Monday, July 16, 2018

Mengakhiri Ekspolitasi Politik Pada Anak

Satelitpos 14 Juli 2018
arifsae.com - Dari pemilu kepemilu, eksploitasi politik pada anak terus bertransformasi. Kondisi ini terjadi diberbagai daerah pemilihan di Indonesia, yang justru didalangi oleh orang-orang terdekatnya. Bahkan, eksploitasi ini kadang dilanggar oleh pasangan calon (paslon) itu sendiri demi mensukseskan hajat politknya.

Mencegah eksploitasi politik pada anak membutuhkan peran aktif dari semua elemen masyarakat. Tidak hanya aparat yang berwenang, tapi juga harus melibatkan seluruh pihak terkait, terutama keluarga dan sekolah sebagai tempat membentuk pondasi dan memproduksi generasi penentu bangsa.

Temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak awal kampanye pilkada 2018 nampaknya cukup menjadi bukti. Tercatat selama Februari-April 2018 saja, terdapat 22 kasus eksploitasi politik pada anak. Padahal, berdasarkan data, saat ini terdapat sekitar 80 juta anak atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara saat ini, terdapat 10 juta anak dari 171 daerah yang akan menggelar Pilkada serentak 2018.

Ralita dilapangan, eksploitasi politik pada anak ini terus terjadi. Justeru, tak jarang aktor utamanya berasal dari orang tua sendiri. Mereka mengajak anaknya untuk mengkuti pilihan politiknya, bahkan tak jarang motif ekonomi dan konsumtif menjadi pemicunya.

Ekspolitasi politik pada anak jelas tidak dibenarkan. Norma ini jelas diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014, dalam penjelasan Pasal 15 tertuang, setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Inilah yang menjadi norma yuridis untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab perlindungan pada anak.

Kendati sudah tertuang jelas dalam peraturan perundangan, nampaknya eksploitasi politik anak tetap akan rawan terjadi. Khususnya dalam tahun politik yang semakin memanas hingga puncaknya pemilu 2019 nanti. Pasalnya, hanya sanksi administrasi yang akan didapatkan pagi sang pelanggar. Ini menjadi lampu kuning akan bencana eksploitasi politik pada anak.

Refungsionalisasi Keluarga

Selain mempercayakan kepada instansi pemangku kepentingan, seperti KPAI dan Bawaslu untuk mencegah peristiwa ini terjadi lagi, kita juga harus melakukan tindakan yang konkret dengan menempatkan anak pada zona aman dari eksploitasi politik. Pertama-tama dengan refungsionalisasi atau mengembalikan fungsi sesungguhnya dari keluarga.

Keluarga merupakan satu kesatuan yang terpadu. Menurut Ki Hajar Dewantara, keluarga merupakan kumpulan beberapa orang yang terikat, mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki, esensial, nyaman, dan berkehendak bersama-sama memperteguh untuk memuliakan anggotanya. Sedangkan fungsi keluarga, menurut ahli sosiologi Friedman (Zaidin Ali, 2006), meliputi fungsi aktif, sosialisasi, reproduski, ekonomi, dan perawatan. Apabila setiap unit keluarga melakukan fungsi tersebut, niscaya tak akan ada eksploitasi politik pada anak lagi.

Akan tetapi, banyak unit keluarga yang mengalami disfungsi. Fakta ini bisa dijumpai justu ketika orang tua sendirilah yang mengajak anak ikut berkampanye. Inilah yang menjadi dilema disfungsi keluarga, dan faktor ekonomi menjadi pemicu terbesarnya. Disinilah lunturnya pola edukasi orang tua, sehingga acuh pada perkembangan anaknya. Dalam kondisi ini, keluarga bukan lagi tempat zona nyaman edukasi anak.

Hal ini bisa membentuk persepsi anak yang masih sangat mudah menerima rangsangan dari dunia luar. Driver (Susanti, 2003) mengatakan persepsi sebagai sebuah pengenalan sesuatu dengan menggunakan panca indera. Pembentukan persepsi sangat ditentukan oleh latar belakang sosial, pendidikan dan pengalaman proses pembelajaran serta juga pengaruh dari lingkungan sekitar.

Kampanye yang tak ramah anak akan mempengaruhi persepsi dan perkembangan mental mereka. Aktifitas kampanye biasaya menggunakan bahasa provokasi, tindakan intimidasi bahkan contoh diskriminasi kepada kelompok lain yang berbeda pilihannya. Disinilah refungsionalisasi keluarga harus dihidupkan.

Keluarga merupakan pembentuk dasar peradaban masyarakat. Butuh kedewasaan berfikir secara sadar dari setiap orang tua untuk menumbuhkan pendidikan politik sejak dini. Pendidikan politik ini lebih dikenal sebagai political forming karena terkandung intensitas membentuk orang “sadar status” politik ditengah masyarakat. Pendidikan politik juga sering disebut politische bilding, karena menyangkut aktifitas menyadarkan diri sendiri sebagai insan politik (Khoirun, dkk. 1999).

Edukasi politik sejak dini yang dilakukan oleh keluarga sangat penting dilakukan. Hal ini karena negara sendiri sudah menjamin hak kewajiban warga negeranya, yang tertuang pada pasal 28B UUD 1945 tentang kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi pada anak. Aksi ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran politik secara benar dan tepat.

Keluarga selayaknya menjadi garda terdepan dalam melindungi eksploitasi politik pada anak. Salah satu caranya dengan tidak mengajak anak-anak dalam segala kegiatan kampanye pemilu. Jika keluarga ingin melakukan kegiatan kampanye, sebaiknya anak dirumah dengan ibunya, begitu sebaliknya. Orang tua harus “mengalah” untuk masa depan anaknya, karena masa-masa tumbuh kembang anak adalah periode emas yang tak akan tergantikan lagi.

Satu Visi Misi

Kolaborasi antar komponen menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Tidak hanya dirumah, namun juga di sekolah sebagai “rumah kedua” yang memiliki andil dalam membentuk karakter anak. Kolaborasi anara orang tua dan pihak sekolah menjadi hal penting. Menurut Paula McCoullough, guru di Okhaloma (2012), ketika orang tua dan sekolah berkolaborasi, maka akan menjadi tim yang tak terkalahkan.

Dengan begitu, antara orang tua, masyarakat, sekolah dan instansi terkait mempunyai satu visi misi untuk tetap melindungi hak perlindungan anak dari ekspoitasi politik. Selain melindungi, orang tua dan sekolah juga mampu mengawal tumbuh kembang anak sehingga bisa melejitkan potensi dan prestasi anak menjadi generasi penentu yang unggul.[]