Friday, August 31, 2018

PP Tawau-Sebatik-Tawau || Hari Ke-357

arifsae.com - Jam menunjukan pukul 03.00 pagi ketika saya sampai di Tawau. Ini adalah langkah kaki pertama menginjakan kaki disini. Tawau merupakan salah satu bagian distrik dari Sabah. Tawau adalah salah satu kota terbesar, setelah Kota Kinabalu dan Sandakan. Jarak dari Kota Kinabalu ke Tawau sekitar 500 km.

Terminal ini juga katanya merupakan terminal baru, dulu bus-bus bisa langsung sampai ke pusat Bandar Tawau. Namun kini beda, kami harus turun di Terminal baru yang masih sepi. Kami harus menggunakan Grab untuk mencapai pusat Bandar Tawau.
Bus Tawau
Katanya ada Pak Agung dari CLC Merotai yang mengunggu. Sampai disana sekitar jam 04.00, sampai di kedai makan. Masih banyak orang-orang yang beraktifitas pagi ini. Kami bincang-bincang sedikit, sambil makan dan pesan tempe. Enak, cukup untuk mengisi perut kosong.

Tidak terasa obrolan sampai pagi hari, jam sudah menunjukan pukul 06.00 pagi. Sudah terang. Bandar Tawau ini sebenarnya sama dengan kota-kota di Sabah. Hanya saja, disini jauh terasa rasa "Indonesia" nya. Karena wilayah ini berbatasan langsung dengan Indonesia.
Menuju Pelabuhan Lama
Masih banyak orang-orang yang makan di kedai ini. Padahal suasana sudah pagi hari, kami berpamitan dengan Pak Agung. Dia mau jalan lagi, sedangkan kami menuju ke pelabuhan menggunakan Grab. Suasana Bandar Tawau memang ramai, bahkan katanya mayoritas orang Indonesia disini.

Sampai di pelabuhan Tawau, kami berjalan. Terus. Dan terus mengikut langkah Pak Bima. Pelabuhan ini tidak terlalu besar, namun cukup dikatakan sebagai pelabuhan. Tidak menggunakan loket tiket, namun menuju ke sebuah kapal kecil yang sudah siap dengan awak nya.
Perjalanan Kapal di Mulai
Kapalnya kecil. Cukup untuk 4-6 orang. Abang kapal hanya bertanya singkat, "Ada dokumen?" Kami tentu saja mengatakan ada. Tidak masalah. Begitupun dengan orang-orang yang mau naik dengan kami. Rasa debar-debar semakin kencang. Inilah "jalur belakang" yang paling ditakuti oleh guru-guru, dan sebenarnya tidak boleh.

Tapi demi keberlangsungan pendidikan anak, resiko ini harus kami lakukan. Kami bertiga meluncur. Deburan ombak sempat terkena ke muka saya, mungkin karena kencangnya laju kapal. Begitu juga dengan baju, menjadikan basah. Rasa asin begitu terasa dimulut. Kami hanya sesekali berpandangan dan hanya senyum kecut.
Jalanan Tikus
Di tengah jalan, awak kapal menghentikan lajunya. Ada pos Polis di tengah laut. Kami semua disuruh untuk mengeluarkan passport. Agak degdegan juga, kalau terjadi apa-apa, tamatlah karir kami, "Mau kemana?" Salah satu polis menanyakan, "Ke Sebatik, menjemput anak di Mutiara Bangsa."

Sepertinya dia memahami. Satu penjagaan terlewati. Lanjut perjalanan, perjalanan ini masih ditemani dengan percikan ombak yang semakin ketengah, semakin besar. Memercik ke badan ini. Asin.
Ditengah Jalan
Di tengah perjalanan, ada pos polis lagi, ini pos kedua. Kali ini berbeda, lebih detail pertannyaanya. Kami disuruh mengeluarkan passport juga. Banyak pertanyaan muncul, namun semuanya dijawab dengan lancar. Tidak ada masalah. Mereka akhirnya juga mengerti dan mempersilakan melanjutkan perjalanan.

Sempat bertanya, berapa pos lagi? Dan benar, setleha melewati deburan ombak yang tinggi, kini kami melewati ombak yang lebih tenang. Kami masuk ke pohon-pohon Bakau, disana ada pos polis lagi. Tidak banyak pertanyaan, hanya mereka menitip Mezon pada awak kapal.
Menginjakan di Sebatik
Dengar kata, "Mezon" seperti tidak percaya. Minuman yang bertebaran bebas di Indonesia, namun tidak ada di Malaysia. Kami melanjutkan perjalan, ini adalah pos terakhir. Perjalanan begitu seru, kelak kelok jalur ini menjadi pemantik adreanalin tersendiri. Banyak kapal-kapal kecil lalu lalang. 

Pohon-pohon Bakau hampir disetiap sudut-sudut jalan ini. Banyak sampah-sampah berserakan disepanjang jalan. Benar-benar menantang. Kami akhirnya jalan pelan, saya lihat sebuah bendera Merah-Putih. Artinya saya sudah masuk ke wilayah Indonesia. 
Masuk Desa Aji Kuning
Rasanya begitu luar biasa. Kaki ini menginjakannya ke tanah. Tanah Sebatik, tepatnya di Desa Aji Kuning. Banyak ojek-ojek kecil berlalu lalang menawarkan tumpangannya. Kami sampai jam 08.00, artinya kami melewati 2 jam perjalanan dari Tawau ke Sebatik ini.

Kami bertiga berjalan, pelan-pelan. Ada terlihat pos polisi dan TNI disepanjang jalan. Banyak bendera Merah-Putih dipasang disepanjang jalan, mungkin karena masih suasana hari kemerdekaan. Kebetulan pos polisi dan TNI ini tidak ada orang, mungkin karena pagi hari.
Monumen Pulau Sebatik
Pak Bima terlihat menelepon orang. Katanya dia menelepon ojek yang akan mengantarkan kami ke SMK Mutiara Bangsa, Sebatik. Sembari menunggu ojek, ada sebuah monumen kecil bergambar Pulau Sebatik dan diatasnya ada tunas kelapa. Pulau Sebatik ini bagian dari Kecamatan Sebatik, kecamatan paling Timur di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantar Utara.

Pulau ini terbagi kedalam dua wilayah Negara, yaitu bagian utara, seluas 187,23 km persegi wilayah bagian Sabah, dan belahan Selatan dengan luas 246,61 km persegi masuk wilayah Indonesia. Karena berbatasan secara lansung, terkadang transaksi keuangan bisa menggunakan ringgit atau rupiah.
Berhenti di Pegadaian
Tukan ojek akhrinya datang, kami menaiki satu persatu motor. Kemudian meluncur ke pusat kota Sebatik. Sambil melihat kanan dan kiri kota Sebatik, hampir sama dengan kota-kota Indonesia. Perjalanan hanya 10 menit, tidak terlalu lama kami sudah sampai. Sudah benar-benar Indonesia, banyak bendera, ada bank-bank Indonesia dan ada Pegadaian. Khas dari Indonesia.

Disini katanya ada durian. Sempat melirik-lirik, dan ternyata benar, ada durian yang dijajakan di pasar. Pak Bima mau ke Band Mandiri untuk mengurus sesuatu. Kami berhenti didepannya. Masih banyak yang tutup, akhirnya kami mencari sarapan pagi.
Kondisi Kota Sebatik
Ada nasi kuning, sayur, dan sambal. Menikmati sarapan dipinggir jalan, sambil menunggu bank-bank buka. Kami juga diberitahukan tempat untuk bermalam nantinya. Semacam hotel satu-satunya disini, dan bisa dikatakan paling mewah. Benar-benar rasa Indonesia, meski daerah perbatasan seperti ini.

Kami membayar Rp.12.000,-, namun karna tidak ada uang rupiah, jadi kami membayar dengan RM 5. Sarapan selesai, bank buka. Kami menuju ke bank Mandiri. Disana rencananya akan membuka rekening bank untuk anak, tapi tidak bisa, harus ber KTP Sebatik katanya. Akhirnya hanya menabung uang saja.
Dirgahayu Indonesia
Selesai menabung, Pak Bima menghubungi mobil yang akan dijadikan kendaraan untuk menuju ke SMK Mutiara Bangsa. Sambil menunggu, saya membeli pulsa, tentu saja dengan kartu Indoensia. Untuk berkomunikasi nantinya. 

Mobil datang, ternyata mobil pribadi, mungkin semacam peiret. Kami masuk ke mobil, dan langsung menuju ke Mutiara Bangsa. Namun karena mengantarkan orang-orang terlebih dulu, kami harus masuk-masuk ke dalam. Ternyata masih banyak pohon sawit, dan rumah-rumahnya banyak yang masih menggunakan panggung atau rumah kayu.
Sampai di Mutiara Bangsa
Karena jalanan agak sulit, mobil sempat mogok, karena terganjal batu besar. Kami harus turun, mendorong bersama-sama, dan mengakalinya. Akhirnya bisa. Mobil bisa jalan lagi, mengantarkan orang terlebih dulu. Selanjutnya, karena kosong, kami langsung menuju ke Mutiara Bangsa.

Dari Jalan besar, kami masuk kedalam. Melewati jalanan sawitan. Tidak lama, kemudian kami sampai di lokasi yang luas. Terlihat sedikit tidak terawat, anak-anak sedang istirahat, banyak yang berlalu lalang. Wilayahnya luas sebenarnya, namun karena banyak ilalang tinggi-tingg, jadi kesannya tidak rapi.
Sampai di Mutiara Bangsa
Sesampainya, kami berpamitan sementara. Dia menunggu. Kami langsung menuju ke ruang guru, untuk berpamitan mengambil anaknya. Nama anakanya adalah Fitri, dia dari Pamol. Namun, ditengah menunggu, Bu Guru dari Mutiara Bangsa ini cerita banyak hal.

Beliau menceritakan tentang anak-anak CLC yang bersekolah di Mutiara Bangsa ini. Katanya, ada perbedaan mencolok, karena kebebasan yang ada di Sabah, jadi banyak anak-anak yang kebablasan yang sudah dikembalikan ke orang tua. Banyak lagi ceirta-cerita miris yang kami dengarkan.
Menuju ke Pelabuhan
Jam 11.00 kami berpamitan karena akan sholat Jumat, selama 2 jam kami bercerita panjang hal. Kami berpamitan dengan ibu-ibu guru, yang kemudian membawa Fitri untuk kembali ke Sabah dan diantarkan pulang lagi esok harinya. Demi untuk dokumen satu anak, 3 guru harus berkorban sejauh ini.

Kami menuju ke pelabuhan, dengan mobil yang tadi kami sewa. Tidak enak juga, karena menunggu lama. Perjalanan 30 menit, kami sampai di Desa Aji Kuning. Kami berpamitan, dan berjalanan menuju ke pelabuhan kecil untuk menaiki kapal.
Dipanggil Anggota TNI
Berjalan pelan-pelan. Banyak tatapan aneh, namun tidak kami hiraukan. Setelah menaiki kapal, dan bersiap untuk meluncur ternyata ada yang memanggil-manggil, "Mau kemana? Kepana tidak ijin?" Ternyata yang menanyakan itu adalah petugas TNI yang sedang berjaga.

Sontak kami kaget. Nada pertanyaan yang keras itu membuat laju kapal kami terhenti. Kami mengira tidak ijin, karena ketika datang pos itu juga kosong. Mungkin karena tidak ada orang waktu itu. Kami akhirnya berbincang-bincang sebentar, meminta ijin, untuk kemabli ke Tawau. Dengan alasan yang logis, akhirnya kami dipersilahkan melanjutkan perjalanan.
Melewati Pohon Bakau
Bersama satu penumpang, kami berlima melaju bersama. Jalanan yang kami lewati masih sama, ada tikungan, pohon bakau, bahkan harus bertemu dengan pos polis berkali-kali seperti ketika datang. Semuanya lancar, hanya sedikit lama ketika di pos polis yang kedua. Demi keamanan mungkin, tapi kami juga menjawab dengan lancar.

Ketiga pos terlewati dengan lancar. Akhirnya sampai lagi ke pelabuhan Tawau, kami berjalan. Menuju ke hotel Ocean untuk bermalam disini. Kami cek in, memesankan hotel Fitri dan kami bertiga satu kamar. Hotel ini memang dikenal paling murah, hanya RM 50 sudah dapat kamar yang luas.
Sholat Jumat dulu
Karena waktu sudah tiba untuk melakukan sholat Jumat, kami akhrinya menuju ke masjid. Kami melakukan shola Jumat dilantai atas. Setelah selesai, lanjut makan siang. Berjalan kaki, sedang panas-panasnya. 

Bersama Fitri kami makan siang bersama. Bincang-bincang bersama. Saya memesan Sop Tulang dan Air Kelapa. Cukup untuk mengembalikan stamina setelah melakukan perjalanan panjang. Kami kembali ke hotel untuk istiriahat.
Makan Siang
Sore hari, jam 18.00 kami baru bangun. Rencananya ingin jalan-jalan, tentu mencari Durian. Saya dan Pak Radin berjalan-jalan, meninggalkan Pak Bima dikamar. Dia masih tidur. Menikmati suasana malam Bandar Tawau. Banyak bandle yang dijajakan disepanjang pinggir jalan.

Dengan menggunakan google maps, kami mencari pusat durian. Memang cocok dengan Pak Radin, karena dia juga pecinta Durian. Akhirnya ketemu juga, banyak pilihan Durian dijual. Kami bingun, karena penasaran dengan Durian King, kami langsung menghampiri penjualnya.
Durian RM 120
Tidak tanggung-tanggun, kami pilih yang paling besar. Beratnya saja 4,5 kg. Harganya per kg, RM 30. Setelah bernego, kami hanya membayar RM 120 saja. Inilah durian yang paling mahal selama hidup saya dan Pak Radin. Kalau di rupiahkan mungkin sekitar 500.000 lebih.

Untuk rasanya, luar biasa. Enak. Dan bijinya kecil sekali. Isinya durian semua. Benar-benar mantap. Bahkan, ditengah jalan kami tidak habis. Hanya bisa menghabiskan setengah saja. Dan terjadi hal tidak biasa, kepala saya mulai pusing.

Apakah ini yang namanya kolesterol naik? Belum pernah terjadi sebelumnya. Karena sudah tidak kuat, akhrinya saya kembali ke hotel. Membawa duriannya. Di hotel langsung dikasih ke Pak Bima, dia nampaknya juga kaget. Dan lagi-lagi, tidak habis. Malam ini juga ada Pak Safawi datang, dia membantu menghabiskan durian. Saya lansung tertidur, leher sedang sakit-sakitnya, efek durian. Semoga besok sudah tidak terasa. Perjalanan yang luar biasa.[]
Lanjut Hari Ke-358 DISINI.