Friday, October 10, 2014

PKI di Era Reformasi

Sebagian kita mungkin masih ingat dengan peristiwa berdarah tanggal 30 September 1965. Pada saat itu, Partai Komunis Indonesia dengan menggunakan kekuatan Angkatan Darat yang berasal dari pasukan cakrabirawa melakukan tindakan penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh orang perwira angkatan darat. Aksi ini adalah puncak perseteruan antara PKI dan angkatan darat pada zaman orde lama.

Setelah hampir lima puluh tahun berlalu, trauma yang dihasilkan oleh gerakan tiga puluh september masih bisa dirasakan sampai sekarang. Partai komunis indonesia masih menjadi momok di negeri ini setelah partai berlogo palu arit tersebut dinyatakan terlarang melalui TAP MPRS XXV Tahun 1966. Sayangnya hukuman ternyata tidak hanya ditanggung oleh anggota dan simpatisan PKI saja. Anak cucu merekapun harus ikut menanggung dosa turunan yang tak pernah berakhir. 

Pasca keberhasilan Angkatan Darat dibawah pimpinan Mayor Jendral Soeharto dalam menumpas pelaku Gerakan 30 September menyisakan masalah yang sangat besar dikemudian hari. PKI yang divonis sebagai pelaku utama Gerakan 30 September mendapat status sebagai musuh bersama dinegara ini. Status inilah yang kemudian membuat anggota pki dan simpatisannya menjadi sasaran amuk massa hampir di seluruh indonesia terutama di pulau jawa dan bali. Pengejaran dan pembunuhan terhadap anggota PKI tidak hanya dilakukan oleh tentara. Sebagian malah dilakukan oleh kelompok kelompok yang mempunyai kepentingan pribadi dan dendam masa lalu. Bahkan ada ungkapan pada masa itu, “jika kamu punya musuh, tuduh saja dia PKI, maka dia boleh untuk dibunuh”.

Sampai sekarang tidak ada data yang valid untuk mengetahui jumlah korban yang dibantai pada tahun 1965. Ada banyak versi tentang jumlah korban, mulai dari lima ratus ribu sampai tiga juta orang tewas dalam pembantaian ini. Sebuah fakta yang sangat mencengangkan apabila kita berkaca pada genosida yang dilakukan oleh pol pot di Kamboja. Jika pol pot melakukannya pembantaian terhadap dua juta rakyat Kamboja dalam beberapa tahun, di indonesia cukup dilakukan hanya dalam hitungan bulan.

Pembantaian hanyalah awal dari penderitaan yang diterima oleh anggota dan simpatisan PKI. Mereka yang tidak dibunuh harus melanjutkan hidupnya di dalam penjara. Sebuah kenyataan yang sangat pahit, karena sebagian dari mereka menerimanya tanpa menjalani proses pengadilan. Penyiksaan yang tidak berperi kemanusian harus mereka terima sebagai konsekuensi pilihan politik. Para tahanan politik ini dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Tahanan perempuan dipenjara wanita plantungan bahkan harus menerima penyiksaan yang sangat pedih. Malam harinya mereka diperkosa, siangnya mereka diceramahi tentang pancasila oleh orang yang melakukan pemerkosaan.

Keterlibatan tentara dalam pembunuhan massal pasca gerakan 30 september mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk membersihkan anggota PKI dan simpatisannya yang waktu itu dianggap sebagai musuh negara. Kenyataan ini menimbulkan adanya anggapan apabila pembunuhan anggota PKI selama tahun 65 dan 66 dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat. 

Kebencian pemerintah orde baru kepada PKI seakan tidak berujung. Pada tahun 1983, rezim Soeharto membuat sebuah film untuk menanamkan dokrin kepada seluruh rakyat indonesia. Tidak hanya memboroskan dana yang besar, film ini juga dibuat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Bahkan sebagian adegan digambarkan secara berlebihan. Film ini sukses mendoktrin otak rakyat indonesia. Pemutaran film setiap tanggal 30 september menjadikan PKI dan ajaran komunis sebagai sebuah hal yang dianggap tabu dan berbahaya.

Persoalan ternyata bukan hanya sebatas doktrinasi yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Pemutaran film yang dilakukan setiap tahun tersebut ternyata melahirkan trauma tersendiri bagi perempuan yang menontonnya. Film Gerakan 30 September ini juga dianggap mendiskreditkan kaum hawa. Terutama perempuan yang aktif diwilayah publik. Gambaran perempuan melakukan tindakan yang tidak berprikemanusiaan menari nari dalam keadaan semi telanjang dan melakukan penyiksaan seksual ditampilkan menjadi bagian yang utuh dari narasi sebuah kekuasaan untuk meletakkan siapa yang bersalah pada malam itu. Bahkan kelompok perempuannya sangat spesifik yaitu Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Hal inilah yang menyebabkan dikemudian hari gerakan perempuan menjadi momok. Perempuan perempuan yang aktif diwilayah publik sekarang bisa dilabel. Hati hati nanti kamu jadi Gerwani!!

Peristiwa Gerakan 30 September sudah membuat anggota PKI dan simpatisannya hidup menderita dibawah kekuasaan orde baru. Bukan hanya ditangkap, sebagian dari mereka bahkan harus kehilangan nyawa setelah sebelumnya mengalami penyiksaan di dalam tahanan. Sebagian yang masih selamat harus menjalani diskriminasi dan hidup sebagai orang yang kalah. Kondisi ini lebih diperparah dengan adanya istilah dosa turunan yang diberlakukan bagi anak cucu mereka.

Para mantan tahanan politik PKI dan keluarganya tidak mendapatkan persamaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Mereka tidak bisa mendaftar menjadi pegawai negeri sipil dan anggota tentara nasional indonesia. Pada salah satu kasus, ada orang tua yang harus membuat surat kematian supaya anaknya bisa diterima sebagai abdi negara. Meskipun sudah ada diantaranya yang menjadi wakil rakyat, tapi tetap saja stigma PKI sangat susah untuk dihilangkan. Tuduhan sebagai keluarga PKI bahkan di jadikan sebagai jurus ampuh untuk menyerang orang yang tidak disukai. Beberapa waktu lalu, salah satu calon presidenpun juga dikait kaitkan dengan PKI sebagai upaya untuk kampanye hitam.

Salah satu biang kerok munculnya berbagai diskriminasi itu adalah masih berlakunya Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. TAP MPRS ini dianggap sumber undang-undang dan peraturan lain yang telah berlaku tidak adil bagi seluruh keluarga eks tahanan politik PKI. mantan tahanan PKI beserta keluarga dianggap sebagai sampah yang tidak punya hak yang sama sebagai warga negara indonesia. Sebagian dari peraturan tersebut memang sudah revisi. Tapi masih ada beberapa peraturan yang dianggap melanggar hak azazi manusia korban peristiwa 65. 

Pasca reformasi Pemerintah Indonesia harus mengembalikan kesetaraan hak dan kewajiban  keluarga dan keturunan pki sebagai warga negara indonesia yang hilang pada masa orde baru. Salah satu jalan yang diambil adalah melalui rekonsiliasi nasional. tapi proses untuk melakukan rekonsiliasi ini ternyata tidaklah mudah, karena keluarga korban 65 ini dianggap belum memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara.

Untuk itulah pengungkapan kebenaran dan pelurusan fakta sejarah harus dilakukan demi keberhasilan rekonsiliasi ini. Pemerintah Indonesia harus bisa memberikan pengakuan dan status korban kepada keturunan tahanan politik PKI. Sehingga keluarga dan anak cucu tapol ini bisa diterima ditengah masyarakat dengan setara sebagai warga negara indonesia.

Pemerintah Indonesia juga harus menkaji ulang eksistensi ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966. TAP MPRS ini sudah tidak relevan pada zaman reformasi dan dekmokrasi sekarang ini. Ketakutan akan bangkitnya kekuatan komunis adalah alasan yang terlalu berlebihan. Tuntutan pencabutan TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 memang pernah diajukan oleh Abdurrahman Wahid waktu beliau  menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Hanya saja permintaan ini tidak mendapat reaksi yang positif dari anggota dewan.

Diskriminasi dengan alasan apapun harusnya dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap konstitusi. Undang undang dasar 1945 sebagai hirarki tertinggi dalam peraturan perundang undangan di indonesia menjamin hak tiap orang untuk berpandangan apa pun di negeri ini. Jadi Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 harus dicabut karena bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang memiliki hirarki yang lebih tinggi. Selama TAP MPRS No 25 Tahun 1966 masih belum di cabut, persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara bagi keluarga dan keturunan tahanan politik PKI hanyalah akan jadi mimpi belaka.