih aku pikirkan, “Batu jenis apa yang dihisap-hisap?”

Tidak puas dengan penjelasan murid, saat di kantor aku langsung menanyakannya kepada kawan guru. Barulah aku tahu bahwa batu yang dimaksud adalah narkoba sejenis sabu-sabu. Merinding mengingat banyak anak-anak yang sudah tahu batu (narkoba).

Penasaran sejauh mana pengetahuan anak-anak tentang batu, hampir di setiap kelas aku banyak bertanya pada anak-anak. Mulai dari mana barang itu didapatkan, hargnya, gunanya, efeknya pada tubuh dan akibat dari penggunaan batu. Sedikit melegakan karena anak-anak sudah banyak yang tahu batu adalah barang yang dilarang, baik oleh pemerintah maupun dari segi agama. Namun tetap saja ada perasaan khawatir. Apalagi banyak sekali aku mendengar bahwa di area Sandakan merupakan sarang pengedar batu.

Pengalaman mengajar sekolah setingkat CLC SD menurutku pengalaman yang luar biasa. Aku benar-benar baru merasakan sosok guru dimata anak-anak adalah selalu benar, apa yang dikatakan guru, yang dilakukan guru akan diikuti oleh anak-anak. Dari pembelajaran ini aku jadi semakin hati-hati. Baik dalam bertutur kata, juga berkelakuan dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan apa yang aku lakukan akan terkenang di hati anak-anak, setidaknya mereka akan ingat diriku ini yang baik-baik saja.

Oleh: Febriana Dwi Margi Lestari, CLC Gum Gum