Thursday, November 21, 2013

Akulturasi budaya Islam dan masyarakat Jawa


Seperti yang telah kita ketahui, bahwasanya setiap Negara, lingkup masyarakat yang berbeda, bahkan suku yang berbeda akan memiliki budaya yang berbeda pula, seperti teori dualis berbedanya antar budaya timur dan barat. Bahkan di antara kedua budaya tersebut memiliki sangatlah banyak perbedaan yang signifikan. Jika kita sekali lagi sedikit mengulas tentang “akulturasi” di antara kedua budaya tersebut, maka tak kunjung habis pertanyaan yang akan terlontar, semisal tentang perbedaan budaya budaya yang kerap kita sadari maupun tidak, dan bagaimana perbedaan tersebut dapat bersatu dengan damai dan serasi tanpa menghilangkan unsur unsur asli dari kedua budaya tersebut.
Oleh karena itu untuk lebih memahami tentang “akulturasi” ataupun perpaduan antar budaya, hendaknya kita mengkaji dengan lingkup yang lebih sempit, dan tentunya hal yang dekat dengan kita baik yang kita sadari maupun tidak. Contohnya kebudayaan dalam Negara Indonesia, dalam cakupan budaya Indonesia banyak terdapat perbedaan budaya antar satu wilayah dengan wilayah lainnya, antar satu pulau dengan pulau lainnya, tak terkecuali dengan agama yang terdapat di Indonesia. Di Indonesia pada dasarnya masyarakatnya adalah heterogen, beda dalam hal agama,warna kulit, bahasa, serta ras. Sebagian besar masyarakat di Indonesia memeluk agama islam, dan sebagian besarnya pula yang menetap di pulau Jawa. Pada layaknya pemeluk agama Islam pada umumnya, akan melaksanakan ibadah puasa di saat bulan ramdhan tiba, dan di tutup dengan ritual ibadah idul fitri, atau dengan kata lain adalah kembali fitrah ataupun suci. Dikenal dengan istilah lebaran oleh masyarakat Jawa.
Pada saat lebaran kita melakukan halal bi halal ataupun adat saling berjabat tangan dengan tujuan saling memaafkan satu sama lain atas kesalahan di masa lampau yang telah di perbuat, istilah lebaran dan halal bi halal ini secara tidak langsung menggelitik pemikiran saya dan mungkin juga sebagian masyarakat lainnya, apakah di setiap Negara yang memiliki warga pemeluk agama islam mengetahui dan melakukan istilah tersebut?
Berdasarkan artikel yang tidak sengaja say abaca beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah fakta bahwa di Negara islam jazirah Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia tentunya), setelah ummat muslim melaksanakan shalat idul fitri tidak terdapat tradisi saling berjabat tangan secara missal yntuk saling memaafkan. Begitu pula dengan istilah “lebaran”, tidak ada satupun Negara yang memakai istilah tersebut kecuali Indonesia, terutama masyarakat Jawa.
Maka pertanyaan berikutnya yang timbul adalah “lalu darimanakah istilah tersebut, dan apakah pemicu munculnya tradisi tersebut,  terutama pada masyarakat jawa?”
Menurut ajaran agama islam dalam sanad apapun, ummat muslim wajib hukumnya untuk saling tolong menolong maupun memaafkan antar satu dengan lainnya. Dan ritual saling memaafkan (berjabat tangan) tersebut bukanlah hanya di lakukan pada saat idul fitri semata, tapi hendaknya di lakukan ritual tersebut segera ketika kita telah melakukan sebuah kesalahan terhadap individu yang bersangkutan.
Sedangkan saling berjabat tangan dalam ritual “lebaran” tidak lain dan tidak bukan hanyalah bentuk dari rasa akrab sesame rekan maupun family guna meminta maaf apabila terdapat kesalahan yang belum termaafkan sewaktu itu,
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lebaran merupakan hari raya ummat islam yang jatuh pada tanggal 1 syawwal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Dan setelah banyak berbincang dengan beberapa mahasiswa non-jawa yang saya kenal, dapat di simpulkan bahwasanya istilah “lebaran” itu hanya kerap di kenal seantero masyarakat jawa saja,
Namun, apakah istilah lebaran semata adalah bahasa jawa? Lalu mengapa kata lebaran dapat kita temukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia? Apakah itu merupakan pengadopsian bahasa dari bahasa asing?
Kembali lagi kepada hasil survey terhadap beberapa orang tua yang asli bersuku jawa, mereka beranggapan bahwa istilah kata “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa jawa “wis bar” yang mana artinya adalah “sudah selesai”, maksud dari pendapat di atas adalah selesai menunaikan ibadah puasa. Dalam bahasa jawa banyak terdapat imbuhan “an” pada akhir suatu kata kerja. Semisal penguunaan “an” dalam kata “bubar” yang menjadi “bubaran” dalam konteks jamak.
Kata “bar” sendiri adalah perpendekan kata dari kata “lebar” yang artinya adalah selesai, semisal kata “wis bar” yang berarti “wis bubar” atau “sampun lebar” maka dari sinilah kata “lebaran” yang umum kita kenal selama ini. Selain lebaran ada suatu budaya dalam masyarakat jawa yang di kenal dengan sebutan sungkem, yaitu berjabat tanan sembari mencium tangan orang tua maupun orang yang lebih tua dari diri kita, bukan berjabat tangan seperti pada sebaya kita umumnya. Berdasarkan tradisi adat jawa, sungkem sebagai lambing permohonan maaf dan doa restu, dasarnya masyarakat jawa sangat menghormati dan menjunjung tinggi orang yang lebih tua dari mereka, karena mereka telah merasakan pahit getirnya kehidupan, atau sering kita kenal sebagai “banyak makan garam”. Sungkem sering kita dapati sebagai pra syarat proses ijab-qobulnya suatu pernikahan, maupun ketika halal bihalal seusai ibadah idul fitri. Jadi apakah ini adat jawa secara murni ataukah akulturasi budaya dengan ajaran islam?
Terdapat pula akulturasi tentang penggunaan kata pengganti “selamat siang, selamat pagi, maupun selamat malam” pada masyarakat pada umumnya dan telah familiar di telinga kita, yaitu dengan kata “assalamualaikum”, tidak sedikit masyarakat yang bukan islam pun mengerti dan menggunakan dalam kehidupan keseharian mereka, “assalamualaikum” kerap di gunakan bagi kaum muslim untuk menyapa sesame muslim, yang berarti “keselamatan tercurah kepada anda”. Jadi, bukankah telah terjadi banyak perpaduan budaya pada Negara tercinta ini?
Bukan hanya pada adat dan kebiasaan, bahkan mengenai kepercayaan pun banyak mengalami akulturasi. Semisal peringatan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dengan memperingati 3, 40, 100 serta ke1000 harinya. Tradisi ini sesungguhnya berasal dari masyarakat pemeluk agama Buddha dalam memperingati kematian seseorang, baik family maupun kerabat dekatnya, entah bagaimana bisa masyarakat islam di Indonesia mengadopsi kebiasaan tersebut.
Dari zaman awal ketika islam memasuki jazirah kepulauan Indonesia, para pemuka agama waktu itu atau kerap kita sebut sebagai 9 wali (wali songo), memasukkan nilai nilai ajaran dalam islam pada budaya, adat dan kebiasaan keseharian mereka. Semisal lagu, permainan alat musik, kesenian setempat semisal wayang kulit, bela diri dan masih banyak yang lainnya. Mungkin itu adalah salah satu penyebab betapa variannya akulturasi budaya yang tercipta di Indonesia.
Jika kita mengkaji lebih jauh, saya yakin permasalahan ini tak akan menemui titik akhir, baik dari hal yang paling mencolok maupun yang sepele sekalipun, sesuatu yang jarang di sadari oleh masyarakat kita, dari budaya opor ayam dan ketupat ketika lebaran, yasin dan tahlil, istighosah, serta masih banyak hal menarik yang tak kujung usai bila kita kaji.
Kesimpulannya mengenai uraian uraian yang telah kita bahas tersebut, begitu banyak budaya yang telah mendarah daging di kehidupan kita namun tak kita sadari benarkan budaya yang kita lestarikan ataupun sebuah akulturasi yang mengalami pergeseran orisinalitas budaya, perpaduan ataupun sebuah dogma murni?
Bagaimanapun juga, akulturasi budaya akan selalu menjadi indah bilamana tidak ada yang mempersalahkan di dalamnya, serasi, damai dan di terima pada masyarakat tentunya. Karena perbedaan adalah salah satu anugrah terindah yang di berikan Allah kepada kita, hanya bagaimana kita mampu menikmati dan mensyukurinya menurut perspektif pemahahaman diri kita masing masing.

Sumber: http://fannybeearchi.wordpress.com/2012/04/10/akulturasi-antara-budaya-islam-dan-keseharian-masyarakat-jawa/