Friday, December 11, 2020

Tan Malaka: Revolusioner yang Kesepian #SeriTanMalaka

Tan Malaka (sumber: cdn.statically.io)

arifsae.com - Tan Malaka, sebuah nama yang pernah sangat diasingkan oleh pemerintah Orde Baru. Ia diidentikan dengan ajaran komunisme yang menjadi musuh terbesar Orde Baru. Namanya benar-benar terlarang untuk sekedar didiskusikan dalam ruang publik. Dalam buku pelajaran pun, nama ini tak mendapakan ruang. Meskipun dalam kenyataanya, ia pernah sangat berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkkan ia pernah sangat dibenci oleh Musso. Nama besarnya hanya samar-samar terdengar, bahkan dikampung halamanya sendiri di Sumatera Barat. Perlakuan sama dilakukan pada masa Presiden Soekarno memimpin. Tan, pernah dipenjara tanpa proses pengadilan lewat Perdana Menteri Sjahrir. Ia di penjara salama 2,5 tahun karena berdiri sebagai oposisi pemerintahan dengan mendirikan Persatuan Perjuangan di Purwokerto tahun 1946. Karena kritik keras terhadap pemerintahan ini, Tan di penjara tanpa melalui proses peradilan.


Jauh sebelum terjadinya perbedaan bentuk perjuangan dengan Soekarno-Hatta, ia diakui sebagai seorang yang revolusioner. Sosok yang jauh berfikir pada zamannya. Bahkan, ia menjadi salah satu inspirasi tokoh-tokoh perjuangan pergerakan pada era 1920-an. Kemahirannya dalam menggerakan revolusi bahkan diakui oleh Bung Karno sendiri. Pada masa revolusi fisik ketika Agresi Belanda tahun 1947 pecah, Presiden Soekarno pernah menuliskan sebuah surat wasiat, bernama “Testamen Politik”. Testamen ini berisi tentang penyerahan kekuasaan jika Soekarno-Hatta terbunuh dalam masa revolusi itu. Alasan Bung Karno menunjuk Tan sebagai salah satu penggantinya karena menurutnya, "Tan Malaka mahir dalam gerakan revolusioner”.


Meskipun surat wasiat itu akhirnya dimusnahkan di kemudian hari oleh tangan Soekarno sendiri, namun tidak bisa dipungkiri bahwa nama Tan Malaka sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Bung Karno. Ia menjadi orang pertama yang menggagas konsep "Republik Indonesia" secara tertulis dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini ditulis Tan pada tahun 1925 di Kanton, Cina. Satu tahun berikutnya, tulisan lainnya yang juga menjadi inspirasi bagi pejuang pergerakan adalah "Massa Actie". Kedua buku pemikiran Tan ini menjadi "oase" di padang perjuangan yang mulai subur berkembang. Tulisan-tulisan dalam bukunya ini banyak dikutip dalam pembuatan pledoi Bung Karno dalam persidangan di Landraad, Bandung pada tahun 1930. Pledoi yang berjudul “Indonesia Menggugat” ini menjadi salah satu alasan mengapa hukuman Bung karno yang awalnya 4 tahun penjara, menjadi hanya dijalankan masa penjara 2 tahun saja. Buku karangan-karangan Tan menjadi terlarang bagi pemerintahan Hindia Belanda. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan penangkapan Bung Karno.


Kedua buku itu juga mendorong Bung Karno menuliskan buku dikemudian hari tentang konsep Indonesa Merdeka. Ia menuliskan buku dengan judul “Menuju Indonesia Merdeka tahun 1933”. Pengaruh tulisan Tan lainnya hadir dalam beberapa lirik lagu Indonesia Raya karangan W.R Supratman. Lagu yang dinyanyikan untuk pertama kalinya pada Kongres Pemuda ke-II tahun 1928 ini pada salah satu lirik lagunya tertuliis, “Indonesia tanah tumpah darahku”. Kata ini terinpirasi dari salah satu bagian isi dari buku Massa Actie yang tertulis, “kewajiban seseorang yang tahu kewajiban putera tumpah darahnya”.


Itulah Tan Malaka, seorang revolusioner yang diakui oleh berbagai pihak. Ia memegang prinsip untuk memerdekakan Indonesia 100 persen. Tidak ada kompromi. Sikap inilah yang berbeda dengan pejuang lainnya. Disaat Soekarno-Hatta mau berunding dengan Belanda, ia lebih memilih jalannya sendiri dengan mengatakan TIDAK!. Baginya, kemerdekaan sesungguhnya adalah ketika pihak Belanda dan sekutu mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Setelah itu baru kemudain dilakukan langkah-langkah perundingan diplomasi. Konsep Tan tentang kemerdekaan 100 persen ini terbentuk dalam Persatuan Perjuangan yang didirkan di Purwokerto pada awal tahun 1946. Konsep ini juga pernah didukung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang memilih untuk melakukan perang gerilya dan menolak diplomasi.


Konsep merdeka 100 persen inilah yang menjadi perbedaan mencolok antara perjuangan dengan Soekarno-Hatta. Tan memilih untuk berjuang dengan cara mengangkat senjata untuk mendapatkan kemerdekaan 100 persen dari Belanda, dibandingkan dengan jalan diplomasi yang dipiih Soekarno-Hatta. Karena menurut Tan, tanpa pengakuan kedaulatan 100 persen dari Belanda dan sekutu, kemerdekaan Indonesia hanya bualan belaka.


Tan memang dikenal sebagai orang yang suka melawan arus. Bahkan ia pernah melawan arus pada saat kongres komunis internasional di Moskow pada tahun 1922. Ia menyemai gagasan tentang persatuan perjuangan komunisme dengan perjuangan Pan-Islamisme. Menurut Tan, komunisme tidak akan berhasil tanpa persatuan itu. Konsep inikah yang juga akhirnya di anut oleh Presiden Sukarno lewat NASAKOM nya? 


Tan juga menolak dengan tegas pembrontakan yang dilakukan oleh PKI tahun 1926 kepada pemerintah Hindia Belanda. Menurutya, pembrontakkan itu tergesa-gesa dan tidak akan berhasil. Menurutnya, Konsep revolusi tak hanya berdasarkan logstik saja, tapi juga tergantung dari seberapa besar kekuatan massa yang terhimpun. Dan ternyata terbukti, pembrontakan yang tak matang itu berhasil digagalkan dengan mudah oleh Belanda.


Pola melawan arus ini juga terlihat dalam tubuh PKI sendiri. Terkadang, pemikiran Tan juga bertentangan dengan konsep para petinggi PKI. Ia bahkan sangat dimusihi oleh Musso, pimpinan PKI yang sangat radikal. Bahkan, pertentangannya dengan Tan membuat Musso bersumpah untuk menggantung leher Tan Malaka andai bertemu. Ia sama sekali tak mendapat ruang di PKI. Perjuangan Tan lebih mementingkan kemerdekaan Indonesia dibandingkan hanya dengan menjabat sebagai petinggi dalam struktur PKI. Baginya, kemerdekaan Indonesia yang 100 persen adalah segala-galanya. Pemikiran Tan justru lebih nasionalis meski ia seorang Marxis. Oleh karenanya, ketika dibebaskan dari penjara tahun 1948, Tan membentuk Partai Murba untuk menggantikan Persatuan Perjuangan. Partai Murba inilah yang menjadi wadah bagi pemikira Tan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia 100 persen.


Tan sendiri mengaku sebagai Islam. Ia mengatan, “saya adalah seorang muslim ketika berhadapan dengan Tuhan”. Bahkan Tan sejak kecil juga sudah menghafal Al-Qur’an, keluarganya berasal dari kalangan semi-bangsawan, nama aslinya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka. Pria yang lahir di Pandan Gadang, Suiki, Limapuluh Kota Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 ini pernah merasakan jelajah lintas benua. Ia pernah menjelajah sepanjang 90 ribu kilometer. Namanya dicari berbagai polisi dari berbagai Negara didunia. Untuk lolos dari sergapan polisi rahasia dari berbagai Negara itu, ia mempunyai 23 nama samaran dan bergelut dengan berbagai profesi. Ialah Tan Malaka, seorang yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 53 tertanggal 23 Maret 1963.


Ia dianggap sebagai seorang yang diakui sebagai sosok revolusioner oleh kawan, dan diburu oleh lawan karena kepiawaianya berjuang dari bawah tanah. Ia hanya ingin menutup lembara kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia. Berpuluh-puluh tahun namanya dikubur dari buku-buku sejarah, kini saatnya kita mengenal sosok ini bila dilihat dalam kontribusi perjuangannya menegakan Negara Republik Indonesia, seperti juga kita mengenal para founding father yang lain, seperti Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Sampai kematiannya tiba, tepat tanggal 19 Februari 1949, saat serdadu yang juga berasal dari Indonesia menangkap dan mengeksekusinya, ia tetap sedang memperjuangkan konsep kemerdekaan yang diyakininya, yaitu merdekanya Indonesia 100 persen. Ia adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, tokoh yang tidak hanya revolusioner yang diakui namun juga revolusioner yang kesepian. []