Review:
Percakapan dengan
memakai bahasa Belanda dan Jawa, kerap terdengar pada masa kebudayaan Indis
berjaya di Indonesia. Kebudayaan Indis yang merupakan campuran Jawa dan Eropa
(khususnya Belanda) telah meninggalkan jejak-jejak budaya di Indonesia, terutama
dalam seni bangunan dan kerajinan.
Kebudayaan Indis
mencapai masa jayanya di Indonesia pada masa VOC sampai dengan masa
pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya kebudayaan Belanda mendominasi di
Indonesia, terutama Jawa. Namun lambat laun kebudayaan ini mulai bercampur baur
terutama ketika terjadi pernikahan dengan masyarakat lokal sehingga membentuk
kebudayaan baru yang di sebut kebudayaan Indis.
Percampuran kebudayaan
melalui pernikahan merupakan hal yang biasa, terutama ketika masing-masing pasangan
tetap mempertahankan kebudayaannya masing-masing. Dalam kebudayaan Indis ini,
si laki-laki, yang kebanyakan orang Belanda menikahi dengan perempuan lokal
(sering di sebut Nyai), dan mengembangkan kebudayaan yang merupakan perpaduan
keduanya.
Pada masa awal VOC dan
pemerintahan Belanda, banyak laki-laki Belanda yang tidak membawa isteri atau
masih jarangnya perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda (nama
Indonesia pada masa lalu), dengan alasan jaraknya yang jauh dan belum jelasnya
situasi keamanan untuk tinggal di tempat asing.
Buku “Kebudayaan Indis,
dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad
XX)” ini merupakan hasil disertasi dari Djoko Soekiman, dosen Fakultas Sastra
di UGM Yogyakarta sejak tahun 1963. Disertasinya yang mengungkap mengenai
kebudayaan Indis merupakan satu-satunya buku yang mengupas mendalam mengenai
kebudayaan Indis yang sudah makin punah dikarenakan peninggalan budayanya
seperti bangunan mulai di runtuhkan atau di ganti dengan bangunan yang sudah
modern atau di anggap lebih Indonesia.
Pada masa kemerdekaan,
ketika sentimen terhadap segala sesuatu yang dianggap asing atau Belanda/Eropa
meningkat, maka pengrusakan terhadap benda-benda budaya Indis pun terjadi.
Akhirnya sekarang ini hanya sedikit yang masih tersisa di Indonesia, terutama
di pulau Jawa seperti bangunan gereja atau bangunan bekas bangunan pemerintahan
Belanda.
Padahal kebudayaan
Indis merupakan kebudayaan yang unik, yang banyak di temui di Hindia
Belanda/Indonesia pada masanya. Bangunan-bangunan yang dibangun pada masa itu
umumnya mengadopsi gaya Eropa sekaligus gaya lokal. Misalnya dengan memakai
genteng untuk atapnya tapi memakai kayu jati yang lebih tahan lama di musim
tropis dan tahan gempa, pada tiang atau pembatas ruangan (gebok).
Jendela-jendela pun dibuat lebar lebih lebar dari jendela rumah di Belanda
sehingga memungkinkan hawa sejuk daerah tropis masuk. Para pelaku budaya Indis
ini juga seringkali menempelkan simbol-simbol yang berhubungan dengan budayanya
seperti adanya arah angin di atap bangunan, yang berbentuk ayam jantan. Ayam
jantan merupakan simbol kekuatan pada bangsa Eropa.
Salah satu hal menarik
yang diungkapkan dalam buku ini yaitu bagaimana para pelaku kebudayaan Indis
mempraktekkan budaya Indis dengan secara berlebihan. Rata-rata para pelaku
kebudayaan Indis merupakan pejabat pemerintahan Belanda sehingga mereka pun
memiliki kebiasaan untuk berpesta dan menghamburkan uangnya untuk membuat rumah
dengan dekorasi yang bagus, yang memadukan unsur Eropa dan lokal (Jawa). Mereka
juga memiliki banyak budak dari masyarakat lokal yang mengurusi rumah, kebun
dan petenakan mereka. Sedangkan mereka sendiri, sering hanya bersenang-senang
dan bersantai di rumah mereka.
Pada saat kebudayaan
Indis tersebut berlaku di Jawa, bangunan tempat tinggal merupakan hal yang
paling jelas dapat dilihat apakah pemiliknya orang yang berkedudukan tinggi
atau tidak. Bangunan tempat tinggal masyarakat lokal pada waktu itu biasanya
hanya beratap rumbia atau daun kelapa, berdinding bambu dan berlantai tanah.
Sementara para pejabat tinggal di bangunan dari bata atau batu, dengan lantai
ubin atau terakota. Selain para pejabat pemerintahan Belanda, dan kaum
bangsawan Jawa, hanya masyarakat peranakan Tionghoa dan peranakan Arab lah yang
memiliki tempat tinggal yang bagus.
Kebudayaan Indis telah
menghasilkan pengaruh negatif dan positif dalam kebudayaan Indonesia pada masa
itu. Pengaruh negatif yaitu dengan menampilkan adanya bangunan mewah yang
membedakan dengan masyarakat biasa dan adanya perbudakan. Dan pengaruh positif
yaitu dengan adanya budaya disiplin dan mejaga kebersihan.
Meskipun kebudayaan
Indis lahir dari masa pemerintahan Belanda, kebudayaan Indis tetap merupakan
salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia, seperti kebudayaan Peranakan
Tionghoa atau Peranakan Arab. Dan, semestinya kita bisa mengambil aspek positif
dari kebudayaan Indis dan tetap melestarikan segi positif kebudayaan Indis
sebagai bagian dari kebudayaan di Indonesia.
Djoko Soekiman
menggunakan teori milik Adolph S. Tomars (dalam buku yang berjudul: Class Systems and the Arts) menjelaskan
bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan
budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep Tomars ini, terdapat adanya landasan
sosiologis yang kuat bahwa golongan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan
Indis. Yang kedua adalah teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik
Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok
pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang
masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara
panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di
Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas
pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu
struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum
proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama
kesadaran semu eksis (false consiousness)
dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup
masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan
ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi,
dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya,
cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang
pribumi oleh orang keturunan.
Sumber-sumber yang digunakan Djoko
Soekiman dalam tulisannya berasal dari arsip, monografi, laporan para pejabat
pemerintah jajahan, berbagai hasil kesusastraan, kisah perjalanan, lukisan,
foto sketsa, disamping berupa artefak dan seni bangunan Indis.
Pendekatan penelitian
yang digunakan oleh Djoko Soekiman adalah Indonesia Sentrisme (dilihat dari
sisi ke-Indonesiaannya).
Jenis metodologi yang
digunakan Djoko Soekiman adalah sejarah sosial. Dimana digunakan
pendekatan-pendekatan yang memanfaatkan teori dan konsep ilmu-ilmu sosial.
Dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial, sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan
yang lebih jelas, walaupun kadang-kadang harus terikat pada modal teoritisnya.
Keterikatan ini dapat mempunyai akibat pada rekonstruksi yang tidak lengkap,
sebab harus menuruti logika dan seleksi sebuah model yang eksplisit.
Kuntowijoyo memperkenalkan
enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan sosiologis. Keenam model
penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan keterampilan sejarawan dalam
menentukan strateginya. Yaitu model evolusi, yang melukiskan perkembangan
sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai dengan menjadi masyarakat yang
kompleks; model lingkaran netral, yang menjelaskan penulisan sejarah bertolak
dari titik peristiwa di tengah-tenah kehidupan masyarakat secara sinkronis,
lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya; model interval, yaitu berupa
kumpulan lukisan sinkronis yang disusun secara kronologis, tetapi antara satu
periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan tidak selalu
menunjukkan hubungan sebab akibat; model tingkat perkembangan, yakni
tahap-tahap perkembangan masyarakat dijelaskan dengan memaki model diferensi
struktural; model jangka panjang-menengah-pendek, artinya sejarah ditetapkan
dalam tiga macam keberlangsungan. Dalam hal ini, sejarah jangka panjang
merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahanya lamban sehingga
perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah perkembanganya
lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah jangka pendek adalah
sejarah dari kejadian-kejadian yang berjalan dengan serba cepat; model
sistematis, model terakhir ini biasa dipergunakan untuk menelusuri sejarah
masyarakat dalam konteks perubahan sosial. Model penulisan sejarah yang
digunakan dalam buku ini adalah model sistematis. Dimana sebuah penulisan
sejarah sangat tergantung pada kondisi objektif, berupa tersedianya sumber, dan
kodisi subjektif, berupa kemampuan penulis sejarah. Maksud dari uraian model
ini yaitu meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strategi
penulisan yang paling tepat sesuai dengan kondisi objektif dan subjektif, serta
tujuan dari penulisan itu sendiri.
Tinjauan Teori
Teori yang berhubungan dengan isi buku :
1. Adanya stratifikasi sosial yang
merupakan pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/
bertingkat. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk
menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :
• Ukuran kekayaan, seseorang yang
memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan
tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara
berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan
seterusnya.
• Ukuran kekuasaan, seseorang yang
memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati
pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
• Ukuran kehormatan, orang yang disegani
dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran
semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya,
orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya.
Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
• Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu
pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan
pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Pada budaya ini, adanya golongan
kebangsaan pada jaman itu, kami kaitkan dengan Teori Konflik Karl Marx (1818-
1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana
produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan
konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam
masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua
kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan
terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri
proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap
terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat
pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang
rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga
pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup
menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi
oleh orang keturunan.
2. Adanya Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi adalah suatu proses sosial,
yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Atau bisa juga di
definisikan sebagai perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan
damai dan serasi.
Di bawah ini beberapa faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya suatu proses Akulturasi. Diantaranya:
Faktor Intern (dalam), antara lain:
• Bertambah dan berkurangnya penduduk
(kelahiran, kematian, migrasi)
• Adanya Penemuan Baru:
1. Discovery: penemuan ide atau alat
baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan
baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau
penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah,
melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh :
kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli
atau anggota masyarakat
• Konflik yang terjadii dalam masyarakat
• Pemberontakan atau revolusi
Faktor Ekstern (luar), antara lain:
1. Perubahan alam
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan lain melalui
difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih
terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang
menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Teori diatas dapat dikaitkan dengan
kebudayaan Indis dibawah ini:
- Reflector menganjurkan pula hendaknya
jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsur-unsur budaya
bangsa Pribumi. Apabila perlu, setidak-tidaknya mereka bias mengawinkan dua
unsur sebagai usaha baru dalam penciptaan.
- Adanya kelompok pakar ahli bangunan di
Hindia Belanda yang menginginkan penggunaan unsur budaya tradisional jawa dalam
penciptaan seni bangunan di Eropa.
- Kelompok pertama, mengutamakan
pemindahan dari negeri ibu (Belanda), yang menghendaki seni bangunan (nasional
Belanda) diberlakukan di daerah koloni, khususnya jawa. Alasannya ialah
kemajuan teknik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya.
- Kelompok kedua, adanya pertimbangan
politik, mereka lebih mengharapkan adanya peralihan ke seni jawa yang dapat
menuju ke seni Indo-Eropa, yaitu apabila nantinya Hindia Belanda telah dapat
berdiri sendiri.
Kalimat diatas menggambarkan bahwa
terjadi perpaduan antara unsur kebudayaan yang berbeda antara unsur Jawa dan
unsur Eropa tanpa menghilangkan unsur dari masing-masing kebudayaan yang ada.
a.Rumah tempat tinggal
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di
Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan
dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil
perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik,
material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal
saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.Dalam membuat
peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah
Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal
ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa,
tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
b. Pakaian dan kelengkapan
cirri lain gaya hidup pada zaman itu banyak
dipengaruhi oleh gaya Eropa ialah tata busana . Karena pengaruh para pembantu
rumah tangga dan para nyai, kaum perempuan indis mengenakan kain sarung dan
kebaya. Kain dan kebaya juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari oleh para
perempuan eropa . Sedangkan para pria eropa mengenakan sarung dan baju takwo
atau pakain tidur motif batik.
c. Alat berkarya dan berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk Pribumi berbagai
alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan
kehidupan misalkan : mesin jahit , lampu gantung , lampu gas , kereta tunggang
yang disebut dosdos atau sado.
d. Kelengkapan alat dapur dan jenis makanan
Di negri belanda sampai sekarang banyak rumah makan
yang menyediakan berbagai jenis menu Indis Tempo doloe dengan memasang papan
nama yang bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga belanda ,
khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia
menghidangkan menu indische rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto
,nasi goreng , nasi rames , gado-gado,lumpia dan sebagainya. Sementara itu di
Indonesia masyarakat indis termasuk priyai jawa menghidangkan makanan keluarg a
dengan menu campuran eropa dan jawa misalnya : beafstuk , resoulles , soep .
KESIMPULAN:
penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII
hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan
kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado,
percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Kebudayaan campuran ini
mencakup ketujuh aspek unsur universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki
semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang
merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan
Prasejarah, kebudayaan Hindu – Budha, dan kebudayaan Islam Indonesia. Bersamaan
dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada
1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang
mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya
hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun
bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi
gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah
tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang
tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak
lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat
dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena
nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan
diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo,
serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap
berlanjut.Sementara itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal
di Indonesia tetap melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den
Haag, Indische Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi
goreng, sate ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi
orang.
Review:
Percakapan dengan
memakai bahasa Belanda dan Jawa, kerap terdengar pada masa kebudayaan Indis
berjaya di Indonesia. Kebudayaan Indis yang merupakan campuran Jawa dan Eropa
(khususnya Belanda) telah meninggalkan jejak-jejak budaya di Indonesia, terutama
dalam seni bangunan dan kerajinan.
Kebudayaan Indis
mencapai masa jayanya di Indonesia pada masa VOC sampai dengan masa
pemerintahan Hindia Belanda. Pada awalnya kebudayaan Belanda mendominasi di
Indonesia, terutama Jawa. Namun lambat laun kebudayaan ini mulai bercampur baur
terutama ketika terjadi pernikahan dengan masyarakat lokal sehingga membentuk
kebudayaan baru yang di sebut kebudayaan Indis.
Percampuran kebudayaan
melalui pernikahan merupakan hal yang biasa, terutama ketika masing-masing pasangan
tetap mempertahankan kebudayaannya masing-masing. Dalam kebudayaan Indis ini,
si laki-laki, yang kebanyakan orang Belanda menikahi dengan perempuan lokal
(sering di sebut Nyai), dan mengembangkan kebudayaan yang merupakan perpaduan
keduanya.
Pada masa awal VOC dan
pemerintahan Belanda, banyak laki-laki Belanda yang tidak membawa isteri atau
masih jarangnya perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda (nama
Indonesia pada masa lalu), dengan alasan jaraknya yang jauh dan belum jelasnya
situasi keamanan untuk tinggal di tempat asing.
Buku “Kebudayaan Indis,
dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII sampai Medio Abad
XX)” ini merupakan hasil disertasi dari Djoko Soekiman, dosen Fakultas Sastra
di UGM Yogyakarta sejak tahun 1963. Disertasinya yang mengungkap mengenai
kebudayaan Indis merupakan satu-satunya buku yang mengupas mendalam mengenai
kebudayaan Indis yang sudah makin punah dikarenakan peninggalan budayanya
seperti bangunan mulai di runtuhkan atau di ganti dengan bangunan yang sudah
modern atau di anggap lebih Indonesia.
Pada masa kemerdekaan,
ketika sentimen terhadap segala sesuatu yang dianggap asing atau Belanda/Eropa
meningkat, maka pengrusakan terhadap benda-benda budaya Indis pun terjadi.
Akhirnya sekarang ini hanya sedikit yang masih tersisa di Indonesia, terutama
di pulau Jawa seperti bangunan gereja atau bangunan bekas bangunan pemerintahan
Belanda.
Padahal kebudayaan
Indis merupakan kebudayaan yang unik, yang banyak di temui di Hindia
Belanda/Indonesia pada masanya. Bangunan-bangunan yang dibangun pada masa itu
umumnya mengadopsi gaya Eropa sekaligus gaya lokal. Misalnya dengan memakai
genteng untuk atapnya tapi memakai kayu jati yang lebih tahan lama di musim
tropis dan tahan gempa, pada tiang atau pembatas ruangan (gebok).
Jendela-jendela pun dibuat lebar lebih lebar dari jendela rumah di Belanda
sehingga memungkinkan hawa sejuk daerah tropis masuk. Para pelaku budaya Indis
ini juga seringkali menempelkan simbol-simbol yang berhubungan dengan budayanya
seperti adanya arah angin di atap bangunan, yang berbentuk ayam jantan. Ayam
jantan merupakan simbol kekuatan pada bangsa Eropa.
Salah satu hal menarik
yang diungkapkan dalam buku ini yaitu bagaimana para pelaku kebudayaan Indis
mempraktekkan budaya Indis dengan secara berlebihan. Rata-rata para pelaku
kebudayaan Indis merupakan pejabat pemerintahan Belanda sehingga mereka pun
memiliki kebiasaan untuk berpesta dan menghamburkan uangnya untuk membuat rumah
dengan dekorasi yang bagus, yang memadukan unsur Eropa dan lokal (Jawa). Mereka
juga memiliki banyak budak dari masyarakat lokal yang mengurusi rumah, kebun
dan petenakan mereka. Sedangkan mereka sendiri, sering hanya bersenang-senang
dan bersantai di rumah mereka.
Pada saat kebudayaan
Indis tersebut berlaku di Jawa, bangunan tempat tinggal merupakan hal yang
paling jelas dapat dilihat apakah pemiliknya orang yang berkedudukan tinggi
atau tidak. Bangunan tempat tinggal masyarakat lokal pada waktu itu biasanya
hanya beratap rumbia atau daun kelapa, berdinding bambu dan berlantai tanah.
Sementara para pejabat tinggal di bangunan dari bata atau batu, dengan lantai
ubin atau terakota. Selain para pejabat pemerintahan Belanda, dan kaum
bangsawan Jawa, hanya masyarakat peranakan Tionghoa dan peranakan Arab lah yang
memiliki tempat tinggal yang bagus.
Kebudayaan Indis telah
menghasilkan pengaruh negatif dan positif dalam kebudayaan Indonesia pada masa
itu. Pengaruh negatif yaitu dengan menampilkan adanya bangunan mewah yang
membedakan dengan masyarakat biasa dan adanya perbudakan. Dan pengaruh positif
yaitu dengan adanya budaya disiplin dan mejaga kebersihan.
Meskipun kebudayaan
Indis lahir dari masa pemerintahan Belanda, kebudayaan Indis tetap merupakan
salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia, seperti kebudayaan Peranakan
Tionghoa atau Peranakan Arab. Dan, semestinya kita bisa mengambil aspek positif
dari kebudayaan Indis dan tetap melestarikan segi positif kebudayaan Indis
sebagai bagian dari kebudayaan di Indonesia.
Djoko Soekiman
menggunakan teori milik Adolph S. Tomars (dalam buku yang berjudul: Class Systems and the Arts) menjelaskan
bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan
budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep Tomars ini, terdapat adanya landasan
sosiologis yang kuat bahwa golongan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan
Indis. Yang kedua adalah teori Konflik Karl Marx (1818- 1883). Teori konflik
Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok
pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang
masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara
panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di
Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas
pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu
struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum
proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama
kesadaran semu eksis (false consiousness)
dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga.
Dilihat dari gaya hidup
masyarakat pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan
ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi,
dan juga pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya,
cukup menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang
pribumi oleh orang keturunan.
Sumber-sumber yang digunakan Djoko
Soekiman dalam tulisannya berasal dari arsip, monografi, laporan para pejabat
pemerintah jajahan, berbagai hasil kesusastraan, kisah perjalanan, lukisan,
foto sketsa, disamping berupa artefak dan seni bangunan Indis.
Pendekatan penelitian
yang digunakan oleh Djoko Soekiman adalah Indonesia Sentrisme (dilihat dari
sisi ke-Indonesiaannya).
Jenis metodologi yang
digunakan Djoko Soekiman adalah sejarah sosial. Dimana digunakan
pendekatan-pendekatan yang memanfaatkan teori dan konsep ilmu-ilmu sosial.
Dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial, sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan
yang lebih jelas, walaupun kadang-kadang harus terikat pada modal teoritisnya.
Keterikatan ini dapat mempunyai akibat pada rekonstruksi yang tidak lengkap,
sebab harus menuruti logika dan seleksi sebuah model yang eksplisit.
Kuntowijoyo memperkenalkan
enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan sosiologis. Keenam model
penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan keterampilan sejarawan dalam
menentukan strateginya. Yaitu model evolusi, yang melukiskan perkembangan
sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai dengan menjadi masyarakat yang
kompleks; model lingkaran netral, yang menjelaskan penulisan sejarah bertolak
dari titik peristiwa di tengah-tenah kehidupan masyarakat secara sinkronis,
lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya; model interval, yaitu berupa
kumpulan lukisan sinkronis yang disusun secara kronologis, tetapi antara satu
periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan tidak selalu
menunjukkan hubungan sebab akibat; model tingkat perkembangan, yakni
tahap-tahap perkembangan masyarakat dijelaskan dengan memaki model diferensi
struktural; model jangka panjang-menengah-pendek, artinya sejarah ditetapkan
dalam tiga macam keberlangsungan. Dalam hal ini, sejarah jangka panjang
merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahanya lamban sehingga
perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah perkembanganya
lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah jangka pendek adalah
sejarah dari kejadian-kejadian yang berjalan dengan serba cepat; model
sistematis, model terakhir ini biasa dipergunakan untuk menelusuri sejarah
masyarakat dalam konteks perubahan sosial. Model penulisan sejarah yang
digunakan dalam buku ini adalah model sistematis. Dimana sebuah penulisan
sejarah sangat tergantung pada kondisi objektif, berupa tersedianya sumber, dan
kodisi subjektif, berupa kemampuan penulis sejarah. Maksud dari uraian model
ini yaitu meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strategi
penulisan yang paling tepat sesuai dengan kondisi objektif dan subjektif, serta
tujuan dari penulisan itu sendiri.
Tinjauan Teori
Teori yang berhubungan dengan isi buku :
1. Adanya stratifikasi sosial yang
merupakan pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/
bertingkat. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk
menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut :
• Ukuran kekayaan, seseorang yang
memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan
tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara
berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan
seterusnya.
• Ukuran kekuasaan, seseorang yang
memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati
pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan.
• Ukuran kehormatan, orang yang disegani
dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran
semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya,
orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya.
Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan.
• Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu
pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan
pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Pada budaya ini, adanya golongan
kebangsaan pada jaman itu, kami kaitkan dengan Teori Konflik Karl Marx (1818-
1883). Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana
produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx mengajukan
konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam
masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua
kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan
terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri
proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap
terjaga.
Dilihat dari gaya hidup masyarakat
pendukung kebudayaan indis yang memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang
rata-rata lebih baik dibandingkan kehidupan masyarakat pribumi, dan juga
pekerjaan yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, cukup
menjelaskan bahwa pada jaman itu juga ada eksploitasi terhadap orang pribumi
oleh orang keturunan.
2. Adanya Akulturasi Kebudayaan
Akulturasi adalah suatu proses sosial,
yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Atau bisa juga di
definisikan sebagai perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang berlangsung dengan
damai dan serasi.
Di bawah ini beberapa faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya suatu proses Akulturasi. Diantaranya:
Faktor Intern (dalam), antara lain:
• Bertambah dan berkurangnya penduduk
(kelahiran, kematian, migrasi)
• Adanya Penemuan Baru:
1. Discovery: penemuan ide atau alat
baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan
baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau
penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah,
melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh :
kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli
atau anggota masyarakat
• Konflik yang terjadii dalam masyarakat
• Pemberontakan atau revolusi
Faktor Ekstern (luar), antara lain:
1. Perubahan alam
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan lain melalui
difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih
terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang
menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Teori diatas dapat dikaitkan dengan
kebudayaan Indis dibawah ini:
- Reflector menganjurkan pula hendaknya
jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsur-unsur budaya
bangsa Pribumi. Apabila perlu, setidak-tidaknya mereka bias mengawinkan dua
unsur sebagai usaha baru dalam penciptaan.
- Adanya kelompok pakar ahli bangunan di
Hindia Belanda yang menginginkan penggunaan unsur budaya tradisional jawa dalam
penciptaan seni bangunan di Eropa.
- Kelompok pertama, mengutamakan
pemindahan dari negeri ibu (Belanda), yang menghendaki seni bangunan (nasional
Belanda) diberlakukan di daerah koloni, khususnya jawa. Alasannya ialah
kemajuan teknik bangunan tidak mudah untuk diduga sebelumnya.
- Kelompok kedua, adanya pertimbangan
politik, mereka lebih mengharapkan adanya peralihan ke seni jawa yang dapat
menuju ke seni Indo-Eropa, yaitu apabila nantinya Hindia Belanda telah dapat
berdiri sendiri.
Kalimat diatas menggambarkan bahwa
terjadi perpaduan antara unsur kebudayaan yang berbeda antara unsur Jawa dan
unsur Eropa tanpa menghilangkan unsur dari masing-masing kebudayaan yang ada.
a.Rumah tempat tinggal
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di
Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan
dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil
perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik,
material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal
saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.Dalam membuat
peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah
Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal
ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa,
tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
b. Pakaian dan kelengkapan
cirri lain gaya hidup pada zaman itu banyak
dipengaruhi oleh gaya Eropa ialah tata busana . Karena pengaruh para pembantu
rumah tangga dan para nyai, kaum perempuan indis mengenakan kain sarung dan
kebaya. Kain dan kebaya juga dikenakan untuk pakaian sehari-hari oleh para
perempuan eropa . Sedangkan para pria eropa mengenakan sarung dan baju takwo
atau pakain tidur motif batik.
c. Alat berkarya dan berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk Pribumi berbagai
alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan
kehidupan misalkan : mesin jahit , lampu gantung , lampu gas , kereta tunggang
yang disebut dosdos atau sado.
d. Kelengkapan alat dapur dan jenis makanan
Di negri belanda sampai sekarang banyak rumah makan
yang menyediakan berbagai jenis menu Indis Tempo doloe dengan memasang papan
nama yang bertuliskan “Indische Restaurant”. Banyak keluarga belanda ,
khususnya anak keturunan yang pernah tinggal atau datang dari Indonesia
menghidangkan menu indische rijsttafel. Hidangan ini terdiri dari nasi soto
,nasi goreng , nasi rames , gado-gado,lumpia dan sebagainya. Sementara itu di
Indonesia masyarakat indis termasuk priyai jawa menghidangkan makanan keluarg a
dengan menu campuran eropa dan jawa misalnya : beafstuk , resoulles , soep .
KESIMPULAN:
penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII
hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan
kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya gado-gado,
percampuran budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur. Kebudayaan campuran ini
mencakup ketujuh aspek unsur universal budaya bangsa, seperti yang dimiliki
semua bangsa di dunia. Dengan demikian, kebudayaan Indis adalah kebudayaan yang
merupakan kepanjangan kebudayaan Indonesia, yang terdiri atas kebudayaan
Prasejarah, kebudayaan Hindu – Budha, dan kebudayaan Islam Indonesia. Bersamaan
dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang pada
1942, perkembangan kebudayaan Indis ikut-ikutan terhenti. Gaya hidup Indis yang
mewah terusik oleh PD II yang berkecamuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya
hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.Sungguh pun
bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga kini, tetapi
gaya hidup penghuninya yang bercirikan budaya Indis di Indonesia sudah
tamat.Namun, sebagai buah kebudayaan, akar-akar budaya Indis masih ada yang
tetap berlanjut, hidup di antara unsur-unsur budaya baru. Peradaban Indis tidak
lagi menjadi kebanggaan sebagai identitas suatu golongan masyarakat dan sangat
dimusuhi pada zaman Jepang dan revolusi fisik, tetapi telah melebur.Karena
nilai-nilai baru belum ada, beberapa unsur peradaban yang banyak dianut dan
diciptakan oleh kaum terpelajar, baik priyayi pribumi maupun golongan Indo,
serta para birokrat pemerintahan dari masa zaman Hindia Belanda, masih tetap
berlanjut.Sementara itu di Belanda orang-orang yang lahir atau pernah tinggal
di Indonesia tetap melanjutkan kebudayaan Indis. Pasar malam Tong-tong di Den
Haag, Indische Restaurant dengan sajian Indische rijsttafel seperti soto, nasi
goreng, sate ayam, wedang ronde, sekoteng, dsb. hingga kini ramai dikunjungi
orang.
(Arif Saefudin Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. )