Monday, June 27, 2016

REVOLUSI MENTAL, SEMOGA TIDAK MÈNTAL


“Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang hidup di negara ini”. Kutipan yang diambil dari tulisan Presiden Joko Widodo ini menegaskan, bahwa pentingnya jati diri untuk membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab. Konsep ini lebih familiar ditelinga kita dengan Revolusi Mental.
            Masih menurut Presden Joko Widodo, Revolusi Mental ini dapat terealisasi dengan konsep Trsakti Bung Karno, yaitu (1) Indonesia yang mandiri secara ekonomi, (2) Indonesia yang berdaulat secara politik, dan (3) Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya.
Point ketiga Trisakti diatas, yaitu membangun kepribadian sosial dan budaya memang sangat urgen untuk dilakukan, karena sifat ke-Indonesia-an semakin pudar dari kalangan anak muda saat ini, hal ini tidak terlepas dari derasnya arus globalisasi yang menyerbu dari berbagai sisi. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dalam arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa ini.
Sistem pendidikan yang ada sekarang harus ditujukan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama. Akses pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terarah dan sampai pada lapisan masyarakat yang paling bawah dapat membawa kita untuk memahami dan mau membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Kalaupun Indonesia melakukan Revolusi Mental, tentunya kita harus memulai dari hal yang terdekat disekitar kita, dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal, serta lingkungan tempat kita beraktifitas sehari-hari, hingga akhirnya merambah kedalam lingkungan kota dan akhirnya berimbas ke negara kita. Tujuannya menjadikan Revolusi Mental ini sebuah gerakan massal yang bersifat nasional.

Karakter sebagai Jati Diri
Pendidikan karakter dengan strategi kebudayaan nasional bisa sebagai langkah awal untuk menjalankan Revolusi Mental ini. Karena memang banyak tokoh yang sudah mengingatkan betapa pentingnya karakter untuk memajukan Indonesia. Salah satunya para founding father, termasuk didalamnya proklamator kita, sejak jauh-jauh hari sudah sadar akan pentingnya karakter untuk menjadikan perjalanan bangsa ini menjadi lebih terhormat dimata dunia.
Ir. Sukarno, Presiden pertama kita pernah memberikan konsep tentang pembangunan karakter dan bangsa dalam beberapa pidatonya, beliau selalu menekankan akan pentingnya national and charakter building. Dalam beberapa pidatonya, Bung Karno menyatakan bahwa pembanguna karakter bangsa tidak bisa dibatasi waktu, namun harus dilakukan kontinyu secara konsisten dan berkesinambungan mengingat kemajemukan Indonesia yang sangat beragam.
Selain Bung Karno, Wakil Presiden pertama, Bung Hatta juga menyatakan hal yang sama tentang pentingnya pendidikan karakter, menurut Bung Hatta, untuk memajukan ilmu pengetahuan dan kejayaan bangsa maka karakterlah yang menjadi hal utama. Apabila kurang kecerdasan, maka bisa diisi dan dipelajari, namun kalau hancurnya karakter maka akan sangat sulit diperbaiki.
Selain kedua tokoh Proklamator diatas, tidak kalah penting konsep dari Bapak Pendidikan Nasional, Ki hajar Dewantara, tentang pentingnya sebuah pendidikan karakter. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak (kebugaran fisik). Menurutnya, tiga elemen itu tidak bisa dipisahkan dalam upaya memajukan kehidupan para anak-anak kita.
Karakter adalah sebuah watak untuk mengembangkan jati diri manusia, dengan demikian, karakter seseorang lebih menggambarkan jati diri seseorang. Sikap santun pada orang yang lebih tua akan lebih menunjukan karakter seseorang daripada hanya sekedar kegagahan fisik. Jadi karakter menempati posisi tertinggi dalam kepribadian manusia, sedangkan aspek intelektual, ketramplan dan lain-lain merupakan bagian dari kepribadian manusia.

Kekuatan Keteladanan
            Pendidikan karakter bangsa bisa diimplementasikan dengan berbagai cara pendekatan sekaligus, salah satu kekuatan yang paling efektif dalam menumbuhkan karakter adalah kekuatan keteladanan karakter tokoh yang baik. Keteladanan itu bisa diambil dari orang-orang besar, juga dari keteladanan orang-orang kecil yang berasal dari masyarakat bawah.  
            Keteladanan Sukarno-Hatta misalnya. Sukarno-Hatta merupakan pahlawan proklamator dan dwitunggal dalam membawa bangsa menuju pintu gerbang kemerdekaan. Kedua tokoh ini merupakan sosok pribadi yang berbeda, kalau Sukarno dalam pendidikannya bercirikan ke-Timur-an, yang mengutamakan pengaruh kepemimpinan dan kuatnya kepribadian. Sedangkan Hatta merupakan tokoh yang mengenyam pendidikan Barat dan lebih mengutamakan pentingnya kompetensi dan profesionalisme.
            Kedua tokoh ini mempunyai pribadi yang berbeda, bahkan kadang bertentangan, tapi atas nama bangsa Indonesia, kedua tokoh ini mau meleburkan egonya untuk memperjuangkan bangsa Indonesia dalam cengkraman penjajah. Seandainya kedua tokoh ini saling menonjolkan egonya masing-masing, tentu akan menimbulkan kontradiksi dan mungkin akan menimbulkan konfrontasi yang berakibat buruk bagi sejarah bangsa Indonesia. Sukarno-Hatta adalah contoh keteladanan dalam hal meleburkan ego demi kepentingan bangsa.
            Sosok tokoh lain yang patut menjadi teladan adalah Hoegeng Imam Santoso, Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) / Kapolri era tahun 1966-1971. Keteladanan Hoegeng tidak hanya didalam institusinya saja, namun diluar intstitusi kepolisian sudah menunjukan komitmenya dalam menjaga integritas diri dan menjauhan dari segala sesuatu yang akan menyebabkan tercemarnya nama baik dirinya dan lembaganya.
            Contoh kecilnya yaitu, Hogeng tidak menggunakan kekuasaannya untuk memperlancar karir anaknya, beliau tidak memberikan surat ijin bagi anaknya untuk masuk menjadi taruna TNI Angkatan Udara sehingga akhirnya anaknya masuk ke Seni Rupa di ITB. Dalam karirnya beliau tidak memanfaatkan kekayaanya untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, hingga meninggal, Hoegeng tidak memiliki tabungan deposito atau tabungan milyaran. Beliau hanya menerima uang pensiunan tiap bulannya. Hoegeng menjadi contoh keteladanan dalam hal kejujuran dan mengedepankan integritas dalam mengemban tugasnya sebagai abdi negara.
            Sebenarnya masih banyak sosok teladan dari bangsa kita yang patut diteladani. Selain sosok besar bangsa Indonesia, banyak sosok disekeliling kita yang patut kita tiru, semisal orang tua kita. Jadi Revolusi Mental yang di ‘bangunkan’ lagi oleh Presiden Joko Widodo seharunya menjadi momentum bagi kita untuk mulai merealisasikannya. Tidak usah terlalu jauh, kita mulai dari diri kita sendiri, dari hal-hal terkecil dengan meneladani tokoh-tokoh yang sudah terbukti karakternya dalam memajukan bangsa Indonesia. Semoga Revolusi Mental ini tidak hanya berakhir menjadi opini dan wacana saja, namun bisa direalisasikan dan diimplementasikan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Dimuat di Satelitpost tanggal 22 Juni 2016, klik link artikel koran Satelitpost

Arif Saefudin


Guru Sejarah SMA Negeri 2 Purbalingga