Monday, December 14, 2015

MENJADI PAHLAWAN (GURU) VERSI MODERN


Bulan November rakyat Indonesia dengan bangga merayakan hari pahlawan, kita bisa merefleksikan diri tentang perjuangan para patriot bangsa untuk mengusir para penjajah. Mereka rela berkorban nyawa demi menegakan panji-panji kemerdekaan ditanah Indoenesia. Sudah tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang jatuh dari pihak Indonesia. Maka tidak heran, sebagian pahlawan nasional merupakan mereka yang berani mengangkat senjata untuk menentang penjajah, dan rata-rata pahlawan nasional Indonesia berasal dari kalangan militer. Sekarang tentu bukan zamannya lagi mengangkat senjata, lalu versi pahlawan seperti apa yang dibutuhkan untuk Indonesia saat ini?
Pahlawan versi modern adalah mereka yang berani untuk mengatakan TIDAK pada korupsi. Itu yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini, karena kita tahu bahwa banyak sekali pejabat dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif pernah merasakan ‘baju khas’ KPK itu. Meskipun begitu, kita sebagai rakyat awam, tidak bisa sepenuhnya tergantung pada KPK untuk membrantas korupsi. Karena korupsi dinegeri ini sudah sangat menggurita disemua lini kehidupan. Bisa kita lihat dari laporan terbaru Transparency International (TI) yang menyebut bahwa rangking Indonesia menempati posisi bawah untuk negara terbersih dari korupsi. Pada tahun 2014 saja, Indonesia berada diperingkat 107 dari 177 negara dengan skor 34 skala 0-100.

Pribumisasi Tradisi Antikoruspi
Dari mana kita memulai untuk mendukung gerakan antikorupsi? Tidak perlu jauh-jauh, lihat sekeliling kita saja. Kita bisa berperan dilingkungan sekitar kita, yaitu dirumah dan sekolah (bagi guru). Dirumah, kita yang berposisi sebagai orang tua harus membuat rumah menjadi tempat penanaman kejujuran, dengan berani memberikan ketauladanan kepada anak-anak kita. Dari hal yang tekecil saja, yaitu dengan mensinkronkan ucapan dan tindakan kita. Misalkan, kisah yang dialami oleh Mantan Ketua KPK, Abraham Samad saat masih kecil, yaitu kisah ‘mencuri’ kapur tulis berjumlah 5 batang. Padahal teman-temannya sudah terbisa dengan pengambilan kapur tulis tersebut. Dan ketika ibunya tahu, kapur yang ‘hanya’ berjumlah 5 batang itu harus dikembalikan karena membelinya memakai uang negara.
Bagi generasi muda sekarang mungkin hal itu sepele, tapi hal-hal sepele itulah yang membentuk karakter orang-orang besar didunia. Orang tua yang hebat adalah mereka yang berani untuk memberikan pendidikan kejujuran dan kesederhanaan dalam setiap usahannya. Seperti kisah dari Soichiro Honda, pendiri dari Honda Motor Jepang, yang tidak mau memberikan warisan pada anak-anaknya, kecuali memberikan bekal kepada anak-anaknya untuk sanggup berusaha sendiri. Padahal Soichira mempunyai 43 perusahaan di 28 negara, dan yang lebih mencengankan lagi adalah, Soichiro lebih memilih untuk tinggal dirumah yang sederhana. Hal ini bisa dimaklumi, karena masa kecil Soichiro penuh dengan kerja keras dan kesederhanaan, ayahnya saja hanya seorang pandai bersi yang mengelola bengkel reperasi sepeda.
Saya merending mendengar kisah seorang pemilik dari pabrikan Honda diatas, pelajaran yang bisa diambil adalah seorang yang besar berasal dihasilkan dari proses pendidikan yang ‘keras’ dan dimulai dirumah. Oleh karena itu, rumah menjadi tempat yang ampuh untuk membentuk generasi-generasi pahlawan versi modern yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Dimulai dari kelauladanan dan kesederhanaan. Selain rumah, tempat yang sangat penting lainnya adalah sekolah. Kenapa sekolah? Karena sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak, dalam satu hari, mereka menghabiskan waktu 5-9 jam disekolah.
Disekolah, pendidikan yang harus ditanamkan adalah pendidikan yang bersinergi dengan pendidikan karekter peserta didik, yang tidak hanya berkutat pada nilai-nilai angka tapi lebih mengarah untuk mengambil makna-makna. Contoh negara yang menjadi kiblat pendidikan dunia adalah negara Finandia, negara yang menempati 3 (tiga) besar negara paling bersih dari korupsi. Artinya, kualitas pendidikan disekolah juga merupakan faktor terpenting untuk menumbuhkan budaya antikorupsi.
Di Finlandia, sistem pendidikan di negara Finlandia tidak mengenal anak ‘pintar’ dan anak ‘bodoh’. Mereka tidak pernah dipaksa untuk menguasai materi tertentu, tapi mengarahkan potensi dan bakat yang ada pada seorang anak tanpa ada pemaksaan apapun. Setiap kelas harus terisi maksimal 16 peserta didik, sehingga pembelajaran lebih intensif dan maksimal. Dan yang terpenting, di Finlandia adalah pendidikan disemua jenjang gratis, benar-benar gratis tanpa dipungut biaya apapun. Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan kita?
Sebetulnya pemerintah sudah berusaha untuk memasukan ‘doktrin’ antikorusi disekolah sejak tahun 2004 lewat Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, pada bagian Diktum ke-11 (Instruksi Khusus) poin ke-7 pemerintah sudah menginstruksikan kepada Menteri Pendidikan untuk mengadakan pendidikan yang berasaskan semangat dan sikap antikorupsi. Dari Kurikulum 2006 hingga 2013 yang sekarang diimplementasikan sebetulnya sudah mengarahkan peserta didik untuk mengarah kedalam pendidikan antikorupsi, tapi sebagus apapun kurikulum kalau guru yang menjadi ‘ujung tombak’ pendidikan tidak mau merubah mindset nya maka kurikulum yang sebagus apapun akan percuma.
     Dunia pendidikan kita dilapangan kadang hanya mengejar angka-angka tanpa melihat nilai-nilai karakternya. Kita sepakat, bahwa orang Indonesia tidak kalah pintar dengan bangsa lainnya, tapi yang membedakan bangsa lain punya karakter yang kuat sehingga negara mereka maju, sedangkan kita?? Pendidikan karakter kita justru menjadi nomor dua, yang terpenting nilai angka-angka bagus diatas kertas tanpa melihat prosesnya. Selain itu, hal yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan antikorupsi dirumah dan sekolah adalah sikap ketauladanan.

Menjadi Guru yang Digugu Dan Ditiru
Bulan November ini merupakan momentum bagi guru diseluruh Indonesia untuk menyatakan ‘berperang’ pada korupsi, dengan cara memulai dari diri sendiri dan ditularkan pada peserta didiknya. Menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus mendidik generasi penerus bangsa. Generasi yang akan membangun peradaban Indonesia kedepannya, tentunya butuh perjuangan yang berat dan panjang untuk mencapai tujuan itu.
            Banyak hal dapat dilakukan oleh guru sebagai pembentuk pahlawan versi modern, contoh kecil dimulai dari ketepatan masuk ketika bel sudah berbunyi. Karena para peserta didik membutuhkan sosok panutan dibandingkan hanya sekedar retorika belaka tanpa aksi nyata. Sekarang momentum yang tepat, mari para orang tua dan guru dimanapun anda berada, kita tanamkan kejujuran pada anak dan peserta didik dengan cara memberikan aksi yang nyata. Dimulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal yang kecil, dari lingkungan sekitar kita yang secara tidak langsung akan membentuk generasi pahlawan versi modern. Selamat hari guru, mari kita satukan kekuatan demi membrantas kosupsi dari bumi Indonesia ini..