Friday, November 27, 2015

REVOLUSI PENDIDIKAN: PARADIGMA STRUKTURAL FUNGSIONAL KE PROSESUAL[1]


Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.
(Ki Hajar Dewantara)

Indonesia adalah sebuah Negara yang dapat dikatakan sebagai negara Multikultural dan Indonesia juga merupakan Negara yang dikenal sebagai Negara yang memiliki kekayaan melimpah, namun demikian sumber daya manusianya masih sangat rendah dalam hal pendidikan. Hal ini pun dibenarkan oleh hampir banyak orang di dunia, bahkan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini memang memprihatinkan, mengapa? Karena saat ini kita dapat melihat bahkan merasakan, bahwa cita-cita pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, tidak dapat terealisasi sampai saat ini. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3, yang berbunyi:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertrujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Salah satu tugas pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Apa yang akan terjadi apabila pembangunan di Indonesia tidak diimbangi dengan pembangunan dibidang pendidikan?. Sekalipun, pembangunan fisiknya sangat baik, tetapi apa gunanya jika moral bangsa ini terpuruk. Dan hal inilah yang terjadi saat ini, sehingga semua bidang kehidupan bermasalah.

Beberapa kenyataan yang sering kita temui bersama, seorang pengusah kaya raya justru tidak menunjukkan sikap dermawan, seorang politikus justru tidak mempedulikan tetangganya yang kelaparan, atau bahkan seorang guru yang tidak peduli, ketika melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah dan masih banyaknya pemimpin-pemimpin bangsa ini yang melakukan korupsi baik dari lapisan paling bawah hingga atas. Sangat memilukan bukan?, sehingga jika saat ini kita biarkan maka lama kelamaan Negara dan bangsa kita yang tercinta ini akan hancur. Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk mencegah, pendidikan merupakan salah satu prioritas dalam melakukan pembangunan negeri ini.
           
Dua Paradigma Pendidikan
    Ada berbagai macam cara pandang dalam memandang pendidikan, dan didalamnya termasuk cara pandang sosial-budaya. Paradigma sosial-budaya pendidikan yang berasal dari sebuah disiplin antropologi masih belum terlalu dikenal secara luas di Indonesia. Paradigma sosial-budaya yang memandang pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan, secara sistematik tidak dapat dipahami secara terpisah dari totalitas sosialisme dan enkulturasi. Ada dua kata kunci dalam pernyataan ini yakni sistematik dan tidak terpisah, hal ini memberi indikasi yang tegas, bahwa perspektif ini menekankan analisis pada seperangkat unsur yang saling tergantung satu sama lain secara total sebagai suatu sistem. 

Secara historis paradigma sistematik ini dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu paradigma struktural-fungsionalisme dan paradigma prosesualisme. Pergeseran perspektif dari tahap pertama ke tahap kedua sesungguhnya merupakan representasi kenyataan dalam suatu kelompok masyarakat, yakni sebagaimana orang mengkonsepsikan dan mewujudkan perilaku pembelajaran dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam sejarah pendidikan kita, pendidikan dilihat sebagai sistem yang didominasi oleh pemikiran eropa pada abad ke 18 dan 19, yang selanjutnya diwarisi oleh tradisi pendidikan kolonial Hindia Belanda dan pendidikan nasional masa kini.

Sistem pendidikan ini adalah sebuah cermin cara berpikir yang disebut pertama, yankni paradigma truktural-fungsional. Perubahan cara berpikir mengenai pendidikan, dimana manusia ditanggapi sebagai subjek yang aktif menentukan “nasib” diri sendiri, mengembangkan paradigma prosesual yang mulai banyak mempengaruhi paradigma sosial-budaya pendidikan pada akhir abad ke 20 yang lalu hingga sekarang. Oleh karena itu, marilah kita memulai untuk melakukan pergeseran demi mendapatkan formula yang terbaik bagi pendidikan di Indonesia.

Paradigma Struktural-Fungional
    Pada paradigma ini menempatkan pendidikan sebagai tataran linear, yang merupakan komponen dari sebuah sistem yang lebih besar. Andaikan suatu sistem terdiri dari sepuluh komponen, maka pendidikan akan mendapatkan porsi sepersepuluh dari system tersebut, yang tergantung pada keberadaan dan fungsi dari sembilan persepuluh dari komponen yang ada.

Pandangan semacam ini membuat pendidikan sebagai sebagian kecil yang tergantung pada, dan seringkali didominasi oleh sebagian besar komponen sistem yang lain. Kecenderungan berpikir secara struktural-fungsionalisme pada tingkat nasional mendorong penyusun kebijakan dan pengambil keputusan pendidikan nasional untuk berpikir secara seragam, artinya ada suatu kekuasaan yaitu kekuasaan Negara yang berfungsi sentral untuk merancang blue print, menyusun kurikulum, mempersiapkan tenaga pengajar, dan menyediakan fasilitas pendidikan untuk semua bagian dan tingkatan diseluruh negeri.

Sebagai hasilnya adalah suatu sistem yang stabil, seimbang, ”kuranng menyukai perubahan”. Premis dari struktural-fungsionalisme sebagai berikut, pertama; masyarakat merupakan sebuah sistem yang bekerja, kedua; sistem yang bekerja menuntut institusi-institusi komponennya untuk memberikan sebuah kontribusi demi terpeliharanya sistem tersebut, ketiga; sistem sosial yang bekerja menuntut seluruh anggota sistem untuk dimotivasi dan dilatih untuk memfasilitasi fungsi sebuah sistem. Apabila dicermati kebijakan nasional pendidikan kita nampaknya selama ini dirancang berdasarkan premis pemikiran diatas. Kelebihan dari cara berpikir struktural fungsional adalah transmisi pengetahuan yang seragam dan merata diseluruh Indonesia, baik kurikulum, latar belakang dan kualifikasi pengajar, serta metode mengajar, maupun buku-buku ajar yang digunakan, sehingga dalam jangka panjang kesatuan nasional melalui sebuah proses pendidikan dapat terpelihara.

Paradigma Prosesual
    Paradigma prosesual adalah bentuk respon teoritis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana halnya paradigma struktural-fungsionalisme mengenai pendidikan, dalam pemikiran prosesual juga memandang pendidikan sebagai suatu sistem. Perbedaan dari dua paradigm tersebut adalah bahwa paradigma ini menempatkan manusia sebagai sentral, sebagai makhluk yang aktif, proaktif, dan bahkan manipulatif, dan mampu mengembangkan strategi-strategi untuk menghadapi, dan bahkan dapat mengubah lingkungan dimana dia berada, yang berbeda dari pandangan struktural-fungsionalisme yang memandang manusia sebagai objek yang menjadikan lingkungan sebagai pedoman pokok untuk bertindak.

Menghadapi suatu perubahan, paradigma stuktural-fungsional lebih suka menggunakan sebuah konsep adaptasi, karena adaptasi berarti “manusia terserap dalam, dan menjadi bagian dari sistem”. Cara berpikir secara prosesual menempatkan factor interaksi sebagai unsur penting. Dalam melakukan interaksi tersebut, manusia berupaya agar bentuk dan kualitas kehidupan berubah menjadi lebih baik. Seringkali juga terjadi perubahan yang dilakukkan oleh manusia, seperti manusia yang berhasil mengubah hutan belantara yang ganas, menjadi sebuah lingkungan yang nyaman. Akan tetapi, cukup banyak juga kasus yang menunjukkan bahwa manusia menyesuaikan diri dengan tatanan lingkungan yang sudah ada. Dari contoh ini menunjukkan dinamika manusia sebagai makhluk yang aktif. Konsep adaptasi yang secara eksplisit mencerminkan adanya batas-batas lingkungan yang tegas disatu pihak bergeser kepada konsep modifikasi dan manipulasi serta batas-batas sistem lingkungan yang tidak tegas.

Dari Struktural Funfsionalisme ke Prosesualisme
    Sebuah kebijakan otonomisasi pendidikan, sebagai salah satu bagian dari kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang sudah dijalankan semenjak belasan tahun yang lalu, telah menimbulkan dampak yang kompleks, tidak sesederhana mengubah paradigma teoritis diatas kertas.  Perubahan orientasi pendidikan dalam perspektif sosial budaya, andaikata perubahan tersebut dijalankan konsisten dan berkesinambungan, mungkin akan membutuhkan setidak-tidaknya satu atau dua generasi agar terwujud secara signifikan.

Perubahan paradigma pendidikan menuntut kesiapan kita untuk merubah dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Secara teoritis hal itu mungkin dapat dilihat sebagai perubahan dari paradigma struktural-fungsionalisme ke paradigma prosesual dalam mengatur dan mengelola pendidikan kita. Dengan menempatkan pendidikan dalam hal ini secara spesifik yaitu sekolah sebagai sentral, kita dapat mengidentifikasi persoalan-persoalan dan membangun model eksplanasinya dengan melihat interaksi pendidikan melalui komponen-komponen (sistem) di lingkungannya dalam konteks dinamik. Berbeda dari pendekatan sistematik fungsional, pendekatan prosesual ini lebih menekankan kreativitas aktor, dalam hal ini yaitu siswa dan guru, untuk menjauhi ciri-ciri pasif dan statis. Pengetahuan yang diperoleh tersebut nantinya akan digunakan demi mewujudkan perilaku untuk menghadapi lingkungan.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan nasional pendidikan di Indonesia selama kurang lebih 50 tahun merdeka didominasi oleh cara berpikir secara struktural-fungsionalisme. Akibatnya, ketika terjadi perubahan besar di dunia seperti sekarang, khususnya ketika manusia mulai disadarkan bahwa mereka adalah subjek dan seorang aktor yang aktif serta berhak untuk menentukan nasib sendiri, kesadaran akan pendidikan sebagai proses yang terikat dengan berkembangnya gagasan demokrasi ini pun melanda dunia, termasuk Indonesia. Menigkatnya kesadaran antroposentrik ini membangkitkan pentingnya manusia untuk mengenal kebutuhan dan potensionya sendiri.

Kebijakan otonomi pendidikan yang dicanangkan belasan tahun yang lalu merupakan respon terhadap gagasan demokrasi tersebut. Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran yang signifikan dari filosofi struktural fungsional ke prosesual yang anti statis. Sehingga, implikasinya adalah manusia secara aktif akan mengevaluasi pengetahuan, dan aturan-aturan yang ada, merevisi atau bahkan merombak yang dipandang tidak relevan dan membangun yang baru. Sebagai subjek, manusia adalah pelantar (agent of change) yang selalu berinisiatif dan cenderung melakukan perubahan kearah kemajuan demi mencapai atau terwujudnya kehidupan yang lebih baik lagi.

Daftar Pustaka
http://www.kompasiana.com/pendidikan-paradigma-struktural-fungsional prosesual., diakses 3 November 2015.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Saifuddin AF. “Kebijakan Otonomi Daerah: Otonomi Pendidikan dalam Perspektif Sosial Budaya,” Antropology Indonesia. Indonesian Journal of Sosial and Cultural Antropology, Th.XXVI, No. 65, Mei-Agustus, hlm 1-12:2001.

[1] Tulisan ini mendapat Juara 1 Lomba Esai Nasional dengan tema ‘Memetakan Paradigma Pendidikan di Indonesia’ yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali pada tanggal 23 November 2015.